Pokok-pokok
Kesimpulan
POKOK-POKOK KESIMPULAN
Terasing dari Dunianya
Ketika agama Kristn masuk ke Indonesia pada pertengahan abad ke-16,
Indonesia sedang mengalami rekonfigurasi sosial politik. Kerajaan-karajan Hindu
sedang runtuh dan digantikan oleh pusat-pusat kekuasaan Islam. Sementara itu
kelompok-kelompok suku pedalaman mengalami kehidupannya dalam lingkaran sejarah
yang seakan tak beranjak. Berbeda dengan kehadiran agama-agama “impor”
sebelumnya, agama Kristen tidak disebarkan dengan mendirikan pusat-pusat
kekuasaan pribumi. Para pembawa agama Kristen menempatkan kekuasaan dagang
(dengan benteng-bnteng pemukiman asing sebagai pusatnya) sebagai kepentingan
utamanya, bukan kekuasaan pemerintahan. Sebab itu tidak terbentuk negara-negara
teokratis Kristen di Nusantara. Maka agama Kristen di Indonesia tetap tampak
sebagai agama bangsa dan pemerintah asing. Selain itu, dalam agama Kristen
urusan perniagaan tidak bersanding serasi dengan urusan keagamaan. Upaya
mencari laba tidak seiring jalan dengan panggilan mencari jiwa-jiwa. Maka siar
Injil – walaupun merupakan salah satu bagian pokok dari kegiatan para saudagra
dari dunia Kristen itu – tidak dilaksanakan atau didukung dengan sepenuh hati.
Sebaliknya, agama Kristen diperalat: persaingan dan permusuhan antar
bangsa-bangsa yang memperebutkan monopoli perdagangan dan kekuasaan di Nusatara
adalah pula pengelompokan yang mempermusuhkan penganut agama yang berbeda.
Agama menjadi alat pembeda dan pengikat kelompok dalam kekuasaan atas
perdagangan.
Adalah para agamawan dari beberapa golongan biarawan Katollik, khususnya
dari Ordo-ordo Fransiscan, Dominikan dan Yesuit yang ikut menyusuri jalur
pelayaran sutera ke Asia untuk “menyegerakan pertobatan orang-orang
khalaik”.1 Pada
beberapa tempat mereka berhasil memperoleh sejumlah penyambut, yang umumnya
dibaptiskan secar masal tanpa persiapan yang memadai, dan misalnya di
Indonesia, orang-orang Kristen pribumi itu diasingkan dari masyrakatnya dalam
pemukiman di sekiter benteng. Pengkristenan menjadi alienation dalam
pola “kekristenan benteng” tersebut: orang Kristen pribumi tercabut dari
lingkungan masyarakat aslinya dan hidup dalam peniruan gaya hidup sing di
sekeliling pusat kehidupan Eropa itu.
Pembinaan jemaat di lingkungan masyarakat sendiri, seperti di pulau-pulau
Lease, Maluku Tengah, tidak diselenggarakan semestinya, antara lain oleh karena
kurangnuya tenaga pelayan. Akibatnya, terjadi pertemuan kekristenan dengan
kepercayaan pra-Kristen yang tidak diarahkan, sehingga unsur-unsur kepercayaan
lama terbawa ke dalam kekristenan. Kekristenan dari mereka yang tinggal di
sekitar pemukiman masyarakat Barat, maupun dalam masyarakat yang sebagian
dikristenkan, sesuai perkembangan kekristenan masa itu, sampai belum
mengembangkan persekutuan gereja yang kritis menghadapi kenyataan-kenyataan
sosial politik dan tradisi adalah politisasi kekristenan yang dikemukakan di
atas. Penduduk dikristenkan secara masal, antara lain untuk mengikat mereka
secara politik kepada kepentingan monopoli perdagangan bangsa Eropa.
Pengalihan sebagian besar jemaat-jemaat Katolik di Nusantara ke
Protestantisme di tangan VOC pada abad ke-17 tidak membawa perubahan yang
bermakna dalam mengakarkan dan menghidupkan Injil. Walaupun VoC lebih cepat
berkembang menjadi kekuasaan yang melampaui benteng-benteng saja, juga tetap
menjadi suatu pemerintah asing. Pada masa itu pula menjadi nyata bahwa
kepentingan politik dan perdagangan memojokkan kewajiban VOC memelihara kehidupan
gereja.
Setelah keruntuhan VOC, penanganan kekristenan di Indonesia oleh pihak
pemerintah pemerintah Belanda hanya berubah dalam bentuk pelembagaan gereja
Protestan, sebagai gereja negeri. Perkembangan yang bermakna adalah
masuknya badan-badan pekabaran Injil pada abad ke-19, yang berusaha
mengkristenkan suku-suku terpencil, dan juga mengambil alih sebagian
tanggungjawab pelayanan Gereja Protestan di wilayah Indonesia bagian Timur.
Berbagai faktor, antara lain penunjukan pemerintah untuk bekerja di daerah-daerah
yang relatif terpencil dan masih mengannut agama sukunya, memberi peluang
kepada badan-badan itu untuk juga menjadiagents of modernization.
Melalui pelayanan di bidang-bidang pendidikan, kesehatna dan sosial, dalam
rangka pemberitaan Injil, wawasan dunia yang baru diretaskan ke dalam kehidupan
suku-suku terpencil yang lama tertutup dalam dunianya sendiri. Dengan itu
kekristenan memberikan suatu wawasan baru mengenai sejarah, dunia, kehidupan
dan masa depan.
Tetapi kekristenan di Indonesia pada abad ke-19 juga belum mengembangkan
suatu sikap kritis terhadap kenyataa sosial dan politik kolonialisme. Kehadiran
pemerintah kolonial seolah-olah suatu bagian normal dari kehidupan yang lebih
maju dan moderen itu. Sering pula timbul pandangan baha kenyataan kolonialisme
itu berada di luar wilayah agama. Masalah-masalah sosial, politik, ekonomi dan
sebagainya dihisabkan pada “urusan duniawi “, yang tidak kena mengena dengan
ibadah, moralitas pribdi atau keselamatan jiwa. Sebab itu agama Kristen tidak
menjadi wahana pengungkapan kegelisahan sosial masyarakat.
Sikap kritis kepada pemerintah kolonial dari pihak gereja, khususnya
Zending, juga dilemahkan oleh faktor dari luar. Pembatasan-pembatasan
pemerintah, demi rust en orde, dan ketergantungan “nasib” pekerjaan penginjilan
di tangan pemerintah, sesuai yang tertuang dalam Art. 123 RR tahun 1854
(kemudian dalam Art. 177 IS 1925), melemahkan daya kritis Zending terhadap
pemerintah. Di lain pihak, peran pemerintah dalam mengawasi dan menerbitkan
keamanan serta menyiapkan prasarana perhubungan di daerah-daerah terpencil
(Tanah Batak, Toraja, Poso) diperlukan sebagai dukungan tak langsung bagi
pekerjaan Zending.
Pada masa politik Etis, ada dukungan politik terhadap pekabaran Injil,
khususnya di bawah Idenburg. Kenyataan itu tidak dapat dan tidak perlu
diingkari. Tetapi dapat dijelaskan bahwa apa yang disebut sebagai Kersteningspolitiek masa
itu ternyata bukan dukungan terhadap Zending, melainkan sebaliknya, sama
seperti pada masa awalnya di Indonesia, agama Kristen diperalat bagi
kepentingan politik, yakni untuk melawan pengaruh agama Islam. Dalam hal ini
justu kekristenan Indonesia dirugikan, yaitu dipermusuhkan dengan pihak Islam,
dan dampak negatifnya sampai kini belum teratasi sepenuhnya. Dapat pula
dinyatakan bahwa ketampilan Islam di panggung pergerakan nasional “ditunjang”
pula olehKersteningspolitiek tersebut. Kemunculan Muhammadiyah,
misalnya, sebagian merupakan reaksi terhadap politik tersebut. Dalam
prakteknya, pekabaran Injil tidak dimajukan oleh dukungan langsung pemerintah.
Pertambahan jumlah orang Kristen pada beberapa dasa warsa terakhir pemeritahan
kolonial, misalnya di Tanah Batak dan Sulawesi Tengah, merupakan buah-buah
ketekunan dan kerja keras para pekabar Injil selama belasan bahkan puluhan tahun
sebelumnya.
2. Perwalian untuk Masa Depan Bersama?
Politik etis kolonial menjadi faktor penting bagi bangkitnya nasionalisme
Indonesia. Perluasan pendidikan dan kemudian pembentukan Volkraad, turut
mendorong kalangan Kristen untuk menentukan sikap terhadap gagasan-gagasan masa
depan Indonesia. Kebangkitan nasional merupakan suatu proses dengan percepatan
yang berbeda pada tiap golongan. Pada tahap awal, dalam bentuk gerakan sosial,
kebudayaan dan ekonomi, kalangan Kristen Indonesia melalui berbagai organisasi
“masyarakat Kristen” turut memperjuangkan kemajuan bagi kelompoknya. Dalam hal
ini juga segi agama (Kristen) belum memainkan peran yang penting. Faktor
kesukuan (atau kedaerahan)mendominasi pengelompokan di kalangan orang-orang
Maluku dan Minahasa di Jawa, yang pada masa itu menganut agama Kristen. Faktor
kesukuan ini pula yang menentukan sikap politik kebanyakan orang Kristen dalam
pergerakan nasional, ketika pergerakan itu telah beranjak ke tingkat politik –
ideologis.
Dalam kerangka politik kolonial yang memberi kesempatan kepada penduduk
Indonesia untuk turutmenangani urusan pemerintahan melalui pembentukan
Volksraad (1918), perlahan-lahan muncul suatu kesadaran politik Kristen.
Pembentukan Christelijk Etische Partij (CEP, kemudian menjadi CSP) pada tahun
1917 dapat dilihat sebagai penyadaran pihak Kristen untuk turut berpolitik:
lamabat-laun orientasi kesukuan atau kedaerahan dialihkan (atau digabungkan)
dengan oriwntasi kekristenan dalam pergerakan nasional. Tetapi kendala utama
dalam proses ini adalah sifat konservatif CEP/CSP, yang membebek pada gagasan
perwalian pemerintah kolonial. Kekecewan bertambah kemudian, ketika CEP, patron
politik Kristen pribumi yang didominasi orang Kristen Eropa itu, mangkhianati
sekutu pribuminya dengan menolak gagasan Inlandsche meerderheid dan
kemudian juga menolak Petisi Soetardjo dalam Volksraad. Partai Kaoem
Masehi Indonesia (PKMI), yang dibentuk ,pada tahun 1930 sebagai partai
Kristen nasional, gagal karena tidak menampung aspirasi yang progresif para
aktivis nasionalis Kristen dan karena dihempangoleh kuatnya ikatan-ikatan
kesukuan atau kedaerahan.
Gagasan politik yang diketengahkan oleh para “politikus Kristen” dalam
partai-partai Kristen masa pergerakan memperlihatkan beberapa kenyataan.
Pertama-tama, sesuai hakikat suatu partai politik agama, tekanan teokrasi
sangat menonjol,m yang disini diartikan sebagai usaha memperjuangkan supaya
prinsip-prinsip Kristen diberlakukan pda semua bidang kehidupan negara dan
masyarakat (tetapi bukan pembentukan negara atau pemerintahan Kristen).
Sumbangan penting yang diungkapkan dalam prinsip teokrasi ini adalah
pembumian iman Kristen sehingga menyentuh soal-soal sosial dan politik yang
pada periode sebelumnya dianggap berada di luar urusan agama. Tetapi prinsip
itu belum dikembangkan secara penuh, belum merupakan partisipasi kritis
Kristen dalam masalah-masalah sosial politik.
Sikap kolot tersebut berkaitan dengan tekanan lain dalam pemikiran politik
partai-partai Kristen masa itu, yakni kesetiaan kepada pemerintah berdasarkan
pemahaman atas teks Alkitab bhawa pemerintah adalah hamba Allah, atau bahwa
kekuasaan pemerintah berasal dari Allah (Rm. 13: 1-7, Yo 19:11). Dalam
pandangan yang didasarkan pada penafsiran yang sempit pada Kitab Suci ini
justru diabaikan pokok penting, yakni sikap politik kritis terhadap
hubungan kolonial. Baik CEP maupun PKC dan PKMI, jelas-jelas mendukung
pemerintah kolonial dan menaruh harapan pada fungsi perwaliannya membimbing
bangsa Indonesia ke masa depan. Slogan nasionalis Indië los van Nederland dianggap
gegabah atau tidak realistis.
Bagaiman menjelaskan loyalitas para politisi Kristen terhadap pemerintah
kolonial ini? Selain pemahaman sempit atas nasihat Rasul Paulus dalam Romapasal
13 dan atas sabda Yesus terhadap Pilatus dalam Yohanes 19 itu, bahwa pemerintah
adalah pemegang mandat kekuasaan dari Tuhan Allah, mereka juga memandang
pergerakan nasional sebagai gerakan radikal pihak Islam dan pihak Komunis, yang
merupakan “musuh-musuh” pihak Kristen.2 Maka
pemihakan pada pemerintahan kolonial berkaitan pula dengan kenyataan minoritas
pihak Kristen, yakni berlindung dari tekanan golongan-golongan yang besar. Hal
ini menjelaskan pandangan politik Kristen selanjutnya, yakni yang sangat
menekankan kebebasan beragama.3 Sikap
yang sama tampak dalam penolakan beberapa organisasi masyarakat Kristen
menggabung dalam PPPKI pada akhir rahun 1920-an, yang berkaitan dengan
keanggotan partai yang tidak netral agama dalam federasi itu4 Penjelasan
lain terdaspat dalam kenyataan bahwa sikap politik Kristen di Indonesia
dikembangkan mula-mula dalam lingkungan dan didominasi oleh pihak Belanda
(CEP), yang konservatif.
Para aktivis politik Kristen yang siuman terhadap pergerakan nasional
memilih meninggalkan politik Kristen lalu menggabung dengan para aktivis
“nasional sekuler”. Demikianlah Dr. Ratu Langie secara sadar memilih bergiat
dalam kelompok Kebangsaan, bukanlah dalam lingkungan pengaruh partai Kristen.
Tidak seperti yang banyak dilakukan politisi Kristen kemudian, Ratu Langie
tidak memilih suatu kelompok non-Kristen untuk menjalankan panggilan
Kristennya, melainkan “meninggalkan politik Kristen” dalam arti sikap politiknya
tidak bertolak dari wawasan kekristenan. Model keterlibatan politik para
polotisi Kristen di luar organisasi politik Kristen merupakan pendekatan lain,
yang disarankan antara lain oleh Amir Sjarifuddin.
3. Wawasan Baru Generasi Baru
Amir Sjarifuddin dan angkatannya tergolong generasi kedua dalam pergerakan
nasional (Angkatan 28, yang disebut Abu Hanifah “The Angry Young Men of 1928”),
yang juga merupakan generasi baru dalam perpolitikan Kristen. Generasi ini juga
tergolong baru dari segi visi mengenai kaitan kekristenan dengan pergerakan
nasional Indonesia. Berbeda dengan generasi Moelia atau Ratu Langie, mereka
memperhubungkan iman Kristen dengan sikap nasionalisme melalui pendekatan
oikumenis.5 Dalam
hubungan itu, peranan para pengasuh mereka, seperti Dr. C.L. van Doorn, Mr.
J.M.J Schepper patut dicatat. Demikian pula organisasi-organisasi seperti
Vio-NCSV, CSV op Java, atau Komisi Pemuda NIZB dan organisasi-organisasi pemuda
dan mahasiswa serta wanita lainnya.
Tokoh-tokoh pengasuh para pemuda dan mahasiswa Kristen pada tahun
1920-an dan 30-an tersebut sama berlatar belakang gerakan mahasiswa
Kristen sedunia, yang walaupun secara teologis tergolong eksklusif, dapat
menanggapi pergerakan nasional secara relatif progresif.6 Walaupun
bukan yang pertama, Kraemer dapat dianggap juru bicara utama dalam penyadaran
gereja dan Zending terhadap pergerakan nasional Indonesia. Dan khusus terhadap
pembinaan para pemuda, ”dwisila Bandung”nya7 terbukti
berhasil dalam pembinaan dan mahasiswa Kristen bervisi baru tersebut. Van
Doorn, Schuurman dna Schepper dan para pembina lainnya mempersiapkan generasi
muda Kristen Indonesia dengan pandangan-pandangan yang progresif terhadap
nasionalisme.
Dalam kebangkitan generasi muda Kristen berwawasan baru itu pentinglah
mencatat beberapa faktor penentu. Pertama, adanya para pembina yang berwawasn
progresif, yang mengenal secara baik prinsip-prinsip iman Kristen dan memahami
secara mendalam berbagai masalah sosial-politik yang berkembang dalam
masyarakat, dan yang commited terhadap panggilan pembinaan. Terutama pasangan
suami isteri van Doorn-Sinjders merupakan tokoh-tokoh panutan. Kedua, adanya
jarignan pelayanan yang luas dan terkoordinasi dalam satu wawasan dan kerjasama
dengan rekan-rekan sejabat. Ketiga, adanya pusat-pusat pertemuan dengan program
berkala terencana dengan baik. Peran Student Centre seperti ClubhuisKebon
Sirih 44 sangat penting dengan sarana pendukungnya (ruang pertemuan,
perpustakaan dst). Akhirnya, sifat yang oikumenis dan kebebasan dari ikatan
dengan lembaga gereja tertentu. Sifat ekstra-gereja dan interdenominasi
organisasi-organisasi pelayanan pemuda dan mahasiswa asuhan van Doorn dan
kawan-kawan mendukung perluasan wawasan melalui pergaulan dengan sesama anggota
dari latar belakang yang berbeda.
Sikap nasionalis generasi muda tersebut merupakan bagian dari visi
oikumenis yang berkembang dalam lingkungan mahasiswa Kristen sedunia. Dalam
bentuknya dikalangan pergerakan mahasiswa, visi oikumenis mempertemukan
beberapa gagasan sekaligus: kesungguhan menjalani iman Kristen, perhatian pada
masalah-masalah sosial-politik nasional dan internasional, serta pengembangan
kerjasama antara orang Kristen yang berbeda aliran. Jadi, visi oikumenis bukan
sekadar membawa kepada pembebasan dari batas-batas denominasi gerejanya. Lebih
luas dan dalam lagi adalah menjadi pembebasan dari kekristenan yang membatasi
diri dalam dunia rohani, pembebasan dari batas-batas nasionalisme yang sempit
dan radiakl, tetapi juga pembebasan dari sikap masa bodoh terhadap kenyataan
sosial-politik yang dihadapi bangsanya. Titik tolaknya adalah menjadikan
kekristenan sebagai kewargaan Kerajaan Allah. Dalam kewargaan ini kesetian
kepada kehendak Allah menentukan dan melampaui kesetian terhdap bangsa. Dan
bakti kepada masyarakat, bangsa dan negara dilakukan dalam rangka menegakkan
kehendak Allah di dalam kehidupan nasional. Di bidang politik, prinsip ini
mengarahkan para politisi Kristen pada gagasan teokrasi.
Konferendi WSCF pada tahun 1993 di Citeureup mengungkapkan prinsip-prinsip
dasar sikap oikumenis yang diperkembangkan dalam gerakan mahasiswa Kristen
sedunia ini. Dalam konferensi itu menjadi nyata kedalaman visi oikumenis
mereka. Maka dapat dibayangkan bahwa kegiatan-kegiatan dalam gerakan mahasiswa
Kristen masa itu, misalnya di Clubhuis. Organisasi 44, lebih dari
sekadar “ceramah-ceramah rohani” atau penelaahan Alkitab yang dangkal. Bijbelkring merupakan
pendalaman ajaran Alkitab dalam kaitan dengan kenyataan-kenyataan aktual
masyarakat dengan sikap keterlibatan. Komitmen mereka dalam kehidupan gereja
dan masyarakat, misalnya, dengan mengambil bagian dalam organisasi-organisasi
pergerakan nasional mewujudkan ideal yang dalam kalangan mahasiswa Kristen
Indonesia menjadi slogan “tinggi iman, tinggi ilmu dan tinggi pengabdian”.
Salah saatu ciri penting dalam kalangan pergerakan mahasiswa Kristen masa
itu adalah pandangan teologi yang eksklusif. Pandangan ini memperlebar jarak
dengan pihak Islam, yang akar-akarnya berasal dari permusuhan dalam sejarahh
Eropa dan kemudian dari politik kolonial. Dengan kata lain, dalam visi oikumenis
dan eksklusivisme agama. Disamping faktor kesejahteraan lainnya, mentalitas
eksklusif itu menggiring pihak Kristen ke suatu blok politik tersendiri. Pada
satu pihak sikap ini memperkuat solidaritas dan identits orang Kristen di
Indonesia, tetapi pada segi lain, turut menghambat kerukunan antar umat
beragama dalam Indonesia merdeka.
Sumbangan penting bagi kelahiran generasi berwawasan oikumenis juga datang
dari pendidikna teologi. Sekali lagi Kraemer dan Schuurman bersama tokoh-tokoh
lain, seperti Müller-Krügerdan kemudian Rasker tampil sebagai
penganjur-penganjur di bidang ini. CSV op Java dan pembinaan pemuda
mempersiapkan intelegensia Kristen sebagai kader-kader Kristen di bidang
politik, sedangkan pendidikan teologi khususnya HTS, malahirkan kader-kader
pemimpin gereja. Dengan demikian maka menjelang Indonesia merdeka pihak Kristen
sempat memperoleh kader-kader yang – walaupun bilangannya tak seberapa – sangat
bermakna bagi panggilan kekristenan dalam Indonesia merdeka.
4. Partisipasi Teokratis
Dalam kenyataan sejarahnya, generasi muda yang dibicarakan di atas pada
umumnya tertuju ke dalam dunia politik dalam suatu situasi baru, yakni ketika
kemerdekaan Indonesia telah diproklamirkan. Dalam kenyataan itu mereka
berhadapan dengan masalah-masalah konsolidasi intern Indonesia merdeka dan
konfrontasi dengan pihak Belanda yang mengklaim Indonesia sebagi jajahannya.
Jika dibandingkan dengan generasi Kristen itu tidak banyak berbeda. Tekanan
pada kecenderungan teokrasi, loyalitas pada pemerintah yang berkuasa atau alert terhadap
golongan-golongan non-Kristen sama mewarnai pandangan politik mereka. Dengan
kata lain, terdapat kesinambungan dalam prinsip-prinsip politik Kristen sebelum
dan sesidah perang.
Tetapi perbedaan sikap terhadap kemerdekaan Indonesia juga menandai adanya
suatu discontinuity. Jika diperhubungkan dengan visi oikumenis
generasi baru, maka dukungan terhadap kemerdekaan bangsanya lahir dari
pandangan yang sama sekali baru mengenai sejarah dan kemanusiaan. Intinya
adalah hak setiap bangsa untuk memperkembangkan kehidupan kebangsaannya
masing-masing dalam kemerdekaan demi kesejahteraan umat manusia seluruhnya.
Hanya satu bangsa yang merdeka yang dapat “melayani” kemanusiaan, dan dengan
demikian memuliakan Allah. Dalam titik tolak ini terdapa t motif yang lebih
dalam, yang berhubungan dengan teokrasi: bagsa dan negara sebagai wahana dalam
pelaksanaan kehendak Allah di dalam dunia. Sebab itu pula secara prinipil
kekristenan kritis terhadap nasionalisme dan menekankan ketaatan kepada
kehendak Allah. Agama di atas kebangsaan.
Kecenderungan teokratis ini, dalamarti pemberlakuan kehendak Allah dalam
kehidupan masyarakat, bangsa dan negara, merupakan dasar dari partisipasi
Kristen di bidang politik di Indonesia sejak zaman pergerakan.
Pandangan-pandangan pribadi ataupun pernyataan organisasi politik Kristen pada
zaman pergerakan dan PARKINDO secara resmi pada beberapa tahun pertama
kemerdekaan diwarnai oleh kecenderungan ini. Demikian juga pemikiran politk
yang berkembang di dalam lingkup gereja, baik di Indonesia bagian Timur
(Konferensi Malino, 1947), maupun Gereja Protestan (Sinode Am ke-3 GPI, Bogor,
1948).
Tetapi kecenderungan teokratis ini tidak diperjuangkan dalam bentuk suatu
“negara Kristen”. Mlahan pihak Kristen sangat menekankan kebebasan agama8 dan
menentanggagasan-gagasannegara Islam atau pendasaaran negara pada keyakinan
sesuatu agama (Piagam Jakarta, UUD NIT).9 Kekristenan
sudah lama mengalami pencerahan: negara Kristen adalah kenyataan Abad-abad
Pertengahan Eropa, yang tidak lagi sesuai dengan perkembangan bina negara
(statecraft) modern.
Dalam kaitan dengan kebebasan agama itu, pihak Kristen juga menekankan
demokrasi dan nasionalisme. Program politik dalam negeri PARKINDO pada Kongres
ke-1, tahun 1945, menyatakan tekad “meresapkan arti kedaulatan rakjat jang
sebenar-benarnja dan seloeas-loeasnja” di samping “mempertebalkan rasa
kebangsaan dan memperkokoh rasa persatoean, memberantas rasa kedaerahan”.
Demikianlah dalam politik Kristen Indonesia, prinsip teokrasi dipadukan dengan
asas-asas kebebasan beragama, nasionalisme dan demokrasi. Pihak Kristen
mendukung pemerintah yang mempertahankan asas-asas itu mempertahankan asas-asas
itu, sebagaimana yang tertuang dalam UUD 1945.10 Berbeda
dengan dukungan terhadap pemerintah kolonial sebelumnya, yang berdasarkan
penerimaan gagasan perwalian, dukungan kepada pemerintah Indonesia merdeka
berkaitan dengan asas-asas tersebut. Sikap ini “kebetulan” cocok dengan
pemahaman Kristen yang umum masa itu terhadap pemerintah (Rm. 13:1-7).
Kekuatiran terhadap adanya usaha golongan politik yang menghendaki negara Islam
atau yang menentang kebebasan (ber)-agama memperkuat “ketaatan” pihak Kristen
kepada pemerintah.
Sebagai catatan akhir mengenai pokok ini, satu dua hal dapat dikemukakan
mengenai gereja dan politik. Menjelang kemerdekaan Indonesia, pihak gereja
mulai sadar terhadap panggilan politik Kristen di Indonesia. Tetapi gereja juga
sadar mengenai batas-batas dalampanggilan itusupaya greja tidak menjadi
kelompok politik. Peran gereja adalah menyatakan kasih, penghakiman dan
kehendak Tuhandalam kehidupan nasional. Dalam bingkai itu gereja memberi
tuntunan kepada warganya yang menjalankan peran politik, supaya dapat
melaksanakannya dalam kesetiaan kepada Tuhan. Maka dalam arti yang dalam dan
luas, partai politik Kristen dianggap sebagai salah satu wujud khusus dari
pelayanan gereja terhadap dunia. Dalam pengertian ini terungkap salah satu
dimensi dari temuan gerakan oikumene, yaitu pelayanan sosial politik gereja.11
5. Model-model Keterlibatan Kristen
Sejarah kekristenan dan nasionalisme Indoensia dalam kurun masa pergerakan
nasional menampilkan tokoh-tokoh Krisen, baik orang asingmaupun orang
Indonesia,yang telah menyumbangkan karya hidupnya bagi kekristenan di
Indonesia. Yang hendak dicatat secara singkat dalam evaluasi ini adalah beberapa
orang dari mereka yang berperan penting dalam perjumpaan pergerakan nasonalisme
dengan kekristenan di Indonesia, untuk melihat model-model keterlibatan orang
Kristen dalam bidang politik.
Sebagaimana digambarkan dalam studi ini, Dr.T.S.G. Moelia merupakan
prototipe dari politikus Kristen Indonesia angkatan pertama. Moelia berakar
kuat dalam lingkungan Zending dan sukunya, konservatif dalam sikap politik
terhadap kolonialisme. Baru kemudian dia mengisi kemerdekaan Indonesia dengan
pelayanan di bidang pendidikan dan kegerejaan. Rekan seangkatannya dan yang
juga pernah menjadi anggota Volksraad, Dr.G.S.S.J. Ratu Langie, lebih kritis
terhadap nasionalisme, tetapi berorientasi kedaerahan. Tetapi Ratu Langie tidak
dapat digolongkan sebagai politikus Kristen, dalam arti pembawa aspirasi
politik berdasarkan prinsip-prinsip Kristen secara formal. Baginya, agama tidak
perlu dikedepankan dalam percaturan politik, demi kebersamaan dengan pihak
lain. Dua tokoh nasionalis lainnya, Mr. A.A. Maramis dan AJ. Patty (yang dikabarkan
masuk Islam kemudian) juga memperlihatkna posisi itu. Stokoh lain dari generasi
ini, Mr. J. Latuharhary, sama “sekuler” dan kedaerahan seperti Ratu Langie dan
Patty, tetapi kemudian (mennurut Yamin) menyuarakan aspirasi pihak Kristendalam
PPKI dengan menolak Piagam Jakarta, pembentukan Kementerian Agama, dan
bagian-bagian UUD (1945) yang bernuansa Islam.
Jadi pada tokoh-tokoh ini ditemukan model-model keterlibatan orang Kristen
dalam politik: yang berpolitik melalui wadah politik Kristen (Moelia), dan yang
tidak bertolak dari pemahaman atau lembaga politik Kristen dan menjalankan
politik secara “sekuler” (Ratu Langie, Patty, Maramis, Latuharhary).
Generasi berikunya diwakili oleh tokoh-tokoh muda yang lebih progresif. Mr.
Mir Sjarifuddin menjalankan panggilan politiknya di luar partai Kristen, dan
kemudian terjebak dalam kemelut revolusi. Amir dapat dipandang sebagai
prototipe dari model yang lainlagi dari keterlibatanorang Kristen dalam bidang
politik: politisi Kristen yang bergerak dalam partai politik yang tidak berasas
agama Kristen.
Generasi berikutnya diwakili oleh tokoh-tokoh muda yang lebih progresif.
Mr. Amir Sjarifuddin menjalankan panggilan politiknya di luar partai Kristen,
dan kemudian terjebak dalam kemelut revolusi. Amir dapat dipandang sebagai
prototipe dari model yang lain lagi dari keterlibatan orang Kristen dalam
bidang politik: politisi Kristen yang bergerak dalam partai politik yang tidak
berasas agama Kristen.
Berbeda dengan Amir, Dr.J. Leimena tidak menonjol dalam politik masa
pergerakan, tetapi sama terbna dalam lingkungan pemuda dan mahasiswa Kristen
yang berwawasan nasionalis. Leimena juga berbeda dengan Amir dalam hal pilihan
golongan politik. Seperti Moelila, Leimena menemukan tempatnya dalam kelompok
politik Krisetne dan kemudian menjadi salah seorang tokoh utamanya. Dalam
rentang masa yang dibicarakan dalam studi ini, pemikiran politik Leimena belum
menonjol dibandingkan dengan masa kemudian.
Peran pemikir politik itu dijalankan oleh tokoh politik Kristen lainnya,
Ds. B. Probowinoto (dan kemudian Notohamidjojo), yang berlatar belakang
pendidikan teologi. Dia tampil sebagai pemimpin dzn pemikir politik yang
memberi dasar-dasar utama dalam pembentukan Partai Kristen Indonesia.
Model-model keterlibatan orang Kristen dalam politik di atas dapat
dibedakan atas mereka yang bertolak dari keyakinan atau prinsip-prinsip politik
Kriseten dan menjalankannya politiknya di dalam atau di luar partai Kristen,
dan mereka yang “meninggalkan” kekristenan dalam berpolitik. Dengan kata lain,
tidak setiap tokoh atau aktivis politik yang beragama Kristen otomatis menjadi
“wakil” pihak Kristen.
6. Nasionalisme Gerejawi
Perhadapan kekristenan dengan nasionalisme Indonesia pada umumnya, dan
pergerakan nasional Indonesia pada khususnya, tidak hanya membangkitkan
kesadaran dan sikap politik orang Kristen Indonesia. Pengaruh nasionalisme yang
lebih luas dan dalam lagi, dan menjadi bingkai dari kesadaran dan sikap politik
ini, tampak sebagai faktor penentu dalam penemuan bentuk dan arah gerakan oikumene
di Indonesia.
Nasionalisme dan gerakan oikumene di Indonesia mewujud dalam gerakan
pelembagaan jemaat-jemaat Zending menjadi gereja-gereja yang berdiri sendiridan
dalam gerakan kesatuan gereja di Indonesia. Kesadaran dan semangat nasionalisme
orang Kristen Indonesia mendorong kalangan Zending guntuk mendirikan
gereja-gereja yang berdiri sendiri. Semangat dan kesadaran yang sama, dalam
kerangka gerakan oikumene, mendorong para pemimpin gereja, termasuk tokoh-tokoh
Indonesia, untuk mengupayakan wadah keesaan gereja.
Dalam gerakan kemandirian gereja, baik berupa pendewasaan jemaat-jemaat
Zending maupun reorganisasi Gereja Protestan, peranan pihak Zending atau
pemuka-pemuka Kristen Belanda (dalam Gereja Protestan) cukup menonjol, sehingga
terdapat kesan bahwa proses ini bergerak dari atas ke bawah. Pemahaman yang
lebih cermat menunjukan bahwa pada satu pihak terdapat kesadaran kalangan
Zending untuk mendewasakan jemaat-jemaat, sedangkan pada lain pihak, warga
jemaat Indonesia menuntut hak mereka untuk mengatur sendiri kehidupan
gerejanya. Gerakan-gerakan di kalangan orang Kristen Batak dan di Minahasa
memperlihatkan adanya keinginan itu. Tetapi perlu dicatat bahwa perkembangan
pekabaran Injil di Indonesia tidak sama pada setiap daerah atau setiap lembaga.
Ketika di tempat lain sudah siap untuk mandiri, di tempat-tempat lainnya
pekabaran Injil baru mulai dirintis. Yang meonjol adalah kesamaan waktu antara
proses kemandiri dengan pergerakan nasional, dan adanya indikasi bahwa pengaruh
gagasan-gagasan nasionalisme bergema dalam proses kemandirian gereja-gereja di
Indonesia. Dalam proses itu pula gerakan kemandirian gereja sejajar dengan
emansipasi politik dalam pergerakan nasional (mencapai Indonesia merdeka),
sedangkan gerakan keesaan gereja sejajar pula dengan perjuangan mencapai
kesatuan dan persatuan nasional.
Tetapi kesejajaran itu tidak benar-benar sama, seolah-olah perjuangan
kemerdekaan nasional dalam pergerakan politik diterjemahkan ke dalam gereja
menjadi perjuangan kemandirian dan keesaan. Walaupun gagasan-gagasannya tampak
sejajar, misalnya kemerdekaan dan kemandirian atau perwalian dengan guru
kandiwasan serta kesatuan dengan keesaan, tetap ada perbedaan yang
mendasar antara pergerakan nasional sebagai pergerakan politik (karena itu
dijalankan dengan berbagai sarana dan cara politik) dengan gerakan kemandirian
gereja kemandirian gereja sebagai gerakan gerejawi dengan cara, sarana dan
kaidah-kaidahnya sendiri. Misalnya, tetap ada ikatan antara gereja-gereja di
Indonesi dengan gereja-gereja “induk” (kemudian menjadi mitra), sesuai hakikat
katolisitas Gereja. Dalam hubungan itu,Kwitang-structuur dan Kwitang-accord merupakan
model hubungan gerejawi.
Salah satu faktor penting dalam gerakan kemandirian gereja adalah pengadaan
dan pembinaan tenaga-tenaga pelayan Indonesia. Sejalan dengan kebutuhan itu,
diselenggarakan pendidikan teologi di berbagai tempat dan kemudian HTS (1934)
sebagai puncaknya. Walaupun kehadiran lembaga pendidikan teologi tinggi ini
seolah-olah terlambat dan dengan jumlah lulusannya sampai pendudukan Jepang hanya
beberapa puluh orang. HTS berfungsi menentukan dalam pengalihan kepemimpinan
gereja dan dalam pemenuhan kebutuhan staf pengajar di sekolah itu kemudian.
Segi penting pendidikan teologi masa itu, di HTS Batavia dan di Bale Wjata
Malang, adalah kesinambungan antara segi pengetahuan ilmiah dengan kesiapan
praktis untuk menjadi pelayan gereja. Dengan kata lain, dalam pendidikan masa
itu mutu para calon pelayanan itu diutamakan.12
Kemandirian gereja-gereja di Indonesia kebanyakan menampilkan pengelompokan
suku di samping pengelompokan denominasi. Pengelompokan suku itu terjadi karena
badan-badan pekabaran Injil, antara lain karena pegaturan pemerintah, bekerja
di daerah-daerah suku tertentudan kemudian pengorganisasiannya (juga dalam
reorganisasi Gereja Protestan) mengikuti kenyataan alamiah tersebut. Kenyataan
ini merupakan peluang dan tentangan tersendiri bagi kekristenan Indonesia,
terutama di dalam gerakan keesaan gereja.
Bersama dengan gerakan kemandirian, gerakan keesaan gereja-gereja di
Indonesia berlangsung semasa dengan pergerakan nasional Indonesia, khususnya
pada tahap ketika pergerakan nasional memasuki pergerakan kesadaran kesebangsan
suku-suku bangsa Indonesia. Di dalam gerakan keesaan gereja, ketegangan antara
kesukuan (kemandirian gereja suku) dengan kebangsaan (pembentukan gereja yang
esa) diperdamaikan dengan pembentukan sebuah dewan gereja-gereja,
DGI sebagai suatu sarana mencapai tujuan gerakan. Bagaimana proses selanjutnya,
akan ditentukan oleh kenyataan-kenyataan sejarah masanya. Tetapi dengan DGI
sudah jelas wawasan nasionalisme dalam kekristenan di Indonesia, bahwa bukan
suku masing-masing melainkan bangsa Indonesia seluruhnya yang menjadi konteks
kehadiran Gereja Tuhan di Indonesia. Keseluruhan pelaksanaan panggilan gereja,
khususnya di bidang pekabaran Injil. Karena itu pula maka peran pihak Zending
pada tahap awalnya sangat menonjol. Tetapi karena didesak kenyataan
sosial-politik maka terjadi pergeseran13 “segi
Belanda” ke “segi Indonesia” (Boland) atau dari pemahaman yang missiocentrisch
ke ecclesiocentrisch (Hoekendijk), dan bukan lagi kepentingan Zending yang
menentukan, melainkan panggilan gereja keseluruhannya terhadap kenyataan
Indonesia sebagai satu bangsa yang merdeka.Pergeseran itu terungkap dalam
mtujuan gerakan keesaan gereja-gereja di Indonesia, yakni membentuk Gereja
Kristen yang esa di Indonesia.14 Pergeseran
ini pula menandai makin kuatnya kesadaran nasionalisme dalam gerakan keesaan
tersebut, bahwa gereja-gereja di Indonesi a dipanggil menjadi satu gereja
Kristus dari dan untuk bangsa Indonesia.
Unsur-unsur nasionalisme dalam gerakan oikumene di Indonesia cukup
menentukan sehingga dapat dinyatakan bahwa jawaban kekristenan terhadap
nasionalisme Indonesia terungkap dalam gerakan oikumene itu, disamping dalam
bentuk sikap nasionalisme politik Kristen. Jawaban itu terungkap dalam
pergeseran kepemimpinan gereja dari pihak Zending kepada pihak Indonesia, dan
dalam cita-cita pembentukan gereja yang esa di Indonesia. Pada dasar
pengungkapan-pengungkapan ini dapat ditemukan kenyataan bahwa gereja-gereja di
Indonesia menunaikan penggilannya dengan menjadi Gereja Indonesia dalam serba
kepelbagaiannya. Dengan kata lain, transformasi nasionalisme di dalam gereja di
Indonesia mengarahkan kekristenan pada konteksnya. Akan sangat bermanfaat jika
dilakukan suatu kajian tersendiri mengenai perkembangan lanjut proses
kotekstualisasi itu dalam alam Indonesia merdeka sampai kini.
1 Neil
,mengutip tujuan Ordo Yesuit: “to hasten the conversation of the heathen”.
Stephen Neill, A History of Christian Missions (Penguin Books, R1973),
hlm. 180.
2 Kebangketan
Sarekat Islam sebagai gerakan massa, khususnya di pulau Jawa, sempat
menggoncangkan masyarakat Eropa, dan pemogokan-pemogokan kaum buruh radikal
pada awal tahun 1920-an serta pemberontakan PKI pada tahun 1926/1927 memberi
citra buruk pergerakan nasional di mata para pendamba keamanan dan
ketertiban.
3 Melihat
perkembangan pemikiran politik Kristen dalam Indonesia merdeka, cukup beralasan
untuk menyatakan bahwa para politisi Kristen mengidap “minority complex”.
4 Mungkin
pula dapat dikemukakan bahwa sikap pro pemerintah para aktivis politik Kristen
berkaitan dengan kedudukan sebagai pekerja (pegawi, tentara) pemerintah. Para
pemuka nasionalis umumnya bekerja di luar ketergantungan kepada pemerintah:
pengacara, wartawan, pengusaha dst.
5 Peberdaan
visi dan ideologi seperti ini di kalangan umat Islam di Indonesia menimbulkan
konflik antara “kaum tua” dan “kaum muda”. Konflik seperti itu tidak berlangsung
dalam kalangan Kristen. Memasuki Indonesia merdeak, kedua golongan bersatu
dalam PARKINDO.
6 Eksklusif
di bidang pemikiran teologi di sini dimaksudkan pandangan yang memperhadapkan
iman Kristen sebagai kebenaran tunggal, sebagaimana terungkap dalam pandangan
the uniqueness and finality of Jesus Christ dari Kraemer dan Visser’t Hooft. Sikap
ini menutup pintu bagi dialog dan perjumpaan yang dinamis dengan para penganut
agama lain.
7 Yang
dimaksud “dwisila Bandung” kraemer adalah pola pembinaan pemuda Kristen dengan
dua pendekatan, sebagaimana yang dicetuskannya pada koferensi pemuda Kristen di
Bandung pada tahun 1926: “Memperhubungkan semua golongan pemuda Kristen tanpa
pengecualian, dan membentuk suatu perhimpunan penuda Kristen supaya sebagai
orang Kristen dapat melayani negeri dan bangsanya sendiri melalui suatu
organisasi tersendiri”.
8 Dalam
kerangka iman Kristen, kebebasan beragama merupakan prasyarat bagi kedewasaan
manusia memilih dan memperkembangkan nilai-nilai dasar kehidupan yang
diyakininya. Pembatasan terhadap kebebasan itu, apapun dasarnya, mengurangi hak
dan martabat manusia. Kebebasan agama memungkinkan suatu pertobatna sejati, di
mana orang secara pribadi dan dalam kebebasan menjawab sabda Tuhan.
9 Dalam
pancasila sebagai dasar negara Republik Indonesia, rumusan sial pertama,
Ketuhanan Yang Maha Esa, bukanlah pernyataan bahwa negara Indonesia berdasar
agama. Pemahaman rumusan ini perlu memprehatikan sejarah penemuan, penyusunan
dan penetapan Pancasila sebagai dasar negara Indonesia. Rumusan ini merupakan
penolakan sekaligus pada suatu negara sekuler dan pada suatu negara agama
(Islam). Penolakan Moelia terhadap “dasar keagamaan” dalam UUD agaknya
berhubungan dengan kemungkinan dasar itumenjadi peluang bagi pembentukan negara
agama.
10 Asas-asas
kebebasan beragama, nasionalisme dan demokrasi dalam UUD 1945 terkandung dalam
Pembukaan (alinea ke-4, yakni Pancasila) dan dalma batang tubuh (kebebasan
beragama: pasal 29; nasionalisme: pasal 1; dan demokrasi: pasa1:2, pasal
26-28).
11 Dapat
dicatat bahwa dalam kalangan Kristen di Belanda sesudah Perang Dunia II timbul
penolakan terhadap partai konfesional (gerakan “Doorbraak”). Tetapi di
Indonesia, pada masa dmeokrasi liberal (tahun 1950-an) hubungan antara
gereja-gereja dengan PARKINDO cukup erat. Lihat PARKINDO” dan Gereja-gereja di
Indonesia (DGI)” dalam J.C.T. Simorangkir, Manuscript Sejarah Parkindo
(Jakarta: Yayasan Komunikasi, 1989), hlm. 310 dyb; lihat juga Th. Sumartana,
“Beberapa persoalan dan Gagasan tentang “Gereja dan Masyarakat” sekitar
Tahun-tahun 1950-an”, dalam S.Wismoady Wahono dkk (eds), Tabah Melangkah
(Jakarta: STT Jakarta, 1984), hlm. 135-159.
12 Berbeda
dengan sistem pendidikan teologi yang banyak dijalankan sekarang, pada masa itu
HTS (dan Bale Wyata) menghasilkan pelayan yang “sudah jadi”, bahkan diurapi
sebelum diserahkan kepada gereja pengutusny. Segi-segi yang kini dalam
lingkungan PERSETIA dikenal sebagai academic Formation, practical formation,
and spiritul formation telah dijalankan dengan relatif sukses pada thaun
1930-an itu.
13 Dengan
sengaja dipakai kata “pergeseran”, bukan “peralihan”, untuk menghindarkan kesan
mekaistik dalam proses perubahan tersebut.
14 Diskusi
mengenai “gereja yang esa” dalam sejarah DGI merupakan suatu gagasan yang masih
terus diperkembangkan. Tetapi cukup jelas bahwa dalam proses pembetnukannya terdapat
pandangan-pandangan yang menghendaki “federasi” gereja-gereja (keesaan jeruk
atau anggur) atau satu gereja secara nasional (keesaan mangga).