LINDUNGI
KEBEBASAN BERSERIKAT
Pemerintah melalui Menko Politik, Hukum, dan
Keamanan menyatakan niatnya merevisi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1985 tentang
Organisasi Kemasyarakatan.
Niat itu tampaknya dilatarbelakangi oleh keinginan pemerintah untuk
meningkatkan kewenangannya guna mengawasi organisasi kemasyarakatan (ormas) dan
bilamana perlu membekukan, bahkan membubarkan, ormas-ormas yang dinilai
mengganggu ketertiban umum.
Pada masa lalu UU Ormas digunakan oleh rezim Orde Baru untuk membunuh
hak atas kebebasan berserikat. Karena itu, revisi UU Ormas itu haruslah
diarahkan untuk memperkuat perlindungan hak atas kebebasan berserikat dan
hak-hak fundamental yang berkaitan dengan itu, yakni hak atas kebebasan
berkumpul dan kebebasan berekspresi.
Manusia pada hakikatnya merupakan makhluk sosial yang berarti ia
senantiasa berkehendak untuk hidup berkelompok. Sejak zaman dulu manusia hidup
berkelompok guna melindungi dan memenuhi kebutuhan hidupnya. Dalam kehidupan
berkelompok itulah manusia saling mengomunikasikan gagasan dan menyusun aksi
bersama untuk memenuhi kebutuhan mereka. Kepentingan atau kebutuhan bersama
melahirkan gagasan untuk melindungi, memperjuangkan pemenuhan kebutuhan bersama
melalui wadah organisasi.
Dalam konteks kebutuhan manusia sebagai makhluk sosial itulah lahir
konsep hak atas kebebasan berserikat. Hak atas kebebasan berserikat memampukan
tiap-tiap manusia untuk merumuskan, mengekspresikan, dan memperjuangkan hak dan
kepentingan bersama dalam berbagai lapangan kehidupan.
Dengan demikian, harus dikatakan hak atas kebebasan berserikat itu
merupakan hak yang melekat pada manusia karena harkat, martabat, dan kodratnya.
Ia telah lebih dahulu ada daripada negara.
Tiga kebebasan
dasar
Hak atas kebebasan berserikat, hak atas kebebasan berkumpul, dan hak
atas kebebasan berekspresi merupakan tiga kebebasan dasar yang sangat fundamental
bagi berlangsungnya sistem politik yang demokratis. Sungguh tidak terbayangkan
suatu sistem politik demokratis dapat berjalan tanpa kehadiran tiga kebebasan
dasar tersebut. Tanpa adanya kebebasan berekspresi, kebebasan berkumpul, dan
kebebasan berorganisasi, mustahil rakyat dapat menjalankan hak- hak politiknya,
antara lain hak untuk turut memilih dan hak untuk serta dalam pemerintahan.
Tanpa adanya tiga kebebasan dasar itu, mustahil pula bagi rakyat untuk
memperjuangkan hak dan kepentingannya di bidang ekonomi, sosial, dan budaya.
Beberapa dasawarsa yang lalu munculnya rezim pemerintahan
Korporatis-Otoritarian di sejumlah negara, termasuk di Indonesia, selalu
diawali dengan memberangus atau menghapuskan tiga kebebasan dasar tersebut
serentak atau secara bertahap. Masih segar dalam ingatan kita bagaimana rezim
Korporatis-Otoritarian Orde Baru, melalui UU Pers, UU Parpol dan Golkar, serta
UU Organisasi Kemasyarakatan membunuh tiga kebebasan dasar, yakni kebebasan
berekspresi, kebebasan berkumpul, dan kebebasan berserikat.
Pada tahun 1999
gerakan reformasi nasional berhasil menumbangkan tembok-tembok hukum
otoritarian Orde Baru. Kecuali UU Ormas, berbagai UU politik otoritarian dapat
dirobohkan digantikan berbagai UU politik demokratis yang kita nikmati sekarang.
Tidak pernah ada penjelasan dari pemerintah dan DPR mengapa UU Ormas karya Orde
Baru itu masih dipertahankan.
Padahal, sangat nyata UU Ormas (UU Nomor 8 Tahun 1985) mengandung muatan
norma yang sangat antidemokrasi: (1) Pancasila sebagai asas tunggal, yang
berarti penolakan terhadap pluralitas kultural (Pasal 2 Ayat 1); (2) Keharusan
organisasi kemasyarakatan untuk berhimpun dalam satu wadah pembinaan (wadah
tunggal), yang berarti penolakan terhadap pluralitas kelembagaan yang merupakan
salah satu pilar demokrasi; (3) Penundukan ormas pada pengawasan dan pembinaan
oleh pemerintah qq Kementerian Dalam Negeri; (4) Kewenangan Pemerintah untuk
membekukan dan membubarkan Organisasi Kemasyarakatan.
Sebelum Rancangan Undang-Undang Ormas diundangkan pada tahun 1985,
Koalisi Ornop, yakni YLBHI, Walhi, dan Infid, menentang keras dimasukkannya
pasal-pasal draconian yang antidemokrasi tersebut. Namun, rezim otoritarian
Orde Baru menggagalkan usaha Koalisi Ornop tersebut. Pasal-pasal draconian
antidemokrasi terus dipertahankan dalam UU itu.
Lebih jauh lagi,
Menteri Dalam Negeri pada saat itu merencanakan untuk mengeluarkan Peraturan
Menteri Dalam Negeri yang hendak mensyaratkan pendaftaran sebagai syarat bagi
diakuinya keberadaan ormas oleh pemerintah. Mandatory registration itu bisa
disalahgunakan oleh penguasa untuk menolak pendaftaran ormas-ormas yang kritis
terhadap penguasa, yang dengan demikian pemerintah mempunyai alasan untuk
melarang atau membubarkannya.
Karena itu, Koalisi Ornop pada saat itu mendesak Menteri Dalam Negeri
untuk membatalkan rencana mandatory registration tersebut. Koalisi Ornop
menyatakan pendaftaran ormas merupakan proses administrasi dalam rangka
pelayanan pemerintah kepada ormas, dan bukan syarat yang menentukan eksistensi
ormas.
Terlalu pagi
Sekarang ini berkembang wacana yang mendesak pemerintah untuk
membubarkan ormas-ormas yang diduga acap terlibat dalam tindakan kekerasan dan
anarki. Kita semua warga bangsa setuju bahwa kepada para pelaku tindakan
kekerasan dan anarki yang jelas mengancam dan merugikan kepentingan umum harus
dikenai tindakan hukum yang setimpal. Di situlah tugas aparat penegak hukum,
seperti polisi, jaksa, dan hakim, untuk menjalankan tugasnya sesuai dengan
hukum dan keadilan. Tapi mengapa kekerasan dan anarki terus berulang terjadi di
berbagai tempat, dan sepertinya polisi tak berdaya untuk mengatasinya? Ada apa
dengan para polisi kita? Di mana mereka ketika kekerasan itu terjadi?
Saya rasa terlalu pagi bagi kita berbicara pembekuan dan pembubaran
ormas yang diduga terlibat melakukan kekerasan dan anarki tanpa terlebih dahulu
kita audit dan evaluasi kinerja polisi, khususnya dalam menangani kasus-kasus
kekerasan yang diduga melibatkan ormas-ormas tersebut.
Revisi UU Ormas
semestinya diarahkan, pertama, menghapuskan ketentuan-ketentuan yang
antidemokrasi tersebut di atas; kedua, memperkuat perlindungan tiga kebebasan
dasar, yaitu hak atas kebebasan berkumpul, hak atas kebebasan berserikat, hak
atas kebebasan berekspresi; ketiga, memperkuat asas due process of law, yang
berarti tindakan punitif seperti, membekukan, membubarkan ormas diserahkan
kepada pengadilan, dalam hal itu pemerintah melalui Jaksa Agung mengajukan
tuntutan pembubaran ke pengadilan dan kepada ormas diberikan hak bela diri;
keempat, semua prosedur administrasi ormas, seperti pendaftaran tidak boleh
menjadi syarat bagi eksistensi ormas.
Dengan demikian, arah revisi Undang-Undang Ormas sejalan dengan
cita-cita Negara Hukum Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar