Menuju Keesaan
Gereja di Indonesia
BAB VI
MENUJU KEESAAN GEREJA DI INDONESIA
6.1 Usaha Kalangan Zending
Sebagaimana halnya kemandirian, juga gerakan keesaan gereja banyak
ditentukan oleh perkembangan oikumenis di kalangan pekabaran Injil sedunia.1 Juga
dalam gerakan ini peran pihak Zending cukup menentukan, khususnya pada periode
sebelum Perang Dunia II. Dalam hal itu gerakan keesaan gereja di Indonesia ini
pertama-tama harus ditempatkan pada sejarah lahirnya gereja-gereja di
Indonesia, yang sejak semula telah bertumbuh berdiri sendiri-sendiri dan diasuh
oleh masing-masing badan Zendingnya. Seperti yang telah diungkapkan dalam Bab
I, selain jemaat yang lahir dari pekerjaan misi Katolik pada zaman Portugis,
yang kemudian sebagian besarnya menjadi Gereja Protestan setelah diambil alih
oleh pihak VOC Belanda, lahir pula jemaat yang dihasilkan oleh pekerjaan
berbagai badan Zending dari Barat yang bekerja secara sendiri-sendiri dan di
tempat yang terpisah –pisah, terutama pada abad ke-19. Kebanyakan badan Zending
tersebut tidak merupakan badan dari suatu lembaga gereja tertentu sehingga
tidak mewakili suatu bentuk gereja tertentu. Tetapi faktor pembeda yang cukup
penting adalah berdirinya gereja-gereja di Indonesia sebagai gereja suku atau
gereja daerah. Sebab itu gerakan keesaan gereja di Indonesia tidak bersifat
penggabungan kembali (reunion), melainkan – dalam kesejajaran dengan
pergerakan nasional Indoensia – berurusan dengan batas-batas suku dan
daerah.
6.1.1 Nederlandsch-Indische
Zendingsbond (NIZB)
Secara konkret gerakan keesaan di Indonesia dimulai dengan pembetukan suatu
badan pertemuan para pekabar injil, Nederlandsch-Indische Zendingsbond (NIZB),
pada tahun 1881, atas prakarsa Ds. A.J. Schuurman (1830-1881).2 Makna
oikumenis NIZB terdapat dalam empat hal:
(1) Pelembagaan Konferensi-konferensi zending secara berkala, (2) mengambil
alih penerbitan De Opwekker (terbit 1855-1941), yang menjadi media pertukaran
informasi dan pemikiran serta memuat laporan konferensi-konferensi NIZB, (3)
karya komisi bacaannya dan (4) pelayanan komisi pemudanya.3
NIZB adalah suatu wadah bagi para pekabar InjilBarat yang bekerja di
Indonesia; baru kemudian hari terdapat beberapa anggota orang Indoensia.
Organisasi ini memberi peluang bagi para pekabar Injil Barat (merekalah yang
berperan sertal dalam kehidupan dan perkembangan gereja di Indonesia) untuk
mengembangkan kebersamaan menjalankan panggilannya di Indonesia. Berdasarkan
pengalamannya, seorang pendeta zending menunjuk adanya pertemuan antara
kalangan “Protestan” (Hervormd) dengan “Gereformeerden” dalam NIZB, yang bisa
menghasilkan saling pengertian:
Pertemuan ini, percakapan-percakapan, kontak yang lebih mendalam
antara orang-orang dari berbagai denominasi atau (dengan terus terang) antara
“Protestanten” dan “Gereformeerden”, nyatalah sangat penting. Khususnya yang
terakhir, saya secara pribadi sangat terdorong: baiklah kita bertemu dan saling
mendengarkan secara tenang dan mendasar untuk saling mengerti dalam hal yang
terdalam dan terbaik dalam kehidupan kita. Bukan apa yang memisahkan kita,
melainkan apa yang pada dasarnya menjadikan kita satu, adalah yang paling
penting dan dari situ kita sama membangun. Jika tidak secara sadar dan dengan
usaha yang bersungguh-sungguh terus bekerja ke arah itu, saya yakin benar bahwa
karya penginjilan Protestan di negeri-negeri ini akan mengalami banyak kerugian
rohani.4
B.J. Boland, yang banyak berkecimpung dalam pembentukan wadah oikumenis di
Indonesia, menyinpulkan dua sifat pengaruh NIZB terhadap kerja sama oikumenis
di Indonesia, yaitu secara negatif, suatu pencegahan menguatnya pertentangan
antara denominasi yang dibawa dari negeri Belanda, dan secara positif, pembentukan
beberapa kemungkinan yang kemudian akan jelas bermakna bagi munculnya suatu
kerjasama oikumenis di Indonesia.5
Wadah oikumenis lainnya, yang penting bagi perkembangan gerakan keesaan
gereja di indonesia, adalahZendingsconsulaat (ZC) yang dilembagakan
sejak tahun 1906, dengan fungsi menjadi penghubung kalangan Zending dengan
pemerintah. Secara resmi perwakilan Zending diangkat oleh NBG.6 Waadah
ketiga adalah Samenwerkende Zendingscorporaties (SZC) yang
didirikan pada tahun 1908 (di bidang pendidikan sudah sejak 1905) di egeri
Belanda di mana bergabung badan-badan Zending NAG, UZV, STC< dan kemudian
juga NZV (1923) dan JC (1931).7 Dan
pada tahun 1929 dibetuk Nederlandsche Zendingsraad (NZR), juga
di Negeri Belanda, sesuai tuntutan kebutuhan pekerjaan pekabaran Injil di
Indonesia.
Konferensi NIZB pada tanggal 21 September 1928 di Bandung, yang
membicarakan Konferensi Pekabaran Injil Sedunia di Yerusalem, memutuskan
membentuk sebuah panitia untuk mempersiapkan pembentukan Nederlands-Indische
Zendingsraad (NIZR, Dewan Pekabaran Injil Hindia Belanda), dengan
anggota-anggota Dr. H.A. van Andel, Ds. W.F. Breyer, Prof.Mr.J.M.J. Scheper,
Dr.B.M. Schuurman dan sebagai sekretarisnya, Dr. N.A.C. Slotemaker de Bruïne.
Setelah berapat pada tahun 1929 dan 1930, panitia melaporkan pada konferensi
yubileum NIZB bulan September tahun 1931, bahwa pembentukan NIZR belum dapat
diwujudkan. Dengan itu suatu dewan Kristen nasional (National Christian
Council), sesuai kecenderungan kalangan IMC, belum dapat diwujudkan di
Indonesia. Kendala utama berkaitan denganmasalah di Negeri Belanda, di mana
pihak Gereformeerd menolak menjadi anggota NZR karena keanggotaan NZR pada IMC.
Kemudian konferensi menyarankan pembentukan dewan-dewan lokal dengan tetap mengarah
pada suatu dewan nasional:
Rapat menyatakan keinginan, bahwa dibentuk sebanyak mungkin dewan-dewan
pekabaran Injil setempat. Prakarsa untuk itu dilakukan sendiri di
masing-masing daerah.
Rapat memohon kepada pengurus NIZB untuk membentuk suatu komisi yang a)
akan mempelajari masalah-masalah aktual tertentu, b) mempelajari dengan cara
bagaimana kesatuan di kalangan pekerja-pekerja Zending di Hindia Belanda dapat
ditingkatkan, juga supaya akhirnya dapat didirikan suatu Dewan Pekabaran Injil
Hindia Belanda. Juga akan dipelajari, apakah dan sejauh mana Dewan Pekabaran
Injil Sedunia dapat dipengaruhi sehingga keberatan, yang ada dari beberapa
pihak terhadap dewan ini, dapat dijauhkan. 8
Di Makassar terbentuk suatu L0cale Zendingsraad (LZR), yang melakukan
pertemuan-pertemmuan berkala sampai tahun 1942.9 Di
Jawa terdapat dua LZR, masing-masing untuk pekerja Zending Eropa (Javaansche
Zendingsraad) dan untuk orang Kristen Jawa (Javaanse Christenraad).
Tokoh di balik kedua Dewan Jawa ini adalah Dr. B.M. Schuurman, yang mendorong
hubungan-hubungan antar orang Kristen pribumi demi terciptanya suatu ontak
oikumenis di antara orang Kristen Indonesia. Salah satu hasilnya adalah
besarnya rasa tanggungjawab terhadap sesama orang Kristen dari gereja lain pada
masa perang. Di Sumatera, pembentukan suatu dewan pekabaran Injil lokal juga
dibicarakan, tetapi tidak sempat terbentuk. Laporan-laporan pada tahun 1930-an
mengenai dewan-dewan yang terbentuk tidak memperlihatkan perkembangan.
Seperti yang sudah diuraikan dalam bab lalu, pelayanan kepada para pemuda
dalam Komisi Pemuda NIZB turut berperan pentingmemunculkan suatu kenyataan baru
dalam sejarah kekristenan di Indonesia. Bersama dengan kenyataan-kenyataan lain
yang sezaman, seperti penyiapan tenaga-tenaga Indonesia, kemandirian
gereja-gereja dan pendidikan teologi (HTS), Boland menyebutnya een
nieuwe stuk geschiedenis (suatu bagian baru sejarah) atau nieuwa
geschiedenis (sejarah baru), yakni peralihan dari aspek Belanda ke
aspek Indonesia dalam sejarah kekristenan di Indonesia:
Kita memakai “sejarah baru” di sini dalam arti yang lain, yaitu perkembangan
hal-hal di mana akar-akarnya tidak kembali pada “segi Belanda”, melainkan pada
“segi Indonesia”.10
Selanjutnya, dengan nada bersemangat Boland mencatat perkembangan-perkembangan
yang menandai sejarah baru itu:
Gerakan pemuda Kristen timbul. Para pemimpin dibina, bagi pelayanan pemuda
Kristen, tetapi mereka juga tampil dalam bidang lain. Prakarsa Indonesia
sendiri bertumbuh. Oikumene masuk ke dalam cakrawala sebagian dari kekristenan
Indonesia. Pemimpin-pemimpin teologis dan gerejawi dididik. Gereja-gereja muda
mulai berdiri sendiri. Singkatnya: permulaan dari suatu perubahan mendasar
wajah dunia gerejawi Indonesia!11
6.1.2 Dari Zending ke Gereja
Tahun-tahun 1930-an merupakan pula dasa warsa pertama kemandirian
gereja-gereja di Indonesia. Hubungan antara proses kemandirian dan gerakan
oikumene digambarkan oleh Boland dengan kata-kata kunci: mogelijkheden en
voorwaarden (kemungkinan dan persyaratan) dan noodzakelijkheid (keharusan).
Pandangannya demikian: Gerakan oikumene adalah soal gereja-gereja. Garis
peralihan dari “aspek Belanda” kepemimpinan Zending ke oikumenisitas Indonesia
dari kelompok-kelompok Kristen Indonesia tidak dapat ditempuh jika tahap
kemandirian gereja-gereja tidak terwujud. Permulaan baru dari “aspek Indonesia”
pada satu pihak menjadikan kemandirian gereja-gereja suatu keharusan, dan pada
lain pihak justru kemandirian itu suatu kesempatan untuk berkembang, lepas dari
perbedaan-perbedaan denominasi di Negeri Belanda. Tetapi juga keharusan gerakan
oikumene dibentuk oleh kemandirian ini. Keterarahan kepada masing-masing
kenyataan pada akhirnya membentuk titik temu utuk saling membantu dan
kerjasama. Boland menyimpulkan:
Jadi kesimpulan kita demikian, bahwa dalam perkembanganmenuju kerjasama
oikumenis di Indonesia menurut segi Indonesianya kemandirian gereja-gereja
menduduki tempat penting. Ini dapat dianggap sebagai suatu syarat yang harus
terpenuhi supaya ooikumenisitas ini dapat tercapai. Dan perkembangan ini
mengandung janji-janji besar, asalkan orang sanggup melihat
setelah perwujudan kemandirian ini masalah-masalah dengan bijaksana dan, sesuai
dengan itu, bertolak dari suatu sikap kritis ke dalam, bekerja
keras untuk percakapan oikumenis yang perlu dari gereja-gereja
dan untu peresapan pemikiran oikumenis ke dalam Jemaat.12
Walaupun Boland agak mengidealisir perkembanganya, perutusan ke Konferensi
Pekabaran Injil Sedunia memperlihatkan pertumbuhan kepemimpinan Kristen
Indonesia. Konferensi Dewan Pekabaran Injil Sedunia memperlihatkan pertumbuhan
kepemimpinan Kriseten Indonesia. Konferensi Dewan Pekabaran Injil Sedunia tahun
1928 di Yerusalem hanya dihadiri seorang Kristen Indonesia, T.S.G. Moelia.
Tetapi pada konferensi berikutnya, tahun 1938 di Tamburam, sudah tercatat lebih
banyak orang Kristen Indonesia,yakni: Dr.J. Leimena, Mr. Soetjipta, Mr. .L.
Fransz, R.M. Luntungan, Pouw Boen Giok, Ds. Mas Mardjo Sir, Ds.B. Moendoeng,
Ny. Moendoeng, P. Sitompoel, Ds. W.H. Tuatuarima dan dr. Wardojo.13Kenyataan
ini menandai meningkatnya keterlibatan orang Indonesia dalam kepemimpinan
gereja, yang berkaitan dengan proses kemandirian gereja-gereja di
Indonesia.
Konferensi Dewan Pekabaran Injil Sedunia di Tambaram terutama terkenal
karena memperhadapkan pewartaan Krisen yang eksklusif kepada agama-agama bukan
Kristen. Bahan persiapan dipercayakan kepada Hendrik Kraemer, yang menulis
bukunya yang masyhur The Christian Message in a Non-Christian World.14 Tetapi
selain tekanan yang Injili itu, Konferensi Tambaran juga memberi perhatian yang
besar pada gereja-gerja muda. Dan dalam kaitan itu kemandirian gerja, dari segi
yang kini disebut kemandirian dana dan daya, mendapat perhatian besar.15
Para utusan dari Indonesia pada konferensi itu disentak oleh kenyataan
bahwa gereja-gereja di Indonesia terbelakang dibanding dengan perkembangan di
tempat-tempat lain, khususnya di Jepang, India dan Cina. Sebab itu pada tanggal
12 Januari 1939, tepat pada hari ketibaan kembali jumlah terbesar mereka dari
Tambaram, sepuluh orang menggabungkan diri ke dalam suatu pertemuan di ruangan
konsistori Willemskerk di Batavia.16 Pertemuan
itu dilangsungkan oleh pengurus Gerej Protestan, klasis Jawa Barat
Gereja-gereja Protestan Cina, dan Majelis Agung Gereja Jawa Timur, untuk
membicarakan keinginan dan kemungkinan membentuk suatu Dewan Gereja-gereja dan
Zending di Indonesia. Pertemuan secarabulat menyetujui pembentukan dewan itu,
lalu menunjuk suatu panitia kerja (werkcommissie) untuk menyusun
anggaran dasarnya (statuten). Konsep-konsep ini akan dibicarakan pada
bulan Oktober 1939, sebab dharapkanpada waktu itu sejumlah utusan akan datang
menghadiri Sinode Am ke-2 Gereja Protestan. Pertemuan yang dimaksud berlangsung
pada tanggal 2 Oktober 1939 danjuga secara bulat menyetujui pembentukan dewan
itu. Untuk itu, dan kali ini secara resmi oleh wakil-wakil lembaga-lembaga yang
terlibat, dibentuk panitia baru, yang sekaligus bertindak sebagai moderamen dewan
itu, yaitu Dr. T.S.G. Moelia (Ketua), Dr.E. de Vries (Wakil Ketua) dan Mr. S.C.
Graaf van Randwijxk (Sekretaris).
Dari rancangan Anggara Dasarnya jelas bahwa dewan ini (namanya
di-Melayu-kan dengan Madjelis Geredja2 dan Zending di-Hindia Belanda) akan
beranggotakan “kelompok2 Geredja dan kerapatan2 Zending jang bekerdja di-Hindia
Belanda” dengan tujuan:
memajukan persekutuan dan usaha bersama jang erat dari pada badan2 jang
bergabung, dengan menghormati se-penuh2nja akan kebebasan dna berdirinja
sendiri tiap2 badan itu.
mempelajadjari soal2, jang penting utuk penjiaran Indjil danmemperteguhkan
hidup Geredja seumumnja dan di Hindia Belanda khususnja.
mengerdjakan matjam pekerdjaan untuk penjiaran Indjil dan keteguhan hidup
Geredja di-Hindi Belanda, jang seturut sifatnja lebih baik diusahakan bersama
daripada tiap2 anggota mengerdjakannja sendiri.
mewakilkan Geredja2 dan kerapatan2 Zending disini dalam organisasi2
internasional Geredja dan Zending.17
Diharapkan bahwa jika Anggaran Dasar disetujui , maka Dewan dinyatakan
berdiri dengan pimpinan sementara di tangan panitianya. Dewan itu tidak sempat
diwujudkan, “karena bermacam-macam salah pengertian” dan pendudukan Jepang
menghentikan rencana itu.
Pendudukan Jepang (1942-1945) memaksakan suatu kemandirian gereja-gereja di
semua bidang, karena para pekabar Injil Eropa ditahan dan hubungan dengan
badan-badan Zending diputuskan. Atas prakarsa pemerintah Jepang juga dicapai
“kebersamaan paksa” semua golongan Kristen di beberapa tempat.18Sebab
itu ada pemahaman yang menerima pendudukan Jepang sebagai blessing in
disguise bagi gereja-gereja di Indonesia.19 Boland
menyimpulkan lima pengaruh dari kenyataan pada masa peperangan itu terhadap
kerjasama oikumenis di Indonesia:
a) sebagai “rengkahan kedua” (tweese breuk) dalam sejarah yang menandai
perubahan radikal gereja di Indonesia, b) menjadi tombol pemindah isi (een
omschakeling) dari pandangan-pandangan missiocentrischke ecclesiocentrisch,
c) memungkinkan kenyataan dan mendesakkan perluya suatu oikumenisitas
gereja-gereja di Indonesia, d) memunculkan wawasan oikumenis sedunia, khususnya
di Asia Tenggara, tanpa diperhubungkan oleh “pihak Belanda” dan e) supremasi
Zending Barat diubah menjadi suatu hubungan kerjasama oikumenis antar
gereja-gereja saudara.20
6.1.3 Nota de niet: Balai
Kristen
Pada kenyataannya, peperangan tidak menghentikan gerakan keesaan gereja.
Justru di dalam camp-camp tahanan Jepang tersedia kesempatan bagi para
zendeling untuk memikirkan masalah-masalah gereja di Indonesia, juga tentang
gerakan keesaan itu.21 Pada
bulan Oktober 1945 dibentuk Contact-Comité voor Kerk en Zending oleh
Gereja Protestan, Zendingconsulaat dan Gereformeerde Kerken. Tujuannya adalah
membentuk suatu lembaga yang dengannya gereja-gereja di Indonesia dapat
berbicara dengan satu suara (misalnya kepada pemerintah atau kepada
gereja-gereja melalui suatu seruan). Komite ini berkaitan dengan suatu biro
bagi bantuan dan pemulihan (Bureau voor Relief en Reconstructie), yang antara
lain menangani urusan lectuur, pembagian bahan-bahan bangunan dsb.22 Kemudiankomite
membentuk komisi-komisi darurat (Noodcomité) untuk pedidikan Kristen, pelayanan
medis dan Lectuurcommissie. Dalam kalangan ini ada harapan untuk memulihkan
impian sebelum perang, yakni mewujudkan kerjasama oikumenis dalam bentuk suatu
Dewan Gereja dan Zending:
[…] bahwa meskipun demikian kebersamaan dalam Komite ini akan berguna untuk
penyiapan yang lebih baik bagi suatu pemulihan yang cepat dalam bentuk baru
“Dewan Gereja dan Zending” yang hampir berdiri tak lama sebelum pendudukan
Jepang.23
Dalam kerangka itu Konsul Zending, Mr. M. de Niet, setelah melakukan
perkunjungan ke Indonesia bagian Timur, menggagas suatu susunan sistematis
Balai Kristen di Indonesië dalam suatu nota (kemudian dikenal sebagai Nota de
Niet atau Balai-Plan) pada tanggal 30 Desember 1945, yang berjudul “Oecumenisch
Samenwerking en Eenheid in Indonesië” (=Kerjasama Oikumenis dan Keesaan di
Indonesia).24 Pada
rapatnya tanggal 4 Juli 1946 NZR di Belanda menyetujui rencana itu “dalam arti
umum”. Di Indonesia, rapat Kerkbestuur Gereja Protestan pada tanggal 16 Juli
1946 menyetujuinya “secara garis besar”, demikian juga klasis Batavia
Gereja-gereja Gereformeerd pada tanggal 8 Agustus 1946.
Balai-plan De Niet bertolak dari suatu kerangka mengenai tempat Gereja dan
Zending di dalam tatanan dunia pasca perang. Dalam kerangka itu tatanan gereja
dan Zending di Indonesia memerlukan pembentukan suatu pusat oikumenis yang kuat
di mana berlangsung pertemuan, stimulasi, inspirasi, penelitian, perkenalan dan
pengalaman. Kebersaman yang dianjurkan De Niet semata-mata untuk mengungkapkan
kesatuan di dalma Kristus. Suatu “Gereja Kristen di Indonesia yang besar (een
groote “Geredja Kristen di Indonesia”) dianggap De Niet prematur, tidak tepat
dan tidak bertanggung jawab pada saat itu, mengingat kesadaran gereja yang
sejati masih terlalu sedikit di kalangan jemaat. Selain itu, Gereja dibangun
oleh Tuhannya sendiri:
Sebuah “Gereja Kristen di Indonesia” yang sejati tidak bisa dibentuk dalam
semalam oleh sejumlah orang atau oleh beberapa lembaga manusiawi atau dibentuk
dengan suara bulat atau suara mayoritas. Dia harus bertumbuh oleh kasih karunia
Allah, dan akan bertumbuh demikian, walaupun barangkali ada banyak usaha dan
perjuangan secara sungguh-sungguh oleh orang –orang Kristen yang kurang lebih
berpandangan oikumenis dan para pemimpin Gereja dan Zending.25
Menurut De Niet, yang sudah dapat dibentuk adalah sebuah Dewan Kristen
Nasonal yang hidup dan kokoh, bernama “Balai Kristen di Indonesia”.26 Dalam
Balai ini diharapkan akan terhimpun semua gereja Protestan di Indonesia
(sebagai anggota biasa” bersama-sama dengan gereja-gereja pengutus di
Belanda (NHK, GKN dsb) serta wakil-wakil perserikatan-perserikatan dan
perhimpunan-perhimpunan pelayanan Kristen di Indonesia, seperti Dewan Sekolah (Schoolraad),CSV,
CJVF, NBG, Yayasan Sekolah Theologia dan semua kelompok “kegiatan Kristen”
(sebagai anggota luar biasa). Pengurus terdiri atas para wakil anggota yang
berapat setahun sekali dan pengurus harian yang berkedudukan di Batavia.
Konferensi tiga tahunan dapat diselenggarakan bergiliran di wilayah-wilayah
Indonesia di mana ada “provincial council”.
Bagian terpenting dalam Balai ini adalah stafnya, yang akan terdiri atas
enam orang sekretaris, masing-masing: a) seorang teolog yang ahli di bidang
dogmatika, pengakuan serta tata gereja dan pendidikan teologi, b) seorang
teolog ahli penginjilan di Indonesia yang harus ahli agama Islam, untuk bidang
pekabaran Injil, c) seorang pendidik, yang ahli dalam metode pendidikan dan
teologi, untuk urusan pendidikan Kristen, d) seorang yang ahli masalah-masalah
di bidang etnologi, sosiologi dan ekonomi,untuk urusan “social environment”, e)
seorang sekretaris untuk bidang pergerakan pemuda Kristen, dan f) seorang
sekretaris umum yang memadukan sebisanya semua urusan kantor dan berbagai
hubungan oikumenis. Dan mengingat masih langkanya tenaga Indonesia yang
memenuhi syarat-syarat itu maka akan terjadi campuran dengan orang Belanda dan
Timur Asing.
Kedudukan Balai itu harus di Batavia, tetapi bukan di pusat kota (supaya
jauh dari keramaian), dan akan merupakan suatu kompleks dengan
bangunan-bangunan untuk berbagai fasilitas, seperti perpustakaan umum, ruangan
baca, ruangan kursu s dan konferensi, ruangan pertunjukan film dan slide,
kantor dan pusat-pusat berbagai kegiatan lainnya. Bangunan sederhana dan
berciri Indonesia dengan hiasan-hiasan dari berbagai hasil kebudayaan
Indonesia.
De Niet mencatat pula penghapusan Zendingconsulaat, dan sebagai gantinya
adanya seorangZendingsdirector di Indonesia dengan fungsi utama di
bidang administrasi keuangan (karena itu haruslah seorang accountant).
Sebagai perwujudan kerjasama, De Niet mengusulkan pembentukan pelayanan
medis Kristen, pendidikan dan literatur.
6.1.4 Konferensi Batavia
(1946)
Atas prakarsa Zendingconsulaat dilangsungkan pada tanggal 10-20 Agustus
1946 di Batavia suatu konferensi parapekabar Injil.27 Tujuanya
adalah mengantisipasi tugas-tugas pihak Zending dalam masa baru
Indonesia:
Refleksi atas tempat dan tugas Zending di dalam Indonesia yang baru, secara
prinsipil dan secara praktis; untuk meningkatkan kesatuan visi dan kebijakan di
segala pekerjaan zending di negeri ini; untuk menasihatkan gereja-gereja
pengutus di Negeri Belanda, khususnya Dewan Zending Belanda, untuk menentukan
kebijakan di Home Base; untuk mempersiapkan percakapan-percakapan lebih lanjut
dengan badan-badan oikumenis, khususnya di Amerika, mengenai bantuan dan
pemulihan, demikian juga mengenai kemungkinan pertolongan untuk sesuatu
perencanaan baru pada masa depanjika sekiranya gereja-gereja di Indonesia
memutuskan suatu perencanaan baru dan menginginkan bantuan seperti itu.28
Konferensi Batavia ini membicarakan tiga pokok utama: tempat gereja dalam
masyarakat, pembangungan gereja, dan pelayanan gereja di Indonesia. Untuk pokok
pertama, ceramah-ceramah pengantar disampaikan oelh Dr. C.L. van Doorn (“De
Kerk inhet midden”), yang membicarakan fungsi-fungsi kenabian, keimanan dan
kerajaan gereja, dan oleh Ds. J.C. Hoekendijk (“Vrijheid van godsdienst”) serta
masukan dari Contact-Comité beruap nota “De Vrijheid van Godsdienst in het
toekomstige Indonesië”. Dalam pokok ini konferensi memberi tekanan pada
demokrasi dan mendukung usaha-usaha mewujudkan kebebasan beragama.
Mengenai pelayanan gereja (Kerkwerk) di Indonesia, Ds. J.C.
Hoekendijk memperkenalkan comprehensive approach sebagai visi
yang lebih luas dalam pelayanan gereja, berdasarkan perkembangan pemahaman
dalam gerakan oikemene sedunia, khususnya IMC.29
Percakapan mengenai bidang pembangunan gereja (Kerkopbouw) meliputi
pokok-pokok kebersamaan oikumenis, pendidikan teologi, pelayanan pemuda dan
keluarga, serta pengadaan bacaan. Selain kebersamaan oikumenis, perhatian yang
besar diberikan pada masalah pendidikna teologi sebagai “salah satu yang paling
utama dan terpenting dari tugas-tugas Gereja-gereja dan Zending”.30 Kebersamaan
oikumenis dibicarakan berdasaarkan :Nota De Niet” (atau “Balai-plan”) dan “Richtlijnen
voor het kerkelijk gesprek” (=Pedoman bagi percakapan gerejawi).31
Dalam pedoman yang disebut terakhir ini Bergema menunjuuk dua macam perbedaan
antara gereja-gereja: yang berhubungan dengan pengakuan dan yang berhubungan
dengan pengaturan gereja (kerkinrichting), yang masing-masing dapat
dibedakan lagi atas perbedaan-perbedaan “historis” (kebangsaan, suku, bahasa,
dst) dan “teologis” (perumusan pengakuan dan tata gereja). Bergema membedakan
pula antara perbedaan-perbedaan yang dasariah dan yang tidak dasariah.
Diharapkan dengan itu dapat dilihat kemungkinan-kemungkinan kebersamaan gereja-gereja
dalam berbagai tingkatannya:
Skala kemungkinan mulai dari pengakuan yang bertingkat persaudaraan dan
kerjasama praktis seperistiwa sampai kesatuan gerejawi sempurna melalui
penerimaan anggota-anggota baptisan masing-masing, surat menyurat dengan pertukaran
laporan-laporan, majalah-majalah, dsb, konferensi-konferensi bersama
malam-malam puji-pujian, malam-malam doa, penerbitan majalah jemaat bersama,
perutusan tetap antar gereja, kesatuan federatif (dalam semangat Free Church
Counsil, Federal Council of Churches of Christ di Amerika atau Dewan
Gereja-Gereja Belanda kita), pengakuan anggota-anggota sidi masing-masing,
pertukaran pendeta-pendeta, ibadah-ibadah bersama, kesatuan pendidikan,
perjamuan kudus bersamadan peleburan.32
Laporan konferensi, yang dirumuskan pada tanggal 20 Agustus 1946,
mempertahankan cita-cita lama untuk membentuk Dewan Gereja-gereja dan Zending (Raad
van Kerken en Zending) tetapi dengan tujuan yang baru: membentuk satu
gereja di Indonesia.33 Kedua
butir pertama laporan konferensi tentang hal ini berbunyi:
Kebersamaan Oikumenis gereja-gereja di Indoensia sebagaimana ini terungkap
dalam pembentukan suatu Dewan Gereja-gereja dan Zending di Indonesia pada tahun
1939-1941 perlu dimajukan dan diperkuat. Pewujudan, berdasarkan motif-motif
rohani, satu gereja di Indonesia pada masa depan yang jauh atau dekat hendak
menjadi tujuan kebersamaan oikumenis itu.
Tugas Dewan Gereja-gereja dan Zending ini meliputi:
memprakarsai percakapan gerejawi mengenai soal-soal dogmatika (pengakuan),
hukum gereja dan liturgi. […]
memajukan pendidikan theologia.
pekabaran Injil.
memajukan pendidikan Kristen.
pelayanan kesehatan
mempelajari masalah-masalah yang bersifat ekonomis dan sosial.
publisitas (pers dan radio).
pelayanan pemuda.34
Dalam Butir-butir lainnya diusulkan pembentukan dewan-dewan wilayah
(khususnya di Indonesia bagian Timur dan Kalimantan), selama dewan secara
nasional belum dapat diwujudkan.
Jadi, makna penting konferensi batavia ini bagi gerakan oikumene di
Indonesia adalah memelopori kelanjutan kerjasama oikumenis dalam penggilan
gereja dalam konteks yang baru (Indonesia merdeka) dengan pendekatan comprehensive.
Dan dengan mencanangkan pembentukan satu gereja di indoensia. Di samping itu,
penting pula bahwa pada konferensi ini timbul semangat keesaan yang” merasuk
para pesertanya, khususnya para pendeta Indonesia dari wilayah Indonesia bagian
Timur.
6.2
Kalangan Gereja-gereja
6.2.1 Gerej-gereja di Indonesia
bagian Timur
Sedah pada konferensi Batavia itu para pesertz dari Indonesia bagian Timur,
dipelopori Dw. W.J. Rumambi dari GMIM, Ds. E. Durkstra dari Timor dan Ds. F.H.
de Fretes dari GPM, merencanakan suatu pertemuan wilayah. Ds. Rumambi35,
yang kemudian dipillih sebagai sekretaris panitia persiapan, menyampaikan
“rentjana oesaha sekretaris panitia persiapan, menyampaikan “rentjana oesaha
persiapan conferentie Makasar” dengan tujuan: menyatakan keesaan gereja-gereja
dan bakal gereja-gereja dan membentuk majelis atau majelis-majelis gereja dan
bakal-bekal gereja di Indonesia bagian Timur, selaku cabang atau cabang-cabang
dari Balai Gereja Kristen di Indonesia.36 Panitia
dibentuk dengan Ds. Rumambi dan Dr. H. Bergema (yang juga sejak lama membentuk
usaha-usaha menuju keesaan Gereja, khususnya melalui kesatuan pendidikan
teologi)37
sebagai tulang punggungnya. Keduanya sama terpikat pada gagasan oikumenisnya
dan dapat bekerjasama dengan baik.38 Pandangan
oikumenis Dr. Rumambi sebelumya, yang bertumbuh melalui pengalamannya bekerja
dalam lembaga kesatuan Kristen paksaan Jepang, nyata dari pandangannya mengenai
keesaan sebagai ketaatan kepada kehendak kehendak Tuhan dan sebagai prasyarat
bagipanggilan memulihkan dunia pasca perang:
Alasan segala oesaha kita di masa ini akan mewoejoedkan keessaan Keristen
ialah kehendak Allah, bilamana kita tidak berbuat demikian, kita telah berdosa
di hadapan Toehan Allah. […] Boekankah hal ini [kenyataan buruk dunia pasca PD
II] soeatoe panggilan Toehan bagi kita, oematNja, diseloeroeh moeka boemi, akan
mengatoer poela, membawa siasat jang benar, dalam segala lapangan hidoep.
Bagaimanakah kita dapat berboeat demikian kalaoe roemah tangga kita sendiri,
ja’ni Geredja Keristen, Persekoetoean Keristen, beloem teratoer, artinja beloem
ada keesaan, persatoean roh Keristen dalam segala oeroesannja?39
Seperti dikemukakan De Niet, bahwa tujuan keesaan bukanlah membentuk suatu
kekuatan politik, Ds. Rumambi juga kritis terhadap arah yang keliru seperti
itu:
Boekan maksoed kita akan mengadakan soatoe partai ataoe persatoean setjara
doenia jang semata-mata hendak mereboet kuasa doeniawi sadja, boekan poela
maksoed “gerakan keesaan” ini hendak mendirikan satoe Geredja jang maha koeasa,
selakoe toedjoean achir, sehingga boekan nama Toehan dipermoeliakan melainkan
nama pimpinan-pimpinan Geredja, sekali boekan demikian.40
Konferensi yang diopersiapkan dengan apik itu berlangsung sebagai
“Konferensi Gereja-gereja dan Zending”, pada atanggal 15-25 Maret 1947 di
Malino (dekat Makassar), Sulawesi Selatan. Para peserta terutus dari berbagai
lembaga gereja dan zending di Indonesia bagian Timur dan sejumlah undangan.41Pokok-pokok
keputusan Konferensi Malino ini meliputi:
1) pembentukan Madjelis Oesaha bersama Geredja-Geredja Keristen,
jang berpoesat di Makassar(dipendekan Madjelis Keristen) pada
tanggal 17 Maret 1947, 2) penetapan pendirian Sekolah Pendeta di
Makassar, 3) persetujuan pada arah nasionalis penyelenggaraan pendidikan, 4)
tugas pekabaran Injil, 5) kewajiban pekerjaan sosial, 6) menyetujui usul
mendirikan Badan Poesat Penerangan dan Pekabaran Kristen di Makassar dalam
kerjasama dengan Lembaga Alkitab, 7) pelayanan pemuda dan 8) sikap bersama
terhadap soal-soal bangsa dan negara. Selain itu, Konferensi juga menetapkan
suatu Konsep Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga bagi suatu wadah
ouikumenis nasional, yang diharapkan terbentuk segerea.
Pembentukan Madjelis Keristen memastikan untuk sementara waktu usaha
oikumensi di Sulawesi Utara (dan Tengah), yang didorong oleh kebersamaan yang
dipaksakan pada zaman Jepang. Pada akhir tahun 1945 direncanakan bahwa
gereja-gereja dan zending di wilayah itu akan bekerja bersama-sama
menyelenggarakan pendidikan pendeta, penerbitan majalah, pendidikan umum dan
akhirnya mewujudkan satu gereja di Sulawesi Utara (dan Tengah). Baru kemudian,
ketika Madjelis Keristen mlemah, kebersamaan itu diwadahkan dalam Dewan Daerah
DGI di Sulawesi Utara pada konferensi gereja-gereja GKST, GMIM< GMIBM dan
GMIST tangal 23 dan 26 Juni 1951, yang diresmikan pada tanggal 17 September
1951 di Kotamobagu.42
Konsep Anggaran Dasar dan konsep Peraturan Rumah Tangga bagi “Madjelis
Oesaha Bersama Geredja-Geredja Keristen di Indonesia” bermakna penting,
karena dengan itu Konferensi Malino jelas mengacu pada wawasan nasional gerakan
oikumene dan mempertegas arah gerakan itu sebagai gerakan gereja-gereja di
Indonesia menuju “pembentoekan satoe Gereja Keristen di Indonesia”.43 Lagi
pula Madjelis Keristen yang dibentuk Konferensi ini merupakan wadahj oikumensi
yang sempat menghidupkan secara nyata kbersamaan gereja-gereja di Indonesia,
khususnya dalam kegiatannya sebagai pelaksana dalam skala kecil apa yang
nantinya akan dilaksanakan oleh Dewan Gereja-gereja di Indonesia dalam skala
besar. Dengan kata lain, Konferensi Malino memberi bentuk nyata dan merintis
arah gerakan oikumene di Indoensia. Madjelis Kristen memang memahami dirinya
sebagai cabang suatu wadah nasional yang kelak dibentuk.
Aspek Indonesia Madjelis Keristen cukup menonjol. Kelima orang pengurus
inti badan pekerjanya semuanya orang Indonesia, yakni Ds.S. Marantika (Ketua),
Ds.W.J. Rumambi (Penulis merangkap Bendahara), Ds.D. Ngefak, Pdt.S. Bombongdan
Mr.G.P.Khouw (anggota-anggota).44 Juga
aspek itu nayata dalam pekerjaannya sesuai tujuan pembentukannya, yang dapat
disimpulkan dalam kata-katamengikat, mengkoordinir dan mewakili
gereja-gereja.45 Dalam
hubungan itu Madjelis Keristen telah menyumbangkan pengalamannnya bagi gerakan
oikumene di Indonesia dalam mewadahi hidup bersama, bekerja bersama dan
bersaksi bersama sebagai gereja.46
6.2.2 Gereja-gereja di Jawa
Gereja-gereja Protestan di Pulau Jawa menyelenggarakan xuatu konferensi
pada tanggal 21-22 Mei 1946 di Yogyakarta. Gereja-gereja yang mengutus wakilnya
adalah: Gereja Kristen Jawa Timur (Ds. Mardjo Sir dan Ds. Moedjodihardjo),
Gereja Kristen Jawa Tengah sebelah Utara (Ds. Kartosoegondodan Ds. Daniël),
Gereja Menonit (Ds. Djojodihardjo), Gereja Jawa Tengah sebelah Selatan (Ds.
Wijoto Hardjotaroeno dan Ds. Poerbowijogo), Gereja Pasundan (Abednego), Gereja
Tionghoa Jawa Tengah (Ds. Tan King Hien dan Sthe Tjiauw Bian). Beberapa gereja:
“Gereja Huria (HKI), HKBP, Punguan Kristen Batak (PKB)< gereja Masehi
Indonesia (Indische Kerk), KGPM dll”, yang berkedudukan di Jakarta turut
diundang tetapi tidak dapat hadir. Dalam konferensi itu, “semoeanja diundang
tetapi tidak dapat hadir. Dalam konferensi itu “semoenja merasa betapa
perloenja Geredja-Geredja Protestan satoe sama lain berhoeboengan jang erat dan
teratoer, betapa perloenja bekerdja bersama-sama boekan sadja didalam zaman
jang soekar ini, melainkan djoega oentoek seteroesnja”. Dan sesuai dengan
kepentingan itu konferensi membentuk Dewan Permoesjawaratan
Geredja-geredja Protestant di Indonesia (DPG, singkatan resminya Dewan
Geredja). Yang diterima menjadi anggota adalah “Synode-synode dari pada
Geredja Protestant di Indonesia”. Dalam Anggaran Dasar Sementara, tujuan DPG
ini dirumuskan:
Dewan ini dibentoek dengan toedjoean oentoek mempersoalkan dan
mempertimbangkan kepentingan Geredja-geredja bersama, baik dalam hal-hal jang
langsoeng mengenai kegeredjaan dan keagamaan, baik dalam hal-hal jang mengenai
lain-lain, jang ada hoeboengannja dengan kegeredjaan dan keagamaan dan
mendjalankan oesaha-oesaha oentoek tertjapainja kepentingan terseboet.47
Badan pengurus hariannya hanya terdiri atas tiga orang: Ds. B. Probowinoto
(Ketua), Mr. M. Tamboenan (Penulis) dan Ds.The Siong Liong (Bendahari). Selain
itu terdapat seksi-seksi (Pekabaran, Penerbitan Al kitab, Perhubungan denga
Luar Negeri, Urusan Agama dan Pemerintahan, Usaha ke arah Persatuan
Gereja-gereja Oecumenie [sic] yang beranggotakan satu orang dari masing-masing
keenam gereja anggota pada setiap seksi.48
Tampaknya DPG tidak dapt berbuat banyak karena berada di pusat pergolakan
perang kemerdekaan Republik Indonesia melawan Belanda. Tetapi gebrakannya untuk
menampilkan gereja Indonesia sangat bermakna. Pada konferensi
pembentukannya dilangsungkan suatu sidang khusus mengenai pekabaran Injil yang
secar radikal menyatakan bahwa pekabaran Injil merupakan tanggungjawab
gereja-gereja di Indonesia dan bahwa Zending dari luar negeri menghalangi usaha
keesaan dan mengurangi minat gereja-gereja di Indonesia menangani tugas
pekabaran Injil itu. Sebab itu, sidang berkesimpulan bahwa badan-badan Zending
dari luar negeri menghalangi usaha keesaan dan mengurangi minat gereja-gereja
di Indonesia menangani tugas pekabaran Injil itu. Sebab itu, sidang
berkesimpulan bahwa badan-badan Zending dari luar negeri tidak perlu lagi
datang ke Indonesia; pekabar-pekabar Injil mereka boleh diutus tetapi sebagai
tenaga yang diperbantukan kepada dan diatur oleh gereja-gereja di
Indonesia.
Pernyataan itu jelas menimbulkan ketegangan, khususnya dengan pihak GKN,
yang kemudiandapat diselesaikan dalam Konferensi antar wakil-wakil DPG dengan
GKN dan NHK di Jakarta, pada tanggal 19-24 Mei 1947.49 Konferensi
Kwitang ini menghasilkan suatu naskah kesepakatan, yang dikenal sebagaiKwitang
Accord. Bagian terpenting dari kesepakatan Kwitang itu adalah enam
pasalmengenai “Dasar dan Cara Bekerja- Bersama” (Bab II). Lima pasal pertama
berbunyi sebagai berikut:
Geredja di Indonesia adalah Geredja2 jang dewasa.
Pekabaran Injil di Indonesia itoe adalah teroetama kewadjiban dari Geredja2
di Indonesia.
Geredja2 di Loear Negeri dapat mengkabarkan Indjil di Indonesia bersama
dengan Geredja2 di Indonesia didalam mana Geredja2 di Indonesia bertanggoeng
djawab atas pekerdjaan itoe.
Seloeroeh doenia pada oemoemnja dan Indonesia pada choesoesnja adalah
lapangan pekabaran Indjil dari Geredja2 di Indonesia.
Karena tanggoengan Geredja2 di Indonesia dalam hal pekabaran Indjil
besar sekali, maka Geredja2 di Indonesia masih perloe menggoenakan bantoean
dari Geredja2 di Loar Negeri, agar dapat melaksanakan kewadjiban terseboet
diatas.50
Pasal terakhir mengenai pelembagaan kerjasama jkedua pihak, yang dikenal
sebagai Kwitang Structuur, adalah pembentukan suatu “Madjelis
Wakil2 Geredja2” (College van Deputaten) Indonesia dan Luar
Negeri,dengan paling kurang ¾ jumlah anggotanya adalah wakil-wakil
gereja-gereja Indonesia.
Dengna mengacu pada telaah Kraemer mengenai kebangkitan gereja-gereja muda,
laporan Zendingcosulaat mencatat tiga pokok makna KonferensiKwitang (dengan
“accord” dan “structuur”nya): Konferensi Kwitang adalah bagian dari
kesinambungan gerakan kemandirian gerja-gereja muda, khususnya sejak Konferensi
Yerusalem (1928); ungkapanperalihan tanggungjawb pekabaran Injil sebgai tanda
kedewasaan; dan merupakan model bagi kerjasama antara gereja-gereja dalam dan
luar negeri.51Walaupun
pada kenyataannya pihak Indonesia dalam konferensi itu hanya gereja-gereja
Jawa, maknanya sebagai gereja Indonesia diakui pihak Zending, mengingat posisi
pulau Jawa adalah “titik api strategi situasi zending di Indonesia”.52
6.2.3 Gereja-gereja Cina
Selain DPG sebagai wadah oikumenis “gereja-gereja Jawa”, juga pengelompokan
sejenis terdapat di kalangan gereja-gereja Cina dan dalam rumpun Gerej
Protestan. Kebersamaan gereja-gereja Cina di Indonesiaa sudah berlangsung sejak
tahun 1926,53 ketika
umat Kristen Cina mengadakan konferensi di Cipaku, dekat Bogor,
membicarakanpenyatuan dan pembinaan gereja mengikuti pola three self
movement.54 Padatahun
berikutnya, konferensi di Cirebon membentuk Bond van Chinese Christenen,
yang menjadi Geredja Tionghoa Serikat pada tahun 1934. Pada
tanggal 25-28 Mei 1948 wakil-wakil dari 49 jemaat Cina di Pulau Jawa, Makassar,
Pontianak, Singkawang dan Bangka-Bilition mengadakan konferensi di Jakarta.
Konferensi dengan perutusan dari 69 jemaat pada tahun berikutnya berhasil
mendirikan Dewan Geredja-Geredja Kristen Tionhoa di-Indonesia (DGKTI). Dewan
ini bertujuan:
mempererat perhubunga Geredja Kristen Tionghoa, agar persatuan tertjapai.
mentjari perhubungan degan geredja-geredja di Indonesia chusucnja.
membantu memperluas pekabaran Indjil.55
Walaupun jelas merupakan pengelompokan etnis, gerakan keesaan gereja-gereja
di kalangan orang Cina juga merupakan bagian dari usaha mendewasakan dan
mempersatukan gereja di Indonesia.
6.2.4 Kalangan GPI: Keesaan
Jeruk
Reorganisasi Gereja Protestan melahirkan empat gereja:GMIM (1934), GPM
(1935), GMIT (1947) dan GPIB (1948).56 Sinode
Am ke-3 GPI pada bulan Juni 1948 di Bogor membicarakan tata gereja (Kerkorde),
terutama mengenai perhubungan antara GPI dengan gereja-gereja yang berdiri
sendiri di dalmanya, dalam rangka mempertahankan ikatan kesatuan. Percakapan
didasarkan pada hasil suatu komisi teologi. Pengantar yang disampaikan oleh Dr.
Rasker, mengingatkan dua segi dalam soal hubungan itu, segi keesaan Gereja
Protestan dan segi kemandirian gereja. Kemandirian gereja, tegasnya, “boekan
berarti 100% berdiri sendiri”, karena “di dalam Kristoes tida ada satoe orag
jang berdiri sendiri dengan 100%, sehingga kita bersangkoetan satoe sama lain”.57 Maka
pentinglah untuk memegang keesaan sebagai mana telah dijalani sebelumnya:
Kita haroes teroes pegang keesaan jang soedah ada dan sekarang kita haroes
adakan sedikit perebahan dalam organisasi. Oleh karena kebangoenan rohani dan
keisjafan nationaal ada timboel banjak soal2 dalam lapangan Geredja ada
diboetoehkan satoe decentralisasie lebih dari pada doeloe2.
Toedjoean kita adalah soepaja ada 4 Geredja berdiri sendirijang tida
teritoeng dalam geredja Maloekoe, Minahasa atau Timor, tetapi dalam bagian
terbesar dari pada kepulauan ini.58
Para peserta sidang menyambut hangat soal ini dan berbagai pandangan
dikemukakan, yang intinya menyetujui dipertahankannya keesaan. Tekanan desentralisasi dengan
mempertahankan bentuk kesatuan yang lama di bawah Kerkbestuur oleh Dr. Rasker
ditanggapi secara mendalam oleh Ds.A.Z.R. Wenas.59Menurut
Ds. Wenas, bentuk kesatuan yang lama sudah harus ditinggalkan untuk megikuti
suatu Tata Gereja yang mengarahkan pada satu Gereja di Indonesia. Ds. Wenas
mendukung kemandirian dalam kesatuan, tetapi menolak suatu “kesatuan-kerk”,
karena akan bersifat sentralis dan akan menjadikan gereja-gereja yang mandiri
sebagai gereja-gerjea daerah.
Jika kita berbicara mengenai Gereja Protestan (bukan satu Gereja
Protestan), maka inilah doa kita, bahwa juga gereja-gereja Indonesia lainnya
akan berhimpun sekeliling Gereja Protestan di Indonesia. Jika kita
mempertahankan Gereja-Gereja daaerah, maka gereja-gereja yang lain menutup
diri. Itu berarti kemunduran. Jika Tata Gereja diterima, kesatuan tak pernah
dicapai. Haruslah ada Tata Gereja yang diterima pihak-pihak yang lain.60
Setelah diskusi, sidang menyetujui usul Kerkbestuur untuk menunjuk suatu
panitia untuk merumuskan jalan menuju keesaan kekristenan di Indonesia:
Ds. Keers menyatakn bahwa Kerkbestuur mengusulkan untuk menunjuk suatu
panitia,yang teriri atas wakil-wakil Gereja-Gereja mandiri di Indonesia bagian Timur,
dengan Dr. Emmen, Dr. Brouwer, Dr. Van Beyma dan wakil-wakil masing-masing
Dewan, yang akan memberi satu suara kepada Gereja-Gereja muda. Panitia ini akan
berusaha memberi bentuk kepada apa yang harus terjadi pada masa depan dan
memutuskan jalan mana yang harus ditempuh Gereja Protestan menuju kesatuan
Kekristenan di Indonesia.61
Karena keputusan itu dianggap sangat penting maka Ds. B. Keers, ketua
sidang, meminta Ds. B.S. Supit memimpin peserta dalam doa khusus Hasil pekerjaa
panitia ini adalah sebuah dokumen dwibahasa (Indonesia dan Belanda)berjudul
“Berita” (Boodschap), yang merupakan penyampaian keada gereja-gereja
lain mengenai keesaan GPI dengan ajakan untuk menggabung di dalamnya, membentuk
satu Gereja di Indonesia. Inti “Berita” dalam empat butir uraian itu terdapat
dalambutir yang terakhir sebagai berikut:
Adalah soeatoe keoentoengan bagi kami bilamana kami hendak mengkabarkan
kepada saudara-saudara, bahwa Synode am Geredja Protestant di Indonesia di
Bogor telah berhasil mengadakan soeatoe tertib baharoe mengenai
hoeboengan-hoebongan keempat geredja2 jang berdir sendiri jang terhisab
padanaja dan keesaan telah beroesaha dari pihaknja sendiri, memberi
soembangannja pada pembaharoean soesoenan kehidupan kehidoepan dan
perhoeboengan geredja. Dalam soesoenan terseboet, tiap-tiap geredja jang
berdiri sendiri mempoenjai pertanggoengan djawab sepenoeh-penoehnja terhadap
oesahanja sendiri dengan pimpinan Synodenja sendiri. Geredja2 itoe berhimpoen
dalam soeatoe Sidang-Geredja Am dengan mengirim oetoesan2nja jang ditentoekan
oleh synodenja.
Maka dalam Sidang-Gredja Am inilah, geredja2 iteo menjatakan keesannja
dalam ikrar, dalam panggilan rasoeli, dalam penjelenggaraan bersama pendidikna
dan peroepaan pendjawat2 Geredja, dan dalam tanggoeng-djawabnja menolong satoe
demi jang lalin dalma perkara2 praktis. Teranglah, bahwa Sidang-Geredja Am
ini akan melajani geredja2 dengan memberi penerangan dan pimpinan jang amat
perloe mengenai masalah-masalah jang amat berarti setjara prinsipil oentoek
kehidoepan geredja2. Geredja2 jang meroepakan bersama-sama geredja jang esa
ini, haroeslah memandang segala badan2 pelajan dari Sidang-Geredja Am itoe,
selakoe badan-badannja sendiri. Pada waktoe2 jang tertentoe mereka akan
berhimpoen dengan oknoem2 jang bertanggoengdjawab, akan memperkokohkan pimpinan
dan akan menetapkan dengan lebih tegas toegas2nja jang istimewa.
Sinode Am menyatakan pengharapanja, kiranja Rohoel-mengambil kepoetoesan
jang penting ini. Baginja, adalah ini soeatoe sjoekoer, bahwa ia dapat
memperhadapkan sekarang kepoetoesan ini kepada saudara2. kami berboeat hal ini
dengan pengharapan, kiranaj saudara2 djoega sedia hati mempertimbangkan dengan
soenggoeh soal2, jang diperhadapkan disini. Adalkah soeatoe kegirangan besar
bagi kami bilamana diantara kita terdapatlah hal-hal jang menghentar kita pada
pertjakapan geredjani jang mendalam, pada perikatan jang lebih erat dan oesaha
bersama setjara praktis, didasarkan atas kejakinan kita bersama, bahwa kita esa
adanja dalam iman dan ikrar.
Synode Am menyatakan pengharapannja, kiranja Rohoel-koedoes akan memimpin
kita sekalian saudara2 dengan kami, dalam kebenaran Indjil Toehan kita Jesoes
Kristoes, menoedjoe keesan Geredja Toehan di tanah ini, serta djoega pada
menantikan dengan kesoekaan hati kedatangan Keradjaan Allah.62
Dengan “berita” ini GPI menawarkan suatu model keesaan gereja, yang
dikiaskan sebagai keesaan jeruk, di mana kemandirian masing-masing
gereja diperdamaikan dengan keesaan seluruh gereja.63 Model
keesaan, yang dengan hati-hati diusulkan GPI ini, mendapat kecaman-kecaman
dengan tuduhan bahwa GPI bersifat imperialis (hendak menguasai gereja-gereja
lain) atau berusaha mengabortus rencana pembentukan suatu dewan
gereja-gereja, yang panitianya sudah dibentuk, atau bahwa ingin BAPEAMnya
(Badan Pekerja Am, mengganti Kerkbestuur GPI) menjadi pusat Dewan Gereja-gereja
di Indonesia.64Sebab
itu, dalam penjelasannya pada Konferensi Persiapan DGI, Ds. Rumambi menyatakan
sikap GPI terhadap rencana pembentukan DGI:
Djikalau Geredja di-Indonesia hendak mentjapai kesatuan, lain dari Geredja
Protestant, maka Badan Pekerdja Am dengan rela bubarkan diri, djikalau kesatuan
itu lebih sempurna dan hendak menghisapkan dirinja dalam badan itu. Keterangan
ini perlu, supaja semua kesulitan dan wsangka dihapuskan. Maka semua suara2
jang didengar terhadap Geredja Protestant di-Indonesia harus dihapuskan,
djikalau hendak bentuk suatu Dewan Geredja2 di-Indonesia. Maka teranglah
sekarang, bahwa Geredja Protestant di-Indonesia hendak menjokong dan membantu
berdirinja Dewan Geredja2. Badan Pekerja Am menjokong Dewan Geredja2
di-Indonesia dan bekerdja terus membantu akan mempereratkan Geredja2
di-Indonesia.65
6.2.5 Dewan Gereja-gereja di
Indonesia
Pada tahun 1947 Ds.W.J. Rumambi, sebagai sekretaris Madjelis Keriten,
menghubungi Ds.B. Probowinoto (wakil DPG), Ds.T. Sihombing (wakil Madjelis
Geredja Sumatera66)
dan Ds.H. Dingang (Ketua Geredja Dajak Evangelis) menyampaikan suatu usul, yang
dilampiri “Rentjana Anggaran Dasar dan Rentjana Peratoeran Roemah Tangga
Madjelis Oesaha Bersama Geredja-Geredja Keristen di Indoensia” hasil konferensi
Malino,67 untuk
pembentukan suatu badan oikumenebagi gereja-gereja di seluruh Indonesia.68Kemudian,
pada bulan Januari 1948, bersama sejumlah tokoh Kristen di Jakarta mereka
membentuk Panitya Perantjang yang diketuai Ds. B.A. Supit, dr.J.E. Siregar
sebagai Sekretaris, dan Mr. A.L. Fransz bersama para sekretaris dewan daerah
dan Ketua GDE sebagai anggota-anggota; sedangkan Dr.T.S.G. Moelia sebagai
penasehat. Tetapi suatu panitia baru, dengan Moelia sebagia Ketua dan Rumambi
sebagai Sekretaris, berhasil mempersiapkansuatu rancangan Anggaran Dasar dan
peraturan-peraturan untuk bagian-bagian badan oikumenis yang direncanakan itu
serta persiapan-persiapan untuk pelaksanaan konferensi.
Setelah pembentukan ewan Gereja Seduni di Amsterdam pada konferensi tanggal
22 Agustus – 4 September 1948, direncanakan akan berlangsnung suatu persidangan
Joint Office WCC dan IMC untuk Asia Timur pada bulan Desember 1949 di Bangkok.69 Para
pemuka gerakan oikumene di Indonesia berharap bahwa wadah oikumene nasional
sudah akan terbentuk untuk dapat diterima sebagai anggota IMC dalam sidang di
Bangkok itu.70 Tetapi
persiapan panitia baru memungkinkan konferensi pembentukan wadah nasional itu
dilangsungkan tanggal 7-13 Nopember 1949di Jakarta. Konferensi itu (yang
dikenal sebagai Konferensi Persiapan DGI) dihadiri 19 orang utusan yang
mewakili 29 gereja dan 28 orang peninjau dari berbagai badan kegerejaan,
termasuk panitia.71 Sebelumnya,
dalam rapat panitia pada bulan Pebruari 1949, telah dipersiapkan suatu konsep
Anggaran Dasar yang berisi lima belas pasal. Penyempurnaan konsep itu
menghasilkan Anggaran dasar Baru di mana nama “madjelis” diganti menjadi
“dewan” dan badan oikumene yang akan dibentuk ditetapkan bernama Dewan
Geredja-Geredja di Indonesia, dengan tujuan “pembentukan Geredja Kristen
jang esa di Indonesia”.72 Selain
itu konferensi juga menghasilkan suatu seruan mengenai rencana tersebut kepada
“Geredja2, perkumpulan2 dan umat Kristen di Indonesia dan sekalian jang suka
mendengarnja”.73 Konferensi
memutuskan bahwa pembentukan Dewan akan dilakukan pada suatu konferensi sekitar
Hari Pentakosta tahun berikutnya.
Sesuai rencana, konferensi pembentukan dilangsungkan tanggal 22-28 Mei 1950
bertempat di aula STT Jakata. Sedianya sidang akan segera memaklumkan
pembentukan DGI, tetapi Ds. Probowinoto meminta pembicaraan Anggaran dasar
terlebih dahulu, yang berkembang menjadi perdebatan sengit antara Ds.
Probowinoto dengan Ds. Rumambi, yang masing-masing mendapat dukungan dari
peserta sidang. Masalahnya adalah adanya sisipan Paniotia Persiapan pada
Anggaran Dassar yang telah disepakati pada sidang bulan Nopember 1949, yaitu
menambahkan bahwa badan-badan Zending diterima sebagaiassociated member.74 Akhirnya
disepakati untuk membentuuk sebuah panitia khusus yang akan menyempurnakan
Anggaran Dasar. Panitia khusus tersebut terdiri atas: Probowinoto, Soesilo,
Sinaga, Sahulata, Tan Yoe Gie dan Rumambi. Panitia ini mengajukan hasil pekerjaannya
pada tanggal 25 Mei, yang diterima setelah tanggapan dan penyempurnaan oleh
sidang. Keanggotaan badan Zending dihapuskan dengan suatu lampiran penjelasan.
Dengan demikian berdirinya Dewan Geredja-geredja di Indonesia disahkan, disusul
pembacaan “Pengumuman” oleh Ds. Rumambi dan doa syukur yang dipimpin
berturut-turut oleh Ds. Supit, Ds. Dingang, Ds. Khoe Lan Seng, Ds. Stelma dan
Ds. Suhadi.75
Penolakan atas keanggotaan badan-badan Zending dalam DGI menunjukan bahwa
pada akhirnya gerakan oikumene di Indoensia bersangkut paut dengan gereja, dan
pekabaran Injil adalah bagian dari tanggung jawabnya. Pandangan Ds.
Probowinoto, yang menolak keanggotan badan-badan Zending dalam DGI, jelas
dipengaruhi Kwitang-structuur dan juga memperlihatkan penolakan terhadap model
pelembagaan oikumenis Internasional, bahwa di samping WWC (gereja-gereja) ada IMC
(badan-badan Zending). Penjelasan mengenai penolakan badan-badan Zending
sebagai anggota DGI menyatakan:
Zending atau pekabaran Indjil adalah tugas dari tiap2 geredja, karena itu
geredja2 di Indonesia djuga mempunjai badan2 jang mengurus pekabaran Indjil
itu.
Dengan terbentuknya D.G.I., maka D.G.I. supaja mengkoordinir badan2
pekabaran Indjil dari geredja2 Indonesia dalam suatu komsi tetap jang melulu
mengerdjakan tentang soal2 pekabaran Indjil. Dalam komisi pekabaran Indjil
itulaj Zending luar negeri dapat bertemu dengan geredja2 di Indonesia.
Pekabaran Injil dari D.G.I. dan Pekabaran Indjil dari luar negeri merupakan
suatu komisi yang sekarang tugasnya hanja:
Memikirkandan menjelidiki soal2 pekabaran Indjil di Indoesia dn negeri2
lain, lalu mengandjurkan hasil2nja kepada sekalian geredja2 dan Badan2 Kristen
di Indonesia.76
Penolakan itu menandai peralihan dari pimpinan pihajk Zending Barat ke
gereja-gereja Indonesia. Hanya dalam komisi-komisi tertentu beberapa tenaga
asing masih dipertahankan.77
6.3 Rangkuman
Proses gerakan oikumene di Indonesia, sejak tahun 1928 sampai tahun 1950,
memperlihatkan beberapa garis yang jelas. Pertama-tama, pengaruh gerakan
oikumene sedunia, khususnya dalam IMC, cukup menentukan. Dalam kaitan itu, yang
mela-mela menyadari pentingnya kebersamaan dalam kerangka pekabaran Injil di
Indonesia adalah kalangan Zending. Tetapi kemudian, karena pengaruh dari
kemandirian gereja, terjadi perembesan gagasan oikumenis kepada kalangan orang
Kristen Indonesia. Dan selanjutnya faktor Perang Dunia II dan pendudukna Jepang
menjadi gerakan gerakan keesaan gereja-gereja di Indonesia.78 Dalam
proses perembesan dan peralihan itu berperan penting “generasi muda Kristen
berwawasan baru”. Lulusan HTS dan mantan anggota CSV op Java terdapat di antara
para penganjur gerakan keesaan gereja dan pimpinan pertama DGI. Dan dalam
dinamika wawasan Zending dan wawasan nasionalisme mereka memberi isi pada
gerakan oikumene sebagai gerakan kekristenan di Indonesia menjawab panggilannya
di dalma kenyataan masyarakat, bangsa dan negara Indonesia.
DPG di Yogya berusaha berada di garis depan tekanan ke Indonesia-an gerakan
eesaan dan kemudian mendesakkan model yang tepat bagi kedudukan Zending Barat
(Kwitang-structuur), tetapi adalah Madjelis Keristen di Makassar yang berhasil
mewujudkan hidup-bekerja-bersaksi bersama sebagai gereja secara konkret dan
dengan itu menjadi bentara bagi badan oikumensi konkret dan dengan itu menjadi
badan oikumenis nasional, DGI. Pengelompokan oikumenis lainnya adalah rumpun
GPI dengan model “keesaan jeruk”nya, sedangkan gereja-gereja di Sumatera dan
Kalimantan belum tampil dengan suatu sumbangan khusus pada masa it.
Selanjutnya, sebagaimana halnya dalam kemandirian gereja, dalamgerakan keesaan
gereja pengaruh nasionalisme tidak secara langsung, dalam arti kebersamaan yang
diupayakan bukanlah merupakan penyatuan kekuatan melawan dominasi asing di
dalam gereja-gereja.79 Yang
terjadi adalah suatu proses pencarian bentuk kebersamaan oikumenis dengan
gereja-gereja dalam lingkup internasional (baca: Zending Barat), yang ditemukan
dalam “Kwitang-structur” itu. Artinya, baik orang Kristen Indonesia, maupun
para pekabar Injil Barat sama menyadari (dan mendukung) bahwa kedewasaan
gereja-gereja di Indonesia justru terletak pula dalam kemampuan untuk memberi
setiap pihak tempatnya yang tepat dalam kebersamaan menjalankan panggilan gereja
di Indonesia.
Pembentukan wadah oikumenis dalam bentuk dewan gereja-gereja, bukan
menggabung pada GPI atau membentuk sebuah gereja nasional (sesuai usul GMIM)
merupakan jalan pendamaian antara proses kemandirian dengan proses keesaan
gereja. Pada jalan ini, masalah perbedaan atau pengelompokan gereja-gereja di
Indonesia, terutama sebagai greja suku, diarahkan ke dalam kebersamaan.
Kenyataan perbedaan itu tidak dihapuskan, melainkan diberi tempat dalam
kerangka perhatian pada kebhinekaan Indonesia sebagai satu wawasan dalam
panggilan kekristenan di Indonesia.80 Dengan
itu maka dalam tujuan gerakan oikumene di Indonesia, pembentukan Gereja
Kristen yang esa di Indonesia, bergaung gema nasionalisme bahwa
gereja-gereja di Indonesia dipanggil dari dan bagi bangsanya.
1 Mengenai
perkembangan gerakan oikumene sedunia, lihat Christian de Jonge, Menuju
Keesaan Gereja: Sejarah, Dokumen-dokumen dan Tema-tema Gerakan Oikumenis (Jakarta:
BPK Gunung Mulia, 1990). Lihat juga Ruth Rouse dan Stephen Charles Neill (eds),
A History of the Ecumenical Movement 1517-1948(London: SPCK, 22967);
Harold E. Fey (ed), The Ecumenical Advance: A History of the Ecumenical
Movement, Vol. 2. 1948-1968 (London: SPCK, 1970).
2 Ds.
A.J. Schuurmann adalah pendiri Seminari Depok,lembaga pendidikan tenaga pelayan
sebelum STOVIL dan sekolah-sekolah teologi didirikan.
3 B.J.
Boland, Opweg naar Oecumensche Samenwerking in Indonesië (Batavia:
Voorbereiding Raad van deKerken, 1949) hlm. 10.
4 Ibid.,
hlm. 10.
5 Ibid.
6 Untuk
studi mendalam mengenai Zendingconsulaat, lihat M.C. Jongeling, Het
Zendingconsulaat in Nederlands-Indië (Arnhem: van Loghum Slaterus,
1966). Selain dalam rangka ZC, peran NBG sendiri perlu disebut, yakni dalam
membantu pekerjaan Zending melalui penerjemahan Alkitab dan juga tenaga-tenaga
ahlinya seperti Adriani dan Kraemer.
7 Van
den End, Ragi Carita 2, hlm. 30 dst Mengenai SZC selengkapnya,
lihat van Randwijck, Oegstgeest. Sebagaimana ZC, juga SZC lahir
dari prakarsa Dr. J.W. Gunning.
8 Verslag
ZC 1937-1939, hlm. 166.
9 LZR
Makassar dibentuk atas desakan pihak Zending di Sumba. Anggotanya adalah CGK
Mamasa, GZB Rantepao, NZG Poso, NZV Sulawesi Tenggara, Gereformeerde Kerken
(Sumba dan Makassar) dan Indische Kerk di Timor. Verslag ZC 1937-1939,
hlm. 162.
10 Boland, Op
weg naar Oecumenische Samenwerking, hlm. 14.
11 Ibid, hlm.
14. Perkembangan ini dianggap Boland sebagai pertanda adanya suatu rengkahan
dalam sejarah.
12 Ibid., hlm.
20.
13 Dari
Indonesia, hadir pada Konferensi Yerusalem Dr. B.M. Schuurman, Dr. H.A. van
Andel dan T.S.G Moelia. Delegasi ke Tambaram disusun oleh Zendingconsulaat yang
berusaha agar semua kelompok Kristen diwakili. Liha tdaftar peserta dalam
Adresses and Other Records, The Madras Series Vol. VII, (London, New York: IMC,
1940), hlm. 181 dst; Verslag Zc 1937-1939, hlm. 158.
14 Edisi
yang direvisi diterbitkan tahun 1947 oleh Edinburgh House Press, London.
15 Dari
ketujuhjilid laporan Tambaram (The Madras Series), laporan mengenai ekonomi
gereja yang paling tebal (596 hlm.). Pokok ini dibicarakan berdasarkan penelitian
Merle Davis. Lihat The Economic Basis of the Church, The
Madras SeriesVol. V, (London-New York: IMC, 1939).
16 Kini
Gereja Immanuel GPIB, Pejambon, Jakarta Pusat.
17 Lihat
“Terdjemahan kutipan Rentjana Anggaran Dasar Madjelis Geredja2 dan Zending di
Hindia Belanda.” Pasal 3, Arsip Madjelis Kekristen.
18 Lihat
Holtrop, Selaku Perintis Jalan Keesaan Gerejani di Indonesia, hlm,
13 dyb. Pada masa pendudukan Jepang di beberapa tempat pemerintah militer
Jepang memaksakan pembentukan badan persatuan seluruh golongan Kristen. Untuk
seluruh Sulawesi dibentuk “Selebes Kiristokyo dan Rengokai” pada tahun
1942.
19 Pandangan
yang khas dikemukakan Dr. F. Ukur sebagai berikut: “Pengalaman yang menimpa
gereja di masa pendudukan Jepang ini telah menempa gereja menjadi dewasa. Ia
menjadi dewasa melalui penderitaan. Tekanan, hambatan serta segala macam
pembatasan yang dikenakan pada gereja, tidak berhasil melumpuhkan gereja itu.
Eskipun ditindas tetapi tidak terjepit, habis akal namun tidak putus asa,
dianiaya tetapi tidak ditinggalkan oleh Tuhannya. Sebaliknya gereja menjadi
lebih sadar akan hakikat keberadaannya didalam dunia ini, lebih mengerti tugas
panggilannya, lebih berani mengabarkan Injil Tuhannya dan lebih mampu
menanggung seluruh tanggungjawab selaku gereja yang benar-benar berdiri di atas
kaki sendiri.” F.Ukur dan F.L. Cooley, Jerih dan Juang: Laporan Survai
Menyeluruh Gereja di Indonesia (Jakarta: LPS-DGI, 1979), hlm.
512.
20 Boland, Op
weg naar Oecumenische Samenwerking, hlm. 31.
21 Hoekendijk
mencatat tiga rancangan yang dihasilkan dari dalam kamp tahanan: “Rapport
Bergema” mengenai pendidikna teologi, “Rapport Verkuyl” mengenai koordinasi
pers Kristen dan “Nota De Niet” mengenai kerjasama oikumenis dan keesaan di
Indonesia. Lihat J.C. Hoekendijk, Zending in Indonesië; Verslag en
Rapporten van de Zendingsconferentie te Batavia Gehouden van 10 tot 20 Augustus
1946 (Den Haag: Boekencentrum, 1946), hlm. 10; lihat juga Boland, Op
weg naar Oecumenische Samenwerking, hlm. 33.
22 Hoekendijk, Zending
in Indonesië, hlm. 10 dyb. Mengenai Contact-Comité dan Bureau
voor Relief en Reconstructie, lihat M. de Niet dan U.H. van Beijma, Tot
Beter Begrip (Batavia: Zendingsconsulaat, 1948), hlm. 29-40.
23 Boland, Op
Weg naar Oecumenische Samenwerking, hlm. 33.
24 Naskah
lengkap gagasan De Niet termuat dalam Hoekendijk (ed), Zending in
Indonesië, hlm. 12-36.
25 Hoekendijk, Zending
in Indonesië, hlm. 19.
26 Bahasa
Belandanya “Chrisenraad in Indonesië” dan dalam bahasa Inggris “Christian
Council in Indonesia”. Ibid., hlm. 20.
27 Para
peserta terutama adalah wakil badan-badan Zending dan gereja-gereja yang
melakukan pekabarn Injil, khususnya Gereja Protestan di Minahasa dan Maluku.
Dari 39 peserta, hanya empat orang Indonesia: Ds. H.F. de Fretes (Mol.PK),
Mr.G.P. Khouw (NBG), Ds.W.J. Rumambi (Min.PK), J.L.L. Wenas (PK). Hoekendijk
(ed), Zending in Indonesië, hlm. 137.
28 Ibid., hlm
38.
29 Ibid., hlm
96.
30 Ibid., hlm
75. Dalam pengantarnya, Hoeendijk mengungkapkan pandangan sejarawan Zending ternama,
Latourette, bahwa “sejarah pekabaran Injil mengajarkan bahwa hanya
gereja-gereja yang menyelenggarakan suatu barisan andal tenaga-tenaga ‘pribumi’
yang terdidik baik yang dapat memperlihatkan kemandirian yang nyata dan
kehidupan rohani yang mantap”, (hlm. 67).
31 Bagian
dari “Rapport Bergema” yang disusun Dr. Bergema dalam penjara di Pare-Pare,
Sulawesi Selatan. Naskah dilampirkan dalam Ibid., hlm. 63-67.
32 Ibid., hlm.
66 dyb.
33 Tampaknya
konferensi inilah yang pertama kali secara resmi mencanangkan pembentukan satu
gereja di Indonesia sebagai tujuan gerakan oikumene di Indonesia. Gagasan itu
sebelumnya telah dikemukakan antara lain dalam “Nota De Niet” dan “Raport
Bergema”.
34 Lihat Ibid.,
hlm. 62; terjemahan kedelapan butir laporan inidimuat sebagai la,piran dalam
Holtrop,Selaku Perintis Jalan, hlm. 107-109.
35 Ds.
Rumambi (1916-1985?) lahir di Tompaso, Minahasa, menempuh pendidikan teologi
(angkatan pertama HTS 1939-1940), ditahbiskan sebagai pendeta GMIM pada tahun
1940 dan bekerja di bidang pendidiakn serta kantor agama pada zaman jepang,
sekretaris Madjelis Keristen (1947-1948), 1948-1950 sekretaris umum GPI,
1950-1954 sekretaris umum DGI, 1954-1956 Kepala urusan persekolahan GMIM,
1956-1959 anggota Konstituante, 1959-1966 Menteri (a.l. Menteri Penerangan RI),
menjadi Sekretaris Umum LAI (1974-). Lihat Holtrop, Selaku Perintis
Jalan, hlm. 18. Mengenai biografi Rumambi, lihat artikel W.B. Sidjabat,
“Sekuntum Sumbangan Ds. W.J. Rumambi dalam Gereja dan Masyarakat Indonesia”
(naskah ketikan 20 halaman, tahun 1985).
36 Holtrop, Selaku
Perintis Jalan, hlm. 18.
37 Lihat
H. Bergema, “Over den nauwen samenhang tusschen zending en oecumenisme”, De
Opwekker, 79/1934: 197-206, 268-278, 360-398.
38 Dr.
Holtrop mencatat bahwa dalam kerjasama keduanya mempersiapkan konferensi
tersebut “menjadi konkrit apa yang dimaksudkan oleh Konferensi Whitby dengan
semboyan : Partners[ship] in obediance”. Holtrop, Selaku Perintis
Jalan, hlm. 21. H. Bergema (1902-1969): 1929 pendeta zending GKN di
Kebumen, 1934 dosen sekolah Guru Jemaat di Karuni (Sumba), 1938 meraih DTh,
1947-1956 Rektor dasn dosen pada Sekolah Teologi di SoE/Makassar, 1956-1968
mahaduru teologi pada ThU Kampen.
39 Demikian
dikutip dalam Ibid., hlm. 19 dari ceramah W.J. Rummambi pada
Madjelis Persatoean Keristen di Selebes (Makassar), tanggal 24 September 1946,
berjudul “Gerakan Keesaan Keristen di Indonesia”. Ceramah tersebut disampaikan
pula pada Sidang Sinode GMIM tanggal 18-19 Desember 1946.
40 Ibid.,
hlm. 19.
41 Hadir
utusan-utusan dari Sangihe-Talaud , Minahasa, Bolaang-Mongondow, Luwuk-Banggai,
Mamasa, Rantepao, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Selatan (Soppeng), Kalasis
Makassar Gereja Protestan, Kumpulan Gereeformeerd Makassar, Kemah Injil (CMA),
Sumba, Timor, Halmahera, Maluku, Nieuw Guinea, Kerkbestuut GPI,
Zendingsconsuaat, NHK, NZR, GKN, Gereformeerde Kerk berbahasa Belanda di
Indonesia, NBG, Komisi Medische Zending dan Komisi Pembacaan Darurat di
Jakarta. W.J.Rumambi, “(Notulen) keonperesi Geredja-Geredja dan Zending,
Makassar 15-25 Maret 1947”, Lampiran 4 dalam Ibid.,hlm. 110 dyb.
42 Lihat
William Alexander Siwu, “Masing-masign Didapati Setiawan: Sejarah Dewan
Gereja-gereja Diwilayah Sulawesi Utara Tengah” (Skripsi STH STT INTIM, 1983);
lihat juga MPH-PGIW Sulutteng, 33 Tahun PGIW Sulutteng (Manado:
PGIW Sulutteng, 1988).
43 Lihat
“Rentjana anggaran Dasar Madjelis Oesaha bersama Geredja-Geredja Keristen di
Indonesia” dan “Rentjana Peratoeran Roemah Tangga Madjelis Oesaha bersama
Geredja-Geredja Keristen di Indonesia”, Lampiran 5 dalam Holtrop, Selaku
Perintis Jalan, hlm. 142-148.
44 Kepengurusan
selanjutnya tetap mempertahankan hal itu: Pdt.B. Supit , Pdt. R.M. Luntungan,
Sj. Denso, I.H. Doko. Ibid., hlm. 36-43.
45 Tujuan
“Madjelis Keristen”, sebagaimana tercantum dalam pasal 3 Anggaran Dasarnya,
meliputi pengembangan wawasan keesaan, penyelidikan pekabaran Injil,
mempersatukan kegitatan gereja dan lembaga-lembaga Kristen, menyuarakan
pandangan Kristen mengenai masalah-masalah sosial, politik, ekonomi, dst,
mengusahalan hubungan-hubungan oikumenis internasionla, menjadi pusat informasi
bagi gereja-gereja dan lembaga-lembaga Kristen dan mempersiapkan pertemuan atau
konferensi.
46 Ibid,. hlm.
43. Dalam hal “hidup bersama sebagai gereja” Madjelis Keristen menemukan
prinsip-prinsip dalam menghadapi perbedaan–perbedaan ajaran dan batas-batas
nasionalismedna etnis., “Bekerja bersama sebagai gereja” diwujudkan dalam
penyelenggaraa Sekolah Theologia, Lembaga Bacaan Kristen, Urusan Pemuda dan
dukungan bagi pekabaran Injil di Sulawesi Selatan. Pokok yang ketiga, “beraksi
bersama sebagai gereja”, menyangkut sikap gereja terhadap soal-soal agama
ddalam Negara Indonesia Timur sebagaimana telah dikemukakan dalam bab
terdahulu.
47 Anggaran
Dasar (Sementara) Dewan Permoesjawaratan Geredja-geredja Protestant di
Indonesia”, dalam Siaran Kilat, 1, (Djokjakarta: DPG, nd), hlm. 11. Dengan
keanggotan hanya gereja-gereja, tidak termasuk badan-badan Zending dan lembaga
Kristen lainnya, Dewn Gereja merupakan suatu langkah maju dalam apa yang
disebut Boland peralihan dari aspek Belanda ke aspek Indonesia dalam
perkembangan gerakan oikumene di Indonesia. Lihat Boland, Op weg naar
Oecumenische Samenwerking, hlm. 28 dst. Walaupun menekankan “Indonesia”,
DPG hanya beranggotakan gereja-gereja di Jawa, khususnya Jawa Tengah.
48 Siaran
kilat, hlm. 17-20. Boland menyebut sekretarisnya R. Siwandargo. Lihat juga
Boland, Op weg naar Oecumenische Samenwerking, hlm. 40.
49 Pertemuan
bertempat di gedung gereja Kwitang, sehingga disebut “konperensi Kwitang”.
Mengenai Konperensi ini, lihat a.l. Boland , Op weg naar Oecumenische
Samenwerking, hlm. 46-48; K. J. Brouwer,Zending in een Gistende Wereld (Amsterda:
G.J.A. Ruys, 1951), hlm. 56-63; Verslaag van het Zendingsconsulaat over
de jaren 1945-1950, Hoofdstukken VII en VIII, hlm. 54-73; J. Verkuyl, Gedenken
en Verwachten. Memoires (Kampen: J.H. Kok, 1983), hlm. 156-158.
50 “Kesimpoelan
dalma Peroendingan antara delegasi geredja2 di Indonesia (Didalam lingkoengan
Dewan permoesjawaratan Geredja2) dan delegasi Geredja2 di Negeri Belanda
(Gereja Hervormd dan Geredja Gereformeerd) mengenai bentoek bekerdja bersama
dilapangan Pekabaran Indjil di Indonesia. “naskah ketiakn 5 haalaman (Arsip
Madjelis Keristen, IGIT STT-INTIM Ujung pandang). Naskah ditandatangani oleh
Ds. B. Probowinoto sebagai wakil DPG dan Ds.Th.B.W.G.Gramberg dari pihak
Zending.
51 Verslag
van het Zendingsconsulaat over de jaren 1945-1950, hlm. 54.
52 Ibid., hlm.
54.
53 Lihat
Chris Hartono, “gerakan keesaan Gereja-gereja Berlatar Belakang Tionghoa”,
dalam Peninjau, ½. 1974: 119-161; dan Chris Hartono, Ketionghoaan
dan Kekristenan: Latarbelakang dan Panggilan Geredja2 yang berasal Tionghoa di
Indonesia (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1974).
54 Istilah
yang berasal dari tahun 1854 ini adalah pandangan Henry Venn, seorang tokoh
LMS, mengenai tujuan pekabaran Injil “as being the calling into excistance of
self-governing, self-supporting, and self-propagating Churches; and of the
euthanasia of a mission”. Lihat Stephen Neill, A History of Christian
Missions (Penguin, 1973), hlm. 259 dyb. Lihat juga evaluasi kritis Dr.
Verkuyl terhadap model tri kemandirian ini dalam J. Verkuyl, Inleiding
in de Nieuwere Zendingswetenschap (Kampen: J.H. Kok, 1975), hlm. 257
dyb.
55 Hartono, Ketionghoan
dan Kekristenan, hlm. 159.
56 Khusus
GPIB, lihat S.W. Lontoh dan H. Jonathans, Bahtera Guna Dharma
GerejaProtestan di Indonesia bagian Barat (Jakarta:GPIB, 1981).
57 Toetoeran
Synode Am ke-III, hlm. 28.
58 Ibid., hlm.
29. Tidak berkembang lebih lanjut dalam percakapan apa yang dimaksud oleh Dr.
Rasker dengan “4 Geredja berdiri sendiri … “ itu.
59 Untuk
biografinya, lihat kumpulan karangan Ds. A.Z.R. Wenas (1897-1967)
Pelajan Geredja di Minahasa (Redaksi Bulletin Dewan Geredja2 Suluteng,
nd); lihat juga D.M. Lintong, “Ds. A.Z.R. Wenas Ketua Sinode GMIM (1942-1967).
Satu Bab dari Sejarah Gereja Masehi Injil Minahasa” (Tesis STh FTh-UKIT,
1978).
60 Toetoeran
Synode Am ke-III, hlm. 35.
61 Ibid., hlm.
36.
62 “Berita” [dari
Sinode Am III Gereja Protestan Indonesia di Bogor tahun 1948], (selebaran
dwibahasa ) hlm. 5-6.
63 “Suatu
persatuan Geredja seperti GPI dahulu dibandngkan dengan buah mangga, sebuah
bidji jang diliputi oleh dagingnja. Suatu geredja jang hampir berserakan, jang
terdiri dari geredja2 jang terlepas satu sama lain, akan menjerupai buah
Anggur. Akan tetapi jang dikehendaki ialah suatu Geredja jang seperti djeruk
bentuknja, artijna bagian2 jang berdiri sendiri dirangkum mendjadi suatu
keseluruhan.” Th. Müller-Krüger, Sedjarah Geredja di Indonesia (Djakarta:
Badan Penerbit Kristen, 21966), hlm. 81. Rangkuman “werkorde”
GPI terdapat dalam Locher, De kerkorde der Protestantse Kerk, hlm.
248-255.
64 Lihat
penjelasan J.L.L. Wenas dan Ds. Rumambi pada Konferensi Persiapan DGI dalam Notulen
Konperensi Dewan Geredja2 di-Indonesia, hlm. 14-16. Telaah mengenai
sumbangan GPI bagi gerakan oikumene di Indonesia ini dilakukan oleh U.H. van
Beyma, De Boodschappen en de Werkorde van de Protestantsche Kerk in
Indonesië (Batavia: Zendingsconsulaat, 1949).
65 Notulen
Konperensi [Persiapan] Dewan Geredja2 di-Indonesia, hlm. 16.
66 Disebut
juga Madjelis Kristen Medan. Hal-ihwal wadah oikumenis gereja-gerejadi Sumatera
Utara ini tidak jelas. Zendingsconsulaat menyebut pula adanya “Regionale raad
te Palembang”, yang pada bulan Agustus 1948 dibentuk bersama, atas prakarsaDs.
E. Everts, oleh jemaat-jemaat HKBP, Methodis berbahasaTionghoa dan Indonesia,
Gereja Protestan berbahasa Belanda dan Indonesia dan Gereja Gereformeerd dalam
“Konperensi kaum Keristen protestan di Sumatera Selatan”. Lihat Verslag
van het Zendingsconsulaat 1945-1950, hlm. 76.
67 Naskah
lengkap sebagai lampiran 5 dalam Holtrop, Selaku Perintis Jalan,
hlm. 142-148.
68Jangkauan
nasional Madjelis Keristen yang ditunjukan Ds. Rumambi di sini sangat bermakna mengingat
masa itu Indonesia terkotak-kotak dalam sejumlah negara bagian.
69 Peserta
dari Indonesia pada sidang pembentukan DGD di Amsterdam a.l. Dr.J.E. Siregar,
Ds.K. Sitompul, Ds.A. Rotti, Ds.Ch. Mataheru, Ds. Mardjo Sir dan Ds.S.P.
Poerbowijogo.
70 IMC
hanya menerima dewan gereja-gereja nasional sebagai anggota, bukan
gereja-gereja.
71 Lihat
Lampiran I dan Lampiran II dalam Ichtisar “Konperensi Persiapan
Geredja-Geredja di Indonesia”. Jumlah utusan lebih kecil dari jumlah gereja
sebab Madjelis Keristen mengutus empat orang untuk mewakili 14 gereja dan bakal
gereja anggotanya. Dalam daftar peserta sidang nama Dr.T.S.G. moelia tidak
tercantum.
72 Lihat
“Peraturan Anggaran Dasar dewan Geredja2 di Indonesia”, Lalmpiran III dalam
Ichtisar “Konperensi Persiapan Geredja-Geredja di Indonesia”, hlm. 9
dyb.
73 Lihat
“Berita Konperensi Persiapan Geredja2 di Indonesia”, LampiranIII dalam Ichtisar
“Koperensi Persiapan Geredja-Geredja di Indonesia”, hlm. 9.74 Selain
itu ada pula keberatan GMIM yang bukannya menghendaki pembentukan dewan
gereja-gereja, melainkan langsung satu gereja di Indonesia. Lihat[Notulen]
konperensi Pembentukan Dewan Geredja-geredja di Indonesia, hlm.
10-14.
75 Pemilihan
Badan pekerja pada tanggal 27 Mei menetapkan: Prof. Dr. T.S.G. Moelia (Ketua),
Ds. Rumambi (Sekretaris dibantu olelh Mr. A.L. Fransz, Ds. Tjan TongHoo dan Dr.
S.C. Nainggolan. [Notulen] Konperensi Pembentukan Dewan Geredja-geredja
di Indonesia, hlm. 31-33.
76 “Pendjelasan
mengenai penghapusan Pasal 5, sub B ajat 1 dan 2”, lampiran II dalam [Notulen]
Konperensi Pembentukan Dewan Geredja-geredja di Indonesia, hlm. 45. Tentang
masalah keanggotaan badan Zending dalam DGI ini, lihat B.J. Bolalnd, “De Raad
van Kerken in Indonesië en de Zending”, (Arsip Madjelis Keristen, naskah
ketikan 15 halaman, 19 Juni 1950)
77 Selain
komisi Pekabaran Injil, dalam struktur DGI dimasukkan lembaga-lembaga yang
sudah berdiri sebelumnya: Madjelis Pusat Pendidikan Kristen (meneruskan Dewan
Sekolah), Komisi Radio Kristen (baru), Komisi Pemeliharaan Kerohanian dalam
Tentara, Komisi Kesehatan dan Sosial, Komisi Bahasa dan Komisi Geredja dan
Negara. Beberapa badan otonom juga dibicarakan dalam ikatan atau kerjasama
dengan DGI, seperti Badan penerbit Kristen ( dari badan Penerbit Geredja dan
Zending), Zendingsconsulaat,Kerapatan Alkitab, Sekolah Theologia Tinggi dan
MPKO. Dengan semua itu dapat dikatakan DGI merupakan pengalihan dan
reorganisasi badan-badan Kristen asuhan Zending. Lihat Ichtisar
Konperensi untuk Pembentukan Dewan Geredja2 di Indonesia, hlm. 4-6.
78 Faktor-faktor
itu merupakan percepatan dalam proses peralihan tekanan dari pemahamanmissiocentrisch ke ecclesiocentrisch (Hoekendijk)
atau dari aspek Belanda ke aspek Indonesia (Boland).
79 Dengan
perkecualian kelompok DPG di Yogyakarta, yang agak bersifat antti Zending
(meginat bahwa mereka berada di jantung perjuangnRepublik pada masa itu.
80 Perjalanan
DGI selama tahun 1950-1960-an menunjukan kuatnya gagasan “pembentukan satu
gereja di Indonesia”. Puncak dari pendekatan itu digagalkan dalam penolakan
konsep Tata SINOGI (Sinode Gereja-gereja di Indonesia) pada Sidang Raya VI DGI
tahun 1967 di Makassar. Kesadaran mengenai “keesaan dalam kepelbagaian”, yang
dimunculkan pada awal tahun 1960-an, diperkembangkan lebih lanjut sejak Sidang
Raya VII DGI tahun 1971 di Pematang Siantar. Paningkatan wadah oikumene
nasional dari “dewan” menjadi “persekutuan” gereja-gereja pada Sidang Raya X
tahun 1984 di Ambon tampaknya tetap membuka kemungkinan baik bagi gagasan lama,
walaupun pendukung kepelbagaian cukup kuat. Untuk pengantar ke dalam sejarah gagasan
keesaan dalam DGI, lihat Zakaria J. Ngelow, “Jalan Keesaan DGI” (Tesis SEA-GST,
1982).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar