Jumat, 09 Maret 2012

KEKERISTENAN DAN KOLONIALISME DI INDONESIA


Kekristenan dan Kolonialisme di Indonesia



BAB I

KEKRISTENAN DAN KOLONIALISME DI INDONESIA

1.1        Gereja di bawah Pemerintah Asing 
1.1.1        Gereja Katolik Zaman Portugis 
Ada dugaan bahwa kekristenan Asia Lama telah sampai ke Indonesia pada abad ke-7, tetapi tidak bertahan hidup dalam masa selanjutnya.[1] Sebab itu kedatangan bagsa-bangsa Barat, khususnya Portugis dan Spanyol , pada awal abad ke-16 membuka babakan yang baru sama sekali. Kekristenan Katolik, dengan sistem dukungan pemerintah (padroado) Kerajaan Spanyol dan Kerajaan Portugis, disebarkan mengikuti pusat-pusat perdagangan (emportum) di Asia: Goa (India), Malaka, Maluku dan Macao, sampai ke Jepang. Malaka, yang merupakan bandar dagang utama pada jalur pelayaran ke pulau Maluku (sumber rempah-rempah), ditaklukan Portugis pada tahun 1511. 
Seperti yang digambarkan Muller-Kruger, Indonesia yang dijumpai bangsa-bangsa Barat pada abad ke-16 sedang mengalami perubahan-perubahan penting. Peta politik dan peta keagaman sedang berubah: kerajaan-kerajaan Hindu runtuh digantikan oleh bangkitnya kesultanan-kesultanan Islam di berbagai tempat.[2] 
Dalam penyebaran agama Kristen itu, peranan para imam dari ordo Fransiskan dan kemudian ordo Yesuit sangat penting. Para rahib dari ordo-ordo ini melakukan pengkristenan secara lebih serius daripada pendahulu mereka, yang lebih mengutamakan kepentingan politik dan perdagangan. Ordo Yesuit membawa pula sikap Kontra Reformasi, sehingga permusuhan antara pihak Katolik dengan pihak Protestan dilanjutkan di Asia. Dari antara mereka terkenal tokoh-tokoh penginjil seperti Fransiscus Xaverius (1506-1552), sang rasul Asia itu, Mateo Ricci (1552-1610), yang bekerja di Cina dan Roberto de Nobili (1577-1656) di India. Fransiscus Xaverius mengkristenkan banyak penduduk asli di kepulauan Maluku. Pekerjaan Xaverius banyak berhasil karena pendekatannya menggabungkan pengkristenan masal dengan pembinaan, pelayanan diakonia dan ergaulan yang akrab dengan penduduk. 
Kekristenan (Katolik) di Indonesia pada zaman Portugis terutama terdapat di Indonesia Timur (Maluku, Sulawesi Utara dan Nusa Tenggra), yang pada mulanya merupakan jemaat-jemaat benteng. Kemudan terdapat kekristenan dalam masyarakat pribumi di Indonesia bagian timur. Orang Kristen terdiri atas orang Eropa, orang Mardika (orang Asia atau Indonesia yang bukan penduduk setempat, umumnya bekas budak) dan penduduk pribumi. Jumlahnya pada awal abad ke-16 +/16.000. Selain kekurangan tenaga pelayan untuk melayani orang Kristen yang lahir dari pembaptisan masal itu, gereja diganggu oleh pertikaian politik Portugis dengan musuh-musuhnya (pihak Islam dan kemudian pihak Protestan). 
Orang-orang yang masuk Kristen dan bermukim di sekitar benteng masuk ke dalam lingkungan kehidupan asing (Barat), sedangkan yang tetap dalam masyarakatnya memasuki proses pengembangan kekristenan dengan campuran unsur-unsur kepercayaan pra-Kristen. Percampuran itu membuat kekristenan di Indonesia timur itu “kebal” terhadap agama Islam dan bahkan di Maluku Tengah “tiba pada suatu ko-eksistensi yang rukun dan damai”.[3] Akan tetapi pemribumian di Maluku itu dan di kantong kantong Kristen lainnyakemudian tidak memunculkan pusat-pusat kekuasaan pribumi yang berpengaruh. Berbeda dengan agama Islam, sengan kesultanan-kesultanannya seperti Aceh, Banten atau Ternate, agama Kristen tidak menjadi anutan kekuasaaan pribum sehingga tetap bercitra agama para penguasa asing (bangsa-bangsa Eropa), tidak mendapat cap agama pribumi. Lagipula karena bangsa-bangsa Eropa adalah musuh-0musuh kerajaan Islam di Nusantara dalam memperebutkan monopoli perdagangan di Nusantara maka agama Kristen menjadi identitas musuh dan sekutu-sekutu pribuminya. 
1.1.2        Gereja Calvinis VOC
Kemenangan Belanda atas Portugis diikuti pengalihan jemaat-jemaat Katolik Indonesia menjadi jemaat-jemaat Protestan[4], kecuali pada beberapa tempat yang tidak bernilai ekonomis bagi Belanda, seperti Nusa Tenggara. Ketika diambil alih dari Portugis, orang Kristen berjumlah +/_16.000. Jumlah ini meningkat menjadi +/_33.000 orang pada tahun 1700, tetapi anggota sidi hanya +/_1.600 orang (5%). Kekristenan di bawah VOC Belanda tidak lebih mengutamakan urusan perdagangannyadaripada pemeliharaan jemaat-jemaat atau penyebaran injil. Malahan kekristenan dikorbankan demi kepentingan perdagangan. Muller-Kruger mencatat adanya piagam perjanjian dengan pemerintah setempat yang memuat ketentuan-ketentuan yang merugikan kekristenan (Banda 1602, Ternate 1607, plakat Jepang).[5] 
Di Maluku Tengah agama Kristen menjadi gereja suku dalam arti mengganti agama suku pada permukaan dan menjadi anutan formal masyarakat secara umum, sedangkan isinya merupakan percampuran dengan kepercayaan lama. Cooley menilai bahwa pada masa itu belum berlangsung suatu pertemuan yang mendasar (konfrontasi teologis) antara iman Kristen dengan agama suku: 
Konfrontasi antara agama Kristen dengan agama asli berlangsung selama tiga abad, dan dipengaruhi oleh sejumlah faktor yang perlu diuraikan panjang lebar untuk menjelaskan hasil pergumulan itu. Pertama, agama Kristen dan gereja dalam perjuangan itu tidak dilengkapi dengan baik, dalam arti bahwa hanya sedikit perhatian yang dicurahkan kepada jemaat-jemaat pedesaan di Maluku, sampai setelah tahun 1815, sehingga pendidikan dan pengawasan atas iman dan kehidupan kristen di desa-desa dilakukan oleh para guru yang tidak berpendidikan khusus itu. Konflik yang terjadi tidak begitu tajam, karena masing-masing agama menggunakan bahasa tersendiri. Agama Kristen menggunakan bahasa Melayu, agama asli menggunakan bahasa pribumi. Akibatnya, tidak terjadi konfrontasi yang berbobot teologis yang bersifat menentukan dalam bidang kepercayaan, walaupun banyak praktek dari agama asli telah melemah atau melenyap. Ketiga, karena sebab-sebab politis, menjadi Kristen berarti memperoleh status. […] Menjadi Kristen juga berarti lebih dekat kepada orang asing, bahkan menjadi sekutu mereka. Status ini memberikan keuntungan tertentu kepada kelompok yang menjadi Kristen, terutama pimpinan mereka. Hal ini merupakan unsur-unsur penting dalam pola peralihan orang Ambon menjadi Kristen dan memperkuat kecenderungan untuk memandang [kekristenan] secara lahiriah, bukannya menerima itu sebagai faktor perombakan dan pengarahan baru secara menyeluruh dalam hal kepercayaan dan cara hidup.[6] 
Meskipun begitu, seperti telah dikemukakan sebelumnya, agama Ambon tersebut menjadi daya tangkal terhadap pengaruh pengislaman. Dan betapapun keadaannya, telah melangkah setindak lebih maju dari pola kekristenan benteng yang umum berlaku pada masa itu di pusat-pusat perdagangan. Jadi, agaknya diperlukan penilaian yang baru terhadap kenyataan  agama Ambon tersebut. Penilaian Cooley, sebagaimana yang dikutip di atas, agaknya bertolak dari ideal masa kini. Kenyatan yang berlaku di Maluku Tengah pada masa itu merupakan proses yang normal dalam hubungan dengan faktor-faktor teologis, sosial, politik yang terkait. Tanpa disadari atau disengajakan oleh pembawa injil atau oleh orang Kristen setempat, berlangsung kontekstualisasi kekristenan, dalam arti Injil disambut ke dalam sistem keagamaan dan kebudayaan setempat. Selain berhasil membendung perluasan Islam, agama Ambon tersebut berhasil pula bertahan dan berakar kuat dalam masyarakat, sehingga tetap bertahan, walaupun tidak ada pembinaan dari para pejabat gereja atau pihak pekabar injil. 
1.1.3        Gereja negeri Pemerintah Hindia Belanda
Pembinaan gereja di Indonesia sejak abad ke-19 dilakukan oleh pihak pemerintah Belanda dan oleh badan-badan pekabaran Injil. Kekristenan Protestan di Indonesia pada zaman VOC lebih merupakan gereja yang diistimewakan negara dan “jemaat jauh” dari gereja Belanda yang berasas Calvinis. Setelah keruntuhan VOC dan setelah seluruh kekuasaannya di Indonesia diserahkan kepada pemerintah Belanda (termasuk kekuasaan atas gereja) pemerintah menata ulang organisasi gereja di Indonesia. Sesuai kecenderungan para penguasa di Eropa masa itu, raja Belanda, Willem I, bertekad menghapuskan pertikaian antar gereja-gereja dengan menyatukan semua aliran Protestan di Indonesia. Dengan keputusan raja Belanda tanggal 5 September 1815 gereja di Indonesia ditempatkan di bawah urusan kementrian perdagangan dan jajahan (Departement van Koophandel en Kolonien) dan ditunjuk suatu komisi yang dikenal dengan nama Haagsche Commisie untuk mengurus kepentingan gereja itu, dalam hal ini memberi nasihat kepada pemerintah mengenai gereja di Indonesia dan menguji serta menahbis calon-calon pendeta yang diangkat oleh raja untuk gereja itu.[7] Selanjutnya ditetapkan kesatuan pengurus seluruh gereja Protestan di tanah jajahan (Protestantsche Kerkenin Nederlandsch Oost- en West-Indie) pada tahun 1820. Pembentukan gereja kesatuan di Indonesia baru dilakukan dengan menyatukan seluruh golongan Protestan (Hervormd, Lutheran) dalam penetapan pada tahun 1835 dengan nama De Protestantsche Kerhin Nederlandsch-Indie (=Gereja Protestan di Hindia Belanda), dan diciptakan suatu gereja kesatuan yang menjadi bagian terpadu dari lembaga pemerintahan kolonial. Pada tahun 1840 ditetapkan strukturnya, yakni dipimpin oleh suatu Kerkbestuur (=pengurus gereja) di bawah Gubernur Jenderal. Suatu ketetapan yang lebih rinci diterbitkan pada tahun 1844, namun baru menjadi efektif sepuluh tahun kemudian setelah jemaat Lutheran di Batavia menerima penyatuan ke dalam Gereja Protestan itu. Demiikianlah rangkaian proses penciptaan suatu gereja negeri, gereja yang secara administratif dan finansial menjadi bagian dari dan tunduk kepada pemerintah.[8] Maka juga fungsinya lebih sebagai jawaban rohani daripada persekutuan orang beriman yang hidup dalam pelayanan dan kesaksian. Dalam peraturan pemerintah tahun 1854 ditetapkan hubungan pemerintah dengan gereja ini, yaitu bahwa perubahan struktur dan kepengurusan harus dengan persetujuan bersama antara raja Belanda dan pengurus badan gereja itu.
Kedudukan sebagai gereja negeri itu sejak semula disadari tidak sesuai dengan hakikat gereja, sehingga timbul usaha-usaha untuk memberikan otonomi atau memisahkan gereja dari negara. Berbagai gagasan, usul dan saran dikemukakan sejak tahun 1851, baik oleh tokoh-tokoh perorangan atau oleh suatu komisi yang ditunjuk, oleh kalangan gereja atau dari pihak pemerintah. Setelah menempuh proses panjang dicapai hasilnya di bidang administrasi pada tahun 1935 dan di bidang keuangan pada akhir tahun 1950. Ternyata pemisahan itu disertai suatu reorganisasi. Mengikuti arah yang diusulkan Hendrik Kraemer untuk mereorganisasi Gereja Protestan menurut kenyataan alami warganya.(menurut suku atau daerah). Gereja ini dimekarkan menjadi empat gereja suku, tiga di Indonesia bagian Timur mengikuti wilayah suku masing-masing: Minahasa (GMIM 1934), Maluku (GPM 1935), Timor (GMIT 1947), dan satu untuk seluruh wilayah “Indonesia bagian Barat” di luar ketiga wilayah itu (GPIB 1948). 
Beberapa bagian Gereja Protestan di wilayah Indonesia Timur diserahkan pelayanannya kepada NZG sejak tahun 1860. Ini dimaksudkan untuk menghubungkan gereja-gereja itu dengan jemaat-jemaat yang dirintis sendiri oleh NZG. Dan seperti dicatat di atas, Gereja Protestan Maluku bertumbuh sebagai gereja suku. Hal yang sama berlangsung di wilayah suku-suku lainnya, baik dalam lingkungan gereja Protestan (Minahasa dan Timor) maupun dalam jemaat-jemaat yang lahir dari kegiatan badan-badan pekabar Injil. 
1.2        Zending dan Kolonialisme di Indonesia 
1.2.1        Beberapa Catatan tentang Zending 
Paham kebebasan beragama yang dihasilkan Revolusi Perancis (1789) adalah pula kebebasan memberitakan Injil, sehingga badan-badan pekabaran Injil dapat bekerja di Indonesia. Pada umumnya badan-badan itu bukan lembaga dari gereja tertentu, melainkan perkumpulan ”swasta” di luar gereja. Di Indonesia ada pembatasan-pembatasan dari pihak pemerintah kolonial, antara lain dengan hanya mengijinkan satu lembaga pada setiap wilayah atau menutup sama sekali daerah-daerah tertentu karena alasan keamanan. Pada tahun 1814 tiba tiga orang dari lembaga pekabaran Injil Belanda, Nederlandsch Zendeling Genootschap (NZG, berdiri 1979) yang diutus melalui London Missionary Society (LMS). Mereka segera “disita” oleh pemerintah untuk melayani Gereja Protestan. Salah seorang dari mereka, Gottlob Bruckner (1783-1857) bekerja beberapa lamanya di semarang dan sempat menerjemahkan Perjanjian Baru ke dalam bahasa Jawa.[9] Joseph Kam (1769-1833), yang kemudian digelari rasul Maluku, terus ke Maluku melayani jemaat-jemaat dan memberitakan Injil di seluruh kepulauan itu sampai ke Sulawesi Utara.[10] Pekbaran injil yang intensif di beberapa wilayah Indonesia berlangsung sejak parohan kedua abad ke-19, dengan perhatian pada suku-suku yang masih menganut agama asli (agama sukunya). Perhatian itu berhubungan dengan pembatasan-pembatasan  pemerintah kolonial yang, demi keamanan dan ketertiban, melarang pengnjilan di Pulau Jawa dan di wilayah-wilayah yang dianggap sudah memeluk agama Islam. Tetapi pembatasan-pembatasan tu tetap diterobos berita Injil, terutama melalui pelayanan-pelayanan orang Kristen secara pribadi. Masuknya agama Kristen di kalangan orang jawa dan orang Cina dimulai oleh tokoh-tokoh peroangan dan baru kemudian berlangsung perwalian Zending. 
Kebanyakan lembaga-lembaga dan tokoh-tokoh pekabar Injil berlatar belakang Pietisme, yakni aliran kekristenan yang timbul dalam gereja-gereja di Eropa pada akhir abad ke-17 dan menjadi pendorong utama kebangkitan utama pekabaran Injil pada abad berikutnya.[11] Gerakan ini lebih menekankan kesalehan dan etika daripada ajaran, dan pertobatan pribadi daripada baptisan masal. Pietisme juga lebih mementingkan persekutuan yang hidup daripada lembaga gereja, dan bersikap negatif terhadap kebudayaan asli dan cenderung menjauhi masalah-masalah sosial-politik.[12] Pedoman yang dianut NZG, badan pekabaran Injil non-konfesional yang bekerja di berbagai tempat, khususnya di Indonesia bagian Timur, adalah memberi tekanan pada pertobatan pribadi yang terjadi melalui pengajaran (bukan oleh tekanan politik atau bujukan materil). Dalam prakteknya, prinsip ini sulit dijalankan: pembaptisan masal terpaksa dilakukan karena berbagai alasan (terutama untuk mencegah pengislaman). NZG mengutamakan lembaga-lembaga pendidikan, yang sekaligus juga melayani tujuannya yang lain: membawa peradaban (moderen/Barat) kepada suku-suku “primitif”. Tujuan ini menonjol di kalangan pekabar Injil menjelang akhir abad ke-19, karena rata-rata lebih terpelajar dari generasi sebelumnya dan karena itu pula mendukung ideal pengadaban dalam imperialisme dan kolonialisme Barat. Tekanan pada kesalehan mempunyai dampak tertentu pada pola pembinaan jemaat dan pada persyaratan yang ketat dalam perluasan tanggung jawab kepada para pembantu pribumi. Dampak lain sehubungan dengan praktek NZG mengutus tenaga-tenaga yang kurang terpelajar  (asalkan saleh) adalah kegagalan untuk memahami dan karena itu bersikap negatif terhadap kepercayaan pra-Kristen setempat, ketimbang berusaha mempertemukannya dengan Injil. Sebab itupula praktek-praktek pra-Kristen masih sering dilakukan warga jemaat dan mutu kekristenan begitu dangkal sehingga praktek pemisahan sakramen dari zaman VOC tetap dipertahankan.[13] Baru kemudian tampil pekabar Injil “akademisi”, yang mendalami berbagai segi kehidupan pribumi dalam rangka penginjilan yang lebih mendalam dan menyentuh. 
Pembaptisan masal berhubungan pula dengan pendekatan penginjilan yang bertujuan mengkristenkan suatu suku “kafir” secara keseluruhan, walaupun tidak berhasil sepenuhnya. Pendekatan ini berhubungan dengan teologi pekabaran Injil (misiologi) yang menggeser ataupula melengkapi prinsip-prinsip pietsme, yakni yang menekankan pentingnya gereja bangsa (Volkskirche).[14] Hasil-hasil yang menonjol dicapai di kalangan suku-suku Batak dan Nias di Sumatera, Dayak di Kalimantan, Poso dan Toraja di Sulawesi, dan di kalangan suku-suku di Irian dan pulau-pulau lainnya di Indonesia bagian Timur. Dalam hubungan itu dapat dicatat bahwa kegiatan penginjilan mempunyai aspek sosiologis yang penting dalam rangka emansipasi suku-suku bangsa itu ke dalam peradaban moderen. Ketiga prasarana sosial yang mendukung usaha penginjilan dan pelembagaan gereja (pendidikan, pelayanan medis dan pelayanan sosial) sangat menentukan perubahan sosial masyarakat suku-suku tradisional. Sejarah penginjilan di kalangan suku-suku Batak, Dayak, Toraja, Pamona, Mori dsb memperlihatkan kenyataan itu.[15] 
Suatu perkembangan yang agak lain terjadi dalam pengkristenan di kalangan orang Jawa pada tahap awal, yakni melalui pembukaan hutan untuk pertanian dan kegiatan di bidang ekonomi lainnya. Terbukanya, pusat kekristenan Jawa di Ngoro dapat dilihat sebagai model yang khas. Coenraad Laurens Coolen (1775-1873), seorang Indo Jawa yang menganut kekristenan yang berciri kejawen (dipengaruhi tradisi Jawa), memperoleh hak sewa tanah pertanian di rimba Ngoro, yang kemudian dia olah menjadi lahan pertanian yang subur. Coolen mengorganisasikan orang-orang yang datang menyewa tanahnya dalam suatu persekutuan yang harmonis dimana masing-masing kelompok agama (Kristen dan Islam) mempunyai tempatnya. Agama Kristen berkembang dengan baik dan dalam pertalian dengan kebudayaan Jawa tanpa hubungan dengan atau campur tangan dari pihak Zending. Coolen sekaligus menjadi pemimpin masyarakat dan guru rohani bagi mereka. 
1.2.2        Zending dan Kolonialisme Abad ke-19 
Seperti dikemukakan di atas, Gereja Protestan adalah bagian dari lembaga pemerintahan kolonial di Indonesia. Para pelayannya adalah pegawai negeri, yang diangkat dan digaji oleh pemerintah, sehingga fungsinya kurang lebih hanya sebagai pegawai kantor urusan keagamaan Kristen. Juga dalam jemaat-jemaat di Indonesia Timur, yang secara khusus dilayani oleh NZG, kekristenan kurang terkait dengan soal-soal politik masyarakat kolonial. Tidak ada suara kenabian dari kalangan gereja terhadap kenyataan buruk kolonialisme. Pada abad ke-19 terdapat peristiwa-peristiwa penting dalam hubungan kolonial, yang seyogianya menjadi perhatian gereja: sistem tanam paksa (cultuurstelsel), perang-perang kolonial (pasifikasi daerah-daerah luar Jawa), kuli kontrak (khususnya Koeli Ordonnantie dengan Poenale Sanctienya). Tetapi harapan ini bisa tidak adil, mengingat keterlibatan gereja dalam soal-soal politik belum menjadi perhatian pada masa itu. Suatu perjuangan dari Clapham Sect, suatu organisasi sosial Kristen Injili di Inggris pada abad ke-19, memang berhasil mendesakkan penghapusan perdagangan budak pada tahun 1807.[16] Gema gerakan ini di Indonesia disuarakan bukan oleh gereja, melainkan oleh pemerintah Inggris dalam masa Interregnum. Stamford Raffles, kawan dan muris Wilberforce, memulai pembatasan-pembatasan pada masa pemerintahannya: tahun 1812 menarik pajak dari pemilik budak, tahun 1813 melarang perdagangan budak di seluruh Indonesia dan melarang perbudakan seseorang karena tak mampu membayar hutang. Soal ini diperjuangkan kaum liberal Belanda kemudian, yang berhasil menghapus perbudakan di seluruh jajahan Belanda sejak 1 Januari 1860.[17] 
Pada abad ke-19 timbul banyak gerakan perlawanan rakyat terhadap kekuasaan pemerintah kolonial, utamanya di pulau Jawa. Seperti yang terungkap dalam studi Sartono Kartodirdjo, perlawanan rakyat pedesaan terhadap kenyataan kolonialisme seringkali terungkap dalam simbol-simbol keagamaan, dalam hal ini agama Islam, dengan pengaruh tertentu dari agama suku.[18] 
Mengenai perlawanan dari kalangan orang Kristen Indonesia, A.B. Lapian menunjuk dan berusaha memperlihatkan sifat Kristen perlawanan rakyat Maluku Tengah pada tahun 1817. Tetapi perlawanan di Maluku Tengah itu – walaupun mengedepankan simbol-smbol keagamaan – tidak dapat dikatakan sebagai perlawanan yang diilhami pemikiran keagamaan (Kristen) dalam arti gagasan-gagasan Kristen dipakai sebagai pembenaran terhadap tuntutan dan cara perjuangan. Pemberontakan yang dipimpin oleh Pattimura itu disebabkan oleh ketidakpuasan terhadap tekanan pemerintah Belanda, yang baru mengambil alih kekuasan dari tangan Inggris dan disulut oleh isyu mengenai kebijakan pemerintah Belanda terhadap penduduk pribumi (a.l bahwa para pemuda akan diangkut ke Jawa untuk dinas militer dan bahwa para guru agama Kristen akan diberhentkan). Pattimura menganggap bahwa keterpilihannya sebagai kapitan(=panglima) perang sebagai tunjukan dari Tuhan. Lapian mengutip surat Pattimura kepada para rajka negeri (=kepala adat setiap satuan kampung tradisional) supaya memerintahkan semua rakyat untuk setia kepada titah Tuhan: agar supaya kita mendapat kekuatan dan dorongan dalam perang ini yang bertujuan untuk memperbaiki nasib kita dan negeri kita.[19] Pattimura memerintahkan rakyat tetap setia menjalani kehidupan Kristen. Pada akhir peperangan yang berlangsung dengan ganasnya selama beberapa bulan itu Alkitab di atas mimbar gereja Saparua, yang ditinggalkan Pattimura dan pasukannya, terbuka pada mazmur 17, yang berisi doa memohon pembenaran dan perlindungan Tuhan terhadap serbuan orang-orang fasik. Walaupun simbol-simbol Kristen seperti itu dipakai, tampaknya tidak cukup alasan untuk menyebut perlawanan Pattimura itu sebagai perlawanan Kristen, dalam arti iman Kristen menjadi sumber inspirasi bagi tuntutan-tuntutan yang diperjuangkan dengan senjata itu. Perlawanan itu tidak dirumuskan sebagai perlawanan “umat Allah”.[20] Yang dapat dikemukakan adalah kenyataan bahwa kesamaan agama dengan penguasa kolonial tidak menutup mata Pattimura dan pengikutnya terhadap ketidakadilan yang mereka lihat dan mereka rasakan. Enklaar mencatat dua hal yang menonjol dalam laporan Joseph Kam mengenai peristiwa itu kepada badan-badan pengutusnya di Rotterdam dan London: bahwa pemberontakan itu merupakan tindakan bengis orang-orang Alifuru dari Seram, yang juga merenggut nyawa orang-orang Kristen pribumi, dan bahwa ada ketakutan di kalangan warga jemaat dan Zending terhadap kebengisan itu.[21] 
Hubungan antara Zending dengan pemerintah kolonial pada abad ke-19 di Indonesia memperlihatkan variasi. Contoh pertama dari Irian Jaya . Pulau yang besar dengan penduduk yang lama tertutup dalam “zaman batu” ini mulai diinjili pada parohan kedua abad ke-19.[22] Setelah suatu rintisan oleh beberapa lembaga pekabaran injil Jerman yang berlatar belakang Pietisme, suatu badan pekabar Injil Belanda yang bercorak etis, Utrechtsche Zendings Vereeniging (UZV), mengambil alih panggilan itu. UZV bersikap mendua terhadap kolonialisme: pada satu pihak menerima kolonialisme sebagai penyelenggaraan Tuhan dimana berlangsung balas budi berupa Injil Kristus kepada penduduk pribumi atas kekayaan materil yang diambil dari negeri mereka. Dalam hubungan itu Kamma mengutip pandangan Hoornbeek, seorang teolog Belanda abad ke-17: 
Sudut-sudut tersembunyi di Barat dan di Timur itu telah jadi kita kenal; bahkan di tempat-tempat itu dikuasakan kepada kita. Tetapi menurut pendapat saya demikianlah terjadi bukan supaya majulah kesejahteraan dan kemahsyuran negara, bahkan lebih-lebih demi kemajuan kerajaan Kristus. Itu berarti bahwa daerah-daerah Jajahan itu dikuasai oleh negeri Belanda demi keselamatan penduduk sendiri. Jadi di sini orang melihat tangan Tuhan. Siapa akan menyangka bahwa kita kebagian semua itu, berkat pemeliharaan serta anugerah, semata-mata agar kita dapat menyelidiki dan menaklukan negeri-negeri itu, dan mengambil kekayaan buminya serta barang-barang yang ada di sana dalam jumlah yang melimpah? Bukankah yang pertama-tama menjadi tujuannya, yaitu supaya kita membawa pengetahuan dan penyembahan kepada Allah kepada bangsa-bangsa yang sampai sedemikian jauh masih asing dengan kemanusiaan dan agama itu? Buktinya ialah bahwa negeri–negeri itu dibuka bukan untuk orang-orang kafir yang lain, melainkan untuk kita orang Kristen. Oleh karena itu adalah wajar kalau mereka menerima barang-barang rohani dari kita, karena mereka telah memperkaya kita secara materiil.[23] 
Pemahaman seperti ini berlangsung dalam suatu masa dimana lazim pandangan merendahkan manusia dan bangsa-bangsa di luar peradaban Eropa, dan penguasaan Barat terhadap bangsa-bangsa itu dianggap wajar saja. Tetapi juga di dalam UZV mulai timbul kesadaran baru.. Seorang pekabar Injil dalam hubungan dengan penginjilan di Jawa mengecam sikap merendahkan pribumi:
Orang Jawa tak suka kepada kita. […] Pertama-tama diperlukan sekali ialah agar orang Jawa percaya kepada cinta orang Belanda. Bertahun-tahun lamanya kita menjadi nomor satu dan mereka menjadi nomor dua. Bagaimanakh mungkin dalam keadaan seperti itu tumbuh cinta? Di dalam hati mereka harus terjadi lebih banyak supaya mau menerima Injil, daripada yang harus terjadi dalam hati kita supaya kita mau membawakannya kepada mereka.[24] 
Para pekabar Injil UZV menghadapi kesulitan khusus di Irian: perang suku, pengayauan dan kanibalisme. Maka dapat dimengerti jika mereka cenderung untuk memihak dan mendukung usaha pasifikasi pemerintah kolonial. UZV ingin memancangkan bendera Belanda dan panji-panji merah salib di Irian Barat.[25] Pada sebaliknya suatu komisi negara pada tahun 1858 meminta dukungan pemerintah kepada pekabaran Injil: 
Komisi tidak ragu-ragu menganjurkan, sesuai dengan pendapatnya, bahwa di dalam mendirikan kekuasaan di antara orang kafir, maka pada umumnya, dengan beberapa perkecualian saja, penyebaran agama Kristen patut mendapat dorongan dari pihak resmi, bahkan ditunjang dengan uang; sedang di negeri-negeri kafir yang belum dikuasai secara efektif dan dimana kekuasaan kita belum mau didirikan, Pemerintah harus membatasi diri hanya pada memberikan izin masuk, yaitu apabila hal itu dapat dilakukan tanpa membahayakan ketenteraman.[26] 
Usulan di atas tidak dijalankan pemerintah sepenuhnya. Dukungan terhadap pekabaran Injil tidak begitu besar, walaupun pemerintah mengakui peran pentingnya membuka suku-suku pedalaman yang terisolir. Pemerintah lebih mengutamakan saran yang terakhir di atas: mengatur penyelenggaraan pekabaran Injil secara ketat dalam batas-batas kepentingan keamanan dan ketertiban. Kegagalan UZV untuk bekerja di Jawa Barat antara lain berhubungan dengan peraturan-peraturan pemerintah, demi keamanan dan ketertiban itu. 
Pendekatan keamanan dan ketertiban yang merugikan pekabaran injil itulah yang memperlambat pekabaran Injil di Jawa. Telah dicatat di atas mengenai ketiga pekabar Injil yang pertama masuk ke Indonesia pada masa pemerintah Inggris. Supeer ditahan untuk melayani di Batavia dan sempat mendirikan suatu Lembaga Pekabaran Injil Pembantu di Jawa, Bruckner bekerja di Semarang, dan Kam sempat singgah beberapa lamanya di Surabaya dalam perjalanan ke Maluku. Bruckner rupanya melihat kemungkinan-kemungkinan baik bagi pekabaran Injl di Jawa sehingga ia meminta tenaga dari Belanda. Tetapi tenaga yang dikirim pada tahun 1818 dipekerjakan di Timor (Le Bruijn) dan di Surabaya (Buitenaar). Beberapa tahun berikutnya diutus  seorang pekabar Injil untuk Jawa, tetapi ditempatkan pemerintah di Maluku. Sampai tahun 1847 tidak ada tenaga untuk Jawa, karena: 
[…] adanya kekhawatiran umum akan agama Islam, yang mencekam baik pemerintah maupun para pegawai, baik para pendeta GPI maupun orang-orang swasta, dan tokoh-tokoh sendingpun tak luput dari pesona keasaan ini.[27] 
Nortier juga mencatat pandangan J.C. Baud (1789-1859) seorang pegawai tinggi yang kemudian menjadi menteri kolonial (1840-1848) dan anggota Tweede Kamer (1850-1858) yang mempengaruhi sikap NZG sejak tahun 1820-an: 
Orang Jawa itu acuh tak acuh, sehingga ia dengan mudah dapat dijadikan pemeluk agama Kristen atau agama manapun, secara nominal. Akan tetapi orang-orang terkemuka dan alim ulama amat tidak toleran. Terutama yang belakangan ini besar sekali pengaruhnya terhadap rakyat yang tak segan mengikuti setiap orang fanatik. Sekalipun tanpa bahaya besar kita dapat mengijinkan percobaan-percobaan untuk menjalankan pekabaran Injl di tengah-tengah orang Jawa biasa, tetapi para alim ulama pasti akan berusaha menghasut rakyat untuk melakukan pemberontakan. […] Penyebaran Alkitab dan selebaran-selebaranpun tak akan membawa hasil yang berarti oleh kecilnya jumlah orang-orang Jawa yang dapat membaca. Tanah mesti disiapkan dahulu, dan hal itu hanya Gubernemen yang dapat melakukannya, yakni melalui pendidikan dan pengajaran. Kitab-kitab yang berisi ajaran tentang kesusilaan dari Injil dan Quran harus diberikan kepada kaum muda Jawa. Ini adalah tugas Gubernemen.[28] 
Percakapan salah seorang pejabat NZG, Ds.L.J. van Rhijnl, dengan Gubernur Jenderal J.J Rochussen pada bulan Oktober 1987 menyingkapkan segi lain dari alasan pemerintah menghalangi pekabaran Injil kepada orang Jawa, yakni ketakutan pemerintah terhadap perubahan sosial: 
Kami mengadakan pembicaraan yang penting dan bertukar pikiran sungguh-sungguh mengenai Jawa, yaitu mengenai pekabaran Injil kepada orang-orang Jawa. Yang Mulia membentangkan pendapatnya terang-terangan dan secara jujur kepada saya. Ia terikat kepada perintah-perintah dari atasan-atasannmya. Pekabaran Injil yang bebas niscaya akan membawa perubahan yang menyeluruh pada sistem pemerintahan kita yang sekarang.[29] 
Pada periode yang dibicarakan ini sedang berlangsung usaha pemerintah mengorganisasikan gereja di Indonesia ke dalam Gereja Protestan, rakyat di Jawa sedang parahnya menanggung derita Cultuurstelselsetelah Perang Jawa (Perang Diponegoro, 1825-1830) dan dalam bidang politik di Belanda politik liberal sedang naik daun. Pandangan yang dikemukakan sebelumnya, bahwa pemerintah terlebih dahulu harus mempersiapkan rakyat Jawa melalui pendidikan untuk mampu menerima Injil, ternyata tidak berlaku. Pendidikan tidak mencapai sasarannya, tetapi Injil menemukan jalannya ke dalam masyarakat Jawa tanpa melalui badan pekabaran njil atau menunggu persiapan pemerintah itu. Bruckner, yang sejak 1816 beralih dari NZG ke BMS (Baptist Missionary Society), mempelajari bahasa Jawa dengan mendalam. Ia menerjemahkan Perjanjian Baru ke dalam bahasa Jawa yang dicetak di Serampore (India) pada tahun 1831. Walaupun terjemahan itu disita pemerintah, ada sejumlah traktatnya yang lolos dan berhasil membawa sejumlah orang Jawa ke dalam kekristenan. Dalam hal ini juga penghargaan teralamatkan lagi pada keuletan penganut Pietisme: Johannes Emde (1774-1859), yang mengabarkan Injil melalui kegiatan kolportase di Surabaya, dan Coolen, sebagaimana telah dikemukakan di atas, yang mempertemukakan Injil dengan tradisi budaya Jawa dan kebutuhan sosial ekonomi penduduk di Ngoro. Kelak pola pekabaran Injil oleh perorangan itu dijalankan di Jawa oleh beberapa orang secara pribadi dan sendiri-sendiri. Pekabar Injil NZG yang pertama baru dizinkan masuk Mojowarno pada tahun 1848, dua tahun sebelum pada akhirnya pemerintah membuka pulau Jawa bagi masuknya badan-badan Zending. 
Di Tanah Batak pekabaran Injil dimulai mendahului masuknya kekuasaan pemerintah Belanda. Beberapa usaha awal gagal, juga karena alasan keamanan dan ketertiban pemerintah melarangnya sampai tahun 1860. Salah satu faktor yang menentukan sikap pemerintah dan jalannya penginjilan di Tanah Batak adalah Perang Paderi (1821-1837). Perang ini memperluas pengaruh Islam ke bagian Selatan Tanah Batak – yang diterima terutama sebagai penolakan terhadap pemerintah kolonial – sehingga bagian Utara terbuka bagi pekabaran Injil. H. Neubronner van der Tuuk (1824-1894), seorang ahli bahasa Batak, menasihatkan untuk bekerja di kalangan orang kafir sebelum mereka diislamkan. Kemenangan Belanda dalam Perang Paderi dilanjutkan dengan memperluas kekuasaan Belanda ke pedalaman Tanah batak. Masuknya kekuasaan pemerintah Belanda itu menjadi dukungan penting bagi pekabaran Injil yang dikerjakan oleh RMG dari Jerman. Dukungan itu terutama dalam dua hal: keamanan dan komunikasi. Dukungan keamanan berhubungan dengan perang suku dalam lingkungan orang-orang Batak; sedangkan pembukaan Tanah Batak yang terisolasi dari perkembangan pesat dunia memungkinkan karya penginjilan berkembang bersama dengan usaha-usaha memajukakn masyarakat Batak. Kegagalan perlawanan Sisinga Mangaraja pada tahun 1883 terhadap pemerintah Belanda menandai akhir dari ketertutupan negeri itu, yang sekaligus memudahkan pekerjaan peginjilan. Pembangunan jalan raya pada tahun 1919, yang menghubungkan pantai Barat dan pantai Timur Sumatera yang melintas jantung Tanah Batak, melengkapkan proses itu. Sebab itu Hendrik Kraemer menyebutkan dua faktor utama yang menentukan kemajuan besar yang dicapai dalam pekabaran Injil ini di Tanah Batak: 
Saya yakin penyebab rohaninya ialah iman yang teguh dari Nommensen dan para sejawatnya bahwa kemenagan akhir ada pada mereka. Kokohnya keyakinan Nommensen di tengah-tengah bahaya besar, kerelaannya untuk menderita dan kehilangan segalanya demi melapangkan jalan bagi pemerintah berdaulat Kristus, rencana-rencananya yang berjangkauan luas untuk mengkristenkan orang Batak dalam suatu kenyataan buas orang kafir, semua itu menunjukan suatu kualitas yang tak tergantikan dari suatu tatanan yang lebih tinggi. […]
Saya yakin bahwa penyebab luarnya adalah datangnya pemerintah Belanda. Kekafiran, yang telah terkalahkan secara rohani, menuyaksikan ambruknya perlindungannya yang terakhir: keterasingan. Suatu zaman baru menyingsing tak terelakkan.[30] 
Dari contoh-contoh hubungan kalangan Zending dengan pemerintah di atas terlihat bahwa tidak ada bentuk hubungan yang tetap. Pemerintah kolonial mendukung usaha-usaha pihak Zending untuk memajukan masyarakat yang terisolir , tetapi sangat berhati-hati jangan sampai timbul kerusuhan dari kalangan Islam. Maka dapat dikatakan bahwa sikap pemerintah terhadap pihak Zending ditentukan oleh politik pemerintah, khususnya terhadap Islam. Dalam hubungan itu, secara hukum ditetapkan dalam pasal 123 RR (pasal 177 IS)[31] kewenangan penuh pemerintah mengatur izin kerja bagi lembaga-lembaga pekabaran Injil. Pada sebaliknya pihak Zending menyadari perlunya peran pemerintah dalam membuka dan mengamankan wilayah kerja mereka, terutama dalam kewenangan mengakhiri kebiasaan-kebiasaan buruk dalam masyarakat tradisional, seperti perbudakan, perjudaian atau pengayauan. Memang mereka tidak bersangkutan langsung dengan kepentingan kolonialisme, tetapi berikutnya kebudayaan Barat dalam pendekatan mereka memberitakan Injil turut menunjang imperialisme. Dan pandangan teologi mereka, yang rata-rata dipengaruhi Pietisme, mengarahkan mereka pada keselamatan rohani perorangan sehingga tidak berkembang kritik sosial terhadap kenyataan kolonialisme.[32] Selain tekanan dari pihak pemerintah dan sikap pietis itu, dapat dicatat dua faktor lain yang menyebabkan pihak Zending kurang kritis terhadap pemerintah kolonial: pertama, para pekabar Injil kemudian, yang lebih terpelajar, makin terbuka pada gagasan-gagasan pemerintah kolonial untuk memajukan pribumi. Hal ini berhubungan pula dengan perhatian terhadap unsur peradaban dalam pekabaran Injil. Yang kedua, kalangan Kristen di Indonesia tidak merupakan kekuatan sosial yang bermakna. Para pekabar Injil dan jemaat-jemaatnya terpencil di pedalaman, sedangkan orang-orang Kristen Eropa di kota-kota tidak mengindahkan kehidupan gereja dan hidup mereka sama sekali bertentangan dengan tuntutan Kristen.[33] 
Jadi, terdapat variasi yang tidak dapat digeneralisasi dalam hubungan antara pekabaran Injil dengan kolonialisme di Indonesia. Yang tetap menonjol adalah keadaran pihak pekabar Injil untuk tidak menyamakan kolonialisme dengan tujuan pekabaran Injil. Sikap mereka disimpulkan van den End dalam rumusan: 
Bagi mereka Kerajaan Allah tidak sama dengan Kerajaan Belanda.Dan mereka tetap menyadari bahwa mereka bekerja demi perluasan Kerajaan Allah, bukan demi perluasan Kerajaan Belanda. Tetapi kadang-kadang perluasan Kerajaan belanda itu mereka anggap perlu demi perluasan Kerajaan Allah.[34] 
1.2.3        Politik etis Kolonial 
Reaksi-reaksi terhadap kenyataan buruk kolonial pada akhir abad ke-19 dari kalangan intelektual dan politisi Belanda mencapai puncaknya dalam artikel C.TTh. van Deventer (1857-1915) berjudul “Een Eereschuld” dalam majalah De Gids pada tahun 1899.[35] Ia mengungkapkan bahwa negeri Belanda berhutang kepada Hindia Belanda atas semua kekayaan yang dikeruk dari Hindia Belanda dan hutang itu harus dikembalikan dengan jalan meningkatkan kesejahteraan rakyat di Hindia Belanda.[36] Pada tahun 1818 Mr. L.W.C. Keuchenius (1822-1893), yang bersikap pro zending, diangkat menjadi menteri tanah jajahan. Visi Kristen untuk penyebaran agama dan peradaban bertemu dengan visi kemanusiaan (peningkatan kesejahteraan dan pengembangan moral) dari golongan liberal sehingga memperkuat cita-cita politikkolonial baru yang dikenal sebagai politik etis (etische politiek).[37] Politik etis, dengan trisila irigasi, edukasi dan emigrasi ini, berhubungan pula dengan gagasan the white man’s burden, suatu ungkapan dari sastrawan Inggris, Rudyard Kipling (1865-1936), pada tahun 1899, mengenai falsafah kolonialisme Inggris. Ungkapan itu mengandung pengertian mengenai suatu kesadaran akan tugas dan kewajiban yang tidak boleh dilalaikan, yang dibebankan di atas pundak penjajah oleh situasi sejarah, yakn to serve your captive’s need.[38] Pidato kerajaan ratu Belanda pada tahun 1901 (awal diberlakukannya politik etis) mencanangkan Nederlands zedelijke roeping (panggilan etis Belanda). Gagasan dasarnya adalah meningkatkan kesejahteraan rakyat jajahan dan asas politiknya adalah mengubah hubungan kolonial dari pemilikan menjadi hubungan perwalian. Dalam kerangka itu berbagai perubahan dan prioritas pembangunan dijalankan: desentralisasi, perubahan-perubahan pemerintah, perbaikan kesehatan rakyat , emigrasi, perbaikan pertanian (antara lain pembangunan irigasi) dan peternakan serta peningkatan pendidikan.[39] Dan dalam rangka mematangkan bangsa Indonesiauntuk menjadi bangsa yang dewasa bebas dari  perwalian – dengan menjadikan barat sebagai patokan – diusahakan memajukan peradaban rakyat jajahan melalui beberapa kemungkinan. Dalam politik etis dikenal konsep unifikasi, yakni usaha menyatukan keseluruhan masyarakat hindia Belanda, mula-mula dalam sistem hukum dan perundang-undangan, kemudain meluas pada penghapusan diskriminasi sosial dalam tatanan masyarakat, antara lain melalui pendidikan. Ada yang mendukung gagasan asimilasi, yakni kesatuan yang mengarah pada atau ke dalam masyarakat eropa: kebudayaan pribumi diganti dengan kebudayaan Barat. Tetapi segolongan lain menggagas ide asosiasi: kesatuan yang mengindahkan proses alami dan menghargai kebudayaan asli. Konsep unifikasi yang Barat-sentris ini berakar dalam keyakinan yang optimistik, bahkan angkuh, akan keunggulan peradaban Barat. Salah seorang penganjur gagasan asosiasi adalah C. Snouck Hurgronje (1857-1936), yang terkenal sebagai ahli Islam dan perumus kebijakan kolonial terhadap Islam dalam masa politik etis. 
Walaupun dari segi jumlahnya hanya sebagian kecil rakyat Indonesia yang menerima pendidikan, namun peranannya sangat menentukan dalam pergerakan nasional.[40] Dari kalangan pribumi terpelajar itulah bangkit kesadaran nasional. Sartono Kartodirdjo mencatat mengenai peranan itu: 
Sangat jelas di sini bahwa ada hubungan timbal balik antara perkembangan gerakan nasional dan ekspansi pendidikan modern yang pesat. Tegasnya, pendidikan dapat dipandang  sebagai sebuah dinamit bagi sistem kolonial. Pengaruh pendidikan terhadap masyarakat kolonial diakui sepenuhnya oleh penguasa-penguasa kolonial sendiri, dan menurut kata Colijn: “Merupakan tragedi politik kolonial, karena ia membentuk dan membangun kekuatan-kekuatan yang kemudian hari akan melawan pemerintah kolonial”.[41] 
Pembentukan suatu dewan rakyat, yang sejak lama dicita-citakan oleh para penggagas dan pendukung politik etis, berkaitan dengan soal pertahanan Hindia Belanda (Indi Weerbaar). Gagasan pertahanan dengan mobilisasi pribumi telah ditolak pada tahun 1913-1914, namun muncul lagi dalam hubungan dengan perang dunia I. Budi Utomo mendukung, tetapi sarekat Islam menuntut perwakilan pribumi dalam pemerintahan untuk dapat turut mempertahankan Hindia Belanda. Wakil-wakil berbaagi organisasi pribumi (antara lain BU, SI, Persatuan Bupati, ke-4 keraton) pergi ke negeri Belanda memperjuangkan urusan perwakilan dan pertahanan itu. Walaupun para utusan itu mendapat sambutan meriah, tuntutan mereka akhirnya ditolak dalam Staten-Generaal, yang justru menyetujui pembentukan Volksraad pada bulan Desember 1916. Volksrad berbentuk badan tunggal dengan fungsi hanya untuk memberi nasihat dan untuk memberi pertimbangan kepada Gubernur Jenderal dalam urusan-urusan anggaran. Kenyataan itu berbeda dengan pernyataan Gubernur Jenderal Van Limburg Stirum pada pembukaan Volksraad I, bulan Nopember 1918 (kemudian dikenal sebagai Novemberbeloften), bahwa Dewan ini berwenagn menyalurkan suara hati nurani rakyat dan disampng itu mungkin kelak pusat titik berat politik akan dipindahkan dari Nederland ke Indonesia, dan bahwa status sebagai tanah jajahan yang dieksploitasi akan diganti dengan status sebagai bagian dari kerajaan belanda yang diberi otonomi dengan pemerintahan yang demokratis.[42] 
Pada pertama kali terdapat 19 orang anggota Volksraad yang dipilih (10 orang Indonesia) dan 19 yang ditunjuk (5 orang Indonesia) dengan seorang ketua. Anggota Indonesia dalam Volksraad meningkat dari 39% (dari 39 anggota) ke 40% (49 anghota) pada tahun 1921, lalu 42% (60 anggota) pada tahun 1927. Akhirnya 50% ketika keseimbangan antara orang Eropa dengan orang Indonesia dan Timur lainnya (umumnya orang Cina) diubah pada tahun 1931, jumlah angota yang dipilih melebihi jumlah yang ditunjuk, tetapi pemilih keseluruhannya hanya 2.228 orang di seluuh Indonesia, yang pada waktu itu berpenduduk sekitar 70 juta jiwa.[43] 
Meskipun mempunyai berbagai kelemahan, Voolksraad diakui berhasil mendesakkan konstitusi baru pada tahun 1925, dimana Dewan Hindia diperkecil kewenangannya menjadi suatu badan penasihat, dan Volksraad sendiri diberi kekuasaan-kekuasaan terbatas. Hanya Staten-Generaal di Den Haag tetap menentukan anggaran kolonial, Van Niel merangkum penilaiannya atas fungsi Volksraad sebagai berikut: 
Ia telah menjad pentas untuk melampiaskan kekesalan-kekesalan, yang barangkali dalam hal inilah ia mempunyai arti yang paling penting. Tentu saja badan ini juga merupakan lapangan tempat latihan kesadaran dan prosedur politik bagi orang Indonesia tertentu, tetapi yang nyatanya amat terbatas. Orang Indonesia umumnya, dan orang Eropa khususnya, terus menanggap Volksraad sebagai sesuatu yang harus menjadi wakil rakyat Indonesia, harus merupakan suatu forum tempat mereka menyeruakan keinginan akan mendapatkan kekuasaan perundang-undangan. Volksraa tak pernah memenuhi kebutuhan ini, sungguhpun dalam kenyataan padanya telah diberikan kekuasaan legislatif itu danorang Indonesia telah mengisi satu setengah kali jumlah anggotanya, oleh karena dewan ini tetap terpisah dari arus utama kehidupan orang Indonesia dan hanya mewakili satu jenis pemikiran saja.[44] 
Salah satu “akibat sampingan” politik etis – yang kemudian berkembang sebagai jawaban (negatif) bangsa Indonesia terhadap keseluruhan kenyataan kolonialisme – adalah munculnya faktor baru dalam masyarakat jajahan: nasionalisme Indonesia. Nasionalisme ini muncul sebagai gerakan sosial budaya, tetapi dengan cepat menjadi gerakan ideologsi-politik. Corak ideologis politik nasionalisme Indonesia berkembang mula-mula dalam Indische Partij (1912), lalu membiak dengan cepat melalui sayap radikal yang kemudian menjadi golongan Komunis dalam Sarekat islam, dan selanjutnya melalui Perhimpunan Indonesia, lalu kemudian oleh Partai Nasional Indonesia. Salah satu jawaban tegas pemerintah kolonial terhadap perkembangan itu adalah pelembagaan PID (Politieke Inlchtingendienst), yang secara efektif membayangi kehidupan kaum nasionalis: penangkapan, penahanan atau pengasingan pemuka-pemuka kaum nasionalis Indonesia yang bersikap nonkoperasi dan menempuh cara-cara radikal.[45] Akibatnya para aktivis pergerakan bergerak secara rahasia atau mengubah isi dan cara pergerakan: bukan lagi tekanan pada Indonesia merdeka melainkanotonomi Indonesia yang diperjuangkan melalui jalur konstitusional, khususnya di dalam Volksraad. Kelompok terpelajar lainnya bergiat dalam bidang-bidang pendidikan dan kebudayaan.[46] 
Kalangan Belanda sendiri terbagi-bagi dalam menanggap kenyataan politik kolonial. Pada tahun 1929 sebagian mendirikan Vaderlandsche Club (VC) sebagai reaksi kelangan Belanda totok terhadap sikap progresif yang ditunjukan pejabat tinggi kolonial yang berhaluan politik etis dan terhadap perkembangan pergerakan nasional Indonesia (pemberontakan tahun 1926 dan munculnya PNI). VC dengan tegas ingin mempertahankan kekuasaan Belanda di Indonesia sedemikian supaya kepentingan ekonomi, sosial dan finansial Belanda terjamin. Cita-citanya membentuk suatu Nederland Raya dengan Indonesia sebagai bagian otonom di dalam Kerajaan belanda. Pada sebelah lain ada Stuwgroep, yang etrdiri atas tokoh-tokoh intelektual yang menyuarakan pandangan-pandangan progresifnya melalui majalah De Stuw. Kelmpok ini mendukung cita-cita emansipasi, bahkan likuidasi: menghapus hubungan kolonial, membentuk persemakmuran Hindia sebagai negara merdeka namun tetap dalam ikatan negeri Belanda.Leidschegroep, kelompok yang sejajar dengan Stuwgroep, memelopori gerakan Indie los van Holland.[47]Karena kebanyakan anggotanya ahli mengenai Hindia (Indilog), maka kelompok ini memberi penghargaan besar terhadap nilai-nilai Timur dan menghendaki pengembangan masyarakat Hindia dalam kebudayaannya sendiri (berbeda dengan garis asosiasi politik etis). Jelaslah gagasan mereka ditentang oleh VC dan oleh kelompok konservatif lainnya, “golongan Utrecht”, yang terdiri atas kalangan pengusaha yang mengutamakan dukungan kolonialisme bagi eksploitasi ekonomi mereka di Indonesia. Mreka berpendapat bahwa suatu emansipasi total bersifat prematur. 
Demikianlah politik etis (khususnya politik asosiasi) digagalkan oleh reaksi dari pihak rakyat jajahan berupa pergerakan menuntut kemerdekaan Indonesia, dan dari pihak masyarakat konservatif Eropa di Indonesia, yang menghendaki pelestarian kekuasaan kolonial di Indonesia bagi kepentingan eksploitas ekonomi.[48] 
1.2.4        Politik Kolonial terhadap Islam 
Politik pemerintah kolonial terhadap pihak Islam di Indonesia merupakan salah satu bagian penting dari politik etis yang berkaitan dengan nasionalisme Indonesia. Politik ini tak dapat dipisahkan dari tokoh ternama, Christian Snouck Hurgronje (1857-1936).[49] Dapat dikatakan bahwa sampai tahun 1899 belum ada “politik islam” selain suatu sikap netral terhadap semua agama berdasarkan pasal 119 RR 1854, yang ditempatkan dalam kerangka rust en orde pemerintah kolonial. Dalam hubungan itu Gubernur-Jenderal berwenang untuk campur tangan dalam soal agama bila dipandang perlu, sesuai keputusan Raja Belanda No. 78 tanggal 4 Februari 1858. Kenyataan di balik ketentuan itu adalah adanya ketakutan di kalangan pemerintah kolonial dan orang-orang Eropa di Indonesia terhadap umat Islam. Ketakutan itu berhubungan dengan seringnya muncul perlawanan bersenjata yang didorong oleh semangat Islam, baik berupa perang-perang besar (Jawa, Paderi, Aceh) maupun pemberontakan atau huru-hara di pedesaan. Ketakutan itu diperbesar oleh pemahaman yang keliru terhadap struktur persekutuan umat Islam sedunia dengan menyamakannya dengan hirarkhi Gereja Katolik Roma yang berpusat pada kekhafilahan Turki, dan oleh anggapan bahwa para haji adalah orang-orang fanatik yang suka memberontak. Pada tahun 1899 Snouck Hurgronje, yang adalah seorang ahli bahasa Arab dan agama Islam, memulai tugasnya sebagai penasehat pemerintah untuk masalah-masalah Arab dan Pribum. Ia melakukan reorientasi politik berdasarkan pengetahuannyamengenai Islam dan sesuai dengan visisnya mengenai masa depan hubungan kolonial. Pertama-tama ia mengoreksi pemahaman keliru yang menimbulkan ketakutan terhadap Islam. Menurut Snouck Hurgronje dalam kehidupan orang Indonesia yang beragama Islam peranan adat masih sangat kuat, sehingga dalam soal-soal duniawi , khususnya politik merka tunduk pada penguasa-penguasa traadisional. Dia mengakui bahwa memang Islam sebagai agama dan sebagai kekuatan politik  jangan dianggap remeh. Harapan untuk mengkristenkan penduduk pribumi secara besar-besaran supaya dapat mengimbangi Islam adalah harapan palsu karena sebaliknya, seiring dengan Pax Neerlandica, agama Islam akan bertambah meluas dan mendalam. Ia juga membedakan segi doktrin dan segi politik dalam Islam. Snouck Hurgronje menganjurkan toleransi yang dijabarkan dalam sikap netral agama pada segi doktrin itu, sedangkan setiap gejala politik harus segera dibasmi secara tuntas. Maka politik kembar toleransi dan kewaspadaan terhadap Islam mengarahkan pemerintah pada dukungan terhadap unsur-unsur yang kurang dipengaruhi Islam dalam masyarakat pribumi, seperti pemuka-pemuka adat dan penguasa-penguasa non-Islam, khususnya para priyayi di Jawa. 
Reorientasi yang dicanangkan Snouck Hurgronje jelas bukan dukungan terhadap perkembangan Islam, bukan pula pengembangan masyarakat tradisional di bawah adat. Lembaga-lembaga adat merupakan rintangan bagi pendalamn Islam dan terbukti cukup kuat melawan Islam, lagi pula wakil-wakilnya merupakan sekutu yang baik bagi pemerintah kolonial. Namun karena dalam dirinya sistem adat mengandung konservatisme dan partikularisme lokal maka adat tidak dapat diharapkan untuk membendung pengaruh Islam yang semakin meluas. Di pihak lain, Islam tidak dapat menggerakkan dari dalam dirinya dinamika bagi pembinaan sebuah peradaban yang lebih tinggi dan modern, dan pemimpin-pemimpinnya sulit menerima pemerintahan non-Islam. Sebab itu masa depan Indonesia yang moderen dantetap terikat dengan Belanda tidak dapat diandalkan pada adat atau pada Islam, melainkan pada pembaratan Indonesia (westernizing Indonesia). Politik kembar toleransi dan kewaspadaan terhadap Islam adalah prasyarat bagi pertumbuhan maysyarakat Indonesia yang sehat. Di dalamnya, melalui politikasosiasi (di mana orang-orang Indonesia dibawa ke dalam kebudayaan Barat, yang dicapai melalui pendidikan Barat), jurang antara yang memerintah dan yang diperintah terjembatani. Langkah selanjutnya adalah memberi kepada mereka yang terdidik itu peran politik dan administrasi tanah jajahan. 
Walaupun politik asosiasi gagal (antara lain karena munculnya nasionalisme Indoesia Indonesia dan karena kurangnya dukungan dari kalangan Belanda di Indonesia dan di Belanda) pendekatan Snouck Hurgronje terhadap Islam cukup berhasil. Kemenangan Belanda dalam perang Aceh merupakan salahsatu prestasinya, demikian pula huru-hara di pedesaan relatif dapat diredam. Kelunakan terhadap urusan naik haji, penetapan ordonasi perkawinan (1895) dan pengajaran agama Islam (1905), serta adanya dinas khusus masalah-masalah pribumi yang dianjurkannya mengundang simpati kalangan Islam. Sebaliknya tantangan datang pihak pendukung kristenisasi. Adanya kecenderungan pemerintah kolonial pada masa awal politik etis mendukung Kresteningspolitiek dan kemudian mendukung kalangan ningrat tradisional dalam rangka pemberlakuan hukum adat, merupakan kendala-kendala bagi upayanya memperoleh simpati pihak Islam.[50] 
Periode pasca Snouck Hurgronje ditentukan beberapa faktor. Yang terpenting adalah reformasi Islam, munculnya pergerakan nasional, dan penemuan hukum adat. Reformasi Islam di Timur Tengah pada bagian kedua abad 19, baik gerakan Wahabi maupun gerakan modernis Mohammad Abduh, mempengaruhi kemunculan reformisme Islam di Indonesia, seprerti di Minangkabau , di kalangan orang Arab di Jakarta dan di dalam Muhammadiyah. Reformisme Islam antara lain merupakan reaksi terhadap dominasi Barat, dan karena itu mendorong timbulnya gerakan Islam sebagai simbol nasionalisme dan anti kolonial. Kebangkitan Islam di Indonesia melalui Sarekat  Islam dan Muhammadiyah pada awal tahun belasan memperluas kesadaran akan kesatuan yang melampaui batas-batas suku dan daerah dan akan keadaan buruk kesejahteraan rakyat yang perlu dimajukan, mula-mula melalui kegiatan-kegiatan pendidikan, sosial dan kebudayaan, dan kemudian melalui perjuangan politik. Peran pihak Islam Indonesia dalam menyelenggarakan pendidikan, baik secara Barat (khususnya oleh muhammadiyah) maupun melalui pola-pola pendidikan Islam tradisional, sangat penting dalam mendukung perkembangan nasionalisme. Maka setiap campur tangan dari pihak pemerintah kolonial yang berusaha membatasi peran itu mendapat perlawanan. 
1.2.5        Zending dan Politik Etis 
Dalam hubungan dengan sikap Zending terhadap politik etis, pertama-tama perlu diketengahkan hubungan pemerintah dengan pekabaran Injil dalam kerangka politik etis. Studi Aqib Suminto mengungkapkan bahwa juga pada masa politik etis dukungan kepada kersteningspolitiek lebih besar dibandingkan dengan sikap netral  agama yang dianut pemerintah kolonial.[51] Tetapi politik pengkristenan tersebut bukanlah dukungan bagi perkembangan agama Kristen, melainkan merupakan bagian dari strategi pelestarian kekuasaan kolonial. Dengan kata lain, kekristenan dieksploitasi untuk kepentingan politik. Menghadapi kenyataan bahwa Islam merupakan tantangan utama bagi kekuasaan kolonial di Indonesia, maka berbagai upaya ditempuh pemerintah kolonial untuk menjinakannya. “Politik Islam Hindia-Belanda” antara lain dikaitkan dengan perluasan agama Kristen, misalnya kepada suku-suku terpencil yang masih menganut agama sukunya. Tetapi di luar yang dikehendaki pemerintah, upaya membendung Islam justru berbalik menjadi dorongan yang kuat bagi kebangkitan Islam di Indonesia.[52] 
Sebagaimana dicatat di atas, dukungan terpenting dari pihak pemerintah adalah pengamanan daerah pekabaran Injil, termasuk izin bekerja di daerah itu. Daerah-daerah yang secara mencolok penduduknya dikristenkan pada perempat pertama abad ini adalah wilayah Sulawesi Tengah, Tana Toraja, Tanah Batak, Kalimantan dan beberapa daerah di Indonesia bagian Timur. Daerah-daerah ini terutama berpenduduk pedesaan yang terisolir dan masih menganut agama sukunya, sehingga penginjilan sekaligus membuka suku-suku itu terhadap dunia modern. Lembaga pendidikan dasar dan menengah yang didirikan oleh badan-badan zending menjadi wahana penting bagi pengkristenan dan modernisasi itu. 
Seperti pada masa sebelumnya, pada kurun masa ini juga sikap Zending terhadap politik kolonial adalah pasif. Selain pengaruh pietisme pada sebagian mereka, pihak yang lebih sadar menghubungkan panggilan kenabian gereja dengan kenyataan masyarakat melihat segi-segi positif asas-asas politik yang diperkembangkan pemerintah kolonial, seperti: jaminan kebebasan pribadi, peradilan yang tidak terikat, kebebasan beragama, kebebasan mengeluarkan pendapat, kebebasan berserikatdan berapat, kebebasan membicarakan kepentingan umum di dewan-dewan perwakilan dsb. Di samping itu, mereka juga mengetahui kelemahan-kelemahan di dalam kehidupan masyarakat tradisional: 
[…] betapa buruknya keadaan yang telah diakhiri oleh penjajahan Belanda dan betapa luasnya kesempatan untuk memperbaikinya yang telah dibuka oleh pemerintah penjajah itu.[53] 
Dengan kata lai, kalangan Zending menghargai gagasan-gagasan ideal dalam politik etis pemerintah kolonial. Tetapi tidak adil untuk secara umum menyamaratakan sikap atau peran pihak Zending menghadapi kenyataan-kenyataan pengaruh barat kepada masyarakat Indonesia. Gambaran yang dikemukakan oleh seorang misiolog dan sejarawan, yang meneliti hubungan pekabaran Injil dengan pengaruh kebudayaan (Barat), dapat diberlakukan di Indonesia: 
Pernyataan semberono bahwa perembesan kekuasaan politik dan kebudayaan barat ke seluruh dunia di mana-mana hanyalah menghasilkan kerusakan, dan bahwa pekabaran Injil Kristen tanpa perbedaan telah terlibat dalam kesalahan atas kerusakan itu, tidak akan tahan uji terhadap penelitian sejarah penelitian sejarah yang sederhanapun. Pada pihak lain, pandangan-pandangan yang mengidealkan, baik mengenai ekspansi kolonial sebagai pemikul beban kulit putih maupun tentang kemajuan pekabaran Injil yang baik tampil sebagai sahabat orang-orang Asia dan Afrika yang bersahaja, sangatlah dirusakkan oleh susupan mitologis. Setiap generalisasi harus diperbaiki dengan memperhitungkan pengecualian-pengecualian.[54] 
1.3        Zending dan Pergerakan Nasional Indonesia 
1.3.1    Nasonalisme Indonesia 
Bangkitnya nasionalisme Indonesia dapat dihubungkan dengan dua faktor dasar, yakni pengaruh perkembangan internasional berupa kebangkitan bangsa-bangsa terjajah (khususnya di Asia) memperjuangkan kemerdekaan.[55] Salah satu peristiwa penting yang menunjang perkembangan ini adalah kemengan Jepang (Asia) atas Rusia (Eropa) dalam perang pada tahun 1905. Faktor dasar lainnya adalah kebijakan kolonial yang baru, yakni politik etis pemerintah Belanda. Dalam hubungan dengan politik etis itu pentinglah menyebut dua hal : peningkatan pendidikan pribumi dan pembentukn Voolksraad.  Pendidikan pribumi bermakna terutama dalam ditingkatkannya jumlah dan jenjang pendidikan, yang pada gilirannya melahirkan kaum terpelajar Indonesia. Mereka inilah yang menjadi penggagas dan tulang punggung pergerakan nasional. 
Pergerakan nasional Indonesia mula-mula merupakan gerakan sosial,  ekonomi, kebudayaan dan agama (Islam), yakni sebagai sambutan positif terhadap politik etis, tetapi kemudian, ketika ideal politik etis tidak terwujud, pergerakan berubah menjadi pergerakan politik-ideologis yang menentang seluruh sistem kolonial.[56] Proses perubahan itu juga disertai dinamika di dalam pergerakan, yang trejadi karena masing-masing kelompok berusaha berjuang dengan cara dan visi yang berbeda. Dalam dinamika tu menonjkol dua kubu: Islam dan Kebangsaan. Golongan kebangsaan dan golongan Islam berbeda gagasan mengenai ideologi Indonesia merdeka. Pihak Kebangsaan memperjuangkan negara sekuler yang memberi tempat kepada agama dalam kehidupan nasional, sedangkan pihak Islam menghendaki suatu negara Islam.[57]Karena beberapa sebab, dari luar dan di dalam, pihak Islam tergeser dari posisi utama dan untuk sementara golongan nasionalis radikal mengambil alih kepeloporan pergerakan. Tetapi ketika pihak Komunis mencoba suatu perlawanan bersenjata (1926/1927), kelompok ini disingkirkan oleh penguasa kolonial. Maka pihak Kebangsaan (dengan berbagai perbedaan unsur-unsurnya)  memegang kendali dan pergerakan memasuki tahap yang secara politis lebih jelas arahnya. 
Pergerakan pemuda dan mahasiswa menjadi suatu faktor tersendiri. Gagasan-gagasan kesatuan Indonesia yang mereka cetuskan dalam Sumpah Pemuda (1928) dan wujudkan antara lain dalam pembentukan Indonesia Muda(1930) merupakan sumbangan yang bermakna bagi pergerakan nasional.
Dalam proses perkembangannya, makin jelaslah arah pergerakan sebagai perjuangan untuk mencapai kemerdekaan Indonesia. Dan bersamaan dengan itu pula bertumbuh kesadaran menuju kesatuan sebagai satu bangsa yang meliputi semua penduduk dalam wilayah kesatuan administratif penjajahan Belanda. Kedua hal itu, kemerdekaan dan kesatuan bangsa Indonesia, menjadi acuan bersama para aktivis pergerakan.
Faktor secara bersama di bawah kekuasaan penjajah sangat menentukan lahirnya kebangsaan Indonesia. Disamping itu, sebagaimana dicatat oleh Kahin,[58] terdapat faktor-faktor lain yang turut menentukan, yakni kesadaran akan kebesaran politik masa lampau dalam sejarah dalam sejarah kerajaan-kerajaan besar Nusantara (Majapahit, Sriwijaya),[59] kesamaan agama (sejumlah besar penduduk memeluk agama Islam, yang berkembang sebagai simbol perlawanan terhadap dominasi bangsa asing), perkembangan bahasa Melayu pasar menjadi bahasa nasional, adanya Volsraad seak tahun 1917, penyebaran gagasan oleh dukungan terbitan-terbitan berbahasa Melayu dan bahasa daerah, siaran radio serta meningkatnya mobilitas geografis penduduk akibat pola organisasi ekonomi abad ke-20 dengan berbagai kelengkapan transportasinya. Pada sisi yang lain Kahin juga mencatat segi-segi yang menghambat perkembangan nasionalisme Indonesia itu. Pola pemerintahan tak langsung (indirect rule), yakni dengan mengangkat pejabat tradisional pribumi sebagai pelaksana pemerintahan dan memberi kedudukan khusus kepada orang Cina di bidang ekonomi. Akibatnya, ketidakpuasan rakyat tertuju pada mereka, bukan kepada kekuasaan penjajah di atas mereka. Selanjutnya, kenyataan mayarakat Indonesia sebagai masyarakat majemuk: pemerintah kolonial memanfaatkan kemajemukan itu untuk memecah-belah, misalnya dengan menempatkan orang Cina dan Indo-Eropa pada kelas menengah, dan memberi hak-hak khusus kepada “suku-suku Kristen” (Ambon dan Manado).[60] Faktor penting  lainnya adalah kewenangan pemerintah kolonial, khususnya adanya hak-hak exorbitant Gubernur Jenderal, menindak tokoh-tokoh nasionalis. Masih dapat ditambahkan kenyataan perbedaan dan pertentangan antara aliran-aliran nasionalis sendiri, baik perbedaan ideologis maupun perbedaan taktik dan strategi. Perbedaa ideologis terutama menajam antra golongan Islam dan golongan Kebangsaan, sedangkan perbedaan taktik dan strategi antara penganut coöperatie dan penganut non- coöperatie, yakni mereka yang percaya pada kerjasama dengan pemerintah kolonial untuk mencapai kemerdekaan, dan mereka yang tidak percaya dan berjuangdi dalam sistem kolonial.Pada tahun 1930-an para penganjur pergerakan yang tidak diasingkan pemerintah kolonial, umumnya menempuh saluran resmi sistem kolonial.[61] Jalan yang ternyata buntu ini diakhiri oleh pendudukan Jepang pada tahun 1942. 
Pada masa pendudukan Jepang, pihak penguasa Jepang berusaha mengalihkan kekuatan pegerakan nasional dari dominasi golongan Kebangsaan kepada pihak Islam. Tetapi walaupun pihak Islam mendapat kemajuan yang cukup berarti, dominasiats pergerakan yang dilembagakan dalam BPUPK (Badan Penyelidik Usaha-Usaha Kemerdekaan), tetap di tangan pihak Kebangsaan dengan tokoh-tokoh utama Sukarno dan Hatta.[62] 
Pada rapat-rapat pertama BPUPK tanggal 28 Mei  - 2 Juni 1945 dibicarakan usul-usul mengenai dasar negara. Pada tanggal 1 Juni Sukarno mengucapkan usul-usulnya yang kemudian dikenal sebagai pidato “Lahirnya Pancasila”.[63] Suatu panitia bantu, Panitia Sembilan, berhasil dalam suatu gentlemen’s agreement mencapai rumusan konsep Pembukaan Undang-Undang Dasar, yang kemudian dikenal sebagai piagam Jakarta.[64]
Piagam ini memuat versi Pancasila yang memberi hak khusus kepada pihak pihakIslam: Sila Ketuhanan diikuti “tujuh kata”: dengan kewadjiban mendjalankan sjaria’t Islam bagi pemeluk-pemeluknja. Rumusan itu diterima untuk disahkan menjadi pembukaan UUD oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), badan pengganti BPUPK yang dibentuk pada tanggal 7 Agustus 1945.[65] Atas desakan para pemuda mlitan dan dengan dukungan Laksamada Maeda, proklamasi kemerdekaan Indonesia dicanangkan oleh Sukarno-Hatta di halaman rumamh kediaman Sukarno, Jl. Pegangsaan Timu No. 56 Jakarta, pada tanggal 17 Agustus 1945, dua hari setelah Jepang menyerah tanpa syarat kepada sekutu. 
Hariitu juga, Hatta dihubungi oleh seorang perwira Angkatan Laut Jepang untuk menyampaikan penolakan kalangan Kristen dari Indonesia bagian Timur terhadap bagian rumusan konsep Pembukaan UUD yang mengistimewakan golongan Islam. Dalam buku kenangannya Hatta mencatat peristiwa itu: 
Opsir itu yang aku lupa namnaya, datang sebagi utusan Kaigun untuk memberitahukan sungguh, bahwa wakil-wakil Protestan dan Katolik, yang dikuasai oleh Angkatan Laut Jepang, berkeberatan sangat terhadap bagian kalimat dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar, yang berbunyi “Ketuhanandengan kewajiban menjalankan Syariat Islma bagi pemeluk-pemeluknya. “Mereka mengakui bahwa bagian kalimat itu tidak mengikat mereka, hanya mengenai rakyat yang beragama Islam. Tetapi tercantumnya ketetapan mengenai itudi dalam suatu dasar yang menjadi pokok Undang-Undang Dasar berarti mengadakan Diskriminasi terhadap mereka golongan minoritas. Jika “diskriminasi” itu ditetapkan juga, mereka lebih suka berdiri di luar Republik Indonesia.[66] 
Hatta menanggapi secara serius soal itu, lalu pada keesokan paginya, sebelum sidang PPKI, Hatta menghubungi beberapa tokoh Islam (antara lain Ki Bagus Hasikusumo, Teuku Mohammad Hasan, Wahid Hasjim) merundingkan hal iu demi mencegah perpeacahan nasional. Akhirnya disepakati mengganti “tujuuh kata” itu menjadi “tiga kata”: Yang Maha Esa.[67] Selanjutnya sidang juga sepakat menghilangkan semua ketentuan dalam UUD yang mengandung hak khusus pihak Islam, misalnya ketentuan bahwa Presiden harus beagama Islam. Dalam rapat resmi PPKI itu juga diterima keberatan Latuharhary atas usul pembentukan Kementrian Agama secara tersendiri, sehingga pada waktu itu urusan agama digabungkan dengan Kementrian Pendidikan.[68] 
1.3.2    Sikap Zending Terhadap Pergerakan Nasional
Ada berbagai perubahan yang berpengaruh dalam kekristenan pada bagian pertama abad ini dan turut menentukan sikap Zending terhadap pergerakan nasional. Pertama-tama, munculnya teologi etis yang menekankan segi etis dari kebenaran iman : kebenaran dan pernyataan Allah, bukanlah perkara otak saja melainkan menyatakan diri dalam seluruh kepribadian seseorang. Tekanan pada kepribadian (tapi bukan secara individualistis) menempatkan pekabaran Injil di luar pengorganisasian gereja. Yang utama adalah persekutuan yang hidup antara pribadi-pribad yang beriman. Pengaruh aliran ini dalam kalangan Zending tampak pada kuatnya perhatian terhadap masalah-masalah dan kebudayaan pribumi dalam hubungan dengan tekanan pada pendidikan dan pengadaban sebagai bagian dari tugas penginjilan. Sudah dicatat di atas bahwa wawasan yang disebut terakhir menjadi alasan sikap positif Zending terhadap imperialisme. Kalangan etis juga kurang memberi perhatian pada pelembagaan gereja di medan pekabaran Injil sehingga kurang memajukan kedewasaan Kristen pribumi.[69] 
Perkembangan lainnya adalah makin perlunya kerjasama antar badan-badan pekabar sedunia di Edinburgh pada tahun 1910 bergema juga di Indonesia. Kerjasama di Indonesia telah dirintis sejak pembentukanNederlandsch Indische Zendingsbond (NIZB) pada tahun 1881, yang mengadakan konferensi tahunan membahas dan mempertukarkan pengalaman masing-masing. Dalam hubungan itu penting peran penunjang majalah De Opwekker sebagai media cetak dalam memperluas gagasan-gagasan yang dihasilkan konferensi tahunan NIZB atau yang diketengahkan tokoh-tokoh Zending.[70] Lembaga penting lainnya dalam kerjasama tersebut adalah Zendingconsulaat, yang dibentuk pada tahun 1906 sebagai badan penghubung kalangan Zending dengan pemerintah. Dalam pelayananya Zendingconsulaat berhasil mengatasi sejumlah kasus dimana kepentingan pekabaran Injil terhalang oleh sikap atau peraturan pemerintah. M.C. Jongeling juga mencatat peran Zendingconsulaat dalam persoalan-persoalan terhalang oleh sikap atau peraturan pemerintah. M.C. Jongeling juga mencatat peran Zendingconsulaat dalam persoalan-persoalan antara Zending dan Missi (Katolik), bantuan finansial kepada MRG, reoganisasi GPI, perdebatan, mengenai pekabaran Injil di Bali dan kemandirian gereja Batak.[71] 
Gereja penting lainnya dalam kekristenan Indonesia pada awal abad ini adalah urbanisasi. Pemuda-pemuda dari suku yang pada umumnya memeluk agama Kristen turut berpindah ke kota-kota besar dalam rangka pendidikan lanjut atau mengisi lowongan kerja pada berbagai lembaga pemerintah. Demikianlah maka dijumpai kelompok-kelompok orang Kristen Indonesia di kota-kota besar di Jawa, seperti Batavia, Bandung, Smarang, Surabaya dan di Makasar, Manado, Ambon dan Kupang. Kebanyakan mereka di kota-kota itu menjadi warga Indische Kerkdalam jemaat berbahasa Belanda. Hanya di Batavia dan beberapa kota besar lainnya terdapat jemaat tersendiri untuk yang berbahasa Melayu dan daerah. Orang-orang Kristen dari suku atau daerah yang sama membentuk organisasi sosial. 
Sikap lembaga-lembaga Kristen di Indonesia baik dalam kalangan Gereja Protestan maupun Zending, turut menentukan dalam membentuk sikap orang Kristen Indonesia terhadap pergerakan nasional Indonesia. Jelas bahwa dalam golongan yang pertama, Gereja Protestan, sebagai gereja negeri, sulit diharapkan bertumbh suatu sikap yang simpatik terhadap pergerakan nasional (baru kemudian ada perhatian dalam kalangan terbatas para pemimpinnya). Sedangkan di pihak Zending mula-mula timbul suatu kesangsian terhadap cita-cita nasionalisme Indonesia. Pandangan yang khas dikemukakan oleh D. Bakker (1865-1932) dan H.A. van Andel, keduanya pekabar Injil Gereformeerd di Jawa Tengah.[72] Bakker berpendapat bahwa bangsa Indonesia lebih baik berada di bawah bimbingan pemerintah Belanda ke arah kemajuan daripada ditindas tirani penguasa-penguasa tradisionalnya. H.A. van Andel, yang juga merupakan pemikir teologis bagi partai politik Kristen (CSP), tetap menghendaki langgengnya ikatan antara negeri Belanda dan Indonesia, yang menurut dia paling tepat merupakan ikatan kerohanian dalam agama Kristen.Baru pada tahun 1920-an muncul dari kalangn Zending tokoh-tokoh yang lebih sadar pada aspirasi kaum pergerakan nasional dan berusaha mengarahkan kekristenan menghadapi kenyataan itu secara tepat. Pendekatan yang lebih terbuka terhadap nasionalisme Indonesia dan berusaha mengarahkan kekristenan menghadapi kenyataan itu secara tepat. Pendekatan yang lebih terbuka terhadap nasionalisme Indonesia diwakili tokoh-tokoh yang progresif, seperti B.M. Schuurman (1889-1945), C.L. van Doorn (1896-1975), J.M.J Scheeper (1888-1967) dan khususnya Hendrik Kraemer (1888-1965). Kraemer dapat dianggap sebagai pembawa wawasan baru Zending terhadap nasionalisme Indonesia.[73] Mengikuti pandangan A.C Kruyt (1870-1949) dan N.Adriani (1865-1926), Kraemer memandang tugasnya untuk menjalin hubungan pribadi dengan kelompok-kelompok yang bereaksi terhadap penetrasi Barat, dengan tujuan: memperhadapkan penginjilan secara cerdas kepada mereka, mengarahkan penginjilan pada pemahan yang lebih dalam pada masalah-masalah tanah rohani dimana benih Injil ditaburkan dan menampilkan keterlibatan Kristen dalam perjuangan melawan kekacauan rohani dan moral yang dialami bangsa-bangsa Timur sebagai dampak perhubungan dengan Barat. Kraemer yang secara resmi merupakan utusan Lembaga Alkitab Belanda di Indonesia melaksanakan panaggilan itu dengan berbagai cara dan sarana, a.l. dengan menulis Kantteekeningen (=catatan pinggir) dalam majalah Zenidng De Opwekker antara tahun 1924-1927. Dalam “caping” dibawah rubrik Persoverzicht (=tinjauan pers) itu Kraemer menyambut gembira dan simpatikkebangkitan nasional, budayah dan politik di kalangan bangsa Indonesia dalam hubungan dengan masalah-masalah nasionalisme dan hubungan kolonial. Dengan catatan-catatannya Kraemer bertujuan mencerahkan rekan-rekannya, para pekabar Injil, mengenai kenyataan hidup dalam masyarakat supaya mereka dapat memebritakan Injil secaa tepat.[74] Penekanan Kraemer adalah mengajak kalangan Zending untuk mendorong orang Kristen Indonesia supaya terlibat secara aktif dalam perjuangan bangsanya dibidang sosial dan politik.[75] Di dalam kenyataan itu – dimana nasionalisme merupakanmovement of self-expresson – Zending mempunyai tempat yang khusus sehubungan dengan kewajiban moral untuk pendidikan (education) dan pembahasan batin (emantipation). 
Dalam situasi umum ini, yang menyangkut kewajiban moral yang dijelaskan di atas, kegiatan-kegiatan pekabaran Injil merupakan ciri penting. Kegiatan tersebut membentuk salah satu faktor dan sebab-sebab yang sangat bermakna. Dalam pertemuan-pertemuan yang menentukan antara Timur dan Barat. Karena itu, bukan hanya dalam hakekatnya dalam penugasan ilahi, melainkan juga dalam sifatnya sebagai suatu upaya manusia, pekabaran Injil jelas mempunyai sutu tugas dalam gerakan pengungkapan diri. Semuanya dapat dirangkum di bawah judul emansipasi dan peremajaan bangsa-bangsa, apa yang disebut peningkatan intelektual, kebudayaan, sosial, moral dan rohani, yang menentukan perhatian dan kerjasama yang tulus dan simpatik dari pekabaran Injil. […] Pekabaran Injil mendukung gerakan pengungkapan diri dengan menyambut sebagai keprihatinan mereka sendiri semua perjuangan dan pergerakan yang sungguh-sungguh murni, dan tanpa keraguan memihak pandangan yang menginginkan bangsa yang kuat dan sehat daripada yang lemah dan patuh. Hal ini bertabrakan dengan pandangan imperialis yang secara naluriah berupaya mempertahankan keadaan lemah dan patuh dari mereka yang menjadi alat dan tujuannya.[76] 
Pemikiran misiologis Kraemer bertolak dari pemahaman yang luas akan arti pemberitaan Injil dalam kalangan Dewan Pekabaran, dimana berhadapan kelompok “rohani” Eropa dengan dengan kelompok “sosial” Amerika-Inggris. Konferensi IMC kedua di Yerusalaem pada tahun 1928 mendukung pendekatan kelompok terakhir, yang sejalan dengan pandangan Kraemer bahwa pekabaran Injil meliputi usaha-usaha mewujudkaan keadilan dalam bidang sosial, politik dan ekonomi, sedang kelompok lawannya membatasinya hanya pada wilayah kerohanian. Kecuali van Andel, wakil-wakil dari Indonesia ke konferensi itu seperti Kraemer, Schuurman dan Moelia umumnya berpihak pada pemahaman yang lebih luas dan utuh itu. Diskusi-diskusi dan karangan-karangan mengenai pokok kajian Konferensi Yerusalem, khususnya mengenai masalah sosial, buruh dan ras, menjadi salah satu perhatian utama sejak itu.[77] 
Pengaruh Kramer di dalam sooal hubungan Zending dan pergerakan nasional ini tampak dalam dua hal: meningkatnya perhatian terhadap masalah-masalah sosial politik dalam Konferensi tahunan NIZB, dan munculnya tokoh-tokoh zendeling pro-nasionalisme juga dari kalangan Gereformeerd seperti H. van den Brink (1904-1982), J. Verkuyl (lahir 1908) dan tokoh-tokoh pro-Indonesia lainnya.[78] 
Pengaruh pendekatan Kraemer terhadap sikap orang Kristen Indonesia terhadap pergerakan nasional akan dibicarakan secara khusus. Di sini dapat di kemukakan bahwa visi baru kalangan Zending tersebut kemudian memunculkan sekelompok orang Kristen terpelajar yang yang menghubungkan kekristenan dengan nasionalisme Indonesia. 
1.4        Rangkuman 
Kekristenan tiba di Indonesia dalam hubungan dengan pelayaran niaga bangsa-bangsa Barat ke Asia dan pengkristenan penduduk di Indonesia berkaitan dengan kepentingan politik perdagangan itu. Dalam percaturan kekuatan memperebutkan hak monopoli memperebutkan rempah-rempah yang dihasilkan Indonesia, agama Kristen ditentukan oleh pemenang: sebagian besar jemaat-jemaat Kristen Katolik dari masa Portugis diprotestankan pada masa VOC Belanda dengan kedudukan sebagai jemaat-jemaat dari Gereja Protestan di Belanda. Dengan pengecualian di Maluku, kekritenan di Indonesia pada kedua masa itu berada diluar kehidupan masyarakat Indonesia atau menjadi kelompok-kelompok persekutuan yang tercerabut dari kenyataan masyarakat aslinya oleh pola kekristenan yang bercorak asing dan oleh pemukuman mereka di sekitar pusat kehidupan Eropa (benteng). Jadi berlangsung semacam proses alieanasi orang Kristen Indonesia, Di Maluku Tengah, kekritenan mempribumi, menjadi bentuk formal kepercayaan rakyat dan relatif berhasil mempertahankan wilayah itu dari pengislaman. 
Ketika wilayah Indonesia dialihkan dari dominasi monopoli perdagangan VOC menjadi daerah jajahan pemerintah Belanda, kekristenan Protestan di Indonesia dipersatukan dalam Gereja Protestan Hindia Belanda, sebuah gereja yang menjadi bagian dari administrasi pemerintahan kolonial. Sementara itu kalangan pekabar Injil memperoleh jalannya ke dalam suku-suku bangsa Indonesia yang relatif terisolir di mana mereka melakukan pekabaran Injil yang berakibat ganda: pengkristenan dan pengadaban. 
Tetapi baik Gereja Protestan maupun jemaat-jemaat hasil pekerjaan Zending sama tidak berkembang menjadi kekuatan sosial politik dalam tatanan kolonial. Gereja Protestan dan badan-badan Zending belum memberi perhatian pada masalah-masalah sosial-politik, misalnya penderitaan rakyat akibat eksploitasi ekonomi di Jawa dan Sumatera. Kalaupun di sana-sini ada perhatian kalangan Zending, mereka tidak berdaya mneghadapi pemerintah kolonial. 
Jadi, sampai permulaan abad ke-20 kekristenan di Indonesia tidak bersikap anti-kolonialisme, dalam arti tidak mengecam kenyataan-kenyataan buruk dalam praktek kolonial, bukan karena mendukungnya melainkan karena menganggap hal itu di luar urusan wilayah urusan agama. Hanya pada bidang-bidang tertentu dimana kedua lembaga bersilang peran terdapat jalinan hubungan sesuai dengan kebutuhan aktual. Dibeberapa tempat dukungan pemerintah diperlukan bagi pekabaran Injil, tetapi di tempat-tempat lainnya pemerintah kolonial justru menjafi kendalanya. 
Juga pada permulaan Politik Etis, ketika gagasan Kersteningspolitiek ditonjolkan, tidak ada usaha serius pemerintah pemerintah kolonial mendukung penyebaran agama Kriten. Dukungan yang berlaku adalah tanggung jawab finansial kepada Gereja Protestan, yang oleh faktor sejarahnya menjadi bagian dari administrasi kolonial. 
Pada masa pergerakan nasionalime Indonesia, lembaga-lembaga gereja dan Zending mula-mula mengambil jarak, terutama karena pergerakan itu tampil sebagai gerakan dari golongan-golongan yang tidak sejalan dengan kekristenan: Islam ataupun Komunis. Tetapi lamban laun kalangan Zending memahami hakekat pergerakan itu sebagai ungkapan hak kemerdekaan suatu bangsa. Dari kalangan Zending yang pada masa itu banyak menentukan kehidupan Kristen di Indonesia muncul beberapa tokoh yang jeli membaca tanda-tanda zaman dan kemudian berusaha mengarahkan Zending dan gereja-gereja terhadap pergerakan nasional Indonesia.Tetapi bukan suatu dukungan tanpa sikap kritis. Tokoh-tokoh penting Zending dalam proses ini adalah B.M. Schuurman dan Hendrik Kraemer.


[1] Mengenai suatu usaha “membuktikan” bahwa kekristenan sudah masuk Indonesia pada abad ke-7, lihat antara lain Y. Bakker, “umat Katolik Perintis di Indonesia +/645 - +/1500” dalam: Sejarah Gereja Katolik Indonesia (Ende-Flores: Arnoldus, 1974), hlm. 19-40. 
[2] Th. Müller-Krüger, Sedjarah Geredja di Indonesia (Djakarta: Badan Penerbit Kristen, 21966, hlm. 15-20. Mengenai perkembangan kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia, lihat Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto (eds), Sejarah Nasional Indonesia, III, (Jakarta: Balai Pustaka 41990); Sartono Kartodiedjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru: 1500-1900, Dari Emporium sampai Imperium, 1, (Jakarta: Gramedia, 1987), hlm. 28-65. 
[3] J.L. Ch. Abineno, Sejarah Apostolat di Indonesia, I, (Jakarta: persetia, 1978), hlm.32,28. Kekristenan di Maluku yang bercampur dengan unsur-unsur kepercayaan pra-Kristen disebut agama Ambon. Untuk penilaian terhadap kenyataan in, lihat a.l. F.L. Cooley, Mimbar dan TakhtaHubungan Lembaga-lembaga Keagamaan dna Pemerintahan di Maluku Tengah (Jakarta: Sinar Harapan, 1987), Bab IV; H. Kraemer,From Missionfield to Independent Church: Report o an Desicive Decade in the Growth of Indigenous Churches in Indonesia (‘s-Gravenhage: Boekencentrum, 1958), hlm. 19 dst; P. Tanamal, Bentuk dan Latar-belakang Keagamaan di Maluku (Vught, Ned: Angkatan Muda GPM, 21968), hlm. 32-40. 
[4] Pengalihan ini sering dikaitkan dengan suatu prinsip yang lazim di Barat, yakni “cuius regio euius religio” (=siapa empunya negara, menentukan agama). Lihat Van den End, Ragi Carita, 1, hlm. 66. 
[5] Müller-Krüger, Sedjarah Geredja di Indonesia, hlm. 32 dyb. 
[6] Cooley, Mimbar dan Takhta, hlm. 358 dyb. 
[7] Butir-butir keputusan itu dicatat dalam C.W.Th. van Boetzelaer, De Protestantsche Kerk in Nederlandsch-Indië: Haar otwikkeling van 1620-1939 (‘s-Gravenhage: Martinus Nijhoff, 1947), hlm. 284 dyb. 
[8] Dengan sengaja dipakai kata negeri, bukan negara. Tekanan pada yang pertama adalah gereja yang dikelola, dimiliki dan dibiayai negara; sedangkan gereja negara menunjuk pada kedudukan agama Kristen sebagai agama negara. Penetapan Raja Willem I terhadap Gereja Protestan di Indonesia adalah menjadikannya bagian dari struktur administrasi pemerintah, bukan menjadikan agama Kristen sebagai agama negara. 
[9] Terjemahan itu tidak diedarkan karena larangan pemerintah, tetapi bagian-bagiannya yang diterbitkan untuk kolportase menemukan jalannya ke dalam lingkungan masyarakat Jawa. Lihat Philip van Akkeren, Sri and Christ: A Study of the Indigenous Church in East Java (London: Lutterworth Press, 1970), hlm. 69 dst. 
[10] Mengenai sikap hidup dan pekerjaan Joseph Kam, lihat I.H. Enklaar, Joseph Kam “Rasul Maluku”(Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1980). 
[11] Lihat J. van den Berg, constrained by Jesus’ Love (Kampen: J.H. kok, 1956; mengenai pengaruhPietisme di Eropa dan Pengaruhnya di Indonesia (Jakarta: BPK Gunung Mulia,1974); Christ Hartono, “Monumen Hidup dari Pietisme – Suatu Kasus di Gereja Kristen Indonesia”, dalam M.A. Ihromi dan S. Wismoady Wahono, Theo-Doron, Pemberian Allah (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1979), hlm. 167-178. Lihat pula F. Ernst Stoeffler (ed), Continental Pietism and Early Amercan Christianity (Grand Rapids, Mich.: Wlliam B. Eerdmands, 1976). 
[12] Tetapi para pengikut Zinzendorf dalam karya penginjilan mereka ternyata tidak dapat hanya “memenangkan jiwa-jiwa”, tetapi juga menganggap perlu kegiatan-kegiatan menciptakan “kebudayaa Kristen” untuk dapat memenangkan perorangan. Lihat J.C. Hoekendijk, The Curch Inside Out (London: Scm Press, 1966), hlm. 15. 
[13] Lihat I.H. Enklaar, Baptisan Massal dan Pemisahan Sakramen-sakramen (Jakarta: PERSETIA, 1978). 
[14] Salah seorang tokoh teologi di balik pembentukan gereja bangsa ini adalah Gustav Warneck (1834-1940). Lihat rangkuman pandangannya dalam Frodolin Ukur, Tantang-Djawab Suku Dajak (Djakarta: BPK Gunung Mulia,1971), hlm. 122-129 dan Jan S. Aritonang, Sejarah Pendidikan Kristen di Tanah Batak(Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1988), hlm. 111-123. Lihat pula Johannes Christiaan Hoekendijk, Kerk en Volk in de Duitse Zendingwetenschap (Diss. RijkuniversteitUtrecht, 1948), hlm. 83 dst. 
[15] Beberapa monografi penting mengenai perkembangan suku-suku itu antara lain Lother Schreiner,Telah Kudengar dari Ayahku (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1978); J. Kruyt, Kabar Keselamatan di Poso(Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1977 ); Terance W. Bigalke, A Social History of “Tana Toraja” 1870-1965 (Ann Arbor: UMI, 1981); F. Ukur, Tantang-Djawab Suku Dajak (Jakarta: BPK, 1971).J. Garang, Dunia Kulawi: Masyarakat, Cudaya dan Gereja di Sulawesi Tengah (diterbitkan dalam Peninjau X/2/1983). Di balik gerakan pengadaban dari Pihak Zending, terdapat pula segi negatif berupa pemusnahan tradisi budaya setempat. Pendekatan yang negatif terhadap tradisi suku – yang berarti kurangnya usaha mempertemukanya dengan Injil – menghambat proses kontekstualisasi Injil. 
[16] Clapham Sect suatu kelompok evangelical yang memberi perhatian pada soal-soal agama dan kemasyarakatan. Tokoh-tokoh Clapham Sect a.l. William Wilberforce (seorang anggota perlemen), Henry Thornton (bankir), dan Zachary Macaulay (saudagar). Tahun 1833 perbudakan dilarang di seluruh wilayah kekuasaanInggris. Lihat Ernest Marshall Howse, Saints in Politics: The ‘Clap Sect’ and the Growth of Freedom (London: George Allen & Unwin, R1976); lihat pula J.R.H. Moorman, A History of the Church in England (London: Adam & Charles Black, 1980), hlm. 318 dst. 
[17] Stephen Neill, Colonialism and Christian Missons (London: Lutterworth, 1966), hlm. 187 dyb. 
[18]Lihat Sartono Kartodirdjo, Protest Movements in Rural Java: A Study of Agrarian Unrest in 19th and 20th Centuries (Kuala Lumpur: Oxford University Press, 1973); Sartono Kartodirdjo, Ratu Adil (Jakarta: Sinar Harapan, 1984). Lihat pula Prisma, VI/1/1977.
[19]  A.B. Lapian, “Gerakan Kristen Revolusioner Sampai 1942”, dalam: Prisma, 11/1985, hlm. 88 dst; lihat juga Richard Z. Leirissa, Maluku dalam Perjuangan Nasional Indonesia (Jakarta: Lembaga Sejarah FS-UI, 1975), hlm. 46 dyb. 
[20] Hal ini dapat dibandingkan dengan corak Islam dalam perlawanan-perlawanan di Indonesia, seperti Perang Diponegoro (sinkretis), Perang Paderi (modernis) dan Perang Aceh (tradisionalis). Lihat Taufik Abdullah, Islam dan Masyarakat: Pantulan Sejarah Indonesia (Jakarta: LP3ES, 1987), hlm 6 dst. Lemahnya corak Kristen dalam perlawanan di Saparua itu dapat menunjukan bahwa kalangan orang Kristen Pribumi belum mampu memberi pegangan teologis bagi kepedulian sosial gereja. 
[21] Lihat Enklaar, Joseph Kam “Rasul Maluku”, hlm. 50-60. Ds. Lenting, pendeta Belanda yang menyertai pasukan pemerintah Belanda, memimpin kebaktian syukur resmi di Tiouw setelah perlawanan itu tuntas dipadamkan. 
[22] Uraian mengenai Irian Jaya ini didasarkan pada F.C. Kamma, Ajaib di Mata Kita: Masalah Komunikasi antara Timur dan Barat dilihat dari Sudut Pengalaman Selama Seabad Pekabaran Injil di Irian Jaya(Jakarta: Persetia, 1981-1982), I, hlm. 170-185 dan II, hlm. 133 dyb. 
[23] Kamma, Ajaib di Mata Kita, I, hlm. 134. Kamma juga mengutip pandangan kritis Hoornbeek terhadap hubungan Zending dan pemerintah: “Seringkali orang terlalu mengejar dukungan dari kekuasaan duniawi, seakan-akan gereja akan binasa kalau dukungan itu tidak ada. Tetapi apakah yang akan dilakukan oleh para pemberita Injil dahulu, yang telah memberitakan Injil selagi segala kekuasaan menentangnya, namun dengan mendapat hasillebih besar dari kapanpu? Barangsiapa yang bersenjatakan Kristus, dia dipersenjatai untuk melawan segalanya.” (hlm. 135). 
[24] Ibid., hlm. 134. 
[25] Ibid., hlm.181. 
[26] Ibid., hlm. 184 
[27] C.W. Nortier, Tumbuh, Dewasa, Bertanggungjawab: Suatu Studi Mengenai Pertumbuhan Gereja Kristen Jawi Wetan Menuju Kedewasaan dan Kemerdekaan +/1835 – 1935 (Jakarta: Persetia, 1981), hlm. 38. 
[28] Ibid., hlm. 38 dyb. 
[29] Ibid., hlm. 43 dyb. 
[30] Kraemer, From Missionfield to independent church: Report on a Decisive Decae in the growth of Indigenous Churches in Indonesia (‘S-Gravenhage: Boekencentrum, 1958), hlm. 47. Untuk pembahasan yang mendalam mengenai sejarah Tanah Batak pada zaman kolonial, lihat Lance Castles, The Political Life of a Sumatran Residency: Tapanuli 1915-1940 (Diss. Yale University, 1972). 
[31] Pasal 123 RR yang terkenal itu berbunyi: “1) Para Guru Kristen, imam-imam dan zendeling harus mempunyai izin khusus yang diberikan oleh atau atas nama Gubernur Jenderal untuk melakukan tugas dinasnya dalam salah satu daerah tertentu di Hindia Belanda. 2) Bilamana izin itu dianggap merugikan atau bila syarat-syaratnya tidak dipatuhi, izin itu dapat dicabut oleh Gubernur Jenderal.” 
[32] Walaupun harus dicatat pula bahwa sesuai ideal Pietisme, mereka bersikap kristis terhadap kenyataan masyarakat Eropa, khususnya moral para pejabat kolonial. 
[33] Kehidupan orang Kristen Barat di Asia secara umum begitu buruk sehingga pada akhir abad ke-19 timbul sindiran: “In the east of Suez the Ten Commandements don’t apply”. Th. Van den End, Sejarah Gereja Asia (Yogyakarta: PPIP Duta Wacana, 21988), hlm.41. 
[34] Van den End, Ragi Carita, 1, hlm. 156. Lihat pula K.A. Schipper, Moderne Koloniale Staat en Moderne Zending. Een Onderzoek naar de Economische en Godsdienstige Emancipatie van het Oosten (Utrecht: Erven J. Bijleveld, 1938), khususnya Hfd. III (hlm. 67 dst). 
[35]  [35]  Tulisan-tulisannya dan perhatiannya dalma jabatannya sebagai penasehat pemerintah dan anggota parlemen terhadap arah baru politik kolonial – politik etis – memberinya julukan “Bapak Pergerakan Etis”. 
[36] Lihat Robert van Niel, Munculnya Elit Modern Indonesia (Jakarta: Pustaka Jaya, 1984), hlm. 50 dst. 
[37] Mengenai Politik Etis, lihat Sejarah Nasional Indonesia, V, hlm. 30-95; Sartono Kartodirjo, Dari Emporium, hlm.20 dyb; dan J. Verkuyl, Ketegangan antara Imperialisme dan Kolonialisme Barat dan Zending pada Masa Politik Kolonial Etis (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1990). 
[38] Lihat H. Baudet dan I.J. Brugmans, Politik Etis dan Revolusi Kemerdekaan (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1987), hlm. 6. Pada kenyataannya konsep Inggris tentang “the dual mandate” – kekuasaan kolonial berkewajiban baik untuk meningkatkan kemajuan penduduk pribumi, maupun untuk membuka tanah jajahannya bagi ekonomi duia – banyak dipraktekkan para penjajah, dengan tekanan yang lebih pada mandat kedua. 
[39] Pokok-pokok ini membenarkan ungkapan Mayer Ranneft, seorang tokoh kolonial Belanda, bahwa zaman ini ditandai dengan ethiek, economie en orde. Dikutip dalam Sejarah Nasional Indonesia, V, hlm. 57. 
[40] Pada tahun 1930 hanya terdapat 1.541.516 murid dari total 59.138.067 jiwa penduduk. Lihat Tabel statistik 3 dalam Jan S. Aritonang, Sejarah Pendidikan Kristen di Tanah Batak, hlm. 39. 
[41] Sartono Kartodirdjo, Kolonialisme dan Nasionalisme di Indonesia pada Abad-19 da Abad-20(Jogyakarta: Fak. Sastra UGM, 21972), hlm. 45. 
[42] Sartono Kartodirdjo, Kolonialisme dan Nasionalisme di Indonesia pada Abad-19 da Abad-20(Jogyakarta: Fak. Sastra UGM, 21972), hlm. 45. 
[43] Ricklefs, A History of Modern Indonesia, hlm. 153 dyb. 
[44] Van Niel, Munculnya Elit Modern Indonesia, hlm. 176. Bandingkan catatan Sartono Kartodirdjo: “Tetapi tidak dapat disangsikan Dewan rakyat ini telah melaksanakan tujuan yang sangat berfaedah. Ia telah memberi kepada birokrasi kolonial pertanggungjawab yang luas bagi masyarakat kolonial, karena ia harus bekerja secara terang-terangan dan dapat diminta setiap waktu untuk menjelaskan dna mempertanggungjawabkan aktivitas-aktivitasnya. Seperti dikatakan oleh De Wilde: Indian matters were to be removed from musty offices into the fresh air of publicity”. Sartono Kartodirdjo, Kolonialisme dna Nasionalisme, hlm. 37. 
[45] Lihat Onghokham, Runtuhnya Hindia Belanda (Jakarta: Gramedia, 1987), hlm. 54-63. 
[46] Pada masa ini timbul “polemik kebudayaan” antara penganut kebudayaan tradisional dengan kebudayaan Barat Moderen. Lihat Achdiat K. Mihardja (ed), Polemik Kebudayaan (Jakarta: Pustaka Jaya,41986); lihat pula Fachry Ali, “Soetatmo – Tjipto: Nasionalisme Kultural dan Nasionalisme Hindia”,Kompas, 20 Mei 1986 dan lanjutannya, “Akar Struktural Lahirnya Pemikiran Nasionalisme”, Kompas, 21 Mei 1986; bandingkan dengan Nirwan Dewanto, “Kebudayaan Indonesia: Pandangan 1991”, Prisma, 10/Oktober 1991: 3-21. 
[47] Pada masa ini timbul “polemik kebudayaan” antara penganut kebudayaan tradisional dengan kebudayaan Barat Moderen. Lihat Achdiat K. Mihardja (ed), Polemik Kebudayaan (Jakarta: Pustaka Jaya,41986); lihat pula Fachry Ali, “Soetatmo – Tjipto: Nasionalisme Kultural dan Nasionalisme Hindia”,Kompas, 20 Mei 1986 dan lanjutannya, “Akar Struktural Lahirnya Pemikiran Nasionalisme”, Kompas, 21 Mei 1986; bandingkan dengan Nirwan Dewanto, “Kebudayaan Indonesia: Pandangan 1991”, Prisma, 10/Oktober 1991: 3-21. 
[48] Sejarah Nasional Indonesia, V, hlm. 61.
[49] Lihat Harry J. Benda. Bulan Sabit dan Matahari Terbit: Islam Indonesia pada Masa Pendudukan Jepang (Jakarta: Pustaka Jaya, 1980), hlm. 27-52; Idem, “Christiaan Snouck Hurgronje and the Foundation of Dutch Islamic Policy in Indonesia” dalam Continuity and Change in Southeast AsiaColected Journal Articles of Harry J. Benda, Adrienne Suddard (ed), (New Have: Yale University Southeast Asia Studies, 1972), hlm 83-92; lihat juga Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda: Het Kantoor voor Inlandsche zaken (Jakarta: LP3ES, 1983). 
[50] Pemberlakuan hukum adat merupakan dukungan terhadap kalangan ningrat tradisional, yang sejak lama merupakan rival pemuka Islam. Untuk penilaian kritis terhadap peran Snouck Hurgronjo, lihat P.Sj. van Koningsveld, Snouck Hurgronje dan IslamDelapan Karangan tentang Hidup dan Karya Seorang Orientalis Zaman Kolonial (Jakarta : Girimukti Pasaka, 1989). 
[51] Suminto, Politik Islam Hindia Belanda, hlm. 37 dyb. Suminto terutama menilai sikap pro-Kristen pemerintah kolonial dari besarnya tunjangan pemerintah kepada gereja. 
[52] Ibid., hlm. 24 dyb. 
[53] S.C. van Randwijck, Oegstgeet: kebijaksanaan “Lembaga-lembaga Pekabaran Injil yang Bekerjasama” 1897-1942 (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1989), hlm. 149. Lihat juga J. Verkuyl Ketegangan antara Imperialisme dan Kolonialisme Barat dan Zending pada masa Politik Kolonial Etis (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1990), hlm. 67-75. 
[54] Stephen Neill, Colonialism and Christian Missions (London: Lutterworth, 1966), hlm. 412; bnd. Van Randwijck, Oegstfeest, hlm. 226-244. 
[55] Untuk pembahasan pergerakn nasional Indonesia, lihat George McTurnan Kahin, Nasionalism and Revolution in Indonesia (Ithaca, NY: Cornell University Press, 5 1961); Sartono Kartodirdjo , Pengantar Sejarah Indonesia Baru: Sejarah Pergerakan Nasional, I, Dari Kolonialisme sampai Nasionalisme (Jakarta: Gramedia, 1990); Idem, Kolonialisme dan Nasionalisme di Indonesia pada Abad-19 dan Abad-20; J.Th. Petrus Blumberger, De Nationalistische Beweging in Nederlandsch-Indië (Foris, 2 1987); J.M. Pluvier,Overzicht van de Ontwikkeling der Nationalistische Beweging in Indonesi in de jaren 1930 tot 1942 (‘s Gravenhage-Bandung: W. van Hoeve, 1953); Sejarah Nasional Indonesia, V. 
[56] Pergerakan Nasional Indonesia dapat dibagi atas tiga tahap: Tahap pertama adalah tahap pertumbuhan  (dengan corak cultural, etnis dan religius), yakni sampai dasawarsa kedua. Lalu tahap pergerakan radikal (corak ideologis politik) berlangsung sampai 1933. Selanjutnya tahap pendekatan konstitusional (corak ideologis politik) sampai 1942. Lihat periodisasi Sejarah Nasional Indonesia, V, bab III. 
[57] Pandangan golongan Kebangsaan terugkap secara jelas dalam pidato Supomo (1945): “Oleh karena itu saja mengandjurkan dan saja mupakat dengan pendirian jang hendak mendirikan negara nasionalyang bersatu dalam arti, totaliter seperti jang saja uraikan tadi, jaitu negara jang tidak akan mempersatukan diri dengan golongan jang terbesar, akan tetapi jang akan mengatasi segala golongan dan akan mengindahkan dan menghormati keistimewaan dari segala golongan , baik golongan jang besar maupun golongan jang ketjil. Dengan sendirinja dalam negeri nasional jang bersatu itu, urusan agama akan terpisah dari urusan negara dan dengan sendirinja  dalam negara nasional jang bersatu itu urusan agama akan diserahkan kepada golongan-golongan agama jang bersangkutan. Dan dengan sendirinja dalam negara sedemikian seseorang akan merdeka memeluk agama jang disukainja. Baik golongan agama jang besar, maupun golongan jang terketjil, tentu akan meras bersatu dengan negara (dalam bahasa asing ‘zal zich thuis voelen’ dalam negaranja). “ [Supomo], “Pidato pada tanggal 31-5-1945 dalam Rapat Badan Penjelidikan untuk Persiapan Indonesia Merdeka, di gedung  Chuuoo Sangi-in di Djakarta” dalam Muhammad Yamin, Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945, I, (Djakarta: Prapantja, 1959), hlm.117. Dan sebagaimana dikutip Deliar Noer, pandangan yang khas dari pihak Islam dikemukakan oleh Natsir pada tahun 1931: “Tujuan kaum Muslimin mencari kemerdekaan untuk kemerdekaan Islam, supaya berlaku peraturan dan susunan Islam , untuk keselamatan dan keutamaan ummat Islam khususnya, dan segala makhluk Allah umumnya. Adakah ini juga tujuan dan cita-cita mereka itu? Mereka yang dari sekarang sudah menyatakan sikap ‘netral’ kepada agama , yang dari sekarang sudah meremehkan tak mau campur dalam segala urusan yang berbau Islam.” Noer, Gerakan Moderen Islam, hlm. 281.
[58] Kahin, Nationalism and Revolution in Indonesia, hlm. 37-41.
[59]  Dengan dipelopori Yamin, para pendiri Republik Indonesia pada tahun 1945 berusaha menetapkan batas geografis negara kesatuan Indonesia yang meliputi “Sumatera, Djawa-Madura, Sunda Ketjil, Borneo, Selebes, Maluku-Ambon, dan Semenandjung Malaya, Timor dan Papua”, berdasarkan wilayah Nusantara menurut Prapantja dalam Negarakertagama. Lihat Muhammad Yamin, “Daerah Negara-Kebangsaan Indonesia”, dalam Muhammad Yamin, Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945, hlm. 136 dst.
[60] Kedua suku menjadi sumber utama dalam merekrut pegawai dalam jajaran administrasi pemerintahan kolonial dan militer (KNIL). Tetapi pada tahun 1920-an oleh makin banyaknya pendidikan, posisi mereka di bidang kemiliteran dan kepegawaian itu  mulia digeser oleh suku-suku lainnya, khususnya oleh orang Jawa.
[61] Pada masa itu timbul aksi-aksi konstitusional para nasionalis, seperti “Petisi Sutardjo”, “Aksi Indonesia Berparlemen “, dan sebagainya. Lihat Sejarah Nasional Indonesia, V Bab IIIC; mengenai “Petisi Sutardjo”, lihat Susun Abeyasekere, “The Sutardjo Petition”, dalam C. Fassur (ed), Geld en Geweten, hlm. 144-178. 
[62] Lihat Benda, Bulan Sabit dan Matahari Terbit, hlm. 165 dst. Pada masa pendudukan Jepang ini pula bangkit generasi pergerakan yang baru – Angkatan 45 – suatu generasi yang lebih militan dan bersikap anti kolonial. Merekalah yang mempertahankan kemerdekaan Indonesia dalam perjuangan bersenjata. Lihat T.B. Simatupang, “Pentingnya Revolusi 45 bagi Kita Dewasa ini”, dalam Prisma. 7/1976: 29 dst; mengenai peranan pemuda dalam Perang Kemerdekaan, lihat Ben Anderson, Revoloesi Pemoeda: Pendudukan Jepang dan Perlawanan di Jawa 1944-1946 (Jakarta: sinar Harapan 1988). 
[63] Lihat Sukarno, Lahirnya Pancasila (Jakarta: Pustaka Universitas, 1982). 
[64] Panitia ini menggantikan “Panitia Ketjil Penjelidik Oesoel-Oesoel” yang beranggotakan 8 orang. Panitia sembilan beranggotakan: Sukarno, Hatta, A.A. Maramis, Abikoesno Tjokrosoejoso, Abdoelkahar uzakir, H. Agus Salim, Ahmad Soebardjo, Wachid Hasjim, dan Moehammad Yamin. Lihat Yamin,Naskah-Persiapan Undang-Undang Dasar 1945, I, hlm. 153; lihat juga Ensiklopedi Populer Politik Pembangunan Jakarta dimuat sebagai Lampiran I dalam Yamin, Naskah-Persiapan Undang-Undang dasar 1945, I, hlm. 709 dyb. Salah satu studi dengan kecenderungan “menghidupkan” piagam Jakarta, adalah Endang Saifuddin Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945 (Jakarta: Rajawali, 1986).
[65] Dalam Rapat Panitia Perancang UUD I sub panitia BPUPK I tanggal 11 Juli 1945, Latuharhary menentang ketujuh kata tersebut, tetapi keberatanya ditolak. Lihat Yamin, Naskah-Persiapan Undang-Undang Dasar 1945, I, hlm. 259. 
[66] Mohammad Hatta, Memoir (Jakarta: Tintamas Indonesia, 1978), hlm. 458. Tidak diperoleh petunjuk mengenai orang-orang yang bertindak sebagai “wakil-wakil Protestan dan Katolik” tersebut, namun dapat diduga mempunyai hubungan dengan Latuharhary. 
[67] Jadi, rumusan akhir, Ketuhanan Yang Maha Esa, bukan lagi rumusan kompromi antara golongan Kebangsaan dengan golongan Islam, sebagaimana halnya  rumusan Piagam Jakarta (Ketuhanan dengan kewadjiban mendjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknja), melainkan kompromi antara pihak Kristen (yang didukung oleh Kebangsaan) dengan pihak Islam. Dan dengan rumusan itutercapai gagasan golongan Kebangsan untuk memberi tempat kepada agama-agama dalam negara Indonesia merdeka – tetapi bukan sebagai dasar negara. 
[68] Penggabungan itu mengikuti model zaman kolonial. Juga usul I Gusti Ktut Pudja dari Bali diterima untuk mengubah kata “Allah” dalam aline ketiga Pembukaan UUD menjadi “Tuhan”. Yamin, Naskah-Persiapan Undang-Undang Dasar 1945, I, hlm. 406. 
[69] Van Randwijck, Oegstgeest, hlm. 79 dyb. Kebanyakan tokoh zending Belanda di Indonesia beraliran etis (hlm. 83). Selengkapnya mengenai aliran teologi etis ini, lihat disertasi Chris Hartono, “Teologi Etis dan Pekabaran Injil: Suatu Studi tentang Pengaruh Teologi Etis Belanda atas Pekabaran Injil Belanda yang bekerja di Hidia Belanda pada 1900-1925” (Diss. SEAGST 1989).
[70] Lihat P.N. Holtrop, Selaku Perintis Jalan Keesaan Gerejani di Indonesia (Ujungpandang: ISGIT, 1982), hlm. 8 dyb. 
[71] Lihat M.C. Jongeling, Het Zendingconsulaat in Nederlands-Indië 1906-1942 (Arnhem: van Loghum Slaterus, 1966), khususnya hoofdstuk IV. 
[72] Dibandingkan dengan pihak Hervormd, Gereformeerd jauh lebih terbuka dan progresif dalam soal-soal olitik kemasyarakatan. Lihat Tiat Han Tan, The Attitude of Dutch Protestant Missions Toward Indonesian nationalism, 1945-1949 (Diss. Princeton Theological Seminary, New Jersey, 1967), hlm 25-32. Dr. Tan membahas pandang-an van Andel dalam bukunya yang terbit tahun 1921. Lihat juga J.A. Verdoorn, De Zending het Indonesisch National (Amsterdam: Vrij Nerderlad, 1945).
[73] Kraemer bekerja di Indonesia antara tahun 1922-1935 (dua periode kerja yang masing-masing enam tahun). Perhatian dan pengaruh Kraemer tampak dalam berbagai-bagai bidang. Selain pelayanan pemuda dan analisa politik, serta tugas pokoknya dalam hubungan denganNBG, patut disebut pendalamannya pada agama-agama bukan Kristen (Kraemer salah seorang ahli Islam) dan kebudayaan (yang menjadikannya salah seorang misiolog terkemuka pada masanya) dan kepeloporannya dalam kemandirian gereja-gereja di Indonesia, termasuk reorganisasi Indische Kerk dan pendirian Hoogere Theologische School. Untuk biografi Hendrik Kraemer selengkapnya lihat A. Th. Van Leuwen, Hendrik Kraemer Dienaar der Wereldkerk (Amsterdam: Ten Have, 1959). Untuk rangkumamn biografinya, lihat Klaas van Oosterzee, hendrik Kraemer 1888-1965: Een Kerk voor de Wereld (Driebergen: Toerusting, 1988). Lihat pula karangan-karangan mengenai Hendrik Kraemer dlaam Setia: Majalah Teologi Indonesia 3/1987/1988. Untuk penilaian yang kritis, lihat Th. Sumartanan, Mission at the Crossroads, hlm. 336 dst. 
[74] Ternyata catatan-catatan Kraemer disambut baik juga oleh Gubernur Jenderal De Graeff. Tan Tiat Han mencatat keluhan orang nomor satu dalam tatanan kolonial di Indonesia waktu itu bahwa para bawahannya tidak mengetahui apa yang berkembang di dalam masyarakat; mereka tidak membaca tulisan Kraemer atau tidak tahu bahwa dia ada dan menulis. Tan, The Attitude, hlm. 73. Kraemer menolak tawaran CEP untuk dicalonkan menjadi anggota Volksraad.
[75] Van Randwijck merangkum pandangan Kraemer mengenai adanya tiga faktor yang menentukan kenyataan politik di Indonesia waktu itu bahwa para  bawhanya tidak mengetahui apa yang berkembang di dalam masyarakat; mereka tidak membaca tulisan Kraemer atau tidak tahu bahwa dia ada dan menulis. Tan, The Attitude, hlm. 73. Kraemer menolak tawaran CEP untuk dicalonkan menjadi anggota Volksraad. 
[76] H. Kraemer, “Imperialism and Self-Expression”, The Student World 28/1935; 345-347. 
[77] Lihat a.l. karangan-karangan S.G. Moelia, “Zending en Arbeidsvraagstukken”, De Opwekker 72/1928: 267-271; S.G. Moelia, “Zending en Industrie”, De Opwekker 72/1928: 518-537; H. Kreaemer, “Het rassenprobleem em de Zending”, De Opwekker 72/1928:271-276; H. van Andel, “De conferentie op de olijfberg”, De Macedoniër 33/1929: 65-75. Moelia juga menulis tentang masalah-masalah politik dan ekonomi secara bersambung dalam majalah Kristen berbahasa Melayu. Zaman Baroe. 
[78] Mengenai kegiatan pro-kemerdekaan Indonesi kedua “zendeling pejuang” itu, lihat Tan, The Attitude, hlm. 186 dst. Lihat pula memoar J. Verkuyl, Gedenken en Verwchten. Memoires (Kampen: J.H. Kok, 1983), hlm. 82-237. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar