Kekristenan dan Kolonialisme di Indonesia
BAB I
KEKRISTENAN DAN
KOLONIALISME DI INDONESIA
1.1 Gereja
di bawah Pemerintah Asing
1.1.1 Gereja
Katolik Zaman Portugis
Ada dugaan bahwa kekristenan Asia Lama telah sampai ke
Indonesia pada abad ke-7, tetapi tidak bertahan hidup dalam masa selanjutnya.[1] Sebab
itu kedatangan bagsa-bangsa Barat, khususnya Portugis dan Spanyol , pada awal
abad ke-16 membuka babakan yang baru sama sekali. Kekristenan Katolik, dengan
sistem dukungan pemerintah (padroado) Kerajaan Spanyol dan Kerajaan Portugis,
disebarkan mengikuti pusat-pusat perdagangan (emportum) di Asia: Goa
(India), Malaka, Maluku dan Macao, sampai ke Jepang. Malaka, yang merupakan
bandar dagang utama pada jalur pelayaran ke pulau Maluku (sumber
rempah-rempah), ditaklukan Portugis pada tahun 1511.
Seperti yang digambarkan Muller-Kruger, Indonesia yang
dijumpai bangsa-bangsa Barat pada abad ke-16 sedang mengalami
perubahan-perubahan penting. Peta politik dan peta keagaman sedang berubah:
kerajaan-kerajaan Hindu runtuh digantikan oleh bangkitnya kesultanan-kesultanan
Islam di berbagai tempat.[2]
Dalam penyebaran agama Kristen itu, peranan para imam
dari ordo Fransiskan dan kemudian ordo Yesuit sangat penting. Para rahib dari
ordo-ordo ini melakukan pengkristenan secara lebih serius daripada pendahulu
mereka, yang lebih mengutamakan kepentingan politik dan perdagangan. Ordo
Yesuit membawa pula sikap Kontra Reformasi, sehingga permusuhan antara pihak
Katolik dengan pihak Protestan dilanjutkan di Asia. Dari antara mereka terkenal
tokoh-tokoh penginjil seperti Fransiscus Xaverius (1506-1552), sang rasul Asia
itu, Mateo Ricci (1552-1610), yang bekerja di Cina dan Roberto de Nobili
(1577-1656) di India. Fransiscus Xaverius mengkristenkan banyak penduduk asli
di kepulauan Maluku. Pekerjaan Xaverius banyak berhasil karena pendekatannya
menggabungkan pengkristenan masal dengan pembinaan, pelayanan diakonia dan
ergaulan yang akrab dengan penduduk.
Kekristenan (Katolik) di Indonesia pada zaman Portugis
terutama terdapat di Indonesia Timur (Maluku, Sulawesi Utara dan Nusa Tenggra),
yang pada mulanya merupakan jemaat-jemaat benteng. Kemudan terdapat kekristenan
dalam masyarakat pribumi di Indonesia bagian timur. Orang Kristen terdiri atas
orang Eropa, orang Mardika (orang Asia atau Indonesia yang bukan penduduk
setempat, umumnya bekas budak) dan penduduk pribumi. Jumlahnya pada awal abad
ke-16 +/- 16.000. Selain kekurangan tenaga
pelayan untuk melayani orang Kristen yang lahir dari pembaptisan masal itu,
gereja diganggu oleh pertikaian politik Portugis dengan musuh-musuhnya (pihak
Islam dan kemudian pihak Protestan).
Orang-orang yang masuk Kristen dan bermukim di sekitar
benteng masuk ke dalam lingkungan kehidupan asing (Barat), sedangkan yang tetap
dalam masyarakatnya memasuki proses pengembangan kekristenan dengan campuran
unsur-unsur kepercayaan pra-Kristen. Percampuran itu membuat kekristenan di
Indonesia timur itu “kebal” terhadap agama Islam dan bahkan di Maluku Tengah
“tiba pada suatu ko-eksistensi yang rukun dan damai”.[3] Akan
tetapi pemribumian di Maluku itu dan di kantong kantong Kristen lainnyakemudian
tidak memunculkan pusat-pusat kekuasaan pribumi yang berpengaruh. Berbeda
dengan agama Islam, sengan kesultanan-kesultanannya seperti Aceh, Banten atau
Ternate, agama Kristen tidak menjadi anutan kekuasaaan pribum sehingga tetap
bercitra agama para penguasa asing (bangsa-bangsa Eropa), tidak mendapat cap
agama pribumi. Lagipula karena bangsa-bangsa Eropa adalah musuh-0musuh kerajaan
Islam di Nusantara dalam memperebutkan monopoli perdagangan di Nusantara maka
agama Kristen menjadi identitas musuh dan sekutu-sekutu pribuminya.
1.1.2 Gereja
Calvinis VOC
Kemenangan Belanda atas Portugis diikuti pengalihan
jemaat-jemaat Katolik Indonesia menjadi jemaat-jemaat Protestan[4],
kecuali pada beberapa tempat yang tidak bernilai ekonomis bagi Belanda, seperti
Nusa Tenggara. Ketika diambil alih dari Portugis, orang Kristen berjumlah +/_16.000.
Jumlah ini meningkat menjadi +/_33.000 orang pada tahun 1700, tetapi anggota
sidi hanya +/_1.600 orang (5%). Kekristenan di bawah
VOC Belanda tidak lebih mengutamakan urusan perdagangannyadaripada pemeliharaan
jemaat-jemaat atau penyebaran injil. Malahan kekristenan dikorbankan demi
kepentingan perdagangan. Muller-Kruger mencatat adanya piagam perjanjian dengan
pemerintah setempat yang memuat ketentuan-ketentuan yang merugikan kekristenan
(Banda 1602, Ternate 1607, plakat Jepang).[5]
Di Maluku Tengah agama Kristen menjadi gereja suku
dalam arti mengganti agama suku pada permukaan dan menjadi anutan formal
masyarakat secara umum, sedangkan isinya merupakan percampuran dengan
kepercayaan lama. Cooley menilai bahwa pada masa itu belum berlangsung suatu pertemuan
yang mendasar (konfrontasi teologis) antara iman Kristen dengan agama
suku:
Konfrontasi antara agama Kristen dengan agama asli
berlangsung selama tiga abad, dan dipengaruhi oleh sejumlah faktor yang perlu
diuraikan panjang lebar untuk menjelaskan hasil pergumulan itu. Pertama, agama
Kristen dan gereja dalam perjuangan itu tidak dilengkapi dengan baik, dalam
arti bahwa hanya sedikit perhatian yang dicurahkan kepada jemaat-jemaat
pedesaan di Maluku, sampai setelah tahun 1815, sehingga pendidikan dan
pengawasan atas iman dan kehidupan kristen di desa-desa dilakukan oleh para
guru yang tidak berpendidikan khusus itu. Konflik yang terjadi tidak
begitu tajam, karena masing-masing agama menggunakan bahasa
tersendiri. Agama Kristen menggunakan bahasa Melayu, agama asli
menggunakan bahasa pribumi. Akibatnya, tidak terjadi konfrontasi yang berbobot
teologis yang bersifat menentukan dalam bidang kepercayaan, walaupun banyak
praktek dari agama asli telah melemah atau melenyap. Ketiga, karena
sebab-sebab politis, menjadi Kristen berarti memperoleh status. […] Menjadi
Kristen juga berarti lebih dekat kepada orang asing, bahkan menjadi sekutu
mereka. Status ini memberikan keuntungan tertentu kepada kelompok yang menjadi
Kristen, terutama pimpinan mereka. Hal ini merupakan unsur-unsur penting dalam
pola peralihan orang Ambon menjadi Kristen dan memperkuat kecenderungan untuk
memandang [kekristenan] secara lahiriah, bukannya menerima itu sebagai faktor
perombakan dan pengarahan baru secara menyeluruh dalam hal kepercayaan dan cara
hidup.[6]
Meskipun begitu, seperti telah dikemukakan sebelumnya,
agama Ambon tersebut menjadi daya tangkal terhadap pengaruh pengislaman. Dan
betapapun keadaannya, telah melangkah setindak lebih maju dari pola kekristenan
benteng yang umum berlaku pada masa itu di pusat-pusat perdagangan. Jadi,
agaknya diperlukan penilaian yang baru terhadap kenyataan agama Ambon
tersebut. Penilaian Cooley, sebagaimana yang dikutip di atas, agaknya bertolak
dari ideal masa kini. Kenyatan yang berlaku di Maluku Tengah pada masa itu
merupakan proses yang normal dalam hubungan dengan faktor-faktor teologis,
sosial, politik yang terkait. Tanpa disadari atau disengajakan oleh pembawa
injil atau oleh orang Kristen setempat, berlangsung kontekstualisasi
kekristenan, dalam arti Injil disambut ke dalam sistem keagamaan dan kebudayaan
setempat. Selain berhasil membendung perluasan Islam, agama Ambon tersebut
berhasil pula bertahan dan berakar kuat dalam masyarakat, sehingga tetap
bertahan, walaupun tidak ada pembinaan dari para pejabat gereja atau pihak
pekabar injil.
1.1.3 Gereja
negeri Pemerintah Hindia Belanda
Pembinaan gereja di Indonesia sejak abad ke-19
dilakukan oleh pihak pemerintah Belanda dan oleh badan-badan pekabaran Injil.
Kekristenan Protestan di Indonesia pada zaman VOC lebih merupakan gereja yang
diistimewakan negara dan “jemaat jauh” dari gereja Belanda yang berasas
Calvinis. Setelah keruntuhan VOC dan setelah seluruh kekuasaannya di Indonesia
diserahkan kepada pemerintah Belanda (termasuk kekuasaan atas gereja)
pemerintah menata ulang organisasi gereja di Indonesia. Sesuai kecenderungan para
penguasa di Eropa masa itu, raja Belanda, Willem I, bertekad menghapuskan
pertikaian antar gereja-gereja dengan menyatukan semua aliran Protestan di
Indonesia. Dengan keputusan raja Belanda tanggal 5 September 1815 gereja di
Indonesia ditempatkan di bawah urusan kementrian perdagangan dan jajahan (Departement
van Koophandel en Kolonien) dan ditunjuk suatu komisi yang dikenal
dengan nama Haagsche Commisie untuk mengurus kepentingan gereja itu, dalam hal
ini memberi nasihat kepada pemerintah mengenai gereja di Indonesia dan menguji
serta menahbis calon-calon pendeta yang diangkat oleh raja untuk gereja itu.[7] Selanjutnya
ditetapkan kesatuan pengurus seluruh gereja Protestan di tanah jajahan (Protestantsche
Kerkenin Nederlandsch Oost- en West-Indie) pada tahun 1820. Pembentukan
gereja kesatuan di Indonesia baru dilakukan dengan menyatukan seluruh golongan
Protestan (Hervormd, Lutheran) dalam penetapan pada tahun 1835 dengan
nama De Protestantsche Kerhin Nederlandsch-Indie (=Gereja
Protestan di Hindia Belanda), dan diciptakan suatu gereja kesatuan yang menjadi
bagian terpadu dari lembaga pemerintahan kolonial. Pada tahun 1840 ditetapkan
strukturnya, yakni dipimpin oleh suatu Kerkbestuur (=pengurus
gereja) di bawah Gubernur Jenderal. Suatu ketetapan yang lebih rinci
diterbitkan pada tahun 1844, namun baru menjadi efektif sepuluh tahun kemudian
setelah jemaat Lutheran di Batavia menerima penyatuan ke dalam Gereja Protestan
itu. Demiikianlah rangkaian proses penciptaan suatu gereja negeri, gereja yang
secara administratif dan finansial menjadi bagian dari dan tunduk kepada
pemerintah.[8] Maka
juga fungsinya lebih sebagai jawaban rohani daripada persekutuan orang beriman
yang hidup dalam pelayanan dan kesaksian. Dalam peraturan pemerintah tahun 1854
ditetapkan hubungan pemerintah dengan gereja ini, yaitu bahwa perubahan
struktur dan kepengurusan harus dengan persetujuan bersama antara raja Belanda
dan pengurus badan gereja itu.
Kedudukan sebagai gereja negeri itu sejak semula
disadari tidak sesuai dengan hakikat gereja, sehingga timbul usaha-usaha untuk
memberikan otonomi atau memisahkan gereja dari negara. Berbagai gagasan, usul
dan saran dikemukakan sejak tahun 1851, baik oleh tokoh-tokoh perorangan atau
oleh suatu komisi yang ditunjuk, oleh kalangan gereja atau dari pihak
pemerintah. Setelah menempuh proses panjang dicapai hasilnya di bidang
administrasi pada tahun 1935 dan di bidang keuangan pada akhir tahun 1950.
Ternyata pemisahan itu disertai suatu reorganisasi. Mengikuti arah yang
diusulkan Hendrik Kraemer untuk mereorganisasi Gereja Protestan menurut
kenyataan alami warganya.(menurut suku atau daerah). Gereja ini dimekarkan
menjadi empat gereja suku, tiga di Indonesia bagian Timur mengikuti wilayah
suku masing-masing: Minahasa (GMIM 1934), Maluku (GPM 1935), Timor (GMIT 1947),
dan satu untuk seluruh wilayah “Indonesia bagian Barat” di luar ketiga wilayah
itu (GPIB 1948).
Beberapa bagian Gereja Protestan di wilayah Indonesia
Timur diserahkan pelayanannya kepada NZG sejak tahun 1860. Ini dimaksudkan
untuk menghubungkan gereja-gereja itu dengan jemaat-jemaat yang dirintis
sendiri oleh NZG. Dan seperti dicatat di atas, Gereja Protestan Maluku
bertumbuh sebagai gereja suku. Hal yang sama berlangsung di wilayah suku-suku
lainnya, baik dalam lingkungan gereja Protestan (Minahasa dan Timor) maupun
dalam jemaat-jemaat yang lahir dari kegiatan badan-badan pekabar Injil.
1.2 Zending
dan Kolonialisme di Indonesia
1.2.1
Beberapa Catatan tentang Zending
Paham kebebasan beragama yang dihasilkan Revolusi
Perancis (1789) adalah pula kebebasan memberitakan Injil, sehingga badan-badan
pekabaran Injil dapat bekerja di Indonesia. Pada umumnya badan-badan itu bukan
lembaga dari gereja tertentu, melainkan perkumpulan ”swasta” di luar gereja. Di
Indonesia ada pembatasan-pembatasan dari pihak pemerintah kolonial, antara lain
dengan hanya mengijinkan satu lembaga pada setiap wilayah atau menutup sama
sekali daerah-daerah tertentu karena alasan keamanan. Pada tahun 1814 tiba tiga
orang dari lembaga pekabaran Injil Belanda, Nederlandsch Zendeling
Genootschap (NZG, berdiri 1979) yang diutus melalui London
Missionary Society (LMS). Mereka segera “disita” oleh pemerintah untuk
melayani Gereja Protestan. Salah seorang dari mereka, Gottlob Bruckner
(1783-1857) bekerja beberapa lamanya di semarang dan sempat menerjemahkan
Perjanjian Baru ke dalam bahasa Jawa.[9] Joseph
Kam (1769-1833), yang kemudian digelari rasul Maluku, terus ke Maluku melayani
jemaat-jemaat dan memberitakan Injil di seluruh kepulauan itu sampai ke
Sulawesi Utara.[10] Pekbaran
injil yang intensif di beberapa wilayah Indonesia berlangsung sejak parohan
kedua abad ke-19, dengan perhatian pada suku-suku yang masih menganut agama
asli (agama sukunya). Perhatian itu berhubungan dengan
pembatasan-pembatasan pemerintah kolonial yang, demi keamanan dan
ketertiban, melarang pengnjilan di Pulau Jawa dan di wilayah-wilayah yang
dianggap sudah memeluk agama Islam. Tetapi pembatasan-pembatasan tu tetap
diterobos berita Injil, terutama melalui pelayanan-pelayanan orang Kristen
secara pribadi. Masuknya agama Kristen di kalangan orang jawa dan orang Cina
dimulai oleh tokoh-tokoh peroangan dan baru kemudian berlangsung perwalian
Zending.
Kebanyakan lembaga-lembaga dan tokoh-tokoh pekabar
Injil berlatar belakang Pietisme, yakni aliran kekristenan yang timbul dalam
gereja-gereja di Eropa pada akhir abad ke-17 dan menjadi pendorong utama
kebangkitan utama pekabaran Injil pada abad berikutnya.[11] Gerakan
ini lebih menekankan kesalehan dan etika daripada ajaran, dan pertobatan
pribadi daripada baptisan masal. Pietisme juga lebih mementingkan persekutuan
yang hidup daripada lembaga gereja, dan bersikap negatif terhadap kebudayaan
asli dan cenderung menjauhi masalah-masalah sosial-politik.[12] Pedoman
yang dianut NZG, badan pekabaran Injil non-konfesional yang bekerja di berbagai
tempat, khususnya di Indonesia bagian Timur, adalah memberi tekanan pada
pertobatan pribadi yang terjadi melalui pengajaran (bukan oleh tekanan politik
atau bujukan materil). Dalam prakteknya, prinsip ini sulit dijalankan:
pembaptisan masal terpaksa dilakukan karena berbagai alasan (terutama untuk
mencegah pengislaman). NZG mengutamakan lembaga-lembaga pendidikan, yang
sekaligus juga melayani tujuannya yang lain: membawa peradaban (moderen/Barat)
kepada suku-suku “primitif”. Tujuan ini menonjol di kalangan pekabar Injil
menjelang akhir abad ke-19, karena rata-rata lebih terpelajar dari generasi
sebelumnya dan karena itu pula mendukung ideal pengadaban dalam imperialisme
dan kolonialisme Barat. Tekanan pada kesalehan mempunyai dampak tertentu pada
pola pembinaan jemaat dan pada persyaratan yang ketat dalam perluasan tanggung
jawab kepada para pembantu pribumi. Dampak lain sehubungan dengan praktek NZG
mengutus tenaga-tenaga yang kurang terpelajar (asalkan saleh) adalah
kegagalan untuk memahami dan karena itu bersikap negatif terhadap kepercayaan
pra-Kristen setempat, ketimbang berusaha mempertemukannya dengan Injil. Sebab
itupula praktek-praktek pra-Kristen masih sering dilakukan warga jemaat dan
mutu kekristenan begitu dangkal sehingga praktek pemisahan sakramen dari zaman
VOC tetap dipertahankan.[13] Baru
kemudian tampil pekabar Injil “akademisi”, yang mendalami berbagai segi
kehidupan pribumi dalam rangka penginjilan yang lebih mendalam dan
menyentuh.
Pembaptisan masal berhubungan pula dengan pendekatan
penginjilan yang bertujuan mengkristenkan suatu suku “kafir” secara
keseluruhan, walaupun tidak berhasil sepenuhnya. Pendekatan ini berhubungan
dengan teologi pekabaran Injil (misiologi) yang menggeser ataupula melengkapi
prinsip-prinsip pietsme, yakni yang menekankan pentingnya gereja bangsa (Volkskirche).[14] Hasil-hasil
yang menonjol dicapai di kalangan suku-suku Batak dan Nias di Sumatera, Dayak
di Kalimantan, Poso dan Toraja di Sulawesi, dan di kalangan suku-suku di Irian
dan pulau-pulau lainnya di Indonesia bagian Timur. Dalam hubungan itu dapat
dicatat bahwa kegiatan penginjilan mempunyai aspek sosiologis yang penting
dalam rangka emansipasi suku-suku bangsa itu ke dalam peradaban moderen. Ketiga
prasarana sosial yang mendukung usaha penginjilan dan pelembagaan gereja
(pendidikan, pelayanan medis dan pelayanan sosial) sangat menentukan perubahan
sosial masyarakat suku-suku tradisional. Sejarah penginjilan di kalangan
suku-suku Batak, Dayak, Toraja, Pamona, Mori dsb memperlihatkan kenyataan itu.[15]
Suatu perkembangan yang agak lain terjadi dalam
pengkristenan di kalangan orang Jawa pada tahap awal, yakni melalui pembukaan
hutan untuk pertanian dan kegiatan di bidang ekonomi lainnya. Terbukanya, pusat
kekristenan Jawa di Ngoro dapat dilihat sebagai model yang khas. Coenraad
Laurens Coolen (1775-1873), seorang Indo Jawa yang menganut kekristenan yang
berciri kejawen (dipengaruhi tradisi Jawa), memperoleh hak sewa tanah pertanian
di rimba Ngoro, yang kemudian dia olah menjadi lahan pertanian yang subur.
Coolen mengorganisasikan orang-orang yang datang menyewa tanahnya dalam suatu
persekutuan yang harmonis dimana masing-masing kelompok agama (Kristen dan
Islam) mempunyai tempatnya. Agama Kristen berkembang dengan baik dan dalam
pertalian dengan kebudayaan Jawa tanpa hubungan dengan atau campur tangan dari
pihak Zending. Coolen sekaligus menjadi pemimpin masyarakat dan guru rohani
bagi mereka.
1.2.2
Zending dan Kolonialisme Abad ke-19
Seperti dikemukakan di atas, Gereja Protestan adalah
bagian dari lembaga pemerintahan kolonial di Indonesia. Para pelayannya adalah
pegawai negeri, yang diangkat dan digaji oleh pemerintah, sehingga fungsinya
kurang lebih hanya sebagai pegawai kantor urusan keagamaan Kristen. Juga dalam
jemaat-jemaat di Indonesia Timur, yang secara khusus dilayani oleh NZG,
kekristenan kurang terkait dengan soal-soal politik masyarakat kolonial. Tidak
ada suara kenabian dari kalangan gereja terhadap kenyataan buruk kolonialisme.
Pada abad ke-19 terdapat peristiwa-peristiwa penting dalam hubungan kolonial,
yang seyogianya menjadi perhatian gereja: sistem tanam paksa (cultuurstelsel),
perang-perang kolonial (pasifikasi daerah-daerah luar Jawa), kuli kontrak
(khususnya Koeli Ordonnantie dengan Poenale Sanctienya).
Tetapi harapan ini bisa tidak adil, mengingat keterlibatan gereja dalam
soal-soal politik belum menjadi perhatian pada masa itu. Suatu perjuangan dari
Clapham Sect, suatu organisasi sosial Kristen Injili di Inggris pada abad
ke-19, memang berhasil mendesakkan penghapusan perdagangan budak pada tahun
1807.[16] Gema
gerakan ini di Indonesia disuarakan bukan oleh gereja, melainkan oleh
pemerintah Inggris dalam masa Interregnum. Stamford Raffles, kawan
dan muris Wilberforce, memulai pembatasan-pembatasan pada masa pemerintahannya:
tahun 1812 menarik pajak dari pemilik budak, tahun 1813 melarang perdagangan
budak di seluruh Indonesia dan melarang perbudakan seseorang karena tak mampu
membayar hutang. Soal ini diperjuangkan kaum liberal Belanda kemudian, yang
berhasil menghapus perbudakan di seluruh jajahan Belanda sejak 1 Januari 1860.[17]
Pada abad ke-19 timbul banyak gerakan perlawanan
rakyat terhadap kekuasaan pemerintah kolonial, utamanya di pulau Jawa. Seperti
yang terungkap dalam studi Sartono Kartodirdjo, perlawanan rakyat pedesaan
terhadap kenyataan kolonialisme seringkali terungkap dalam simbol-simbol
keagamaan, dalam hal ini agama Islam, dengan pengaruh tertentu dari agama suku.[18]
Mengenai perlawanan dari kalangan orang Kristen
Indonesia, A.B. Lapian menunjuk dan berusaha memperlihatkan sifat Kristen
perlawanan rakyat Maluku Tengah pada tahun 1817. Tetapi perlawanan di Maluku
Tengah itu – walaupun mengedepankan simbol-smbol keagamaan – tidak dapat
dikatakan sebagai perlawanan yang diilhami pemikiran keagamaan (Kristen) dalam
arti gagasan-gagasan Kristen dipakai sebagai pembenaran terhadap tuntutan dan
cara perjuangan. Pemberontakan yang dipimpin oleh Pattimura itu disebabkan oleh
ketidakpuasan terhadap tekanan pemerintah Belanda, yang baru mengambil alih
kekuasan dari tangan Inggris dan disulut oleh isyu mengenai kebijakan
pemerintah Belanda terhadap penduduk pribumi (a.l bahwa para pemuda akan
diangkut ke Jawa untuk dinas militer dan bahwa para guru agama Kristen akan
diberhentkan). Pattimura menganggap bahwa keterpilihannya sebagai kapitan(=panglima)
perang sebagai tunjukan dari Tuhan. Lapian mengutip surat Pattimura kepada para
rajka negeri (=kepala adat setiap satuan kampung tradisional) supaya
memerintahkan semua rakyat untuk setia kepada titah Tuhan: agar supaya
kita mendapat kekuatan dan dorongan dalam perang ini yang bertujuan untuk
memperbaiki nasib kita dan negeri kita.[19] Pattimura
memerintahkan rakyat tetap setia menjalani kehidupan Kristen. Pada akhir
peperangan yang berlangsung dengan ganasnya selama beberapa bulan itu Alkitab
di atas mimbar gereja Saparua, yang ditinggalkan Pattimura dan pasukannya,
terbuka pada mazmur 17, yang berisi doa memohon pembenaran dan perlindungan
Tuhan terhadap serbuan orang-orang fasik. Walaupun simbol-simbol Kristen
seperti itu dipakai, tampaknya tidak cukup alasan untuk menyebut perlawanan
Pattimura itu sebagai perlawanan Kristen, dalam arti iman Kristen menjadi
sumber inspirasi bagi tuntutan-tuntutan yang diperjuangkan dengan senjata itu.
Perlawanan itu tidak dirumuskan sebagai perlawanan “umat Allah”.[20] Yang
dapat dikemukakan adalah kenyataan bahwa kesamaan agama dengan penguasa
kolonial tidak menutup mata Pattimura dan pengikutnya terhadap ketidakadilan
yang mereka lihat dan mereka rasakan. Enklaar mencatat dua hal yang menonjol
dalam laporan Joseph Kam mengenai peristiwa itu kepada badan-badan pengutusnya
di Rotterdam dan London: bahwa pemberontakan itu merupakan tindakan bengis
orang-orang Alifuru dari Seram, yang juga merenggut nyawa orang-orang Kristen
pribumi, dan bahwa ada ketakutan di kalangan warga jemaat dan Zending terhadap
kebengisan itu.[21]
Hubungan antara Zending dengan pemerintah kolonial
pada abad ke-19 di Indonesia memperlihatkan variasi. Contoh pertama
dari Irian Jaya . Pulau yang besar dengan penduduk yang lama tertutup
dalam “zaman batu” ini mulai diinjili pada parohan kedua abad ke-19.[22] Setelah
suatu rintisan oleh beberapa lembaga pekabaran injil Jerman yang berlatar
belakang Pietisme, suatu badan pekabar Injil Belanda yang bercorak etis, Utrechtsche
Zendings Vereeniging (UZV), mengambil alih panggilan itu. UZV bersikap
mendua terhadap kolonialisme: pada satu pihak menerima kolonialisme sebagai
penyelenggaraan Tuhan dimana berlangsung balas budi berupa Injil Kristus kepada
penduduk pribumi atas kekayaan materil yang diambil dari negeri mereka. Dalam
hubungan itu Kamma mengutip pandangan Hoornbeek, seorang teolog Belanda abad
ke-17:
Sudut-sudut tersembunyi di Barat dan di Timur itu
telah jadi kita kenal; bahkan di tempat-tempat itu dikuasakan kepada kita.
Tetapi menurut pendapat saya demikianlah terjadi bukan supaya majulah
kesejahteraan dan kemahsyuran negara, bahkan lebih-lebih demi kemajuan kerajaan
Kristus. Itu berarti bahwa daerah-daerah Jajahan itu dikuasai oleh negeri
Belanda demi keselamatan penduduk sendiri. Jadi di sini orang melihat tangan
Tuhan. Siapa akan menyangka bahwa kita kebagian semua itu, berkat pemeliharaan
serta anugerah, semata-mata agar kita dapat menyelidiki dan menaklukan
negeri-negeri itu, dan mengambil kekayaan buminya serta barang-barang yang ada
di sana dalam jumlah yang melimpah? Bukankah yang pertama-tama menjadi
tujuannya, yaitu supaya kita membawa pengetahuan dan penyembahan kepada Allah
kepada bangsa-bangsa yang sampai sedemikian jauh masih asing dengan kemanusiaan
dan agama itu? Buktinya ialah bahwa negeri–negeri itu dibuka bukan untuk
orang-orang kafir yang lain, melainkan untuk kita orang Kristen. Oleh karena
itu adalah wajar kalau mereka menerima barang-barang rohani dari kita, karena
mereka telah memperkaya kita secara materiil.[23]
Pemahaman seperti ini berlangsung dalam suatu masa
dimana lazim pandangan merendahkan manusia dan bangsa-bangsa di luar peradaban
Eropa, dan penguasaan Barat terhadap bangsa-bangsa itu dianggap wajar saja.
Tetapi juga di dalam UZV mulai timbul kesadaran baru.. Seorang pekabar Injil
dalam hubungan dengan penginjilan di Jawa mengecam sikap merendahkan pribumi:
Orang Jawa tak suka kepada kita. […] Pertama-tama
diperlukan sekali ialah agar orang Jawa percaya kepada cinta orang Belanda.
Bertahun-tahun lamanya kita menjadi nomor satu dan mereka menjadi nomor dua.
Bagaimanakh mungkin dalam keadaan seperti itu tumbuh cinta? Di dalam hati
mereka harus terjadi lebih banyak supaya mau menerima Injil, daripada yang
harus terjadi dalam hati kita supaya kita mau membawakannya kepada mereka.[24]
Para pekabar Injil UZV menghadapi kesulitan khusus di
Irian: perang suku, pengayauan dan kanibalisme. Maka dapat dimengerti jika
mereka cenderung untuk memihak dan mendukung usaha pasifikasi pemerintah
kolonial. UZV ingin memancangkan bendera Belanda dan panji-panji merah
salib di Irian Barat.[25] Pada
sebaliknya suatu komisi negara pada tahun 1858 meminta dukungan pemerintah
kepada pekabaran Injil:
Komisi tidak ragu-ragu menganjurkan, sesuai dengan
pendapatnya, bahwa di dalam mendirikan kekuasaan di antara orang kafir, maka
pada umumnya, dengan beberapa perkecualian saja, penyebaran agama Kristen patut
mendapat dorongan dari pihak resmi, bahkan ditunjang dengan uang; sedang di
negeri-negeri kafir yang belum dikuasai secara efektif dan dimana kekuasaan
kita belum mau didirikan, Pemerintah harus membatasi diri hanya pada memberikan
izin masuk, yaitu apabila hal itu dapat dilakukan tanpa membahayakan
ketenteraman.[26]
Usulan di atas tidak dijalankan pemerintah sepenuhnya.
Dukungan terhadap pekabaran Injil tidak begitu besar, walaupun pemerintah
mengakui peran pentingnya membuka suku-suku pedalaman yang terisolir. Pemerintah
lebih mengutamakan saran yang terakhir di atas: mengatur penyelenggaraan
pekabaran Injil secara ketat dalam batas-batas kepentingan keamanan dan
ketertiban. Kegagalan UZV untuk bekerja di Jawa Barat antara lain berhubungan
dengan peraturan-peraturan pemerintah, demi keamanan dan ketertiban itu.
Pendekatan keamanan dan ketertiban yang merugikan
pekabaran injil itulah yang memperlambat pekabaran Injil di Jawa. Telah
dicatat di atas mengenai ketiga pekabar Injil yang pertama masuk ke Indonesia
pada masa pemerintah Inggris. Supeer ditahan untuk melayani di Batavia dan
sempat mendirikan suatu Lembaga Pekabaran Injil Pembantu di Jawa, Bruckner
bekerja di Semarang, dan Kam sempat singgah beberapa lamanya di Surabaya dalam
perjalanan ke Maluku. Bruckner rupanya melihat kemungkinan-kemungkinan baik
bagi pekabaran Injl di Jawa sehingga ia meminta tenaga dari Belanda. Tetapi
tenaga yang dikirim pada tahun 1818 dipekerjakan di Timor (Le Bruijn) dan di
Surabaya (Buitenaar). Beberapa tahun berikutnya diutus seorang pekabar
Injil untuk Jawa, tetapi ditempatkan pemerintah di Maluku. Sampai tahun 1847
tidak ada tenaga untuk Jawa, karena:
[…] adanya kekhawatiran umum akan agama Islam, yang
mencekam baik pemerintah maupun para pegawai, baik para pendeta GPI maupun
orang-orang swasta, dan tokoh-tokoh sendingpun tak luput dari pesona keasaan
ini.[27]
Nortier juga mencatat pandangan J.C. Baud (1789-1859)
seorang pegawai tinggi yang kemudian menjadi menteri kolonial (1840-1848) dan
anggota Tweede Kamer (1850-1858) yang mempengaruhi sikap NZG
sejak tahun 1820-an:
Orang Jawa itu acuh tak acuh, sehingga ia dengan mudah
dapat dijadikan pemeluk agama Kristen atau agama manapun, secara nominal. Akan
tetapi orang-orang terkemuka dan alim ulama amat tidak toleran. Terutama yang
belakangan ini besar sekali pengaruhnya terhadap rakyat yang tak segan
mengikuti setiap orang fanatik. Sekalipun tanpa bahaya besar kita dapat
mengijinkan percobaan-percobaan untuk menjalankan pekabaran Injl di
tengah-tengah orang Jawa biasa, tetapi para alim ulama pasti akan berusaha
menghasut rakyat untuk melakukan pemberontakan. […] Penyebaran Alkitab dan
selebaran-selebaranpun tak akan membawa hasil yang berarti oleh kecilnya jumlah
orang-orang Jawa yang dapat membaca. Tanah mesti disiapkan dahulu, dan hal itu
hanya Gubernemen yang dapat melakukannya, yakni melalui pendidikan dan pengajaran.
Kitab-kitab yang berisi ajaran tentang kesusilaan dari Injil dan Quran harus
diberikan kepada kaum muda Jawa. Ini adalah tugas Gubernemen.[28]
Percakapan salah seorang pejabat NZG, Ds.L.J. van
Rhijnl, dengan Gubernur Jenderal J.J Rochussen pada bulan Oktober 1987
menyingkapkan segi lain dari alasan pemerintah menghalangi pekabaran Injil kepada
orang Jawa, yakni ketakutan pemerintah terhadap perubahan sosial:
Kami mengadakan pembicaraan yang penting dan bertukar
pikiran sungguh-sungguh mengenai Jawa, yaitu mengenai pekabaran Injil kepada
orang-orang Jawa. Yang Mulia membentangkan pendapatnya terang-terangan dan
secara jujur kepada saya. Ia terikat kepada perintah-perintah dari
atasan-atasannmya. Pekabaran Injil yang bebas niscaya akan membawa perubahan
yang menyeluruh pada sistem pemerintahan kita yang sekarang.[29]
Pada periode yang dibicarakan ini sedang berlangsung
usaha pemerintah mengorganisasikan gereja di Indonesia ke dalam Gereja
Protestan, rakyat di Jawa sedang parahnya menanggung derita Cultuurstelselsetelah
Perang Jawa (Perang Diponegoro, 1825-1830) dan dalam bidang politik di Belanda
politik liberal sedang naik daun. Pandangan yang dikemukakan sebelumnya, bahwa
pemerintah terlebih dahulu harus mempersiapkan rakyat Jawa melalui pendidikan
untuk mampu menerima Injil, ternyata tidak berlaku. Pendidikan tidak mencapai
sasarannya, tetapi Injil menemukan jalannya ke dalam masyarakat Jawa tanpa
melalui badan pekabaran njil atau menunggu persiapan pemerintah itu. Bruckner,
yang sejak 1816 beralih dari NZG ke BMS (Baptist Missionary Society),
mempelajari bahasa Jawa dengan mendalam. Ia menerjemahkan Perjanjian Baru ke
dalam bahasa Jawa yang dicetak di Serampore (India) pada tahun 1831. Walaupun
terjemahan itu disita pemerintah, ada sejumlah traktatnya yang lolos dan
berhasil membawa sejumlah orang Jawa ke dalam kekristenan. Dalam hal ini juga
penghargaan teralamatkan lagi pada keuletan penganut Pietisme: Johannes Emde
(1774-1859), yang mengabarkan Injil melalui kegiatan kolportase di Surabaya,
dan Coolen, sebagaimana telah dikemukakan di atas, yang mempertemukakan Injil
dengan tradisi budaya Jawa dan kebutuhan sosial ekonomi penduduk di Ngoro.
Kelak pola pekabaran Injil oleh perorangan itu dijalankan di Jawa oleh beberapa
orang secara pribadi dan sendiri-sendiri. Pekabar Injil NZG yang pertama baru
dizinkan masuk Mojowarno pada tahun 1848, dua tahun sebelum pada akhirnya
pemerintah membuka pulau Jawa bagi masuknya badan-badan Zending.
Di Tanah Batak pekabaran Injil dimulai
mendahului masuknya kekuasaan pemerintah Belanda. Beberapa usaha awal gagal,
juga karena alasan keamanan dan ketertiban pemerintah melarangnya sampai tahun
1860. Salah satu faktor yang menentukan sikap pemerintah dan jalannya
penginjilan di Tanah Batak adalah Perang Paderi (1821-1837). Perang ini
memperluas pengaruh Islam ke bagian Selatan Tanah Batak – yang diterima
terutama sebagai penolakan terhadap pemerintah kolonial – sehingga bagian Utara
terbuka bagi pekabaran Injil. H. Neubronner van der Tuuk (1824-1894), seorang
ahli bahasa Batak, menasihatkan untuk bekerja di kalangan orang kafir sebelum
mereka diislamkan. Kemenangan Belanda dalam Perang Paderi dilanjutkan dengan
memperluas kekuasaan Belanda ke pedalaman Tanah batak. Masuknya kekuasaan
pemerintah Belanda itu menjadi dukungan penting bagi pekabaran Injil yang
dikerjakan oleh RMG dari Jerman. Dukungan itu terutama dalam dua hal: keamanan
dan komunikasi. Dukungan keamanan berhubungan dengan perang suku dalam lingkungan
orang-orang Batak; sedangkan pembukaan Tanah Batak yang terisolasi dari
perkembangan pesat dunia memungkinkan karya penginjilan berkembang bersama
dengan usaha-usaha memajukakn masyarakat Batak. Kegagalan perlawanan Sisinga
Mangaraja pada tahun 1883 terhadap pemerintah Belanda menandai akhir dari
ketertutupan negeri itu, yang sekaligus memudahkan pekerjaan peginjilan.
Pembangunan jalan raya pada tahun 1919, yang menghubungkan pantai Barat dan
pantai Timur Sumatera yang melintas jantung Tanah Batak, melengkapkan proses
itu. Sebab itu Hendrik Kraemer menyebutkan dua faktor utama yang menentukan
kemajuan besar yang dicapai dalam pekabaran Injil ini di Tanah Batak:
Saya yakin penyebab rohaninya ialah iman yang teguh
dari Nommensen dan para sejawatnya bahwa kemenagan akhir ada pada mereka.
Kokohnya keyakinan Nommensen di tengah-tengah bahaya besar, kerelaannya untuk
menderita dan kehilangan segalanya demi melapangkan jalan bagi pemerintah
berdaulat Kristus, rencana-rencananya yang berjangkauan luas untuk mengkristenkan
orang Batak dalam suatu kenyataan buas orang kafir, semua itu menunjukan suatu
kualitas yang tak tergantikan dari suatu tatanan yang lebih tinggi. […]
Saya yakin bahwa penyebab luarnya adalah datangnya
pemerintah Belanda. Kekafiran, yang telah terkalahkan secara rohani,
menuyaksikan ambruknya perlindungannya yang terakhir: keterasingan. Suatu zaman
baru menyingsing tak terelakkan.[30]
Dari contoh-contoh hubungan kalangan Zending dengan
pemerintah di atas terlihat bahwa tidak ada bentuk hubungan yang tetap.
Pemerintah kolonial mendukung usaha-usaha pihak Zending untuk memajukan
masyarakat yang terisolir , tetapi sangat berhati-hati jangan sampai timbul
kerusuhan dari kalangan Islam. Maka dapat dikatakan bahwa sikap pemerintah
terhadap pihak Zending ditentukan oleh politik pemerintah, khususnya terhadap
Islam. Dalam hubungan itu, secara hukum ditetapkan dalam pasal 123 RR (pasal
177 IS)[31] kewenangan
penuh pemerintah mengatur izin kerja bagi lembaga-lembaga pekabaran Injil. Pada
sebaliknya pihak Zending menyadari perlunya peran pemerintah dalam membuka dan
mengamankan wilayah kerja mereka, terutama dalam kewenangan mengakhiri
kebiasaan-kebiasaan buruk dalam masyarakat tradisional, seperti perbudakan,
perjudaian atau pengayauan. Memang mereka tidak bersangkutan langsung dengan
kepentingan kolonialisme, tetapi berikutnya kebudayaan Barat dalam pendekatan
mereka memberitakan Injil turut menunjang imperialisme. Dan pandangan teologi mereka,
yang rata-rata dipengaruhi Pietisme, mengarahkan mereka pada keselamatan rohani
perorangan sehingga tidak berkembang kritik sosial terhadap kenyataan
kolonialisme.[32] Selain
tekanan dari pihak pemerintah dan sikap pietis itu, dapat dicatat dua faktor
lain yang menyebabkan pihak Zending kurang kritis terhadap pemerintah kolonial:
pertama, para pekabar Injil kemudian, yang lebih terpelajar, makin terbuka pada
gagasan-gagasan pemerintah kolonial untuk memajukan pribumi. Hal ini
berhubungan pula dengan perhatian terhadap unsur peradaban dalam pekabaran
Injil. Yang kedua, kalangan Kristen di Indonesia tidak merupakan kekuatan
sosial yang bermakna. Para pekabar Injil dan jemaat-jemaatnya terpencil di
pedalaman, sedangkan orang-orang Kristen Eropa di kota-kota tidak mengindahkan
kehidupan gereja dan hidup mereka sama sekali bertentangan dengan tuntutan
Kristen.[33]
Jadi, terdapat variasi yang tidak dapat digeneralisasi
dalam hubungan antara pekabaran Injil dengan kolonialisme di Indonesia. Yang
tetap menonjol adalah keadaran pihak pekabar Injil untuk tidak menyamakan
kolonialisme dengan tujuan pekabaran Injil. Sikap mereka disimpulkan van den
End dalam rumusan:
Bagi mereka Kerajaan Allah tidak sama dengan Kerajaan
Belanda.Dan mereka tetap menyadari bahwa mereka bekerja demi perluasan Kerajaan
Allah, bukan demi perluasan Kerajaan Belanda. Tetapi kadang-kadang
perluasan Kerajaan belanda itu mereka anggap perlu demi perluasan Kerajaan Allah.[34]
1.2.3
Politik etis Kolonial
Reaksi-reaksi terhadap kenyataan buruk kolonial pada
akhir abad ke-19 dari kalangan intelektual dan politisi Belanda mencapai
puncaknya dalam artikel C.TTh. van Deventer (1857-1915) berjudul “Een
Eereschuld” dalam majalah De Gids pada tahun 1899.[35] Ia
mengungkapkan bahwa negeri Belanda berhutang kepada Hindia Belanda atas semua
kekayaan yang dikeruk dari Hindia Belanda dan hutang itu harus dikembalikan
dengan jalan meningkatkan kesejahteraan rakyat di Hindia Belanda.[36] Pada
tahun 1818 Mr. L.W.C. Keuchenius (1822-1893), yang bersikap pro zending,
diangkat menjadi menteri tanah jajahan. Visi Kristen untuk penyebaran agama dan
peradaban bertemu dengan visi kemanusiaan (peningkatan kesejahteraan dan
pengembangan moral) dari golongan liberal sehingga memperkuat cita-cita
politikkolonial baru yang dikenal sebagai politik etis (etische politiek).[37] Politik
etis, dengan trisila irigasi, edukasi dan emigrasi ini, berhubungan pula dengan
gagasan the white man’s burden, suatu ungkapan dari sastrawan
Inggris, Rudyard Kipling (1865-1936), pada tahun 1899, mengenai falsafah kolonialisme
Inggris. Ungkapan itu mengandung pengertian mengenai suatu kesadaran akan tugas
dan kewajiban yang tidak boleh dilalaikan, yang dibebankan di atas pundak
penjajah oleh situasi sejarah, yakn to serve your captive’s need.[38] Pidato
kerajaan ratu Belanda pada tahun 1901 (awal diberlakukannya politik etis)
mencanangkan Nederlands zedelijke roeping (panggilan etis
Belanda). Gagasan dasarnya adalah meningkatkan kesejahteraan rakyat jajahan dan
asas politiknya adalah mengubah hubungan kolonial dari pemilikan menjadi
hubungan perwalian. Dalam kerangka itu berbagai perubahan dan prioritas pembangunan
dijalankan: desentralisasi, perubahan-perubahan pemerintah, perbaikan kesehatan
rakyat , emigrasi, perbaikan pertanian (antara lain pembangunan irigasi) dan
peternakan serta peningkatan pendidikan.[39] Dan
dalam rangka mematangkan bangsa Indonesiauntuk menjadi bangsa yang dewasa bebas
dari perwalian – dengan menjadikan barat sebagai patokan – diusahakan
memajukan peradaban rakyat jajahan melalui beberapa kemungkinan. Dalam politik
etis dikenal konsep unifikasi, yakni usaha menyatukan
keseluruhan masyarakat hindia Belanda, mula-mula dalam sistem hukum
dan perundang-undangan, kemudain meluas pada penghapusan diskriminasi sosial
dalam tatanan masyarakat, antara lain melalui pendidikan. Ada yang mendukung
gagasan asimilasi, yakni kesatuan yang mengarah pada atau ke dalam
masyarakat eropa: kebudayaan pribumi diganti dengan kebudayaan Barat. Tetapi
segolongan lain menggagas ide asosiasi: kesatuan yang mengindahkan
proses alami dan menghargai kebudayaan asli. Konsep unifikasi yang
Barat-sentris ini berakar dalam keyakinan yang optimistik, bahkan angkuh, akan
keunggulan peradaban Barat. Salah seorang penganjur gagasan asosiasi adalah C.
Snouck Hurgronje (1857-1936), yang terkenal sebagai ahli Islam dan perumus
kebijakan kolonial terhadap Islam dalam masa politik etis.
Walaupun dari segi jumlahnya hanya sebagian kecil
rakyat Indonesia yang menerima pendidikan, namun peranannya sangat menentukan
dalam pergerakan nasional.[40] Dari
kalangan pribumi terpelajar itulah bangkit kesadaran nasional. Sartono
Kartodirdjo mencatat mengenai peranan itu:
Sangat jelas di sini bahwa ada hubungan timbal balik
antara perkembangan gerakan nasional dan ekspansi pendidikan modern yang pesat.
Tegasnya, pendidikan dapat dipandang sebagai sebuah dinamit bagi sistem
kolonial. Pengaruh pendidikan terhadap masyarakat kolonial diakui sepenuhnya
oleh penguasa-penguasa kolonial sendiri, dan menurut kata Colijn: “Merupakan
tragedi politik kolonial, karena ia membentuk dan membangun kekuatan-kekuatan
yang kemudian hari akan melawan pemerintah kolonial”.[41]
Pembentukan suatu dewan rakyat, yang sejak lama
dicita-citakan oleh para penggagas dan pendukung politik etis, berkaitan dengan
soal pertahanan Hindia Belanda (Indi Weerbaar). Gagasan pertahanan
dengan mobilisasi pribumi telah ditolak pada tahun 1913-1914, namun muncul lagi
dalam hubungan dengan perang dunia I. Budi Utomo mendukung, tetapi sarekat
Islam menuntut perwakilan pribumi dalam pemerintahan untuk dapat turut
mempertahankan Hindia Belanda. Wakil-wakil berbaagi organisasi pribumi (antara
lain BU, SI, Persatuan Bupati, ke-4 keraton) pergi ke negeri Belanda
memperjuangkan urusan perwakilan dan pertahanan itu. Walaupun para utusan itu
mendapat sambutan meriah, tuntutan mereka akhirnya ditolak dalam Staten-Generaal,
yang justru menyetujui pembentukan Volksraad pada bulan
Desember 1916. Volksrad berbentuk badan tunggal dengan fungsi hanya untuk
memberi nasihat dan untuk memberi pertimbangan kepada Gubernur Jenderal dalam
urusan-urusan anggaran. Kenyataan itu berbeda dengan pernyataan Gubernur
Jenderal Van Limburg Stirum pada pembukaan Volksraad I, bulan Nopember 1918
(kemudian dikenal sebagai Novemberbeloften), bahwa Dewan ini
berwenagn menyalurkan suara hati nurani rakyat dan disampng itu mungkin kelak
pusat titik berat politik akan dipindahkan dari Nederland ke Indonesia, dan
bahwa status sebagai tanah jajahan yang dieksploitasi akan diganti dengan
status sebagai bagian dari kerajaan belanda yang diberi otonomi dengan
pemerintahan yang demokratis.[42]
Pada pertama kali terdapat 19 orang anggota Volksraad
yang dipilih (10 orang Indonesia) dan 19 yang ditunjuk (5 orang Indonesia)
dengan seorang ketua. Anggota Indonesia dalam Volksraad meningkat dari 39%
(dari 39 anggota) ke 40% (49 anghota) pada tahun 1921, lalu 42% (60 anggota)
pada tahun 1927. Akhirnya 50% ketika keseimbangan antara orang Eropa dengan
orang Indonesia dan Timur lainnya (umumnya orang Cina) diubah pada tahun 1931,
jumlah angota yang dipilih melebihi jumlah yang ditunjuk, tetapi pemilih
keseluruhannya hanya 2.228 orang di seluuh Indonesia, yang pada waktu itu
berpenduduk sekitar 70 juta jiwa.[43]
Meskipun mempunyai berbagai kelemahan, Voolksraad
diakui berhasil mendesakkan konstitusi baru pada tahun 1925, dimana Dewan
Hindia diperkecil kewenangannya menjadi suatu badan penasihat, dan Volksraad
sendiri diberi kekuasaan-kekuasaan terbatas. Hanya Staten-Generaal di
Den Haag tetap menentukan anggaran kolonial, Van Niel merangkum penilaiannya
atas fungsi Volksraad sebagai berikut:
Ia telah menjad pentas untuk melampiaskan
kekesalan-kekesalan, yang barangkali dalam hal inilah ia mempunyai arti yang
paling penting. Tentu saja badan ini juga merupakan lapangan tempat latihan
kesadaran dan prosedur politik bagi orang Indonesia tertentu, tetapi yang
nyatanya amat terbatas. Orang Indonesia umumnya, dan orang Eropa khususnya,
terus menanggap Volksraad sebagai sesuatu yang harus menjadi wakil rakyat
Indonesia, harus merupakan suatu forum tempat mereka menyeruakan keinginan akan
mendapatkan kekuasaan perundang-undangan. Volksraa tak pernah memenuhi
kebutuhan ini, sungguhpun dalam kenyataan padanya telah diberikan kekuasaan
legislatif itu danorang Indonesia telah mengisi satu setengah kali jumlah
anggotanya, oleh karena dewan ini tetap terpisah dari arus utama kehidupan
orang Indonesia dan hanya mewakili satu jenis pemikiran saja.[44]
Salah satu “akibat sampingan” politik etis – yang
kemudian berkembang sebagai jawaban (negatif) bangsa Indonesia terhadap
keseluruhan kenyataan kolonialisme – adalah munculnya faktor baru dalam
masyarakat jajahan: nasionalisme Indonesia. Nasionalisme ini muncul sebagai
gerakan sosial budaya, tetapi dengan cepat menjadi gerakan ideologsi-politik.
Corak ideologis politik nasionalisme Indonesia berkembang mula-mula dalam Indische
Partij (1912), lalu membiak dengan cepat melalui sayap radikal yang
kemudian menjadi golongan Komunis dalam Sarekat islam, dan
selanjutnya melalui Perhimpunan Indonesia, lalu kemudian oleh Partai
Nasional Indonesia. Salah satu jawaban tegas pemerintah kolonial terhadap
perkembangan itu adalah pelembagaan PID (Politieke Inlchtingendienst), yang
secara efektif membayangi kehidupan kaum nasionalis: penangkapan, penahanan
atau pengasingan pemuka-pemuka kaum nasionalis Indonesia yang bersikap
nonkoperasi dan menempuh cara-cara radikal.[45] Akibatnya
para aktivis pergerakan bergerak secara rahasia atau mengubah isi dan cara
pergerakan: bukan lagi tekanan pada Indonesia merdeka melainkanotonomi
Indonesia yang diperjuangkan melalui jalur konstitusional, khususnya di dalam
Volksraad. Kelompok terpelajar lainnya bergiat dalam bidang-bidang pendidikan
dan kebudayaan.[46]
Kalangan Belanda sendiri terbagi-bagi dalam menanggap
kenyataan politik kolonial. Pada tahun 1929 sebagian mendirikan Vaderlandsche
Club (VC) sebagai reaksi kelangan Belanda totok terhadap sikap
progresif yang ditunjukan pejabat tinggi kolonial yang berhaluan politik etis
dan terhadap perkembangan pergerakan nasional Indonesia (pemberontakan tahun
1926 dan munculnya PNI). VC dengan tegas ingin mempertahankan kekuasaan Belanda
di Indonesia sedemikian supaya kepentingan ekonomi, sosial dan finansial
Belanda terjamin. Cita-citanya membentuk suatu Nederland Raya dengan Indonesia
sebagai bagian otonom di dalam Kerajaan belanda. Pada sebelah lain ada Stuwgroep,
yang etrdiri atas tokoh-tokoh intelektual yang menyuarakan pandangan-pandangan
progresifnya melalui majalah De Stuw. Kelmpok ini mendukung cita-cita
emansipasi, bahkan likuidasi: menghapus hubungan kolonial, membentuk
persemakmuran Hindia sebagai negara merdeka namun tetap dalam ikatan negeri
Belanda.Leidschegroep, kelompok yang sejajar dengan Stuwgroep,
memelopori gerakan Indie los van Holland.[47]Karena
kebanyakan anggotanya ahli mengenai Hindia (Indilog), maka kelompok ini memberi
penghargaan besar terhadap nilai-nilai Timur dan menghendaki pengembangan
masyarakat Hindia dalam kebudayaannya sendiri (berbeda dengan garis asosiasi
politik etis). Jelaslah gagasan mereka ditentang oleh VC dan oleh kelompok
konservatif lainnya, “golongan Utrecht”, yang terdiri atas kalangan pengusaha
yang mengutamakan dukungan kolonialisme bagi eksploitasi ekonomi mereka di
Indonesia. Mreka berpendapat bahwa suatu emansipasi total bersifat
prematur.
Demikianlah politik etis (khususnya politik asosiasi)
digagalkan oleh reaksi dari pihak rakyat jajahan berupa pergerakan menuntut
kemerdekaan Indonesia, dan dari pihak masyarakat konservatif Eropa di
Indonesia, yang menghendaki pelestarian kekuasaan kolonial di Indonesia bagi
kepentingan eksploitas ekonomi.[48]
1.2.4 Politik
Kolonial terhadap Islam
Politik pemerintah kolonial terhadap pihak Islam di
Indonesia merupakan salah satu bagian penting dari politik etis yang berkaitan
dengan nasionalisme Indonesia. Politik ini tak dapat dipisahkan dari tokoh
ternama, Christian Snouck Hurgronje (1857-1936).[49] Dapat
dikatakan bahwa sampai tahun 1899 belum ada “politik islam” selain suatu sikap
netral terhadap semua agama berdasarkan pasal 119 RR 1854, yang ditempatkan
dalam kerangka rust en orde pemerintah kolonial. Dalam hubungan itu
Gubernur-Jenderal berwenang untuk campur tangan dalam soal agama bila dipandang
perlu, sesuai keputusan Raja Belanda No. 78 tanggal 4 Februari 1858. Kenyataan
di balik ketentuan itu adalah adanya ketakutan di kalangan pemerintah kolonial
dan orang-orang Eropa di Indonesia terhadap umat Islam. Ketakutan itu
berhubungan dengan seringnya muncul perlawanan bersenjata yang didorong oleh
semangat Islam, baik berupa perang-perang besar (Jawa, Paderi, Aceh) maupun
pemberontakan atau huru-hara di pedesaan. Ketakutan itu diperbesar oleh
pemahaman yang keliru terhadap struktur persekutuan umat Islam sedunia dengan
menyamakannya dengan hirarkhi Gereja Katolik Roma yang berpusat pada kekhafilahan
Turki, dan oleh anggapan bahwa para haji adalah orang-orang fanatik yang suka
memberontak. Pada tahun 1899 Snouck Hurgronje, yang adalah seorang ahli bahasa
Arab dan agama Islam, memulai tugasnya sebagai penasehat pemerintah untuk
masalah-masalah Arab dan Pribum. Ia melakukan reorientasi politik berdasarkan
pengetahuannyamengenai Islam dan sesuai dengan visisnya mengenai masa depan
hubungan kolonial. Pertama-tama ia mengoreksi pemahaman keliru yang menimbulkan
ketakutan terhadap Islam. Menurut Snouck Hurgronje dalam kehidupan orang
Indonesia yang beragama Islam peranan adat masih sangat kuat, sehingga dalam
soal-soal duniawi , khususnya politik merka tunduk pada penguasa-penguasa
traadisional. Dia mengakui bahwa memang Islam sebagai agama dan sebagai
kekuatan politik jangan dianggap remeh. Harapan untuk mengkristenkan
penduduk pribumi secara besar-besaran supaya dapat mengimbangi Islam adalah
harapan palsu karena sebaliknya, seiring dengan Pax Neerlandica,
agama Islam akan bertambah meluas dan mendalam. Ia juga membedakan segi doktrin
dan segi politik dalam Islam. Snouck Hurgronje menganjurkan toleransi yang
dijabarkan dalam sikap netral agama pada segi doktrin itu, sedangkan setiap
gejala politik harus segera dibasmi secara tuntas. Maka politik kembar
toleransi dan kewaspadaan terhadap Islam mengarahkan pemerintah pada dukungan
terhadap unsur-unsur yang kurang dipengaruhi Islam dalam masyarakat pribumi,
seperti pemuka-pemuka adat dan penguasa-penguasa non-Islam, khususnya para
priyayi di Jawa.
Reorientasi yang dicanangkan Snouck Hurgronje jelas
bukan dukungan terhadap perkembangan Islam, bukan pula pengembangan masyarakat
tradisional di bawah adat. Lembaga-lembaga adat merupakan rintangan bagi
pendalamn Islam dan terbukti cukup kuat melawan Islam, lagi pula wakil-wakilnya
merupakan sekutu yang baik bagi pemerintah kolonial. Namun karena dalam dirinya
sistem adat mengandung konservatisme dan partikularisme lokal maka adat tidak
dapat diharapkan untuk membendung pengaruh Islam yang semakin meluas. Di pihak
lain, Islam tidak dapat menggerakkan dari dalam dirinya dinamika bagi pembinaan
sebuah peradaban yang lebih tinggi dan modern, dan pemimpin-pemimpinnya sulit
menerima pemerintahan non-Islam. Sebab itu masa depan Indonesia yang moderen
dantetap terikat dengan Belanda tidak dapat diandalkan pada adat
atau pada Islam, melainkan pada pembaratan Indonesia (westernizing Indonesia).
Politik kembar toleransi dan kewaspadaan terhadap Islam adalah prasyarat bagi
pertumbuhan maysyarakat Indonesia yang sehat. Di dalamnya, melalui politikasosiasi (di
mana orang-orang Indonesia dibawa ke dalam kebudayaan Barat, yang dicapai
melalui pendidikan Barat), jurang antara yang memerintah dan yang diperintah
terjembatani. Langkah selanjutnya adalah memberi kepada mereka yang terdidik
itu peran politik dan administrasi tanah jajahan.
Walaupun politik asosiasi gagal (antara lain karena
munculnya nasionalisme Indoesia Indonesia dan karena kurangnya dukungan dari
kalangan Belanda di Indonesia dan di Belanda) pendekatan Snouck Hurgronje
terhadap Islam cukup berhasil. Kemenangan Belanda dalam perang Aceh merupakan
salahsatu prestasinya, demikian pula huru-hara di pedesaan relatif dapat
diredam. Kelunakan terhadap urusan naik haji, penetapan ordonasi perkawinan
(1895) dan pengajaran agama Islam (1905), serta adanya dinas khusus
masalah-masalah pribumi yang dianjurkannya mengundang simpati kalangan Islam.
Sebaliknya tantangan datang pihak pendukung kristenisasi. Adanya kecenderungan
pemerintah kolonial pada masa awal politik etis mendukung Kresteningspolitiek dan
kemudian mendukung kalangan ningrat tradisional dalam rangka pemberlakuan hukum
adat, merupakan kendala-kendala bagi upayanya memperoleh simpati pihak Islam.[50]
Periode pasca Snouck Hurgronje ditentukan beberapa
faktor. Yang terpenting adalah reformasi Islam, munculnya pergerakan nasional,
dan penemuan hukum adat. Reformasi Islam di Timur Tengah pada bagian kedua abad
19, baik gerakan Wahabi maupun gerakan modernis Mohammad Abduh, mempengaruhi
kemunculan reformisme Islam di Indonesia, seprerti di Minangkabau , di kalangan
orang Arab di Jakarta dan di dalam Muhammadiyah. Reformisme Islam antara lain
merupakan reaksi terhadap dominasi Barat, dan karena itu mendorong timbulnya
gerakan Islam sebagai simbol nasionalisme dan anti kolonial. Kebangkitan Islam
di Indonesia melalui Sarekat Islam dan Muhammadiyah pada awal tahun
belasan memperluas kesadaran akan kesatuan yang melampaui batas-batas suku dan
daerah dan akan keadaan buruk kesejahteraan rakyat yang perlu dimajukan,
mula-mula melalui kegiatan-kegiatan pendidikan, sosial dan kebudayaan, dan
kemudian melalui perjuangan politik. Peran pihak Islam Indonesia dalam
menyelenggarakan pendidikan, baik secara Barat (khususnya oleh muhammadiyah)
maupun melalui pola-pola pendidikan Islam tradisional, sangat penting dalam
mendukung perkembangan nasionalisme. Maka setiap campur tangan dari pihak
pemerintah kolonial yang berusaha membatasi peran itu mendapat
perlawanan.
1.2.5
Zending dan Politik Etis
Dalam hubungan dengan sikap Zending terhadap politik
etis, pertama-tama perlu diketengahkan hubungan pemerintah dengan pekabaran
Injil dalam kerangka politik etis. Studi Aqib Suminto mengungkapkan bahwa juga
pada masa politik etis dukungan kepada kersteningspolitiek lebih
besar dibandingkan dengan sikap netral agama yang dianut pemerintah
kolonial.[51] Tetapi
politik pengkristenan tersebut bukanlah dukungan bagi perkembangan agama
Kristen, melainkan merupakan bagian dari strategi pelestarian kekuasaan
kolonial. Dengan kata lain, kekristenan dieksploitasi untuk kepentingan
politik. Menghadapi kenyataan bahwa Islam merupakan tantangan utama bagi
kekuasaan kolonial di Indonesia, maka berbagai upaya ditempuh pemerintah kolonial
untuk menjinakannya. “Politik Islam Hindia-Belanda” antara lain dikaitkan
dengan perluasan agama Kristen, misalnya kepada suku-suku terpencil yang masih
menganut agama sukunya. Tetapi di luar yang dikehendaki pemerintah, upaya
membendung Islam justru berbalik menjadi dorongan yang kuat bagi kebangkitan
Islam di Indonesia.[52]
Sebagaimana dicatat di atas, dukungan terpenting dari
pihak pemerintah adalah pengamanan daerah pekabaran Injil, termasuk izin
bekerja di daerah itu. Daerah-daerah yang secara mencolok penduduknya
dikristenkan pada perempat pertama abad ini adalah wilayah Sulawesi Tengah, Tana
Toraja, Tanah Batak, Kalimantan dan beberapa daerah di Indonesia bagian Timur.
Daerah-daerah ini terutama berpenduduk pedesaan yang terisolir dan masih
menganut agama sukunya, sehingga penginjilan sekaligus membuka suku-suku itu
terhadap dunia modern. Lembaga pendidikan dasar dan menengah yang didirikan
oleh badan-badan zending menjadi wahana penting bagi pengkristenan dan
modernisasi itu.
Seperti pada masa sebelumnya, pada kurun masa ini juga
sikap Zending terhadap politik kolonial adalah pasif. Selain pengaruh pietisme
pada sebagian mereka, pihak yang lebih sadar menghubungkan panggilan kenabian
gereja dengan kenyataan masyarakat melihat segi-segi positif asas-asas politik
yang diperkembangkan pemerintah kolonial, seperti: jaminan kebebasan pribadi, peradilan
yang tidak terikat, kebebasan beragama, kebebasan mengeluarkan pendapat,
kebebasan berserikatdan berapat, kebebasan membicarakan kepentingan umum di
dewan-dewan perwakilan dsb. Di samping itu, mereka juga mengetahui
kelemahan-kelemahan di dalam kehidupan masyarakat tradisional:
[…] betapa buruknya keadaan yang telah diakhiri oleh
penjajahan Belanda dan betapa luasnya kesempatan untuk memperbaikinya yang
telah dibuka oleh pemerintah penjajah itu.[53]
Dengan kata lai, kalangan Zending menghargai
gagasan-gagasan ideal dalam politik etis pemerintah kolonial. Tetapi tidak adil
untuk secara umum menyamaratakan sikap atau peran pihak Zending menghadapi
kenyataan-kenyataan pengaruh barat kepada masyarakat Indonesia. Gambaran yang
dikemukakan oleh seorang misiolog dan sejarawan, yang meneliti hubungan
pekabaran Injil dengan pengaruh kebudayaan (Barat), dapat diberlakukan di
Indonesia:
Pernyataan semberono bahwa perembesan kekuasaan
politik dan kebudayaan barat ke seluruh dunia di mana-mana hanyalah
menghasilkan kerusakan, dan bahwa pekabaran Injil Kristen tanpa perbedaan telah
terlibat dalam kesalahan atas kerusakan itu, tidak akan tahan uji terhadap
penelitian sejarah penelitian sejarah yang sederhanapun. Pada pihak lain,
pandangan-pandangan yang mengidealkan, baik mengenai ekspansi kolonial sebagai
pemikul beban kulit putih maupun tentang kemajuan pekabaran Injil yang baik
tampil sebagai sahabat orang-orang Asia dan Afrika yang bersahaja, sangatlah
dirusakkan oleh susupan mitologis. Setiap generalisasi harus diperbaiki
dengan memperhitungkan pengecualian-pengecualian.[54]
1.3 Zending
dan Pergerakan Nasional Indonesia
1.3.1 Nasonalisme
Indonesia
Bangkitnya nasionalisme Indonesia dapat dihubungkan
dengan dua faktor dasar, yakni pengaruh perkembangan internasional berupa
kebangkitan bangsa-bangsa terjajah (khususnya di Asia) memperjuangkan
kemerdekaan.[55] Salah
satu peristiwa penting yang menunjang perkembangan ini adalah kemengan Jepang
(Asia) atas Rusia (Eropa) dalam perang pada tahun 1905. Faktor dasar lainnya
adalah kebijakan kolonial yang baru, yakni politik etis pemerintah Belanda.
Dalam hubungan dengan politik etis itu pentinglah menyebut dua hal :
peningkatan pendidikan pribumi dan pembentukn Voolksraad.
Pendidikan pribumi bermakna terutama dalam ditingkatkannya jumlah dan jenjang
pendidikan, yang pada gilirannya melahirkan kaum terpelajar Indonesia. Mereka
inilah yang menjadi penggagas dan tulang punggung pergerakan nasional.
Pergerakan nasional Indonesia mula-mula merupakan
gerakan sosial, ekonomi, kebudayaan dan agama (Islam), yakni sebagai
sambutan positif terhadap politik etis, tetapi kemudian, ketika ideal politik
etis tidak terwujud, pergerakan berubah menjadi pergerakan politik-ideologis
yang menentang seluruh sistem kolonial.[56] Proses
perubahan itu juga disertai dinamika di dalam pergerakan, yang trejadi karena
masing-masing kelompok berusaha berjuang dengan cara dan visi yang berbeda.
Dalam dinamika tu menonjkol dua kubu: Islam dan Kebangsaan. Golongan kebangsaan
dan golongan Islam berbeda gagasan mengenai ideologi Indonesia merdeka. Pihak
Kebangsaan memperjuangkan negara sekuler yang memberi tempat kepada agama dalam
kehidupan nasional, sedangkan pihak Islam menghendaki suatu negara Islam.[57]Karena
beberapa sebab, dari luar dan di dalam, pihak Islam tergeser dari posisi utama
dan untuk sementara golongan nasionalis radikal mengambil alih kepeloporan
pergerakan. Tetapi ketika pihak Komunis mencoba suatu perlawanan bersenjata
(1926/1927), kelompok ini disingkirkan oleh penguasa kolonial. Maka pihak
Kebangsaan (dengan berbagai perbedaan unsur-unsurnya) memegang kendali
dan pergerakan memasuki tahap yang secara politis lebih jelas arahnya.
Pergerakan pemuda dan mahasiswa menjadi suatu faktor
tersendiri. Gagasan-gagasan kesatuan Indonesia yang mereka cetuskan dalam Sumpah
Pemuda (1928) dan wujudkan antara lain dalam pembentukan Indonesia
Muda(1930) merupakan sumbangan yang bermakna bagi pergerakan nasional.
Dalam proses perkembangannya, makin jelaslah arah
pergerakan sebagai perjuangan untuk mencapai kemerdekaan Indonesia. Dan
bersamaan dengan itu pula bertumbuh kesadaran menuju kesatuan sebagai satu
bangsa yang meliputi semua penduduk dalam wilayah kesatuan administratif
penjajahan Belanda. Kedua hal itu, kemerdekaan dan kesatuan bangsa Indonesia,
menjadi acuan bersama para aktivis pergerakan.
Faktor secara bersama di bawah kekuasaan penjajah
sangat menentukan lahirnya kebangsaan Indonesia. Disamping itu, sebagaimana
dicatat oleh Kahin,[58] terdapat
faktor-faktor lain yang turut menentukan, yakni kesadaran akan kebesaran
politik masa lampau dalam sejarah dalam sejarah kerajaan-kerajaan besar
Nusantara (Majapahit, Sriwijaya),[59] kesamaan
agama (sejumlah besar penduduk memeluk agama Islam, yang berkembang sebagai
simbol perlawanan terhadap dominasi bangsa asing), perkembangan bahasa Melayu
pasar menjadi bahasa nasional, adanya Volsraad seak tahun 1917, penyebaran
gagasan oleh dukungan terbitan-terbitan berbahasa Melayu dan bahasa daerah,
siaran radio serta meningkatnya mobilitas geografis penduduk akibat pola
organisasi ekonomi abad ke-20 dengan berbagai kelengkapan transportasinya. Pada
sisi yang lain Kahin juga mencatat segi-segi yang menghambat perkembangan
nasionalisme Indonesia itu. Pola pemerintahan tak langsung (indirect rule),
yakni dengan mengangkat pejabat tradisional pribumi sebagai pelaksana
pemerintahan dan memberi kedudukan khusus kepada orang Cina di bidang ekonomi.
Akibatnya, ketidakpuasan rakyat tertuju pada mereka, bukan kepada kekuasaan
penjajah di atas mereka. Selanjutnya, kenyataan mayarakat Indonesia sebagai
masyarakat majemuk: pemerintah kolonial memanfaatkan kemajemukan itu untuk
memecah-belah, misalnya dengan menempatkan orang Cina dan Indo-Eropa pada kelas
menengah, dan memberi hak-hak khusus kepada “suku-suku Kristen” (Ambon dan
Manado).[60] Faktor
penting lainnya adalah kewenangan pemerintah kolonial, khususnya adanya
hak-hak exorbitant Gubernur Jenderal, menindak tokoh-tokoh
nasionalis. Masih dapat ditambahkan kenyataan perbedaan dan pertentangan antara
aliran-aliran nasionalis sendiri, baik perbedaan ideologis maupun perbedaan
taktik dan strategi. Perbedaa ideologis terutama menajam antra golongan Islam
dan golongan Kebangsaan, sedangkan perbedaan taktik dan strategi antara
penganut coöperatie dan penganut non-
coöperatie, yakni mereka yang percaya pada kerjasama dengan pemerintah
kolonial untuk mencapai kemerdekaan, dan mereka yang tidak percaya dan
berjuangdi dalam sistem kolonial.Pada tahun 1930-an para penganjur pergerakan
yang tidak diasingkan pemerintah kolonial, umumnya menempuh saluran resmi
sistem kolonial.[61] Jalan
yang ternyata buntu ini diakhiri oleh pendudukan Jepang pada tahun 1942.
Pada masa pendudukan Jepang, pihak penguasa Jepang
berusaha mengalihkan kekuatan pegerakan nasional dari dominasi golongan
Kebangsaan kepada pihak Islam. Tetapi walaupun pihak Islam mendapat kemajuan
yang cukup berarti, dominasiats pergerakan yang dilembagakan dalam BPUPK (Badan
Penyelidik Usaha-Usaha Kemerdekaan), tetap di tangan pihak Kebangsaan dengan
tokoh-tokoh utama Sukarno dan Hatta.[62]
Pada rapat-rapat pertama BPUPK tanggal 28 Mei -
2 Juni 1945 dibicarakan usul-usul mengenai dasar negara. Pada tanggal 1 Juni
Sukarno mengucapkan usul-usulnya yang kemudian dikenal sebagai pidato “Lahirnya
Pancasila”.[63] Suatu
panitia bantu, Panitia Sembilan, berhasil dalam suatu gentlemen’s agreement
mencapai rumusan konsep Pembukaan Undang-Undang Dasar, yang
kemudian dikenal sebagai piagam Jakarta.[64]
Piagam ini memuat versi Pancasila yang memberi hak
khusus kepada pihak pihakIslam: Sila Ketuhanan diikuti “tujuh kata”:
dengan kewadjiban mendjalankan sjaria’t Islam bagi pemeluk-pemeluknja.
Rumusan itu diterima untuk disahkan menjadi pembukaan UUD oleh Panitia
Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), badan pengganti BPUPK yang dibentuk
pada tanggal 7 Agustus 1945.[65] Atas
desakan para pemuda mlitan dan dengan dukungan Laksamada Maeda, proklamasi
kemerdekaan Indonesia dicanangkan oleh Sukarno-Hatta di halaman rumamh kediaman
Sukarno, Jl. Pegangsaan Timu No. 56 Jakarta, pada tanggal 17 Agustus 1945, dua
hari setelah Jepang menyerah tanpa syarat kepada sekutu.
Hariitu juga, Hatta dihubungi oleh seorang perwira
Angkatan Laut Jepang untuk menyampaikan penolakan kalangan Kristen dari
Indonesia bagian Timur terhadap bagian rumusan konsep Pembukaan UUD yang
mengistimewakan golongan Islam. Dalam buku kenangannya Hatta mencatat peristiwa
itu:
Opsir itu yang aku lupa namnaya, datang sebagi utusan
Kaigun untuk memberitahukan sungguh, bahwa wakil-wakil Protestan dan Katolik,
yang dikuasai oleh Angkatan Laut Jepang, berkeberatan sangat terhadap bagian
kalimat dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar, yang berbunyi “Ketuhanandengan
kewajiban menjalankan Syariat Islma bagi pemeluk-pemeluknya. “Mereka
mengakui bahwa bagian kalimat itu tidak mengikat mereka, hanya mengenai rakyat
yang beragama Islam. Tetapi tercantumnya ketetapan mengenai itudi dalam suatu
dasar yang menjadi pokok Undang-Undang Dasar berarti mengadakan Diskriminasi
terhadap mereka golongan minoritas. Jika “diskriminasi” itu ditetapkan juga, mereka
lebih suka berdiri di luar Republik Indonesia.[66]
Hatta menanggapi secara serius soal itu, lalu pada
keesokan paginya, sebelum sidang PPKI, Hatta menghubungi beberapa tokoh Islam
(antara lain Ki Bagus Hasikusumo, Teuku Mohammad Hasan, Wahid Hasjim)
merundingkan hal iu demi mencegah perpeacahan nasional. Akhirnya disepakati
mengganti “tujuuh kata” itu menjadi “tiga kata”: Yang Maha Esa.[67] Selanjutnya
sidang juga sepakat menghilangkan semua ketentuan dalam UUD yang mengandung hak
khusus pihak Islam, misalnya ketentuan bahwa Presiden harus beagama Islam.
Dalam rapat resmi PPKI itu juga diterima keberatan Latuharhary atas usul
pembentukan Kementrian Agama secara tersendiri, sehingga pada waktu itu urusan
agama digabungkan dengan Kementrian Pendidikan.[68]
1.3.2 Sikap Zending Terhadap
Pergerakan Nasional
Ada berbagai perubahan yang berpengaruh dalam
kekristenan pada bagian pertama abad ini dan turut menentukan sikap Zending
terhadap pergerakan nasional. Pertama-tama, munculnya teologi etis yang
menekankan segi etis dari kebenaran iman : kebenaran dan pernyataan Allah,
bukanlah perkara otak saja melainkan menyatakan diri dalam seluruh kepribadian
seseorang. Tekanan pada kepribadian (tapi bukan secara individualistis)
menempatkan pekabaran Injil di luar pengorganisasian gereja. Yang utama adalah
persekutuan yang hidup antara pribadi-pribad yang beriman. Pengaruh aliran ini
dalam kalangan Zending tampak pada kuatnya perhatian terhadap masalah-masalah
dan kebudayaan pribumi dalam hubungan dengan tekanan pada pendidikan dan
pengadaban sebagai bagian dari tugas penginjilan. Sudah dicatat di atas bahwa
wawasan yang disebut terakhir menjadi alasan sikap positif Zending terhadap
imperialisme. Kalangan etis juga kurang memberi perhatian pada pelembagaan
gereja di medan pekabaran Injil sehingga kurang memajukan kedewasaan Kristen
pribumi.[69]
Perkembangan lainnya adalah makin perlunya kerjasama
antar badan-badan pekabar sedunia di Edinburgh pada tahun 1910 bergema juga di
Indonesia. Kerjasama di Indonesia telah dirintis sejak pembentukanNederlandsch
Indische Zendingsbond (NIZB) pada tahun 1881, yang mengadakan
konferensi tahunan membahas dan mempertukarkan pengalaman masing-masing. Dalam
hubungan itu penting peran penunjang majalah De Opwekker sebagai
media cetak dalam memperluas gagasan-gagasan yang dihasilkan konferensi tahunan
NIZB atau yang diketengahkan tokoh-tokoh Zending.[70] Lembaga
penting lainnya dalam kerjasama tersebut adalah Zendingconsulaat, yang dibentuk
pada tahun 1906 sebagai badan penghubung kalangan Zending dengan pemerintah.
Dalam pelayananya Zendingconsulaat berhasil mengatasi sejumlah kasus dimana
kepentingan pekabaran Injil terhalang oleh sikap atau peraturan pemerintah.
M.C. Jongeling juga mencatat peran Zendingconsulaat dalam persoalan-persoalan
terhalang oleh sikap atau peraturan pemerintah. M.C. Jongeling juga mencatat
peran Zendingconsulaat dalam persoalan-persoalan antara Zending dan Missi
(Katolik), bantuan finansial kepada MRG, reoganisasi GPI, perdebatan, mengenai
pekabaran Injil di Bali dan kemandirian gereja Batak.[71]
Gereja penting lainnya dalam kekristenan Indonesia
pada awal abad ini adalah urbanisasi. Pemuda-pemuda dari suku yang pada umumnya
memeluk agama Kristen turut berpindah ke kota-kota besar dalam rangka
pendidikan lanjut atau mengisi lowongan kerja pada berbagai lembaga pemerintah.
Demikianlah maka dijumpai kelompok-kelompok orang Kristen Indonesia di
kota-kota besar di Jawa, seperti Batavia, Bandung, Smarang, Surabaya dan di
Makasar, Manado, Ambon dan Kupang. Kebanyakan mereka di kota-kota itu menjadi
warga Indische Kerkdalam jemaat berbahasa Belanda. Hanya di Batavia dan
beberapa kota besar lainnya terdapat jemaat tersendiri untuk yang berbahasa
Melayu dan daerah. Orang-orang Kristen dari suku atau daerah yang sama
membentuk organisasi sosial.
Sikap lembaga-lembaga Kristen di Indonesia baik dalam
kalangan Gereja Protestan maupun Zending, turut menentukan dalam membentuk
sikap orang Kristen Indonesia terhadap pergerakan nasional Indonesia. Jelas
bahwa dalam golongan yang pertama, Gereja Protestan, sebagai gereja negeri,
sulit diharapkan bertumbh suatu sikap yang simpatik terhadap pergerakan
nasional (baru kemudian ada perhatian dalam kalangan terbatas para
pemimpinnya). Sedangkan di pihak Zending mula-mula timbul suatu kesangsian
terhadap cita-cita nasionalisme Indonesia. Pandangan yang khas dikemukakan oleh
D. Bakker (1865-1932) dan H.A. van Andel, keduanya pekabar Injil Gereformeerd di
Jawa Tengah.[72] Bakker
berpendapat bahwa bangsa Indonesia lebih baik berada di bawah bimbingan
pemerintah Belanda ke arah kemajuan daripada ditindas tirani penguasa-penguasa
tradisionalnya. H.A. van Andel, yang juga merupakan pemikir teologis bagi
partai politik Kristen (CSP), tetap menghendaki langgengnya ikatan antara
negeri Belanda dan Indonesia, yang menurut dia paling tepat merupakan ikatan
kerohanian dalam agama Kristen.Baru pada tahun 1920-an muncul dari kalangn Zending
tokoh-tokoh yang lebih sadar pada aspirasi kaum pergerakan nasional dan
berusaha mengarahkan kekristenan menghadapi kenyataan itu secara tepat.
Pendekatan yang lebih terbuka terhadap nasionalisme Indonesia dan berusaha
mengarahkan kekristenan menghadapi kenyataan itu secara tepat. Pendekatan yang
lebih terbuka terhadap nasionalisme Indonesia diwakili tokoh-tokoh yang
progresif, seperti B.M. Schuurman (1889-1945), C.L. van Doorn (1896-1975),
J.M.J Scheeper (1888-1967) dan khususnya Hendrik Kraemer (1888-1965). Kraemer
dapat dianggap sebagai pembawa wawasan baru Zending terhadap nasionalisme
Indonesia.[73] Mengikuti
pandangan A.C Kruyt (1870-1949) dan N.Adriani (1865-1926), Kraemer memandang
tugasnya untuk menjalin hubungan pribadi dengan kelompok-kelompok yang bereaksi
terhadap penetrasi Barat, dengan tujuan: memperhadapkan penginjilan secara cerdas
kepada mereka, mengarahkan penginjilan pada pemahan yang lebih dalam pada
masalah-masalah tanah rohani dimana benih Injil ditaburkan dan menampilkan
keterlibatan Kristen dalam perjuangan melawan kekacauan rohani dan moral yang
dialami bangsa-bangsa Timur sebagai dampak perhubungan dengan Barat. Kraemer
yang secara resmi merupakan utusan Lembaga Alkitab Belanda di Indonesia
melaksanakan panaggilan itu dengan berbagai cara dan sarana, a.l. dengan
menulis Kantteekeningen (=catatan pinggir) dalam majalah
Zenidng De Opwekker antara tahun 1924-1927. Dalam “caping” dibawah rubrik Persoverzicht (=tinjauan
pers) itu Kraemer menyambut gembira dan simpatikkebangkitan nasional, budayah
dan politik di kalangan bangsa Indonesia dalam hubungan dengan masalah-masalah
nasionalisme dan hubungan kolonial. Dengan catatan-catatannya Kraemer bertujuan
mencerahkan rekan-rekannya, para pekabar Injil, mengenai kenyataan hidup dalam
masyarakat supaya mereka dapat memebritakan Injil secaa tepat.[74] Penekanan
Kraemer adalah mengajak kalangan Zending untuk mendorong orang Kristen
Indonesia supaya terlibat secara aktif dalam perjuangan bangsanya dibidang
sosial dan politik.[75] Di
dalam kenyataan itu – dimana nasionalisme merupakanmovement of
self-expresson – Zending mempunyai tempat yang khusus sehubungan
dengan kewajiban moral untuk pendidikan (education) dan pembahasan batin
(emantipation).
Dalam situasi umum ini, yang menyangkut kewajiban
moral yang dijelaskan di atas, kegiatan-kegiatan pekabaran Injil merupakan ciri
penting. Kegiatan tersebut membentuk salah satu faktor dan sebab-sebab yang
sangat bermakna. Dalam pertemuan-pertemuan yang menentukan antara Timur dan
Barat. Karena itu, bukan hanya dalam hakekatnya dalam penugasan ilahi,
melainkan juga dalam sifatnya sebagai suatu upaya manusia, pekabaran Injil
jelas mempunyai sutu tugas dalam gerakan pengungkapan diri. Semuanya dapat
dirangkum di bawah judul emansipasi dan peremajaan bangsa-bangsa, apa yang disebut
peningkatan intelektual, kebudayaan, sosial, moral dan rohani, yang menentukan
perhatian dan kerjasama yang tulus dan simpatik dari pekabaran Injil. […]
Pekabaran Injil mendukung gerakan pengungkapan diri dengan menyambut sebagai
keprihatinan mereka sendiri semua perjuangan dan pergerakan yang
sungguh-sungguh murni, dan tanpa keraguan memihak pandangan yang menginginkan
bangsa yang kuat dan sehat daripada yang lemah dan patuh. Hal ini bertabrakan
dengan pandangan imperialis yang secara naluriah berupaya mempertahankan
keadaan lemah dan patuh dari mereka yang menjadi alat dan tujuannya.[76]
Pemikiran misiologis Kraemer bertolak dari pemahaman
yang luas akan arti pemberitaan Injil dalam kalangan Dewan Pekabaran, dimana
berhadapan kelompok “rohani” Eropa dengan dengan kelompok “sosial”
Amerika-Inggris. Konferensi IMC kedua di Yerusalaem pada tahun 1928 mendukung
pendekatan kelompok terakhir, yang sejalan dengan pandangan Kraemer bahwa
pekabaran Injil meliputi usaha-usaha mewujudkaan keadilan dalam bidang sosial,
politik dan ekonomi, sedang kelompok lawannya membatasinya hanya pada wilayah
kerohanian. Kecuali van Andel, wakil-wakil dari Indonesia ke konferensi itu
seperti Kraemer, Schuurman dan Moelia umumnya berpihak pada pemahaman yang
lebih luas dan utuh itu. Diskusi-diskusi dan karangan-karangan mengenai pokok
kajian Konferensi Yerusalem, khususnya mengenai masalah sosial, buruh dan ras,
menjadi salah satu perhatian utama sejak itu.[77]
Pengaruh Kramer di dalam sooal hubungan Zending dan
pergerakan nasional ini tampak dalam dua hal: meningkatnya perhatian terhadap
masalah-masalah sosial politik dalam Konferensi tahunan NIZB, dan munculnya
tokoh-tokoh zendeling pro-nasionalisme juga dari kalangan Gereformeerd seperti
H. van den Brink (1904-1982), J. Verkuyl (lahir 1908) dan tokoh-tokoh
pro-Indonesia lainnya.[78]
Pengaruh pendekatan Kraemer terhadap sikap orang
Kristen Indonesia terhadap pergerakan nasional akan dibicarakan secara khusus.
Di sini dapat di kemukakan bahwa visi baru kalangan Zending tersebut kemudian
memunculkan sekelompok orang Kristen terpelajar yang yang menghubungkan
kekristenan dengan nasionalisme Indonesia.
1.4
Rangkuman
Kekristenan tiba di Indonesia dalam hubungan dengan
pelayaran niaga bangsa-bangsa Barat ke Asia dan pengkristenan penduduk di
Indonesia berkaitan dengan kepentingan politik perdagangan itu. Dalam
percaturan kekuatan memperebutkan hak monopoli memperebutkan rempah-rempah yang
dihasilkan Indonesia, agama Kristen ditentukan oleh pemenang: sebagian besar
jemaat-jemaat Kristen Katolik dari masa Portugis diprotestankan pada masa VOC
Belanda dengan kedudukan sebagai jemaat-jemaat dari Gereja Protestan di
Belanda. Dengan pengecualian di Maluku, kekritenan di Indonesia pada kedua masa
itu berada diluar kehidupan masyarakat Indonesia atau menjadi kelompok-kelompok
persekutuan yang tercerabut dari kenyataan masyarakat aslinya oleh pola
kekristenan yang bercorak asing dan oleh pemukuman mereka di sekitar pusat
kehidupan Eropa (benteng). Jadi berlangsung semacam proses alieanasi orang
Kristen Indonesia, Di Maluku Tengah, kekritenan mempribumi, menjadi
bentuk formal kepercayaan rakyat dan relatif berhasil mempertahankan wilayah
itu dari pengislaman.
Ketika wilayah Indonesia dialihkan dari dominasi
monopoli perdagangan VOC menjadi daerah jajahan pemerintah Belanda, kekristenan
Protestan di Indonesia dipersatukan dalam Gereja Protestan Hindia Belanda,
sebuah gereja yang menjadi bagian dari administrasi pemerintahan kolonial.
Sementara itu kalangan pekabar Injil memperoleh jalannya ke dalam suku-suku
bangsa Indonesia yang relatif terisolir di mana mereka melakukan pekabaran
Injil yang berakibat ganda: pengkristenan dan pengadaban.
Tetapi baik Gereja Protestan maupun jemaat-jemaat
hasil pekerjaan Zending sama tidak berkembang menjadi kekuatan sosial politik
dalam tatanan kolonial. Gereja Protestan dan badan-badan Zending belum memberi
perhatian pada masalah-masalah sosial-politik, misalnya penderitaan rakyat
akibat eksploitasi ekonomi di Jawa dan Sumatera. Kalaupun di sana-sini ada
perhatian kalangan Zending, mereka tidak berdaya mneghadapi pemerintah
kolonial.
Jadi, sampai permulaan abad ke-20 kekristenan di
Indonesia tidak bersikap anti-kolonialisme, dalam arti tidak mengecam
kenyataan-kenyataan buruk dalam praktek kolonial, bukan karena mendukungnya
melainkan karena menganggap hal itu di luar urusan wilayah urusan agama. Hanya
pada bidang-bidang tertentu dimana kedua lembaga bersilang peran terdapat
jalinan hubungan sesuai dengan kebutuhan aktual. Dibeberapa tempat dukungan
pemerintah diperlukan bagi pekabaran Injil, tetapi di tempat-tempat lainnya
pemerintah kolonial justru menjafi kendalanya.
Juga pada permulaan Politik Etis, ketika gagasan Kersteningspolitiek ditonjolkan,
tidak ada usaha serius pemerintah pemerintah kolonial mendukung penyebaran
agama Kriten. Dukungan yang berlaku adalah tanggung jawab finansial kepada
Gereja Protestan, yang oleh faktor sejarahnya menjadi bagian dari administrasi
kolonial.
Pada masa pergerakan nasionalime Indonesia,
lembaga-lembaga gereja dan Zending mula-mula mengambil jarak, terutama karena
pergerakan itu tampil sebagai gerakan dari golongan-golongan yang tidak sejalan
dengan kekristenan: Islam ataupun Komunis. Tetapi lamban laun kalangan Zending
memahami hakekat pergerakan itu sebagai ungkapan hak kemerdekaan suatu bangsa.
Dari kalangan Zending yang pada masa itu banyak menentukan kehidupan Kristen di
Indonesia muncul beberapa tokoh yang jeli membaca tanda-tanda zaman dan
kemudian berusaha mengarahkan Zending dan gereja-gereja terhadap pergerakan
nasional Indonesia.Tetapi bukan suatu dukungan tanpa sikap kritis. Tokoh-tokoh
penting Zending dalam proses ini adalah B.M. Schuurman dan Hendrik Kraemer.
[1] Mengenai
suatu usaha “membuktikan” bahwa kekristenan sudah masuk Indonesia pada abad
ke-7, lihat antara lain Y. Bakker, “umat Katolik Perintis di Indonesia +/- 645
- +/- 1500” dalam: Sejarah Gereja
Katolik Indonesia (Ende-Flores: Arnoldus, 1974), hlm. 19-40.
[2] Th.
Müller-Krüger, Sedjarah Geredja di Indonesia (Djakarta: Badan
Penerbit Kristen, 21966, hlm. 15-20. Mengenai perkembangan
kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia, lihat Marwati Djoened Poesponegoro dan
Nugroho Notosusanto (eds), Sejarah Nasional Indonesia, III, (Jakarta:
Balai Pustaka 41990); Sartono Kartodiedjo, Pengantar
Sejarah Indonesia Baru: 1500-1900, Dari Emporium sampai Imperium,
1, (Jakarta: Gramedia, 1987), hlm. 28-65.
[3] J.L.
Ch. Abineno, Sejarah Apostolat di Indonesia, I, (Jakarta: persetia,
1978), hlm.32,28. Kekristenan di Maluku yang bercampur dengan unsur-unsur
kepercayaan pra-Kristen disebut agama Ambon. Untuk penilaian terhadap kenyataan
in, lihat a.l. F.L. Cooley, Mimbar dan Takhta: Hubungan
Lembaga-lembaga Keagamaan dna Pemerintahan di Maluku Tengah (Jakarta:
Sinar Harapan, 1987), Bab IV; H. Kraemer,From Missionfield to Independent
Church: Report o an Desicive Decade in the Growth of Indigenous Churches in Indonesia (‘s-Gravenhage:
Boekencentrum, 1958), hlm. 19 dst; P. Tanamal, Bentuk dan
Latar-belakang Keagamaan di Maluku (Vught, Ned: Angkatan Muda
GPM, 21968), hlm. 32-40.
[4] Pengalihan
ini sering dikaitkan dengan suatu prinsip yang lazim di Barat, yakni “cuius
regio euius religio” (=siapa empunya negara, menentukan agama). Lihat Van den
End, Ragi Carita, 1, hlm. 66.
[5] Müller-Krüger, Sedjarah
Geredja di Indonesia, hlm. 32 dyb.
[6] Cooley, Mimbar
dan Takhta, hlm. 358 dyb.
[7] Butir-butir
keputusan itu dicatat dalam C.W.Th. van Boetzelaer, De Protestantsche Kerk in
Nederlandsch-Indië: Haar otwikkeling van 1620-1939 (‘s-Gravenhage: Martinus
Nijhoff, 1947), hlm. 284 dyb.
[8] Dengan
sengaja dipakai kata negeri, bukan negara. Tekanan pada yang
pertama adalah gereja yang dikelola, dimiliki dan dibiayai negara; sedangkan gereja
negara menunjuk pada kedudukan agama Kristen sebagai agama negara.
Penetapan Raja Willem I terhadap Gereja Protestan di Indonesia adalah
menjadikannya bagian dari struktur administrasi pemerintah, bukan menjadikan
agama Kristen sebagai agama negara.
[9] Terjemahan
itu tidak diedarkan karena larangan pemerintah, tetapi bagian-bagiannya yang
diterbitkan untuk kolportase menemukan jalannya ke dalam lingkungan masyarakat
Jawa. Lihat Philip van Akkeren, Sri and Christ: A Study of the Indigenous
Church in East Java (London: Lutterworth Press, 1970), hlm. 69
dst.
[10] Mengenai
sikap hidup dan pekerjaan Joseph Kam, lihat I.H. Enklaar, Joseph Kam
“Rasul Maluku”(Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1980).
[11] Lihat
J. van den Berg, constrained by Jesus’ Love (Kampen: J.H. kok,
1956; mengenai pengaruhPietisme di Eropa dan Pengaruhnya di Indonesia (Jakarta:
BPK Gunung Mulia,1974); Christ Hartono, “Monumen Hidup dari Pietisme – Suatu
Kasus di Gereja Kristen Indonesia”, dalam M.A. Ihromi dan S. Wismoady
Wahono, Theo-Doron, Pemberian Allah (Jakarta: BPK Gunung
Mulia, 1979), hlm. 167-178. Lihat pula F. Ernst Stoeffler (ed), Continental
Pietism and Early Amercan Christianity (Grand Rapids, Mich.: Wlliam B.
Eerdmands, 1976).
[12] Tetapi
para pengikut Zinzendorf dalam karya penginjilan mereka ternyata tidak dapat
hanya “memenangkan jiwa-jiwa”, tetapi juga menganggap perlu kegiatan-kegiatan
menciptakan “kebudayaa Kristen” untuk dapat memenangkan perorangan. Lihat J.C.
Hoekendijk, The Curch Inside Out (London: Scm Press, 1966),
hlm. 15.
[13] Lihat
I.H. Enklaar, Baptisan Massal dan Pemisahan Sakramen-sakramen (Jakarta:
PERSETIA, 1978).
[14] Salah
seorang tokoh teologi di balik pembentukan gereja bangsa ini adalah
Gustav Warneck (1834-1940). Lihat rangkuman pandangannya dalam Frodolin
Ukur, Tantang-Djawab Suku Dajak (Djakarta: BPK Gunung
Mulia,1971), hlm. 122-129 dan Jan S. Aritonang, Sejarah Pendidikan
Kristen di Tanah Batak(Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1988), hlm. 111-123.
Lihat pula Johannes Christiaan Hoekendijk, Kerk en Volk in de Duitse
Zendingwetenschap (Diss. RijkuniversteitUtrecht, 1948), hlm. 83
dst.
[15] Beberapa
monografi penting mengenai perkembangan suku-suku itu antara lain Lother
Schreiner,Telah Kudengar dari Ayahku (Jakarta: BPK Gunung Mulia,
1978); J. Kruyt, Kabar Keselamatan di Poso(Jakarta: BPK Gunung
Mulia, 1977 ); Terance W. Bigalke, A Social History of “Tana Toraja” 1870-1965
(Ann Arbor: UMI, 1981); F. Ukur, Tantang-Djawab Suku Dajak (Jakarta:
BPK, 1971).J. Garang, Dunia Kulawi: Masyarakat, Cudaya dan Gereja di
Sulawesi Tengah (diterbitkan dalam Peninjau X/2/1983). Di balik
gerakan pengadaban dari Pihak Zending, terdapat pula segi negatif berupa
pemusnahan tradisi budaya setempat. Pendekatan yang negatif terhadap tradisi
suku – yang berarti kurangnya usaha mempertemukanya dengan Injil – menghambat
proses kontekstualisasi Injil.
[16] Clapham
Sect suatu kelompok evangelical yang memberi perhatian pada soal-soal agama dan
kemasyarakatan. Tokoh-tokoh Clapham Sect a.l. William Wilberforce (seorang
anggota perlemen), Henry Thornton (bankir), dan Zachary Macaulay (saudagar).
Tahun 1833 perbudakan dilarang di seluruh wilayah kekuasaanInggris. Lihat
Ernest Marshall Howse, Saints in Politics: The ‘Clap Sect’ and the
Growth of Freedom (London: George Allen & Unwin, R1976);
lihat pula J.R.H. Moorman, A History of the Church in England (London:
Adam & Charles Black, 3 1980), hlm. 318 dst.
[17] Stephen
Neill, Colonialism and Christian Missons (London: Lutterworth,
1966), hlm. 187 dyb.
[18]Lihat
Sartono Kartodirdjo, Protest Movements in Rural Java: A Study of
Agrarian Unrest in 19th and 20th Centuries (Kuala
Lumpur: Oxford University Press, 1973); Sartono Kartodirdjo, Ratu Adil (Jakarta:
Sinar Harapan, 1984). Lihat pula Prisma, VI/1/1977.
[19]
A.B. Lapian, “Gerakan Kristen Revolusioner Sampai 1942”, dalam: Prisma,
11/1985, hlm. 88 dst; lihat juga Richard Z. Leirissa, Maluku dalam
Perjuangan Nasional Indonesia (Jakarta: Lembaga Sejarah FS-UI, 1975),
hlm. 46 dyb.
[20] Hal
ini dapat dibandingkan dengan corak Islam dalam perlawanan-perlawanan di
Indonesia, seperti Perang Diponegoro (sinkretis), Perang Paderi (modernis) dan
Perang Aceh (tradisionalis). Lihat Taufik Abdullah, Islam dan Masyarakat:
Pantulan Sejarah Indonesia (Jakarta: LP3ES, 1987), hlm 6 dst. Lemahnya
corak Kristen dalam perlawanan di Saparua itu dapat menunjukan bahwa kalangan
orang Kristen Pribumi belum mampu memberi pegangan teologis bagi kepedulian
sosial gereja.
[21] Lihat
Enklaar, Joseph Kam “Rasul Maluku”, hlm. 50-60. Ds. Lenting, pendeta
Belanda yang menyertai pasukan pemerintah Belanda, memimpin kebaktian syukur
resmi di Tiouw setelah perlawanan itu tuntas dipadamkan.
[22] Uraian
mengenai Irian Jaya ini didasarkan pada F.C. Kamma, Ajaib di Mata Kita:
Masalah Komunikasi antara Timur dan Barat dilihat dari Sudut Pengalaman Selama
Seabad Pekabaran Injil di Irian Jaya(Jakarta: Persetia, 1981-1982), I, hlm.
170-185 dan II, hlm. 133 dyb.
[23] Kamma, Ajaib
di Mata Kita, I, hlm. 134. Kamma juga mengutip pandangan kritis Hoornbeek
terhadap hubungan Zending dan pemerintah: “Seringkali orang terlalu mengejar
dukungan dari kekuasaan duniawi, seakan-akan gereja akan binasa kalau dukungan
itu tidak ada. Tetapi apakah yang akan dilakukan oleh para pemberita Injil
dahulu, yang telah memberitakan Injil selagi segala kekuasaan menentangnya,
namun dengan mendapat hasillebih besar dari kapanpu? Barangsiapa yang
bersenjatakan Kristus, dia dipersenjatai untuk melawan segalanya.” (hlm.
135).
[24] Ibid.,
hlm. 134.
[25] Ibid.,
hlm.181.
[26] Ibid.,
hlm. 184
[27] C.W.
Nortier, Tumbuh, Dewasa, Bertanggungjawab: Suatu Studi Mengenai
Pertumbuhan Gereja Kristen Jawi Wetan Menuju Kedewasaan dan Kemerdekaan +/- 1835
– 1935 (Jakarta: Persetia, 1981), hlm. 38.
[28] Ibid.,
hlm. 38 dyb.
[29] Ibid.,
hlm. 43 dyb.
[30] Kraemer,
From Missionfield to independent church: Report on a Decisive Decae in the
growth of Indigenous Churches in Indonesia (‘S-Gravenhage: Boekencentrum,
1958), hlm. 47. Untuk pembahasan yang mendalam mengenai sejarah Tanah Batak
pada zaman kolonial, lihat Lance Castles, The Political Life of a Sumatran
Residency: Tapanuli 1915-1940 (Diss. Yale University, 1972).
[31] Pasal
123 RR yang terkenal itu berbunyi: “1) Para Guru Kristen, imam-imam dan zendeling
harus mempunyai izin khusus yang diberikan oleh atau atas nama Gubernur
Jenderal untuk melakukan tugas dinasnya dalam salah satu daerah tertentu di
Hindia Belanda. 2) Bilamana izin itu dianggap merugikan atau bila
syarat-syaratnya tidak dipatuhi, izin itu dapat dicabut oleh Gubernur
Jenderal.”
[32] Walaupun
harus dicatat pula bahwa sesuai ideal Pietisme, mereka bersikap kristis
terhadap kenyataan masyarakat Eropa, khususnya moral para pejabat
kolonial.
[33] Kehidupan
orang Kristen Barat di Asia secara umum begitu buruk sehingga pada akhir abad
ke-19 timbul sindiran: “In the east of Suez the Ten Commandements don’t apply”.
Th. Van den End, Sejarah Gereja Asia (Yogyakarta: PPIP Duta
Wacana, 21988), hlm.41.
[34] Van
den End, Ragi Carita, 1, hlm. 156. Lihat pula K.A. Schipper, Moderne Koloniale
Staat en Moderne Zending. Een Onderzoek naar de Economische en Godsdienstige
Emancipatie van het Oosten (Utrecht: Erven J. Bijleveld, 1938), khususnya Hfd.
III (hlm. 67 dst).
[35]
[35] Tulisan-tulisannya dan perhatiannya dalma jabatannya sebagai
penasehat pemerintah dan anggota parlemen terhadap arah baru politik kolonial –
politik etis – memberinya julukan “Bapak Pergerakan Etis”.
[36] Lihat
Robert van Niel, Munculnya Elit Modern Indonesia (Jakarta:
Pustaka Jaya, 1984), hlm. 50 dst.
[37] Mengenai
Politik Etis, lihat Sejarah Nasional Indonesia, V, hlm. 30-95; Sartono
Kartodirjo, Dari Emporium, hlm.20 dyb; dan J. Verkuyl,
Ketegangan antara Imperialisme dan Kolonialisme Barat dan Zending pada Masa
Politik Kolonial Etis (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1990).
[38] Lihat
H. Baudet dan I.J. Brugmans, Politik Etis dan Revolusi Kemerdekaan (Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia, 1987), hlm. 6. Pada kenyataannya konsep Inggris tentang
“the dual mandate” – kekuasaan kolonial berkewajiban baik untuk meningkatkan
kemajuan penduduk pribumi, maupun untuk membuka tanah jajahannya bagi ekonomi
duia – banyak dipraktekkan para penjajah, dengan tekanan yang lebih pada mandat
kedua.
[39] Pokok-pokok
ini membenarkan ungkapan Mayer Ranneft, seorang tokoh kolonial Belanda, bahwa
zaman ini ditandai dengan ethiek, economie en orde. Dikutip
dalam Sejarah Nasional Indonesia, V, hlm. 57.
[40] Pada
tahun 1930 hanya terdapat 1.541.516 murid dari total 59.138.067 jiwa penduduk.
Lihat Tabel statistik 3 dalam Jan S. Aritonang, Sejarah Pendidikan
Kristen di Tanah Batak, hlm. 39.
[41] Sartono
Kartodirdjo, Kolonialisme dan Nasionalisme di Indonesia pada Abad-19 da
Abad-20(Jogyakarta: Fak. Sastra UGM, 21972), hlm. 45.
[42] Sartono
Kartodirdjo, Kolonialisme dan Nasionalisme di Indonesia pada Abad-19 da
Abad-20(Jogyakarta: Fak. Sastra UGM, 21972), hlm. 45.
[43] Ricklefs, A
History of Modern Indonesia, hlm. 153 dyb.
[44] Van
Niel, Munculnya Elit Modern Indonesia, hlm. 176. Bandingkan catatan
Sartono Kartodirdjo: “Tetapi tidak dapat disangsikan Dewan rakyat ini telah
melaksanakan tujuan yang sangat berfaedah. Ia telah memberi kepada birokrasi
kolonial pertanggungjawab yang luas bagi masyarakat kolonial, karena ia harus
bekerja secara terang-terangan dan dapat diminta setiap waktu untuk menjelaskan
dna mempertanggungjawabkan aktivitas-aktivitasnya. Seperti dikatakan oleh De
Wilde: Indian matters were to be removed from musty offices into the fresh
air of publicity”. Sartono Kartodirdjo, Kolonialisme dna Nasionalisme,
hlm. 37.
[45] Lihat
Onghokham, Runtuhnya Hindia Belanda (Jakarta: Gramedia, 1987),
hlm. 54-63.
[46] Pada
masa ini timbul “polemik kebudayaan” antara penganut kebudayaan tradisional
dengan kebudayaan Barat Moderen. Lihat Achdiat K. Mihardja (ed), Polemik
Kebudayaan (Jakarta: Pustaka Jaya,41986); lihat pula Fachry
Ali, “Soetatmo – Tjipto: Nasionalisme Kultural dan Nasionalisme Hindia”,Kompas,
20 Mei 1986 dan lanjutannya, “Akar Struktural Lahirnya Pemikiran
Nasionalisme”, Kompas, 21 Mei 1986; bandingkan dengan Nirwan
Dewanto, “Kebudayaan Indonesia: Pandangan 1991”, Prisma, 10/Oktober
1991: 3-21.
[47] Pada
masa ini timbul “polemik kebudayaan” antara penganut kebudayaan tradisional
dengan kebudayaan Barat Moderen. Lihat Achdiat K. Mihardja (ed), Polemik
Kebudayaan (Jakarta: Pustaka Jaya,41986); lihat pula Fachry
Ali, “Soetatmo – Tjipto: Nasionalisme Kultural dan Nasionalisme Hindia”,Kompas,
20 Mei 1986 dan lanjutannya, “Akar Struktural Lahirnya Pemikiran
Nasionalisme”, Kompas, 21 Mei 1986; bandingkan dengan Nirwan
Dewanto, “Kebudayaan Indonesia: Pandangan 1991”, Prisma, 10/Oktober
1991: 3-21.
[48] Sejarah
Nasional Indonesia, V, hlm. 61.
[49] Lihat
Harry J. Benda. Bulan Sabit dan Matahari Terbit: Islam Indonesia pada
Masa Pendudukan Jepang (Jakarta: Pustaka Jaya, 1980), hlm. 27-52;
Idem, “Christiaan Snouck Hurgronje and the Foundation of Dutch Islamic Policy
in Indonesia” dalam Continuity and Change in Southeast Asia. Colected
Journal Articles of Harry J. Benda, Adrienne Suddard (ed), (New Have: Yale
University Southeast Asia Studies, 1972), hlm 83-92; lihat juga Aqib
Suminto, Politik Islam Hindia Belanda: Het Kantoor voor Inlandsche
zaken (Jakarta: LP3ES, 1983).
[50] Pemberlakuan
hukum adat merupakan dukungan terhadap kalangan ningrat tradisional, yang sejak
lama merupakan rival pemuka Islam. Untuk penilaian kritis terhadap peran Snouck
Hurgronjo, lihat P.Sj. van Koningsveld, Snouck Hurgronje dan Islam. Delapan
Karangan tentang Hidup dan Karya Seorang Orientalis Zaman Kolonial (Jakarta
: Girimukti Pasaka, 1989).
[51] Suminto, Politik
Islam Hindia Belanda, hlm. 37 dyb. Suminto terutama menilai sikap
pro-Kristen pemerintah kolonial dari besarnya tunjangan pemerintah kepada
gereja.
[52] Ibid., hlm.
24 dyb.
[53] S.C.
van Randwijck, Oegstgeet: kebijaksanaan “Lembaga-lembaga Pekabaran Injil
yang Bekerjasama” 1897-1942 (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1989), hlm. 149.
Lihat juga J. Verkuyl Ketegangan antara Imperialisme dan Kolonialisme
Barat dan Zending pada masa Politik Kolonial Etis (Jakarta: BPK Gunung
Mulia, 1990), hlm. 67-75.
[54] Stephen
Neill, Colonialism and Christian Missions (London:
Lutterworth, 1966), hlm. 412; bnd. Van Randwijck, Oegstfeest, hlm.
226-244.
[55] Untuk
pembahasan pergerakn nasional Indonesia, lihat George McTurnan Kahin, Nasionalism
and Revolution in Indonesia (Ithaca, NY: Cornell University
Press, 5 1961); Sartono Kartodirdjo , Pengantar
Sejarah Indonesia Baru: Sejarah Pergerakan Nasional, I, Dari Kolonialisme
sampai Nasionalisme (Jakarta: Gramedia, 1990); Idem, Kolonialisme
dan Nasionalisme di Indonesia pada Abad-19 dan Abad-20; J.Th. Petrus
Blumberger, De Nationalistische Beweging in Nederlandsch-Indië (Foris, 2 1987);
J.M. Pluvier,Overzicht van de Ontwikkeling der Nationalistische Beweging in
Indonesi in de jaren 1930 tot 1942 (‘s Gravenhage-Bandung: W. van
Hoeve, 1953); Sejarah Nasional Indonesia, V.
[56] Pergerakan
Nasional Indonesia dapat dibagi atas tiga tahap: Tahap pertama adalah tahap
pertumbuhan (dengan corak cultural, etnis dan religius), yakni sampai
dasawarsa kedua. Lalu tahap pergerakan radikal (corak ideologis politik)
berlangsung sampai 1933. Selanjutnya tahap pendekatan konstitusional (corak
ideologis politik) sampai 1942. Lihat periodisasi Sejarah Nasional
Indonesia, V, bab III.
[57] Pandangan
golongan Kebangsaan terugkap secara jelas dalam pidato Supomo (1945): “Oleh
karena itu saja mengandjurkan dan saja mupakat dengan pendirian jang hendak
mendirikan negara nasionalyang bersatu dalam
arti, totaliter seperti jang saja uraikan tadi, jaitu negara jang
tidak akan mempersatukan diri dengan golongan jang terbesar, akan tetapi jang
akan mengatasi segala golongan dan akan mengindahkan dan menghormati
keistimewaan dari segala golongan , baik golongan jang besar maupun golongan
jang ketjil. Dengan sendirinja dalam negeri nasional jang bersatu itu, urusan
agama akan terpisah dari urusan negara dan dengan sendirinja dalam negara
nasional jang bersatu itu urusan agama akan diserahkan kepada golongan-golongan
agama jang bersangkutan. Dan dengan sendirinja dalam negara sedemikian
seseorang akan merdeka memeluk agama jang disukainja. Baik golongan agama jang
besar, maupun golongan jang terketjil, tentu akan meras bersatu dengan negara
(dalam bahasa asing ‘zal zich thuis voelen’ dalam negaranja). “ [Supomo],
“Pidato pada tanggal 31-5-1945 dalam Rapat Badan Penjelidikan untuk Persiapan
Indonesia Merdeka, di gedung Chuuoo Sangi-in di Djakarta” dalam Muhammad
Yamin, Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945, I, (Djakarta: Prapantja,
1959), hlm.117. Dan sebagaimana dikutip Deliar Noer, pandangan yang khas dari
pihak Islam dikemukakan oleh Natsir pada tahun 1931: “Tujuan kaum Muslimin
mencari kemerdekaan untuk kemerdekaan Islam, supaya berlaku peraturan dan
susunan Islam , untuk keselamatan dan keutamaan ummat Islam khususnya, dan
segala makhluk Allah umumnya. Adakah ini juga tujuan dan cita-cita mereka itu?
Mereka yang dari sekarang sudah menyatakan sikap ‘netral’ kepada agama , yang
dari sekarang sudah meremehkan tak mau campur dalam segala urusan yang berbau
Islam.” Noer, Gerakan Moderen Islam, hlm. 281.
[58] Kahin, Nationalism
and Revolution in Indonesia, hlm. 37-41.
[59]
Dengan dipelopori Yamin, para pendiri Republik Indonesia pada tahun 1945
berusaha menetapkan batas geografis negara kesatuan Indonesia yang meliputi
“Sumatera, Djawa-Madura, Sunda Ketjil, Borneo, Selebes, Maluku-Ambon, dan
Semenandjung Malaya, Timor dan Papua”, berdasarkan wilayah Nusantara menurut
Prapantja dalam Negarakertagama. Lihat Muhammad Yamin, “Daerah
Negara-Kebangsaan Indonesia”, dalam Muhammad Yamin, Naskah Persiapan
Undang-Undang Dasar 1945, hlm. 136 dst.
[60] Kedua
suku menjadi sumber utama dalam merekrut pegawai dalam jajaran administrasi
pemerintahan kolonial dan militer (KNIL). Tetapi pada tahun 1920-an oleh makin
banyaknya pendidikan, posisi mereka di bidang kemiliteran dan kepegawaian
itu mulia digeser oleh suku-suku lainnya, khususnya oleh orang Jawa.
[61] Pada
masa itu timbul aksi-aksi konstitusional para nasionalis, seperti “Petisi
Sutardjo”, “Aksi Indonesia Berparlemen “, dan sebagainya. Lihat Sejarah
Nasional Indonesia, V Bab IIIC; mengenai “Petisi Sutardjo”, lihat Susun
Abeyasekere, “The Sutardjo Petition”, dalam C. Fassur (ed), Geld en
Geweten, hlm. 144-178.
[62] Lihat
Benda, Bulan Sabit dan Matahari Terbit, hlm. 165 dst. Pada masa
pendudukan Jepang ini pula bangkit generasi pergerakan yang baru
– Angkatan 45 – suatu generasi yang lebih militan dan bersikap anti
kolonial. Merekalah yang mempertahankan kemerdekaan Indonesia dalam perjuangan
bersenjata. Lihat T.B. Simatupang, “Pentingnya Revolusi 45 bagi Kita Dewasa ini”,
dalam Prisma. 7/1976: 29 dst; mengenai peranan pemuda dalam Perang
Kemerdekaan, lihat Ben Anderson, Revoloesi Pemoeda: Pendudukan Jepang
dan Perlawanan di Jawa 1944-1946 (Jakarta: sinar Harapan 1988).
[63] Lihat
Sukarno, Lahirnya Pancasila (Jakarta: Pustaka Universitas,
1982).
[64] Panitia
ini menggantikan “Panitia Ketjil Penjelidik Oesoel-Oesoel” yang beranggotakan 8
orang. Panitia sembilan beranggotakan: Sukarno, Hatta, A.A. Maramis, Abikoesno
Tjokrosoejoso, Abdoelkahar uzakir, H. Agus Salim, Ahmad Soebardjo, Wachid
Hasjim, dan Moehammad Yamin. Lihat Yamin,Naskah-Persiapan Undang-Undang
Dasar 1945, I, hlm. 153; lihat juga Ensiklopedi Populer Politik
Pembangunan Jakarta dimuat sebagai Lampiran I dalam Yamin, Naskah-Persiapan
Undang-Undang dasar 1945, I, hlm. 709 dyb. Salah satu studi dengan
kecenderungan “menghidupkan” piagam Jakarta, adalah Endang Saifuddin
Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945 (Jakarta: Rajawali, 2 1986).
[65] Dalam
Rapat Panitia Perancang UUD I sub panitia BPUPK I tanggal 11 Juli 1945,
Latuharhary menentang ketujuh kata tersebut, tetapi keberatanya ditolak. Lihat
Yamin, Naskah-Persiapan Undang-Undang Dasar 1945, I, hlm.
259.
[66] Mohammad
Hatta, Memoir (Jakarta: Tintamas Indonesia, 1978), hlm. 458.
Tidak diperoleh petunjuk mengenai orang-orang yang bertindak sebagai
“wakil-wakil Protestan dan Katolik” tersebut, namun dapat diduga mempunyai
hubungan dengan Latuharhary.
[67] Jadi,
rumusan akhir, Ketuhanan Yang Maha Esa, bukan lagi rumusan kompromi antara
golongan Kebangsaan dengan golongan Islam, sebagaimana halnya rumusan
Piagam Jakarta (Ketuhanan dengan kewadjiban mendjalankan syari’at Islam bagi
pemeluk-pemeluknja), melainkan kompromi antara pihak Kristen (yang didukung
oleh Kebangsaan) dengan pihak Islam. Dan dengan rumusan itutercapai gagasan
golongan Kebangsan untuk memberi tempat kepada agama-agama dalam negara
Indonesia merdeka – tetapi bukan sebagai dasar negara.
[68] Penggabungan
itu mengikuti model zaman kolonial. Juga usul I Gusti Ktut Pudja dari Bali
diterima untuk mengubah kata “Allah” dalam aline ketiga Pembukaan UUD menjadi
“Tuhan”. Yamin, Naskah-Persiapan Undang-Undang Dasar 1945, I, hlm.
406.
[69] Van
Randwijck, Oegstgeest, hlm. 79 dyb. Kebanyakan tokoh zending
Belanda di Indonesia beraliran etis (hlm. 83). Selengkapnya mengenai aliran
teologi etis ini, lihat disertasi Chris Hartono, “Teologi Etis dan Pekabaran
Injil: Suatu Studi tentang Pengaruh Teologi Etis Belanda atas Pekabaran Injil
Belanda yang bekerja di Hidia Belanda pada 1900-1925” (Diss. SEAGST 1989).
[70] Lihat
P.N. Holtrop, Selaku Perintis Jalan Keesaan Gerejani di Indonesia (Ujungpandang:
ISGIT, 1982), hlm. 8 dyb.
[71] Lihat
M.C. Jongeling, Het Zendingconsulaat in Nederlands-Indië 1906-1942 (Arnhem:
van Loghum Slaterus, 1966), khususnya hoofdstuk IV.
[72] Dibandingkan
dengan pihak Hervormd, Gereformeerd jauh lebih terbuka dan progresif dalam
soal-soal olitik kemasyarakatan. Lihat Tiat Han Tan, The Attitude of Dutch
Protestant Missions Toward Indonesian nationalism, 1945-1949 (Diss.
Princeton Theological Seminary, New Jersey, 1967), hlm 25-32. Dr. Tan membahas
pandang-an van Andel dalam bukunya yang terbit tahun 1921. Lihat juga J.A.
Verdoorn, De Zending het Indonesisch National (Amsterdam: Vrij
Nerderlad, 1945).
[73] Kraemer
bekerja di Indonesia antara tahun 1922-1935 (dua periode kerja yang
masing-masing enam tahun). Perhatian dan pengaruh Kraemer tampak dalam
berbagai-bagai bidang. Selain pelayanan pemuda dan analisa politik, serta tugas
pokoknya dalam hubungan denganNBG, patut disebut pendalamannya pada agama-agama
bukan Kristen (Kraemer salah seorang ahli Islam) dan kebudayaan (yang
menjadikannya salah seorang misiolog terkemuka pada masanya) dan kepeloporannya
dalam kemandirian gereja-gereja di Indonesia, termasuk reorganisasi Indische
Kerk dan pendirian Hoogere Theologische School. Untuk biografi Hendrik Kraemer
selengkapnya lihat A. Th. Van Leuwen, Hendrik Kraemer Dienaar der
Wereldkerk (Amsterdam: Ten Have, 1959). Untuk rangkumamn biografinya,
lihat Klaas van Oosterzee, hendrik Kraemer 1888-1965: Een Kerk voor de
Wereld (Driebergen: Toerusting, 1988). Lihat pula karangan-karangan
mengenai Hendrik Kraemer dlaam Setia: Majalah Teologi Indonesia 3/1987/1988.
Untuk penilaian yang kritis, lihat Th. Sumartanan, Mission at the
Crossroads, hlm. 336 dst.
[74] Ternyata
catatan-catatan Kraemer disambut baik juga oleh Gubernur Jenderal De Graeff.
Tan Tiat Han mencatat keluhan orang nomor satu dalam tatanan kolonial di
Indonesia waktu itu bahwa para bawahannya tidak mengetahui apa yang berkembang
di dalam masyarakat; mereka tidak membaca tulisan Kraemer atau tidak tahu bahwa
dia ada dan menulis. Tan, The Attitude, hlm. 73. Kraemer menolak
tawaran CEP untuk dicalonkan menjadi anggota Volksraad.
[75] Van
Randwijck merangkum pandangan Kraemer mengenai adanya tiga faktor yang
menentukan kenyataan politik di Indonesia waktu itu bahwa para bawhanya
tidak mengetahui apa yang berkembang di dalam masyarakat; mereka tidak membaca
tulisan Kraemer atau tidak tahu bahwa dia ada dan menulis. Tan, The
Attitude, hlm. 73. Kraemer menolak tawaran CEP untuk dicalonkan menjadi
anggota Volksraad.
[76] H.
Kraemer, “Imperialism and Self-Expression”, The Student World 28/1935;
345-347.
[77] Lihat
a.l. karangan-karangan S.G. Moelia, “Zending en Arbeidsvraagstukken”, De
Opwekker 72/1928: 267-271; S.G. Moelia, “Zending en Industrie”, De
Opwekker 72/1928: 518-537; H. Kreaemer, “Het rassenprobleem em de
Zending”, De Opwekker 72/1928:271-276; H. van Andel, “De
conferentie op de olijfberg”, De Macedoniër 33/1929: 65-75. Moelia
juga menulis tentang masalah-masalah politik dan ekonomi secara bersambung
dalam majalah Kristen berbahasa Melayu. Zaman Baroe.
[78] Mengenai
kegiatan pro-kemerdekaan Indonesi kedua “zendeling pejuang” itu, lihat
Tan, The Attitude, hlm. 186 dst. Lihat pula memoar J.
Verkuyl, Gedenken en Verwchten. Memoires (Kampen: J.H. Kok,
1983), hlm. 82-237.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar