Momen tanggal 17 Agustus 1945 menjadi penting dan menentukan dalam penentuan sikap secara kolektif sebagai sebuah bangsa, jangan hanya berhenti pada titik formal 17 Agustusnya saja. Tapi sebuah ikhtiar kolektif yang menasional untuk diteruskan agar lebih merdeka secara emosional, ekonomi, sosial, budaya, pendidikan dan aspek hidup lainnya. 17 Agustus 1945 cukup sebagai pertanda untuk mengatakan kepada dunia global bahwa Indonesia sebagai bangsa dan negara menyatakan kemerdekaannya. Jadi jika ada yang mengatakan hari kemerdekaan adalah 17 Agustus 1945, penulis berkeyakinan itu dalah pernyataan kurang pas. Pada tanggal itu Indonesia baru menyatakan kemerdekaannya yang sifatnya yuridis formal. Pencapaian dan peryataan kemerdekaan secara yuridis formal memang dinyatakan pada 17 Agustus 1945. Namaun bagaiamana dengan merdeka dan kemerdekaan substantif yang menjadi cita-cita sesungguhnya? Terbebas dari kemiskinan, akses pendidikan yang mahal, keterbelakangan, korupsi, ketidakadilan, pseudo demokrasi, pengangguran, mengutamakan politik kelompok, demokratisasi yang melelahkan dengan cost yang mahal dan banyak lagi. Terbebas dari keadaan seperti inilah yang menjadi kemedekaan sejati yang substantif bagi masyarakat Indonesia.
Ekspresi kemerdekaan yang hidup dalam relung sanubari masyarakat Indonesia haruslah diimplementasikan dalam perjuangan untuk berteriak merdeka seutuhnya. Kemerdekaan parsial bukan menjadi cita-cita filosofis dan historis para founding fathers, tetapi kemerdekaan universal yang senantias akan didambakan. Nasionalisme tidak berhenti pada titik selebrasi nasional yang diungkapkan melalui bahasa budaya rakyat saja. Tetapi jauh melampaui tradisi historis yang terbelenggu ruang dan waktu. Nasionalisme sepatutnya diungkapkan dengan ekpresi kemerdekaan yang mengisi ruang-ruang hampa segmentasi kehidupan dalam berbangsa dan bernegara. Nasionalisme dan kemerdekaan bukan lagi sebatas wujud bahasa rakyat yang terhenti pada satu titik dan satu hari saja.
Akan tetapi sejak kemerdekaan yang sudah di proklamirkan sejak 66 tahun lalu itu, dan setelah mendapatkan kemerdekaan secara de jure dan de facto seolah bangsa ini gagal menjalankan fungsinya seperti yang tercatat dalam pembukaan UUD 45 yang selalu dipandang sebagai tujuan negara.
hal diatas sudah sangat jelas memberikan kita sebuah pemahaman bahwa kemerdekaan bukan menjadi titik dimana kita bisa bersantai santai karena telah lepas dari belenggu penjajahan, tapi di sini kemerdekaan adalah langkah awal dalam menata kehidupan berbangsa dan bernegara yaitu sebagai tindak lanjut apa dan bagaimana negara Indonesia yang telah di cita citakan oleh para pendahulu kita. membangun sebuah bangsa bukanlah perkara mudah karena memang pembangunan akan menjadi efektif jika mampu melibatkan segala aspek dan mampu berjalan beriringan dengan bangsa lain sehingga memberikan kita sebuah optimisme bahwa kita akan menjadi yang terdepan.
Gerakan Mahasiswa Kristen sebagai bagian integral dari bangsa ini sudah sepantasnya menunjukkan sebuah kepedulian terhadap segala permasalahan yang melanda bangsa ini. Namun dalam realitas kehidupan ber GMKI ada berbagai hal yang membedakan antara GMKI masa lalu dan masa kini, yang tak lain adalah terdegradasinya nilai nilai luhur GMKI itu sendiri.
Tetapi menjadi suatu yang pasti bahwa GMKI terlahir di zaman yang hanya berorientasi pada titik revolusi dan pembangunan, tetapi zaman jugalah yang membawa GMKI gaungan era reformasi sejak 1998. mungkinkah GMKI mampu hadir dalam penyambutan reformasi itu sendiri ? Mungkinkah GMKI mampu menjadi nahkoda bagi Indonesia menuju arah yang lebih proresif ? Mungkinkah GMKI sadar dengan tugasnya yang tak lain adalah membawa syalom Allah di atas bumi ??
GMKI sebagai sebuah lembaga yang bersifat dinamis dan juga mempunyai sifat kekeristenansudah seharusnya peka terhadap segala persoalan persoalan sehingga mampu memberikan solusi untuk mengatasi masalah masalah yang timbul itu. semngat kemerdekaan Indonesia bukan terletak pada perjuangan golongan islam ataupun golongan golongan lainnya, tapi semata semangat solidaritas yang kemudian itu juga untuk kita semua.
menjadi sebuah hal yang sangat miris ketika mendengar bahwa dalam proses pemilihan funsionaris GMKI telah berubah menjadi akar permasalahan dari berbagai masalah masalah yang ada. mungkinkah dengan terselipnya berbagai kepentingan kepentingan saat kongres menjadi semangat awal terbentuknya GMKI ? Selama ini GMKI terlalu sibuk dengan masalah-masalah keorganisasian atau internal sehingga terhadap masalah dan isu-isu factual tidak segera tanggap dan bahkan tidak sanggup memberi respon apapun. Sebagai organisasi kader GMKI harus bisa melahirkan dan menyiapkan kader-kader yang benar-benar unggul dalam segala bidang kepemimpinan. Sehingga dalam Open Reqruitment atau Maper menjadi hal yang sangat perlu untuk ditinjau kembali system yang selama ini dipraktekkan. Apakah GMKI lebih memilih kuantitas dan menghiraukan kualitas, atau kita lebih mengutamakan kualitas daripada kuantitas atau justru kita menjunjung kedua-duanya kuantitas yang dibarengi kualitas? Mungkin dengan segera kita akan menjawab bahwa GMKI mengutamakan kualitas dan kuantitas, tanpa menyadari apa sebenarnya yang terjadi dalam pola pembinaan kader GMKI selama ini. Hal nyata yang bisa saya lihat sebagai realitas GMKI adalah GMKI sudah kekurangan atau bahkan kehilangan nilai jual organisasi. Sehingga dalam praktek open reqruitment keanggotaan mahasiswa ada hal-hal atau nilai lebih yang kita jual kepada calon anggota baru padahal kenyataannya nilai dan sifat itu sudah tidak dimilki GMKI lagi sekarang. Sehingga terkadang kita juga memberi pemaparan tentang cerita sukses para senior GMKI yang telah berkiprah dalam kancah nasional maupun regional dimana kita juga tidak sadar apakah idealism yang dulu dipegang teguh saat mahasiswa masih tetap melekat atau tidak lagi (jatuh dalam budaya KKN). Anehnya lagi walaupun kita sudah lelah dengan mengorbankan tenaga, waktu dan biaya lebih untuk mempresentasikan atau menjual GMKI ini bagi mereka calon anggota ternyata tetap saja sedikit yang mendaftar dan ikut maper.
Sikap menjaga kesatuan dan keutuhan, sesuai motto GMKI sejak awal “Ut Omnes Unum Sint” masih sangat relevan dipelihara dan dipertahankan, apalagi dalam konteks pergumulan dan krisis bangsa yang tidak mudah untuk dilalui pada masa-masa sekarang. Memenuhi pernyataan awal, organisasi ideal ialah jika ia menjadi dirinya, maka memaknai GMKI yang ideal berarti melakukan refleksi atas sejarah kediriannya. GMKI menjadilah pelopor…, GMKI menjadilah suatu pusat sekolah latihan (Leerschool)…,GMKI menjadilah gemainschaft…, inilah prinsip dasar membangun GMKI yang ideal itu, yakni GMKI Menjadilah!!!
SALAM,
UT OMNES UNUM SINT !!!!
syalom.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar