Generasi Muda
Kristen: Nasionalisme dan Oikumene
BAB III
GENERASI MUDA KRISTEN :
NASIONALISME DAN OIKUMENE
Sementara pergerakan nasional Indonesia berlangsung dengan berbagai
dinamikanya menghadapi rezim kolonial, dari tengah-tengah kalangan Kristen yang
kecenderungan konservatif tampil sekelompok kesil generasi muda
terpelajar dengan wawasan yang baru. Mereka merupakan hasil binan para mantan
anggota gerakan mahasiswa Kristen Belanda dalam wadah-wadah pemuda dan
mahasiswa Kristen. Perkembangan pembnaan ini berkaitan erat dengan gerakan
mahasiswa sedunia dan dengan derakan oikumene yang sama memberi perhatian pada
masalah-masalah sosial-politik dalam lingkup nasional dan internasional.
3.1 Indsche Oud-leden der
NCSV
3.1.1 Pembentukan
VIO-NCSV
Karena lembaga-lembaga pendidikan menengah dan tinggi masih terbatas di
kota-kota tertentu di Pulau jawa, maka pemuda-pemuda Indonesia datang dari
daerah-daerah luar Jawa untuk menempuh pendidikan lanjutan lanjutan di Batavia,
Bandung, Bogor (Buitenzorg), Yogyakarta, Solo atau Surabaya. Demikian juga
pemuda-pemuda beragama Kristen dari Maluku, Minahasa dan Tanah batak
berdatangan ke Jawa untuk melanjutkan pendidikan. Di rantau mereka menghadapi
berbagai tantangan, juga secara rohani. Mereka terputus dari wadah persekutuan
rohani yagn menuntun hidup mereka sebellumnya. Di tempat yang baru mereka
berada dalam lingkungan yang asing serta sering tidak memperhubungkan diri
dengan persekutuan Kristen setempat. Mereka berhadapan dengan penganut
agama-agama lain , berkenalan dengan gagasan-gagasan ideologi yang belum mereka
kenal dan masuk dalam pola-pola hidup yang asing. Selain itu, ada kesulitan
keuangan, pemondokan dan sebagainya. Sudah sejak tahun 1912 dipikirkan oleh
pemuka-pemuka gereja di Belanda dan di Indonesia suatu usaha untuk melayani
para pelajar di perantauan itumelalui pengadaan asrama-asrama pelajar-mahasiswa
Kristen (Christeljke internaten). Maka dibentuk suatu panitia bernama Comité
voor de Huisvesting van de Studeerende Inlanders, yang dalam dua tahun
mengumpulkan sekitar 30 ribu gulden. Pada tahun 1916 sejumlah 20-an siswa di
Batavia dan di Surabaya dapat dibantu oleh panitia ini. Juga di Sukabumi
ddirikan sebuah asrama, tetapi hanya berjalan beberapa tahun karena tidak ada
yang dapat memimpin asrama dengan baik.
Dr. G. Roijer, salah seorang mantan anggota Perhimpunan mahasiswa Kristen
Belanda (Nederlandsch Christen Studentenveteeniging, NCSV), mengirim surat
edaran kepada rekan-rekannya sesam mantan anggorta NCSV supaya dikirim tenaga
khusus dari Belanda untuk bekerja di kalangan pemuda-mahasiswa menuju
pembentukan perhimpunan mahasiswa Kristen. Gagasan itu mendapat sambutan
yang positif dengan pertama-tama menghimpun sesama mantan anggota NCSV yang
berada di Indonesia dalam suatu wadah pertemuan. Pada tanggal 17 Pebruari 1920
dibentuk Vereenigde Indische Oud-leden der nederlandsche Christen
Studentenvereeniging (=VIO-NCSV) dalam konferensi yang diselenggarkan
di Sukabumi pada tanggal 14-18 Pebruari 1920. Tujuannya adalah membetuk
persatuan mahasiswa Kristen Hindia, menjalin hubungan dengan pengurus NCSV di
Belanda dan mengurus kepentingan anggota dalam mendapatkan pekerjaan.
Dalam upaya mencapai tujuan-tujuannya VIO-NCSV menggalang persatuan dan
kesadaran antar para anggota dengan tentara lain menyelenggarakan konferensi
tahunan dan menerbitkan majalah bulananMededeelingen van de Vereenigde
Indische Oud-leden der Nederlandsche Christen Studentenvereeniging, sejak
bulan Maret tahun 1920. Mereka juga menghimpun dana untuk membiayai pelayanan
di kalnagan pemuda dan mahasiswa C.P. Cohen Stuart menunjuk pada Auxiliary
Movement di kalangan persatuan mantan anggota gerkan mahasiswa Kristen
di Inggis sebagai model bagi kegiatan VIO-NCSV:
Perlahan-lahan kami kini memperoleh juga suatu gambaran yang lebih benar
mengenai ke arah mana kami harus menuju, dengan mencontoh “Auxiliary Movement”
di Inggeris dan di tempat-tempat lain yang sudah jauh lebih maju dari kami. […]
ysng membuang smaa sekali sifat eksklusifnya dan “berusaha membawa orang ke
dalam kelompok-kelompok persekutuan tanpa sesuatu pembatasan atau kekhususan,
untuk mencari kerajaan Allah”; dan mereka menghidupkan kelompok-kelompokk itu
dengan “semangat idealisme dan iman Kristen yang tak kenal kompromi, semangat
kerinduan yang menyala-menyala akan suatu gereja yang dipersatukan dan akan
suatu tatanan politik Kristen”.1
Pada kunjungannya ke Indonesia bersama John R. Mott pada tahun 1926,
Sekretaris Jenderal NCSV, H.C. Rutgers, dapat menilai bahwa VIO-NCSV bukan
sekedar sebagai suatu wadah nostalgia para mantan anggota NCSV, melainkan hidup
dan kerja mereka dalam masyarakat tidak lain daripada suatu kelanjutan langsung
dari gagasan-gagasan yang telah diperkembangkan dalam NCSV.
3.1.2 Orientasi
Nasioanlistis VIO-NCSV
Ceramah-ceramah pada konferensi pembentukan VIO-NCSV memberi tekanan p[ada
usaha menjalin hubungan dengan berbagai kelompok penduduk Indonesia. C.P. Cohen
Stuaart menyajikan pokok “Contact met Hollandsch-sperekende inlanders” (Kontak
dengan penduduk pribumi yang berbahasa Belanda) berdasarkan pengalamannya
dengan isterinya memberi kursus tentang partai-partai politik di Negeri Belanda
kepada para siswa sekolah pertanian dan peternakan di Bogor. Diantara
dalil-dalil yang diajukannya Cohen Stuart mengemukakan bahwa kegiatan politik
kalangan terpelajar Indonesia tidak terelakkan, bahwa rakyat Hindia harus
merdeka, dan bahwa kita perlu membangunkan para pemimpinnya pada pemahaman dan
perwujudan politik itu, mengarahkan mereka pad asikap kedewasaan rohani,
kesadaran sosialisme, idealisme, gairah hidup dan kesederhanaan, serta
mengakarkan mereka dalam kenyataan zaman dan situasi mereka; bahwa metode
induktif lebih tepat untuk pengenala pandangan hidup Kristen, dan bahwa para
pemimpin perlu menganut ortodoksi Kristen; bahwa perlu disediakan asrama
mahasiswa; perlu mendidik mereka untuk tidak bersikap polemis terhadap Islam;
perlu menjalin hubungan dengan federasi mahasiswa sedunia; dan bahwa perlu
didirikan suatu Indische Hoogeschool dengan fakultas teologi umum; serta
penting menjelaskan kepada mereka hubungan antara revolusi dan iman.2
Selanjutnya, D. Crommelin dalam ceramahnya yang berjudul “Contact me
eigen taal sprekende Inlanders” (Kontak dengan penduduk pribumi yang
memakai bahasanya sendiri) mengemukakan adanya tiga sudut pandang dalam menilai
hubungan Eropa dengan pribumi, yakni:
(1) memandang orang Barat sebagai yang baik sedangkan sifat-sifat buruk
orang Timur ditonjolkan; (2) bahwa pribumi dengan orang Eropa sebenarnya sama
dan karena itu seorang pribumi dapat dan harus diperlakukan seperti orang
Eropa, tetapi dalam kenyataannya selalu timbul salah pengertian; dan (3) orang
Eropa dan pribumi setara tetapi berbeda orientasi, sebagaimana ada kutub
positif dan kutub negatf dalam fisika.
Jelas kedua sudut pandang pertama tidak dapat membuka hubungan yang baik,
maka kesadaran pada perbedaan adanya orientasi mengisyaratkan perlunya
mengikuti prinsip Paulus: bagi orang pribumi menjadi seperti seorang pribumi
sehingga kita dapat memahami mereka.3 Sangat
penting di sini adalah bahasa sebagai pengungkapan jiwa suatu bangsa
(volksziel). Maka bukan hanya pribumi yang perlu belajar bahasa Belanda untuk
mendekatkan mereka kepada orang Eropa, melainkan juga sebaliknya orang Eropa
perlu belajar bahasa pribumi supaya dapat memahami perbedaan-perbedaan yang ada
dan menghormati mereka. Injil dapat menjadi jelas dalam sikap penghargaan
terhadap pribumi.4
Pada konferensi VIO-NCSV ketiga , yang dilangsungkan di Bandung pada
tanggal 1-4 Juni 1923 , B.M. Schuurman (1889-1942)5 membahas
sikap terhadap pergerakan nasional dalam makalah yang berjudul “Onze houding
tegenover de Indlandsche Beweging” (Hubungan kita terhadap Pergerakan
Pribumi). Ia mulai enggan mengutip hasil konferensi VIO-NCSV kedua di Solo yang
menyimpulkan sikap Kristen terhadap pergerkan nasional Indonesia:
(1) Bahwa sebagai orang Kristen di Hindia kita berkewajiban memperoleh
pengertian yang jelas tentang perjuangan nasinalistis dan politik dunia pribumi
dan berusaha mengambil sikap yang jelas terhadapnya; (2) Bahwa dunia pribumi
berhak untuk disambut secara bersungguh-sugguh dalam keinginan-keinginan
politik dan berhak untuk mengetahui apa sikap kita di dalamnya.6
Schuurman memahami pergerakan pribumi bukan semata-mata sebagai pergerakan
politik, melainkan berkaitan dengan pengungkapan jati diri yang mewujud dalam
suasana kolonial. Dia juga menunjuk pada perkembangan dalam gereja di Mojowarno
menuju kemandirian (1923) sebagai wujud gerejawi dari pergerakan nasional. Dia
menilai perkembangan pergerakan pada awal tahun 20-an dalam kalangan Islam
(SI), PEB (Politiek Economische Bond) dan Komunis sebagai pengungkapan
pertarungan politik yang berskala internasional antara kekuatan kapitalisme
Barat dengan fanatisme Islam. Jadi sikap Kristen tidak ditentukan oleh
kenyataan permukaannya melainkan oleh pengertian yang jelas terhadap hakikat
pergerakan nasional sebagai kesadaran memperjuangkan masa depan suatu bangsa.
Schuurman menangkap hakikat pergerakan nasional Indonesia dalam
definisinya:
Pergerakan pribumi adalah dorongan hidup yang mendasar, yang perlahan-lahan
bangkit dari kedalaman ketidaksadaran rakjat, yang diperkuat oleh kesadaran
hukum yang sedang bertumbuh, kepada kehidupan suatu bangsa yang kuat, penuh,
sarat tindakan dan yang menciptakan masa depan yang indah.7
Definisi ini mengugkapkan nasioalisme sebagai suatu keniscayaan yang alami
dan tak tergoyahkan; kemunculannya lambat dan tidak terencana, tetapi didukung
oleh kesadaran hukum (hak asasi manusia) dan terarah pada suatu cita-cita
nasional. Dengan kata lain, pergerakan nasional Indonesia adalah suatu
kenyataan yang tidak bisa dihindari dan sudah jelas arahnya, tetapi dapat
diberi bentuk atau saluran-saluran yang tepat. Schuurman menyadari bahwa
cita-cita nasioanl dalam pergerakan pribum itu tidak dapt diabaikan dan terarah
pada suatu kemandirian politik dengan mengeyahkan kekuasaan Belanda. Dalam pada
itu perhadapan kedua belah pihak menyangkut pula perjuangan Islam untuk lepas
dari cengkeraman Barat. Jika Islam tampil dalam sejarah pergerakan nasional
sebagai pembebas dari Timur maka akan terus mempertajam pertentangan Timur dan
Barat. Dan bersamanya kekristenan dan Zending akan seakan-akan memperjuangkan
suatu cita-cita yang gagal atau mengemban suatu kewajiban yang dasarnya lemah.
Bertolak dari pemahaman itu dia menempatkan Zending dalam kerangka sejarah
pergerakan nasional Indonesia dengan peran yang bermakna. Menurut Schuurman,
masih kurang disadari bahwa kendala besar usaha penginjilan adalah karena
kekristenan diwakili dan dibawa oleh golongan (ras) penjajah. Maka, hanya kalau
kekristenan terlibat dalam pemandirian dan pembebasan ras terjajah komunikasi
iman dapat terjalin, dan ini sangat menentukan.8 Dalam
keyakinan itu Schuurman melihat bahwa pergerakan nasional bukan hanya suatu
jalan kemajuan bagi kekristenan bagi rakyat pribumi: sejarah Hindia, yang
dibuka pintunya oleh pergerakan nasional bukan hanya suatu jalan kemajuan bagi
kekristenan. Dengan kata lain, menjadi kesempatan bagi agama Kristen untuk
turut mendukungdan mengarahkan “dorongan hidup yang mendasar” bagi tercapainya
cita-cita nasionalisme Indonesia. Dan dengan itu agama Kristen membuktikan diri
sebagai bukan bagian dari dominasi Barat atas dunia Timur.
Selain kewajiban terhadap Hindia secara keseluruhan itu, Schuurman menunjuk
panggilan secara khusus bagi kelompok-kelompok besar dan kecil orang Kristen
pribumi yang tersebar di berbagai bagian Hindia, yang pada umumny amasih terhu
bug dengan orang-orang Belanda Kristen. Dan karena hubungan masih baik,
Schuurman menganjurkan supaya dijaga agar pergerakan nasional tidak tersisih
dari jemaat-jemaat Kristen. Kewajiban Zending dan orang-orang Kristen Eropah
untuk memelihara hubungan baik itu, walupun itu harus berkorban.9 Dengan
menunjuk pada masyarakat Jawa dimana ia bekerja, Schuurman mengemukakan juga
adanya stuktur yang menindas dalam sistem kemasyarakatan pribumi. Sebab itu
pergerakan nasional harus pula merupakan pembebasan dari kenyataan itu, di
samping dari penjajah Belanda. Pada akhirnya Schuurman menekankan keniscayaan
keterjalinan yang rohani dengan yang alami – manusiawi dalam sejarah, yakni
untukkalangan Kristen pentingnya keterikatan pada Injil untukkemerdekaan
politik.
Schuurman menutup ceramahnya dengan suatu seruan bagi orang Kristen di
Hindia, khususnya kalangan Zending untuk berkorban bagi kemajuan pergerakan
nasinal demi pertumbuhan kekristenan dalam kehidupan pribumi.10 Dia
menyimpulkan ceramahnya dengan menegaskan pemihakan pada pergerakan nasional
Indonesia:
Sikap kita terhadap pergerakan nasional? Bukan suatu sikap terhadap,
melainkan bersiakap didalamnya. Baiklah saya menyebut kata yang tepat,
bukan dalam arti tragisnya melainkan artiny yang sungguh kegembiraan:
pengorbanan.11
Diskusi setelah presentasi itu memperlihatkan pandangan yang berbeda
terhadap pergerakan nasioanla dari beberapa hadirin yang adalah tokoh-tokohnya
CEP. Ds. Breijer menyatakan bahwa pemuka-pemuka pribumi tidak dapat dipercaya
sebagaiman nyata dalam aksi-aksi pemogokan dan, dengan menunjuk pada perbedaan
pandangan nasionalis suku-suku yang berbeda, dia menekankan masih sangat
oerlunya perwalian. Ds. H.A. van Andel menuduh NCSV takut politik
(politiek-schuw) dan mengajak VIO-NCSV bergabung dengan CEPO. Tetapi Svhuurman
menyatakan CEP te veel een Hollandsche bewegign, te weining
georiënteerd aan de belangen van het iIndsch natonalisme (terlalu
bersifat pergerakan orang Belanda, kurang diarahkan pada kepentingan
nasionalisme Hindia). Reaksi CEP terhadap ceramah Ds. Schuurman
dilanjutkan kemudian dalam suatu karangan khusus oleh C.C. van Helsdingen,
sekretaris pengurus CEP (kelak lama menjadi ketuanya), berjudul “Nogmaals: Onze
houding togenover de Inlandsche Beweging” (Sekali lagi: Sikap kita terhadap Pergerakan
Pribumi) menyanggah atau mempertanyakan beberapa hal. Dalam salah sastu point
Van Helsdingen menyatakan persetujuannya terhadap gagasan kemerdekaan Hindia,
tetapi yakn bahwa belum tiba waktunya:
[…] dan inilah keyakinan dasar saya: bahwa Belanda, terlebih orang-orang
Krsten, melakukan kejahatan kepada negeri ini, jika kita kini sedia
memberikan kemerdekaan itu kepada hindia.
Kemudian dengan panjang lebar Van Helsdingen menguraikan mengenai CEP,
khususnya untuk menentang pernyataan Ds. Schuurman bahwa CEP tidak mendukung
kepentingan pergerakan nasioal. Akhirnya dia mengajak warga VIO-NCSV mendukung
CEP.13
Perhatian VIO-NCSV terhadap pergerakan nasional terus berlanjut ketika
pergerakan memasuki puncak radikalnya di bawah pengaruh PNI. Perhatian itu
jelas sangat perlu untuk memahami kenyataan yang menentukan masa depan para
pemuda Kristen Pribumi yang berada dalam binaan VIO-NCSV. Munculnya tokoh-tokoh
muda Kristen berwawasan nasionalis dari kalangan CSV merupakan salah satu hasil
dari pendekatan VIO-NCSV itu. Salah seorang tokoh VIO-NCSV , J.MJ. Schepper
(1888-1967), yang adalah guru besar Sekolah Tinggi Hukum di Jakarta,menulis
suatu brosur sebagai reaksi terhadap vonis Landraad (pengadialn negeri) Bandung
terhadap Sukarno dan kawan-kawannya, para pemuka PNI.14 Selain
Schuurman dan Schepper, tokoh-tokoh pembina dalam pelayanan pemuda seperti
Hendrik Kraemer, dan terutama C.L. van Doorn secara sadar dan terencana
mengarahkan para pemuda dan mahasiswa Kristen pada nasionalisme
Indonesia.
Dalam rangka perhatian terhadap pergerakan nasional itu maka Konferensi
VIO-NCSV kedelapan, tanggal 2-4 Agutus 1929, yang dihadiri sejumlah pemuka
Kristen Indonesia, membahas khusus pokok orang-orang Kristen pribumi dan
pergerakan pergerakan nasional (“De Inlandsche Christenen en de
nationalistische bewegingen”), dengan pembicara Dr. G.S.S.J. Ratu Langie
(menggantikan Dr. T.S.g. Moelia yang berhalangan). Pada kesempatan itu Ratu
Langie, yang adalah anggota Volksraad mewakili Persatoen
Minahassa, menyatakan penolakannyya membentuk suatu kelompok Kristen dalam
pergerakan politik, karena hanya akan menimbulkan reraksi negatif dari kalangan
penganut agama lain dan karena perlu pula diperhitungkan perbedaan-perbedaan
aliran dalam kalangan Kristen sendiri. Agama Kristen tidak perlu dijadikan
basis dalam politik pergerakan. Pada pandangannya, lebih baik memikirkan
konsolidasi pada pusat-pusat wilayah masing-masing dimana organisasi
kemasyarakatan (kesukuan) diperkuat.15
3.1.3 Dimensi Oikumenis VIO-NCSV
Selain kenyataan pergerakan nasional Indonesia, VIO-NCSV juga memberi
perhatian pada perkembangan gerakan mahasiswa Kristen sedunia, khususnya di
Asia, sebagai acuan penting dalam pembinaan pemuda dan mahasiswa Kristen di
Indonesia. Dalam hal ini pentinglah peranan WSCF (World’s Student Christian
Federation). M. Cohen Stuart-Franken memperkenalkan WSCF dalam suatu artikel
“De Federatie van Christen-Studenten”.16 WSCF
didirikan pada tahun 1895 di Vadstena (Swedia) oleh wakil-wakil organisasi
gerakan mahasiswa kristen (SCM, Student’s Christian Movement) dari Amerika
Utara dan Kanada, Inggris, Jerman, Skandinavia dan dari daerah-daerah pekabaran
Injil. Dibalik pembentukan ini berperan tokoh-tokoh mahasiswa: J. Reynolds,
dari Universitas Yale, yang mempelopori pembentukan SCM di kampus-kampus
universitas di Eropa dan L.D. Wishard, sekretaris SCM Amerika Utara, di
berbagai tempat di Asia, serta John R. Mott yang memelopori pembentukan
federasi sedunia organisasi-organisasi mahasisw itu. Pada tahun 1922 anggota
WSCF sudah berjumlah 260.184 mahasiswa (pada tahun 1895 baru 35ahasiswa).
Tujuan WSCF adalah mempersatukan dan mempererat hubungan antar gerakan
mahasiswa sedunia; menghimpun dan menyebarkan informasi mengenai kenyataan
hidup para mahasiswa di seluruh dunia dan mengenai agama-agama. Selain itu WSCF
secara khusus berusaha untuk menuntun mahasiswa iman Kristen, memperdalam
kerohanian mahasisw melalui penelaahan Alkitab, mendorong para mahasiswa untuk
berbakti bagi kelebaran Kerajaan Allah, untuk saling memahami dan mnghargai,
dan memperkembangkan kesehatan jasmani, rohani dan moral sesuai tujuan
kekristenan. Manfaat perkujungan-perkunjungan para sekretaris sangat besar
dalam pewujudan cita-cita WSCF.
M. Cohen Stuart-Fraken menekankan secara khusus segi keesaan dalam WSCF
dimana kesatuan dalam Kristus secara praktis diwujudkan mliputi semua
denominasi Kristen (termasuk Roma katolik dan Ortodoks); ciri nasional dimana
SCM harus menjaga karakter nasional yang murni dan kuat dan perhatian yang
mendalam pada masalah-masalah internasional dan ras. Hal yang sama ditunjukan
Kraemer dalam karangannya menyambut kedatangan Mott ke Indonesia. Kraemer
menyebutkan tiga ciri penting WSCF yang diperkembangkan Mott:
(1) suatu federasi (bukan serikat yang sentralis) dari gerakan-gerakan
nasional yamg mandiri, yagn organisasi dan arahnya seluruhnya dipimpin dengan
semangat yang seirama denga sejarah dan karakter bangsanya; (2) sifat interkonfesional
federasi itu, sehingga menjadi ajang perjuangan mwujudkan kesatuan di atas
kepelbagaian; dan (3) dalam setiap upayanya Federasi memberi perhatian pada
seluruh dunia.17
Sifat interkonfesional khususnya, menurut Kraemer, sangat bermakna dalam
menjadikan WSCF suatu alat penting dalam memperkuat dan memperkaya dunia
kemahasiswaan dan Gereja Kristen dalam kepelbagaiannya, dan menjadi wujud
konkret katolisitas Gereja.18
Walaupun WSCF tidak berpolitik praktis, tetapi melalui engkajian dan
melalui kegiatan para mantan anggotanya sumbangan WSCF di bidang itu, khususnya
di negara-negara Asia (Cina, Jepang, India, Filipina, Korea) cukup nyata.
Kegiatan-kegiatan WSCF a.l. yaitu melayani para mahasiswa asing, yaitu yang
menuntut ilmu di luar negeri, menyelenggarakan Hari Doa (Prayer Day) dan
Minggu Persaudaraan Mahasiswa Sedunia (World Student Friendship Week)
serta Hari Federasi (Federation Day). Penelaahan Alkitab dan doa merupakandasa
utama dalam pembentukan sikap moral dan kerohanian para anggota SCM. Disamping
itu WSCF juga mempunyai kelompok-kelompok studi mengenai pekabaran Injil, yang
antara lain membuahkan Student Volunteers Movement for Foreign Missions (gerakan
relawan mahasiswa untuk pekabaran Injil). Sesudah perang Dunia I WSCF
mengembangkan gagasannya tentang new social order(tatanan
masyarakat baru) melalui kesaksian yang bersemangat bahwa Injil juga harus
dipraktekkan dalam kehidupan msyarakat dan khususnya pada sistem industri, dan
bahwa hanya dengan mengikuti semangat Kristus mengasihi sesama maka berbagai
kendala sosial masa kini dapat diatasi. Di beberapa tempat para mahasiswa
menunjukan solidaritas dan pelayanan konkret kepada kaum buruh dan
memperjuangkan hak-hak narapidana. Ruth Rouse, aktivis dan sejarawati gerakan
oikumene, mengungkapkan peran WSCF dalam gerakan oikumene:
Inilah gerakan yang ditakdirkan menghasilkan jumlah terbesar pemimpin
gerakan oikumene modern, laki-laki dan perempuan, yang kelak akan melahirkan
perkembangan-perkembangannya yang palilng khas – gerakan-gerakan Dewan
Pekabaran Injil Sedunia, Iman dan Tata Gereja, dan Hidup dan Karya.19
WSCF juga memberi perhatian pada para pelajar sekolah menengah dengan
menyelenggarakan kegiatan khusus dengan mereka, misalnya camping bersama. Ada
beberapa SCM yang mempunyai bagian pelajar dengan sekretaris khusus untuk
itu.
Salah satu perkembangan penting di kalangan mahasiswa Kristen Asia adalah
Konfrensi WSCF ke-11 di Tsinghua Colege, dekat Peking, pada bulan April 1922,
yang dihadiri 127 utusan dari 34 negara (selain Cina sendiri yang diwakili 800
orang). Konferensi ini sungguh-sungguh bersifat internasional dengan peserta
Asia yang menonjoll, dan dengan tema dari falsafah Confusian Cina “Under
Heaven One Family” konferensi membahas berbaga masalah internasional. Aline
pertama resolusi konferensi, yang keseluruhannya diwarnai semangat persaudaraan
antar bangsa-bangsa sedunia itu, berbunyi:
Kami, wakil-wakil mahasiswa Kristen dari semua bagian dunia, percaya pada
kesamaan hakiki semua ras dan bangsa, dan menganggap sebagai bagian dari
panggilan Kristen kami untuk mewujudkan kenyataan itu dalam semua hubungan
kami.20
Konferensi memilih John R. Mott (Amerika Serikat) sebagai Ketua, didampingi
Dr. H.C. Rutgers (Belanda) sebagai Bendahara, Maya Das (India-Inggris) dan T.
Tatlow (Inggris) sebagai Wakil Ketua serta T.Z. Koo (Cina), sebagai orang Asi
pertama yang menjadi salah seorang Sekretaris keliling. Perkunjungan
tokoh-tokoh WSCF, khususnya Mott dan Rutgers pada tahun 1926, dan kemudian juga
Koo (1930) ke Indonesia, serta penyelenggaraan Konferensi Asia dan Australia
WSCF di Indonesia (1933) menentukan perkembangan baru kebangkitan pemuda dan
mahasiswa Kristen Indonesia.
Beberapa bulan kemudian, pasangan suami isteri van Doorn Snijders, mencatat
dampak Konferensi Peking di berbagai bagian dunia. Pengamatan mereka,
berdasarkan pemberitaan majalah-majalah Kristen, menunjukan kuatnya pengaruh Konferensi
Peking di kalangan mahasiswa Kristen, khususnya mengenai perbaikan hubungan
internasional.21 Salah
satu laporan dari India (ketika itu masih jajahan Inggris) menyatakan kesadaran
bersama kalangan Kristen dari berbagai latar belakang terhadap seriusnya pasang
naik perlawanan kulit berwarna melawan kulit putih, dan sadar bahwa harus
berbuat sesuatu untuk memperbaiki kenyataan itu. Para mahasiswa Kristen dari
berbagai negara bagian di Amerika Serikat yang menyelenggarakan suatu
konferensi yang antara lain menghimbau dewan mahasiswa nasional:
Yakin bahwa para mahasiswa mempunyai suatu tanggung jawab nyata untuk
menghadapi masalah-masalah pada zaman mereka, dan bahwa mereka harus menolong
membentuk suatu gagasan bagi hubungan-hubungan dunia, kami merekomendasikan
kepada Gerakan-gerakan Mahasiswa Kristen Amerika Serikat untuk memusatkan seluruh
kegiatan mereka di tahun-tahun mendatang pada suatu penelitian yang jujur dan
berani, dalam terang ajaran dan semangat Yesus: (1) mengenai keseluruhan
permasalahan peperangan dalam dimensi-dimensi militer, rasial, industrial dan
komersialnya; dan (2) mengenai usul-usul konstruktif untuk mewujjudkan dunia
yang adil-damai.22
Konferensi lainnya juga di Amerika Serikat, diselenggarakan oleh para
mahasiswa Asia (Jepang, Cina, Korea, Filipina, India) di Amerika mengenai
“Christian Fellowship and International Problems”. Pokok itu mulai dibahas
dengan kesepakatan menjawab positif pertanyaan : Apakah kesetiaan kepada
Kristus pernah akan mengharuskan kita untuk menentang politik dalam dan luar
negeri masing-masing pemerintah kita? Di Eropa para pemuka gerakan mahasiswa
dari beberapa negara menyelenggarkan konferensi mengenai European
Student Reliefwork. Salah seorang wakil dari Perancis menyatakan:
Tembok-tembok terentang antara bangsa-bangsa yang berbeda. Tetapi di balik
itu saya sekarang melihat lagi para pemuda yang menghendaki perdamaian dan
persahabatan. Para orang tua sudah gagal. Mereka tidak dapat mengembalikan
perdamaian, biarlah kita pemuda-pemuda mengusahakannya, berani melakukannya.23
Pada bagian akhir suami isteri van Doorn Snijders memperhubungakan gerakan
itu dengan kenyataan hubungan kolonial di Indonesia. Mereka menghhimbau adanya
suatu dialog antara Belanda dan Hindia dalam suatu open forum, di
mana masalah-masalah dan kesulitan-kesulitan bangsa-bangsa lain. Usul itu
secara praktis diuraikan atas empat pokok:
(1) supaya kalangan pekabar Injil dapat menjadi penghubung antara Zending
dan gereja pribumi di negeri ini, dengan menjalin hubungan erat dengan ketua
masing-masing lembaga; (2) supaya pendeta-pendeta kita mencari ikatan dengan
rekan sejabatan dari Timur (India) yang dengannya mungkin suatu pandangan yang
lebih mendalam tentang kedudukan Indische Kerk dapat
diperoleh; (3) supaya VIO mengusahakan membawa para mantan anggota organsasi
gerakan mahasiswa lain ke dalam lingkungannya; (4) supaya inti-inti kecil bagi
suatu persatuan mahasiswa Kristen di Hindia dipersentuhkan dengan kehidupan
federasi.24
Jadi, VIO-NCSF sebagaimana NCSF sendiri menempatkan dirinya dalam kerangka
pergerakan mahasiswa sedunia, dan dengan itu memperhubungkan mahasiswa Kristen
Indonesia dalam arus penting pergerakan oikumene.
3.1.3 Kunjungan Mott dan
Rutgers (1926)
Mata oikumenis pembinaan pemuda dan mahasiswa Kristen Indonesia tersebut
dikonkretkan oleh dua peristiwa penting: perkunjungan Dr. John Mott (Ketua
WSCF) dan Dr. H. Rutgers (Bendahara WSCF, Sekretaris NCSF) ke Indonesia pada
tahun 1926, dan konferensi Asia dan Australia WSCF di Citeureup pada tahun
1933.
Perkunjungan kedua tokoh Federasi Mahasiswa Kristen Sedunia itu berlangsung
tanggal 20 Januari s/d 4 Maret 1926 dalam kaitan dengan WSCF dan juga dengan
Zending (John Mott ketua IMC, International Missionary Council).25 Dalam
suatu karangan menyambut rencana perkunjungan itu van Doorn mencatat tiga
bidang pengaruh Mott: Zending dan gereja, pelayanaan pemuda, dan pelayanan
sosial. Di bidang Zending dan gereja diharapkan terjadi pendewasaan
kepemimpinan dan organisasi Kristen pribumi sebagaimana sudah nyata di Jepang
dan di Cina. Di bidang pelayanan pemuda, perkunjungan itu dikatkan dengan
penyelenggaraan Konferensi Pemuda Kristen di Bandung. Konferensi itu diharapkan
akan membahas pokok-pokok:
a) Posisi pemuda Kristen dalam pergerakan pribum, b) upaya-upaya membentuk
pemimpin pemuda (antara lain dengan penerbitan Leidersblad),
c) makna kerjasama, dan d) organisasi dan pembiayaan organisasi pemuda (Jeugdbond).26
Harapan-harapan khusus dari perkunjungan itu bagi pelayanan pemuda adalah
memperdalam pelayanan pemuda di Batavia, adanya kesatuan langkah dalam urusan
asrama dan pelayanan pemuda dan ditemukannya pola-pola pembinaan para kader
pemuda (jeugdleiders). Pada bidang yang ketiga, pelayanan sosial (maatschappelijke
arbeid), menjadi nyata di Batavia sebagai pusat pemerintahan dan pusat
pendidikan, dan di Surabaya yang berkembang sebagai bandar perdagangan.
Pokok-pokok pembicaraan Mott dalam pertemuan dengan kalangan pemuda dan
mahasiswa pada berbagai kesempatan di kota-kota di pulau Jawa meliputi
soal-soal budi pekerti Kristen dan pembinaan rohani serta makna kekristenan di
Asia.
Keseluruhannya ceramahnya menekankan penghayatan Injil dalam kehidupan
sehari-hari. Hasil-hasil nyata dari perkunjungan itu adalah dorongan ke arah
kesatuan dalam pekerjaan Zending di berbagai bidang. Khusus di bidang pelayanan
pemuda dan mahasiswa, dampak utama kunjungan Mott adalah timbulnya keinsyafan
yang lebih mendalam akan hakikat bidang pelayanan itu. Kalangan Zending,
guru-guru dan pendeta mulai memberi perhatian yang lebih serius, dan terdapat
peningkatan jumlah kegiatan pemuda dan mahasiswa di pulau Jawa, Tanah Batak dan
Minahasa. Perkembangan lainnya adalah jenis pelayanan baru, yakni pembentukan
suatu cabang YMCA, yang merupakan terobosan di mana orang Eropa dan orang Cina
asma dilayani kebutuhannya yang berbeda. Melihat seluruh perkembangan itu,
diusulkan dua langkah menuju kemantaban pelayanan pemuda, yakni memperhubungkan
kelompok-kelompok pemuda dan para pemimpinnya dengan WSCF:
Kita harus membuat saluran yang melaluinya semangat WSCF mengalir ke dalam
masyarakat ini. Dengan kesatuan pelayanan pemuda dapat ditingkatkan dengan
sebaik-baiknya.27
Langkah kedua adalah mengarahkan suatu kelompok kader inti yang matang
untuk menjadi pemimpin-pemimpin pribumi. Dengan langkah-langkah ini dapat
dicapai suatu kegiatan kekeluargaan yang kuat di seluruh Hindia.
3.2 Pemuda dan Mahasiswa
Kristen
3.2.1 Kebon Sirih 44: Dr. Van
Doorn
Bagaimanakah kenyataan pelayanan pemuda selama itu? Konferesi VIO-NCSF yang
kedua di Cigombong pada tahun 1921 antara lain membicarakan kemungkinan
pembentukan suatu Indische Christen Studenten Vereeniging (ICSV)
dan penjagaan hubungan dengan anggota-anggota VCSB (Vrijzinnige Christen
Studenten Bond) di Indonesia. Mengenai pembentukan ICSV, ada rencana
pengurus NCSV mengutus seorang “Indischen Secretaris” untuk merintis
pelayann di kalangn pemuda dn mahasiswa. Sedangkan dengan VCSB dicapai
kesepakatan untuk saling membantu tetapi tidak untuk menjadi federasi.
Ancang-ancang mengenai tingkat pendidikan sasaran layanannya adalah poara
mahasiswa Technische Hoogeschool (THS) di Bandung (umumnya orang Eropa),28 kelas-kelas
tinggi kedua sekolah kedokteran (kebnyakan orangIndonesia) dan Rechtsschool
voor Inlanders. Tetapi pada akhir Juli tahun 1921 itu VIO-NCSV agak
dikejutkan oleh berita pembentukan Bandoengsche Christen Studenten Vereeniging
(BCSV). Yang dikembangkan dari Bijbelkring asuhan lima tokoh
Bandung: P.F. Binkhorst, J. Mijer, R.E. Ungerer, De Berghes dan A. Nobbe.
Walupun dianggap prematur (CSV cabang Bandung baru mantap pada tahun 1935),
pembentukan itu mendorong VIO-NCSV bekerja sama dengn prof. J. Clay membentuk
suatu organisasi mahasiswa di Batavia. Percakapan antara C.W. Nortier dan
J.M.J. Schepper dengan mahaguru tersebut membuahkan pembentukan suatu
persatuan mahasiswa dengan nama T.A.O. (Tot Algemeene Ontwikkeling),
yang ditandai dengan pertemuan-pertemuan pada tanggal 8 dan 9 Oktober
1921 di mana Prof. Clay berceramah mengenai “Vrijheid” dan Schepper tentang
“Wetenschap, wijsbegeerte en religie” dan W.J.L. Dake mengenai “De Wereld
Federatie van Christen Studenten”. BCSV dan TAO menjadi bendera
organisasi-organisasi mahasiswa Kristen di Indonesia.29
Keadaan pembinaan pemuda Kristen di Hindia, sebagaimana yang diungkapkan
dalam laporan M.A.J. Kelling pada tahun 1925, tidak begitu baik.30 Utusan
anggota komisi Belanda untuk pelayanan YMCA di Hindia itu menyatakan persekutun
pemuda Kristen di Hindia lesu dna mandek, karena dibentuk secara Eropa. Kelling
menganjurkan untuk mengadakan penyesuaian dalam arti keluar dari batasan sempit
organisasi pemuda Kristen dengan menyelenggarkan kegiatan-kegiatan yang menarik
mereka. Kelling menunjukan bahwa isi panggilan pelayanan pemuda adalah
pembinaan untuk mencegah pengaruh-pengaruh buruk ilmu pengetahuan dan teknologi
dari Barat, yaitu dengan melakukan pencerahan pribadi para pemuda pada
kehidupan yang berdasarkan Firman Allah. Dia mengusulkan supaya organisasi yang
menangani pelayanan pemuda merupakan perkumpulan untuk pembinaan, perluasan
wawasan dan keterampilan melalui penyelenggaraan perpustakaan dan penyediaan
bahan-bahan bacaan bermutu yang gratis atau murah, menyelenggarakan kursus-kkursus
(bahasa, teknik, dsb), melakukan kegiatan-kegiatan sosial, mengadakan suatu
pusat kegiatan pemuda (jeugdcentrum, clubhuis), serta mengatur kegiatan
liburan, misalnya kegiatan camping. Dan yang menurut Kelling sangat menentukan
adalah adanya seorang sekretaris YMCA untuk Hindia. Dalam hubungan itu, atas
permintaan VIO-NCSV, pengurus NCSV di Belanda mengutus pasangan Dr. C.L. van
Doorn dan isterinya untuk bekerja bagi pelayanan pemuda dan mahasiswa di
Indonesia. Van Doorn dan isteri mengabdikan hidup mereka bagi pelayanan pemuda
dan mahasiswa, sedemikian berungguh-sungguh sehingga dalam kalangannya jeugdwerk in
disebut sebagai het werk van de Van Doorns.
C.L. van Doorn (1896-1975), doktor di bidang kehutanan tropis. Isterinya
seorang aktivis NCSV. Van Doorn pertama kali ke Indonesia pada tahun 1920 dan
bekerja di Jawa Tengah membantu Dr. Boeke melakukan penelitian mengenai kredit
kepada rakyat desa. Thun 1922 dia pindah ke Bataviapada Centrale Kas
van het Volkscredietwezen (Pusat Perbendaharaan
Perkreditan Rakyat) dan juga bekerja dalam pelayanan pemuda dan mahasiswa
secara paruh waktu. Kemudian, atas biaya NCSV, van Doorn memberi perhatian
penuh pada jeugdwerk sementara isterinya menjadi guru. Pada
tahun 1936 mereka menjadi utusan Zending di Jawa Barat setelah setelah Dr. van
Doorn menempuh suatu pendidikan teologi pada Zendingsschool di Oegstgeest dan
ditempatkan pada tugas pekabaran Injil di Kampung Sawah sambil mengajar di
HTS.
Pelayanan pemuda menurut visi van Doorn berkatan erat dengan pekabaran
Injl, yakni pembinaan watak Kristiani bagi para remaj (12-17 tahun) menuju
terbentuknya suatu kelompok Kristen terpelajar bagi masa depan gereja setempat.
Dalam pembinaan remaja atau pemuda itu, van Doorn menekankan pentingnya
pembinaan watak dalam ketaatan kepada Kristus. Rupanya van Doorn menimba
inspirasi dari falsafah kegiatan kepanduan Bapak Pramuka dunia, Sir Robert
Baden Powell (1857-1941), bahwa latihan para remja untuk menemukan jalan di
padang dan di rimba adalah pula untuk “menemukan jalan kehidupan” (membina
watak). Dan karena itu van Doorn sangat mementingkan ketaatan dalam kebebasan,
yaitu ketaatan oleh dorongan pengertian yang diperoleh dari keteladanan
pembina, bukan oleh disiplin yang kaku atau oleh perintah.
Dalam rangka mempersiapkan diri untuk memenuhi harapan NCSV, pasangan ini
sempat meninjau kegiatan YMCA di Cina dalam perjalanan dari Eropa pada tahun
1922. Dalam kesan-kesannya vanDoorn melihat tiga segi penting dari YMCA di Cina
yang dapat diterapkan di Indonesia, yaitu pentingnya pelayanan pemuda dan
gerakan pemuda, perlunya mengorganisasikan mereka secara interkonfesional dan
berusaha memperlengkapi mereka untuk berkarya bagi Kerajaan Allah.31
Pekerjaan van Doorn dalam pelayanan pemuda dan mahasiswa dipayungi oleh dua
pihak, Seksi Pemuda NIZB dan Komisi Pemuda VIO-NCSV. Konferensi NIZB pada
tanggal 4-7 Juni 1923 membentuk Centraal Bureau voor Jeugdwerk dengan
tugas-tugas antara lain: menyebar luaskan semua penjelasan pada
pengurus-pengurus setempat mengenai pekerjaan dan mengenai alamat para lulusan
HIS dan HCS, memberi penyuluhan, menghimpun dan menyebarluaskan
pengalaman-pengalaman dalam pelayanan pemuda dan mengelola suatu majalah para
alumnus (oud-leerlingen-blad).
Karena perhatian VIO-NCSV terarah juga pada pelayanan pemuda yang belum
atau bukan mahasiswa, maka pada konferensinya yang ke-5 tahun 1924 di purworejo
VIO-NCSV membentuk suatu komisi pemuda yang beranggotakan Henry van Helsdingen,
Kraemer, Dake dan Bavink. Komisi ini mulai dengan menyewa sebuah pavilyun di
Vioslaan 25, Weltevreden, dimana diselenggarakan tiga kegiatan pokok:
persuratan dengan kelompok-kelomok pemuda, menyediakan dan menyebarkan
majalah-majalah dan melakukan kumpulan dan konferensi.
Laporan van Doorn mengenai pelayanan pemuda di seluruh Indonesia pada
parohan pertama tahun 1927 memperlihatkan bahwa pelayanan dan organisasi pemuda
masih terbatas pada kota-kota besar: Surabaya, Batavia, Solo, Yogya dan
Bandung, serta juga di Mojowarno. Kegiatan-kegiatan meliputi pelayanan pemudi (meisjeswerk),
pertemuan, penerbitan (antara lain Leidersblad), schoolarbeid,
asrama siswa, jongenskamp. Tantangan yang cukup alot dihadapi
adalah perbedaan ras, gereja dan tingkat pendidikan.32
Kemajuan pelayanan pemuda di Batavia sesudah kunjungan Mott dan Rutgers
adalah tersedianya duaclubhuis, masing-msing di Kwitang 10 (kegiatan
Komsi Pemuda NIZB) dan di Kebon Sirih 44 (oleh VIO-NCSV). Mula
Veereniging voor Christelijk Jeugdwerk, yang dipimpin De Groot dan van
Doorn, memperoleh tempat yang baru sebagai ganti Vioslaan 25, yakni di
Kwitang 10, yang dibuka pada atanggal 10 Oktober 1926. Di clubhuis ini
diselenggarkan kursus-kursus yang dihadiri ratusan pemuda.
Perkumpulan-perkumpulan yang bertemu secara teratur adalah: de Christen
Jongeliedenbond, de Bataviasche Kring van Studerenden dan sebuah
perkumpulan wanita. Di gedung itu pula disediakan sebuah perpustakaan. Ketika
gedung itu dianggap tidak lagi memadai bagi seluruh kegiatan, maka diusahakan
memperoleh tempat yang baru. Dengan dukungan finansial warga VIO-NCSV 9dalam
lima tahun berkembang dari delapan menjadi 170 orang anggota) melalui komisi
pelayanan pemudanya, dan dalam kerjasama dengan persatuan pelayanan pemuda
Batavia, diperoleh biaya bagi pembelian rumah dan paviliunnya di Kebun Sirih
44. Clubhuis Kebon Sirih 44 inilah yang dapat
dikatakan menjadi pusat pembinaa pemuda dan mahasiswa kristen Indonesia sebelum
Perang Dunia II.33 Kegiatan
di Clubhhuis dihadiri pemuda-pemuda Kristen Indonesia,
khususnya yang berasal dari Minahasa, Ambon, Jawa dan Batak. Sementara itu
Vereeniging van Christen Studenten di Batavia baru mencatat jumlah 18 anggota
dari para mahasiswa STOVIA, BS, RS, RHS. Kegiatan masih terbanyak di kalangan
para siswa Kweek- dan Normaalscholen dna dengan menggabungkan pelayanan
mahasiswa dengan pelayanan pemuda. Bijbelkring diasuh oleh van
Doorn, Schepper, dan seorang Jawa.34 Ceramah-ceramah
yang diadakan meliputi soal-soal kekristenan dan pengetahuan umum, khususnya
mengenai Indonesia. Selan kelompok studi siswa, terdapat pula persekutuan
gadis-gadis (Clubhuismeisjesvereeniging) dengan pengurusnya sendiri. Dan
diantara anggotanya terdapat pemudi-pemudi Jawa.
Pada tahun 1929 terbentuk organisasi tersendiri bagi pelayanan wanita (dan
pemudi) dalam kerjasama dengan pelayanan pemuda. Pelayanan wanita bermula dari
suatu hasil angket oleh Onderzoek-commissie voor Arbeid onder Vrouwen
en Meisjes pada tahun 1926-27 di kalangan para pelayan Injil yang
menunujukan bahwa di seluruh Hindia terdapat kebutuhan besar bagi tenaga-tenaga
penginjil wanita, sehingga pendidikan dan pembianan pemuda-pemudi harus
diselenggarakan. Dengan itu dicapai tujuan ganda: perluasan pendidikan umum
(yang menunjang upaya mempertinggi usia kawin) dan diperoleh tenaga-tenaga
sejawat sebgai guru-guru Taman Kanak-Kanak (Fröbelonderwijzeres) dan guru
pribadi anak-anak di rumah (huisonderwijzeres), perawat, pendidik dan pengatur
rumahtangga. Dari pertimbangan ini lahirlah de Vereeniging voor
Christelijke Jonge-Vrouwen-Scholen di Weltevreden. Kemudian dibentuk
deChristen Jonge Vrouwen Federatie in Indië pada bulan November
1929 dengan Zr. Gunning sebagai sekretarisnya (yang diutus untuk tugas itu oleh Federatie
van Christelijk Vereenigingen van en voor Meisjes in Nederland). Pada tahun
1933, setamatnya dari Sekolah Tinggi Hukum, Mr. A.L. Fransz menggabung dengan
Zr. Gunning dan Ny. Van Doorn dalam pelayanan wanita ini.35 Sebagaimana
pelayanan pemuda, pelayanan wanita Kristen Hindia ini berusaha menghidupkan
organisasi-organisasi wanita setempat untuk diperhubungkan menjadi suatu
“national YWCA”. Kegiatan-kegiatannya meliputi penyelenggaraan kelompok
Penelaahan Alkitab, camping, kerajinan, driehoekswerk (pengorganisasian wanita
dalam tripelayanan rumah tangga, gereja dan masyarakat) dan sebagainya. Sejak
tahun 1926 di wilayah zending Jawa Timur wanita Kristen secar teratur
menyelenggarakan konferensi tahunan. Pada tahun 1926 konferensinya membentuk
perhimpunan Wanita Roekoen Sentosa, dengan tujuan membentuk
persatuan semua organisasi wanita Kristen setempat, dan secara khusus membagi
informasi antar para pemimpinnya menyangkut kemajuan pelayanan wanita. Seorang
pengamat menyatakan bahwa salah satu kemajuan yang dicapai, adalah bahwa pada
konferensinya yang ke-5 sisa satu orang Eropa menjadi pembicara, selebihnya
semua wanita Jawa.
Jelas kegiatan jeugdwerk terbanyak di Batavia, tetapi van
Doorn ingin menggalang pelayanan yang lebih luas pada skala nasional.
Sekembalinya dari cuti di Negeri Belanda pada tahun 1930, van Doorn memusatkan
perhatiannya pada biro pusat untuk menjalin kontak antara organisasi-organisasi
pemuda Kristen, sedangkan tanggung jawab kegiatan clubhuis diserahkan
pada keluarga Haatjes.
Pelayanan pemuda dan mahasiswa di luar Batavia terdapat a.l. di Surabaya,
dimana terbentuk perkumpulan Jong-Indië di lingkungan siswa
sekolah kedokteran (NIAS). Dengan kegiatan berupa penyediaan perpustakaan
kecil, pertemuan berkala dan Bijbelkringen. Di sekat Mojowarno
terdapat tempat perkemahan dengan gubuk (pondok) bambu berdaya tampung kurang
lebih 300 orang, yang menjadi ajang kegiatan kelompok-kelompok pemuda Kristen
di Jawa Timur. Pentinglah peran C.W. Nortier dan B.M. Schuurman dalam pelayan
pemuda di Jawa Timur. Biro pemuda NIZB menerbitkan majalah pemudaOpgang di
Yogya. Di Bandung ada suatu perkumpulan pemuda bernama Dageraad (=fajar)
yang menerbitkan de Christelijke Jongelingsbode. Pelayanan pemuda
di Yogya dan di Solo diisi dengan kegiatan camping di luar
kota. Perhimpunan pemuda di Solo, de Algemeene Bond van Chrsiten
Jongelieden, terutama beranggotakan siswa Kweekshool dengan Saroinsong
sebagai ketuanya.36 Di
kalnagan organisasi pemuda di berbagai kota muenonjol jumlah siswa asal
Minahasa, Ambon dan Batak.37 Di
luar Jawa, terdapat pelayanan pemuda di Tanah Batak (di bawah asuhan Dr. E.
Verwiebe) dan di Minahasa.
Dalam ceramahnya pada Konferensi Pemuda Kristen tahun 1926 di Bandung yang
juga dihadiri Mott dan Rutgers, Hendrik Kraemer mencangankan “dwisila Bandung”
bagi pelayanan pemuda dan mahasiswa, yakni memperhubungkan secara sistematis
semua golongan pemuda Kristen tanpa pengecualian, dan mengupayakan pembentukan
suatu perhimpunan pemuda Kristen supaya sebagai orang Kristen dapat melayani
negeri dan bengasanya sendiri melalui suatu organisasi tersendiri. Dwisila
tersebut merupakan kistalisasi pemikiran kalangan kalangan pembina pemuda (van
Doorn dan VIO-NCSV, NIZB) sejak awal. Sila pertama mengikuti prinsip interconfessional gerakan
oikumene, sedangkan yang kedua adalah dukungan kepada pergerakan nasional.
Sesuai pendekatan kalangan VIO-NCSV, para pemuda diarahkan untuk memahami
pergerakan nasional secara kritis. W. Schmidt, salah seorang pembina pemuda
dari Solo, dalam suatu pembinaan guru-guru menyatakan pentingnya
memperhubungkan pelayanan pemud adengan masalah-masalah konkret yang mereka
hadapi dalam masyrakatnya, khususnya pergerakan nasional:
Barangsiapa ingin mempengaruhi massa, haruslah mengenal massa itu:
penderitaanya, kebutuhannya, prinsip-prinsip yang menguasai keberadaannya.
Barangsiapa ingin mempengaruhi pemuda, haruslah mengenal pemuda itu, haruslah
mengenal apa yang pemuda prihatinkan, menjadi pokok perhatiannya, yang
menggugahnya, yang mengilhaminya. Menguasai pengetahuan psikologi pemuda mutlak
ada! […] Nasionalisme mempuyai banyak pembela dan penganutnya yang antusias di
kalangan pemuda. Juga di kalangan pemuda Kristen. Karena itu kita harus
memperhatikannya dengan baik. Sangat perlu pelayanan pemuda memperhitungkan hal
itu. Kita harus berusaha memaham nasionalisme, juga jika kita sama sekali tidak
menyetujuinya. Nasionalisme itu seringkali merosot menjadi suatu naluri
nasionalistis, sehingga hanya mencari kemuliaan diri dan bangsa sendiridan
menghancurkan yang lain. Kita harus berusaha memperhadapkannya dengan supra
nasionalisme kekristenan.38
Mengenai konsolidasi oikumenis Schmidt mengajukan beberapa usul: a)
supaya di kota besar dibentuk suatu majelis pemuda (jeugdraad) yang
beranggotakan juga orang pribumi, b) di setiap sekolah ada komisi yang menjalin
kontak dengan orang tua dan para alumnus, c) ada gedung pertemuan (clubhuis)
d) pembentukan kelomok-kelompok olah raga, kesenian, dsb, e) menyelenggarakan
kursus yang gratis atau yang murah mengenai pokok yang dibutuhkan para pemuda,
f) ada acara-acara camping bersama, dan g) ada usaha-usaha pendekatan
pribadi.
Ideal seperti ini menjadi acuan dalam penyeleggaraan tahunan jeugdleidersconferentie (JLC)
di berbagai tempat sejak 1926, yang merupakan kerjasama antara Komisi Pemuda
NIZB dengan organisasi-organisasi pemuda. JLC pertama dilangsungkan di Chr.
Kweekschool Solo pada tahun 1926 dan baru merupakan orientasi awal dan
perkenalan antara para peserta. Salah satu dukungan bagi kegiatan ini adalah
penerbitan Leidersblad.39 Konferensi
kedua tahun 1927 di Padalarang juga dihadiri wakil-wakil pemuda dari berbagai
kota. Konferensi yang diketuai oleh J. Nababan dari Solo itu berhasil membentuk
suatu Komite Pusat bagi pelayanan pemuda, dengan tujuan mempersatukan pemuda
Kristen Indonesia bagi kemajuan Indonesia:
Conferentie pengandjoer2 anak-anak moeda di-Padalarang dihadiri 30
pemoeda-pemoeda Hindia Kristen, telah mendirikan soeatoe Comite pertengahan
(Centraal Comite) bagi Oesaha Kemoedaan. Maksoed dan golongan pekerdjaannja jaitoe:
1e. Beroesaha akan datang kepada peratoeran dan persatoean sedjati antara
perkoempoelan pemoeda di-Hindia. 2e. Tolong mengatoer soeatoe soerat chabar,
jang mendjadi pemimpin bagi perkoempoelan, sertapoen pembawa soeara doenia anak
dan pemoeda. 3e. Mengatoer sama-sama akan Jeugdleiders conferentie tiap-tiap
tahun. 4e. Mengoempoelkan dan menjiarkan pembatjaan kristen goena
perkoempoelan-perkoempoelan. […] Centraal Comite dan Bond van Christen Jongeren
bekerja sama-sama goena Oesaha kemoedaan Hindia. Kedoeanja satoe kerindoean.
Satoe maksoed. Jaitoe kemadjoean anak Hindia Kristen menoeroet roh dan tubuh,
olehnja kemadjoean Kristen Hindia, karenanja inipoen kemadjoean Hindia sedjati
kepada hormat Allah”.40
3.2.2 Nasionalisme Kristen
Indonesia: Tiendas dan leimena
Organisasi yang disebut pada akhir kutipan di atas, Bond van
Christen Jongeren (BCJ) merupakan salah satu organisasi pemuda Kristen
yang terpenting masa itu. BCJ mula-mula merupakan suatu perhimpunan
organisasi-organisasi pemuda dan siswa Kristen di Solo, tetapi kemudian juga
mencatat anggota dari kota-kota lain termasuk dari luar Jawa. Salah seorang
pemukanya adalah P.A. Tiendas, yang berasal dari Minahasa, dan karena ayahnya
seorang “Penoeloeng Indjil” di pulau-pulau Sangir di dapat diterima oleh
suku-suku Minahasa dan Sangir dengan baik. Apalagi Tiendas mudah bergaul dan
periang. Mula-mula Tiendas mendirikan organisasi de Groote Oost di
Solo untuk siswa-siswa asal Minahasa, Sangir dan Ambon, yang menerbitkan
majalah pemud Kristen Rindoe Dendam. Dalam perjalanan pulang dari
perlawatan ke negeri Belanda pada tahun 1931, Tiendas mengunjungi Tanah Batak
untuk meninjau pelayanan pemuda Kristen Batak oleh Dr. E. Verwiebe, sebagai
orientasi bagi pekerjaanny dalam pelayanan pemuda Kristen di Minahasa. Tugas
pelayanan pemuda di Minahasa itu mendapat dukungan pembiayaan dari pihak Nederlandsch
Jongelingsverbond (N.J.V).
Sesuai pendekatan pelayanan pemuda, P.A. Tiendas juga berusaha
memperhubungkan gerkan pemuda Kristen dengan faham kebangsaan, sebagaimana
terungkap dalam beberapa tulisannya. Dari lima catatannya atas keadaan
pergerakan pemuda Kristen pada tahun 1930 Tiendas antara lain menulis:
[..] bahwa Oesaha Kemoedaan Masehi Indonesia beralas agama Kristen dan
bersendi nasional, berhaloean Masehi dalam aksi kebangsaan dan kekristenannja. Ia
pentingkan agama dan tanah air, karena Toehan. Ia menoedjoe doenia dan soerga,
kepada hormat Allah.41
Beberapa tahun sebelumnya, dalam melaporkan penyelenggaraan suatu JLC,
Tiendas menyatakan:
Soeatoe persatoean Indonesia Masehi, jang memang koekoeh karena, kita
lihat dan rasa dalam conferentie ini. Kami pertjaja dan jakin bahwa
perhoeboengan rohani ini boekan ketjil manfaatnja bagi persatoean pikiran,
maksoed dan tjita-tjita goena Agama dan Bangsa.42
Pemikiran Tiendas (yang sayang tidak secara lebih tegas menggambarkan
wawasan dan sikapnya terhadap pergerakan nasional pada zamannya) merupakan gema
dari sikap yang relatif positif terhadap nasionalisme Indonesia dari kalangan
para pemuda Kristen (dan pembina-pembina mereka).
Contoh yang lain dari kuatnya wawasan kebangkitan di kalangan gerakan
pemuda Kristen adalah Johanes Leimena.43 Dalam
suatu karangannya yang diterbitkan bersama dalam Zaman Baroe pada
tahun 1928 Leimena membicarakan hubungan antara gerakan pemuda Kristen dengan
nasionalisme.44 Jalan
pemikiran Leimena sebagai berikut: Nasionalisme bersumber pada keadilan yang
sama diperjuangkan bangsa-bangsa. Perkembangan pada bangsa-bangsa Asia seperti
Cina, Jepang, India menunjukan pentingnya pengaruh Kristen. Diantara
tokoh-tokoh nasional mereka terdapat orang-orang Kristen. Itu suatu petunjuk
supaya juga di Indonesia orang-orang Kristen mengambil bahagian dalam memajukan
bangsa:
Kita misti tjari djoega kebesaran Kriatus dalam woedjoed kita, keadaan kita
di Hindia ini. Djoega Hindia misti akan minginsjafkan kedirian, jang tegoeh
berdiri atas roekoennja dan jang maoe diperhamba negerinja sepanjang
kepandaiannja. Kita misti berdiri di tengah kesoenggoehan. Kita misti tjari
daja oepaja akan mengadon kedirian; adakah oentoeng sebagai di tanah lain akan
mendidik kedirian itoe. […] sebagai di tanah lain akan mendidik kedirian itoe.
[…] Kelakoeannja inilah, bahwa dia akoe Isa Almasih sebagai pemimpinnja pada
segala tempat kehidoepan. Pergerakan pemoeda Kristen maoe mengadon kedirian
jang tegoeh berdiri atas jakinnja, tatapi jang sedia djoega akan mengoesahakan
dirinja oentoek bangsanja. Menurut pengetahoeannja.45
Leimena mencatat sejumlah tantangan bagi perwujudan suatu gerakan pemuda
dalam ideal itu. Salah satu hambatan yang cukup berat adalah yang disebutnya
naluri kebangsaan (nationaal instinct) yaitu sikap nasionalisme yang sempit dan
tertutup bagi bangsa sendiri sehubungan dengan kenyataan bahwa dalam pergerakan
pemuda Kristen bergabung juga orang-orang asing:
Karena kita ada pada pangkal pengatoeran baroe, tak dapat tidak kita haroes
tolong menolong pada soeatoe tempat dengan orang arang bangsa asing. Djadi
pergerakan Pemoeda Kristen misti terima Anak Negeri dan Orang Asing: Eropah,
Tiong Hoa, Hindoe d.l.l. Pada waktoe ini perloe pemimpin Eropah, jang akan
memimpin pemoeda itoe akan kerdja sendiri kelak. Ini misti dipandang biasa.
Tetapi rasa kebangsaan saban bertambah, merantjah dia, merawan tiap anak jang
memikir dia lazat, merampas boei dan perasaannja belaka. Kebangsaan itoe
beroesaha sama dan atas tjita. Dan boekannja kebangsaan toelen semuannja jang
berlindoeng di bawah tiap anak; boekan, sekarang kebangsaan itoe terlaloe; ada
bahajanja perasaan itoe mendjadi “instinkt kebangsaan” (national instinct).46
Demikianlah Leimena membedakan antara kebangsaan yang berwawasan sempit itu
dengan kebangsaan tulen, yang adalah karunia Allah. Kebangsaan tulen
mengarahkan pemuda Kristen pada pengabdian, sedangkan naluri kebangsan
membingungkan orang:
Perasaan kebangsaan toelen pegang harganja, meskipoen terpoekoel dia oleh
sembojan baroe. Itoe tiada berobah. Itoe moelia. […] Tentang itoelah instinkt
[sic] kebangsaan, jang tak ada perksa sendiri tapi berobah-robah. Ia maoe tjoba
memoengoet angan-angan filsafi, akan menerangkan lakoe pekerdjaannja; pada hari
ini pengiring sembahjang ini, akan melepaskannja besok. Dalam ini
hoeroe-hara itoe. Dia dari roemah Kristen, tapi dia maoe djoega nationalis. Ini
lagi satoe soesahnja: Sebab ia Kristen orang maoe pandang dia sebagai orang
Barat, sebab agama Masehi, biar berasal dari Timoer, orang Barat jang
memasoekannja dalam negeri ini.47
Lebih lanjut Leimena menekankan pentingnya agama bagi pembentukan moral dan
budi pekerti, sebab perjuangan bangsa tidak hanya memerlukan orang yang
berkepandaian, melainkan juga orang yang beragama dan bersopan santun. Suatu
bangsa yang tinggi kemjuan teknologinya tetapi tidak memiliki orang-orang yang
berbudi maka tergolong bangsa yang miskin. Leimena menempatkan agama di atas
kebangsaan dalam arti kesungguhan beriman akan memperbesar pengabdian:
Tiap orang misti nasionalis, tjelaka besar kalau orang tidak nasionalis.
Kalau kamoe bertjampoer dengan bangsa lain, dengan kemadjoean lain,
tjampoerkanlah kemadjoeanmu dengan jang lain itoe, koetip baiknja; Tetapi
djangan lepaskan milikmoe, pegang, didik dengan baik. Tinggikan kebangsaanmu,
rasa harga dirimoe dan rasa bahwa kamoe dapat. Tetapi djanganlah itoe mendjadi
agamamoe. Kalaoe agama Masehi telah masoek dalam hatimoe, telah berakar dalam
djiwamoe dan boekan lagi sebagai pakaian sadja, tetapi seperti ditanamkan,
agama jang dirasai benar-benar, jang mengingat sabdanja Isa Almasih; kaloe
agama Masehi telah menyediakan oentoek peperangan akan keadilan, maka
nasionalisme, jakni smaa-sama itoe, sekali-kali tak hilang harganja. Agama
Masehi dan kebangsaan: agama Masehi di atas kebangsaan dan kebangsaan djoega.
Berkebangsaan, sebab pengadjaran dan hidoepnja Kristoes lain dirasa kalau lain
negerinja. Ini diboektikan riwayat Masehi dibeberapa benoea; tetapi di atas
kebangsaan, sebab agama Masehi artinja Kristoes sendiri, jang selamanja satoe
oentoek segala bangsa dan segala zaman.48
Pada bagian akhir karangannya Leimena mengungkapka perhubungan yang lebih
dalam antara agama Kristen dan kebangsaan (sifat kontekstual), baik dalam
pengungkapannya, maupun dalam keprihatinannya pada masalah-masalah yang
dihadapi orang Kristen Indonesia:
Agama Masehi di-Hindia ini pada kemoedian hari djanganlah Masehi di Timoer,
dimasoeki oensoer kemadjoean Timoer. Soeatoe agama jang masoek pada pikiran
bangsa itoe. Dengan demikian sadja ia dapat tinggal dan bertambah kaja. Stanley
Jones mengatakan: Kristoes pada djalan raja Hindia (Ingeris); begitoelah di
negeri ini haroes diaktakan; Kristoes pada djalan raja Indonesia. Agama
Masehimisti menerangkan pada pendoedoek negeri tntang perlawanan hak. Tetapi
misti diketahoeinja djoega bahwa bukan hak sadja jang ada, tetapi djoega
kewadjiban , boekan dalam tempat diam sadja, djoega tentang persekoetoean
doenia. Kalaoe diakoei bangsa-bangsa dan soekoe-soekoe dipoelau-poelau kita
ini, maka njatalah bahwa agama itoe ada kewadjibannja jang besar.49
Dalam suatu laporan, beberapa tahun kemudian, dengan lebih tegas Leimena
menyatakan:
Kekristenan ditempatkan orang Indoensia sejajar dengan Eropaisme dan Kapitalisme;
pada pihak lain, nasionalisme dianggap sebagai Komunisme dan pengungkapan dari
suatu rasa rendah diri oleh banyak orang Eropa, suatu kecongkakan yang harus
ditolak. Para mahasiswa Kristen tidak boleh memerlihatkan bahwa karena mereka
Kristen maka mereka juga termasuk pada “kaum sana” (Kelompok Eropa), melainkan
bahwa panggilan mereka dan dan kewajiban Kristen adalah untuk bekerja sama
sebagai kawan-kawan sekerja dalam membangun bangsa Indonesia, yang ke dalamnya
mereka juga terhisab, dan bahwa mereka juga harus menyadari bahwa karena mereka
telah memiliki pendidikan yang maju maka mereka merupakan suatu golongan
istimewa. […] Pengaruh nasional terus berkembang, dan tidak ada fsasal hukum
yang dapat merintanginya; dan nasionalisme yang menginginkan suatu Kesatuan
melawan pemerintah-pemerintah asing, dan mengigninkan suatu negara Kesatuan,
memelihara dan saling menghargai kebudayaan, sifat dan kemampuan masing-masing,
yang menghendaki suatu bahsa kesatuan, bahasa Melayu yang akan menjadi jembatan
di atas banyak bahasa yang kaya, nasionalisme ini juga menuntut dari orang
Kristen suatu keyakinan nasional yang murni dan suatu kegiatan nasional.50
Pemikiran Tiendas dan Leimena dapat menunjukan bahwa dalam kalangan
aktivis gerakan pemuda (dan mahasiswa) Kristen masa itu telah dimulai suatu
pendekatan baru dari pihak Kristen terhadap pergerakan nasionalisme. Tetapi
dalam hal itu tetaplah dijaga suatu batas supaya pergerakan pemuda Kristen
tidak menjadi kegiatan politik, walaupun masalah-masalah yang berkembang di
dalam masyarakt tidak bisa diabaikan dan bahwa bagi pihak Kristen, nasionalisme
harus dihadapi secara kritis, yakni ditempatkan di bawah terang Injil. Dalam
menjawab suatu pertanyaan, pada tahun 1932, mengenai apakah ada kecenderungan
politik di kalangan organisasi-organisasi pemuda dan mahasiswa Kristen yang
dibinanya, van Doorn menyatakan:
Secara umum tidak. Tetapi para anggota secara pribadi sangat tertarik.
Masalah-masalah nasional harus dibicarakan, kalau tidak perhatian manusia
seutuhnyna tidak tersentuh. Hanya pemuda-pemuda yang ingin sekaligus menjadi
seorang Kristen dan seorang nasionalis dapat membawa pemecahan. Bagi banyak
orang konflik ini begitu sulit sehingga mereka tidak bisa menanggung ketegangan
itu.51
3.2.3 CSV op Java
Setelah satu dekade, pelayanan di kalangan pemuda dan mahasiswa Kristen
mulai mendapat bentuknya yang lebih jelas. Terdapat bagian-bagian pelayanan
pemuda setempat (plaatselijk jeugdwerk), pelayanan gabungan (federatie
werk) di bawah koordinasi van Doorn, dan pelayanan wanita (meisjes werk)
yang secara khusus digeluti oleh Zr. Gunning. Dari segi penddikan, pelayanan
itu meliputi empat tingkat dalam kelompok studenten: mahasiswa
ketiga sekolah tinggi (MHS dan RHS di Batavia, dan THS di Bandung), siswa
Kweekscholen, siswa BS, NIAS, MLS, VAS, MOSVIA, dan murid-murid sekolah
menengah. Anggota CSV Batavia hanay 25 orang mahasiswa dari kedua sekolah
tinggi dan alumnus STOVIA. Mahasiswa cina Kristen di Batavia membentuk
organisasi sendiri bernama TaTung dengan 12 orang anggota.
Sedangkan ketiga Kweekschool Kristen masing-masing di Solo dan Malang (pribumi)
dan Weltevreden (Eropa), merupakan pusat-pusat pergerakan pemuda Kristen.
Batavia (dengan pemudaClubhuisnya di Kebon Sirih 44 ) tetap merupakan
pusat yang terpenting. Khusus untuk tingkat mahasiswa, Leimena mencatata tiga
pusat utama dimana organisasi mahasiswa Kristen dapat dibentuk, yakni Batavia,
Surabaya dan Bandung. De Bataviasche C.S.V. dibentuk pada
tahun 1926 (dalam semangat kunjungan Mott dan Rutgers) dari hanya belasan
mahasiswa RHS dan siswa STOVIA dan Bestuursschool. Tahun berikutnya masuk
beberapa mahasiswa MLS. Setelah para siswa STOVIA angkatan terakhir tamat
Bataviasche CSV menjadi perhimpunan yang hanya terdiri atas para mahasiswa,
sedangkan para siswa Bestuursschool diorganisasikan tersendiri. Di Surabaya,
para mahasiswa NIAS baru kemudian dapat membentuk suatu cabang CSV, walaupun
sudah sejak tahun 1915 ada kelompok mahasiswa Krisrten (tetapi beranggota
lpenganut agama lain juga) bernama Jong-Indië. THS di Bandung
didirikan pada tahun 1912, dan sejak itu ada upaya membentuk suatu kelompok
mahasiswa Kristen, tetapi juga baru pada tahun 1932 suatu kelompok inti dapat
dibentuk.
Pada masa liburan Natal tahun 1932 dilangsungkan JLC ke-7 di Kaliurang. Konferensi
itu dihadiri 50 peserta dari berbagai kota di Jawa. Sejumlah mahasiswa yang
hadir (mewakili CSV Batavia, CSV Surabaya dan kelompok siswa Hoof dactecursus
serta beberapa mahasiswa Bandung) melakukan percakapan khusus dalam usaha
membentuk suatu CSV nasional.52 Akhirnya,
pada tanggal 28 Desember 1932 dicapai kesepakatan membentuk Christen Studenten
Vereeniging op Java (disingkat C.S.V op Java) dengan badan pengurus:
J. Leimena sebagai Ketua , Sekretaris Dr. C.L.van Doorn dan Bendahara Tan Tjoan
Soei.53 Tujuannya
secara jelas memperlihatkan sifatnya sebagai organisasi pembinaan rohani yang
mengarahkan anggotanya pada kegiatan gereja, mendukung persatuan nasional dan
terbuka terhadap persaudaraan dengan bangsa lain (CSV tidak khusus untuk
mahasiswa Kristen Indonesia), ikut mendukung usaha-usaha mengatasi
masalah-masalah sedunia, dan turut berupaya menghidupkan kesadaran oikumenis.
Tujuan itu dirumuskan:
Persatuan menghimpunkan mahasiswa, yang mengakui Allah selaku Tuhan atas
kehidupannya, dan yang menginginkan Yesus Kristus sebagai Pandunya.
Persatuan menetapkan tujuannya: pertama, pembinaan kehidupan rohani
aggotanya untuk ikut aktif dalam kehidupan gereja dan bangsanya; kedua, mewujudkan
kerjasama dan hidup bersama yang seerat mungkin antara anggota dari berbagai
persekutuan bangsa yang berbeda; ketiga, menggugah perhatian bagi
masalah-masalah kehidupan internasional, sebagaimana yang hidup dalam federasi
mahasiswa Kristen sedunia; keempat, menghidupkan kesadaran untuk megambil
bagian dalam “suatu Gereja Kristen yang Am”.54
Disepakati pula bahwa para keanggotan CSV op Java terbuka bagi yang telah
masuk pendidikan di atas AMS atau Kweekschool.
Leimena menyebut pemmbentukan CSV op Java sebagai suatu “tindakan
bersejarah” dalam rangka keinginan untuk turut berperan dalam dunia kemahasiswaan
pada masa depan, bukan karena menginginkan “hormat” dan “kuasa”, melainkan oleh
dorongan profetis untuk membentuk mahasiswa yang bertanggung jawab, menjadi
sosok pribadi yang tegak di tengah-tengah kehidupan, memahami kenyataan
keadaannya sendiri dan keadaan bangsanya dalam titik keluasan dan kedalamannya,
dalam kelemahan dan kekuatannya; membentuk kepribadian yang menjunjung
kesederhanaan, kerendahan dan menahan diri di hadapan Tuhan, sang Bapa dalam
Yesus Kristus. Juga dengannya menjadikan mahasiswa, dalam keilmuwannya, seorang
murid Yesus dan olehnya menjadi guru dan pelayan sejati bagi bangsanya.55Leimena
memperhubungkan pembentukan CSV op Java dengan kenyataan sejarah masanya, yakni
nasionalisme Indonesia. Dalam hal itu mahasiswa berperan penting di dalam
pertarungan ideologi menuju kemerdekaan melalui kesatuan semua kelompok penduduk.
Pada penilaiannya titik kelemahan di dalam soal ini adalah bahwa nasionalisme
belum murni dan lebih merupakan suatu reaksi dari kompleks rendah diri.
Kelompok terbesar masa belum yakin benar pada panggilannya dan karena itu juga
tidak yakin pada para pemimpinnya.
Pada hakikatnya kegiatan mahasiswa Kristen berada di luar kerangka arus
politik, namun pasti, bahwa dia tidak ingin memperkuat sesuatu “nafsu
gerombolan”, membentuk manusia yang hidup dan berpikir mandiri, yang hanya mau
bergantung pada Allah. Manusia yang tidak hanya membutuhkan suatu kesadaran
abadi humanistis, melainkan juga hidup dari kenyataan dan di dalam kesadaran
bahwa “Kekekalan” sudah datang ke dalam “Sejarah”. Dari kenyataan sejarah dan
dengan pengetahuan ini CSV telah memulai dan akan melanjutkan karyanya.56
Dalam tulisannya yang lain, Leimena menyebut pembentukan CSV op Java
sebagai suatu tindakan yang berani, mengingat siswa dan mahasiswa berasal dari
berbagai ras dan tingkatan, dan dalam situasi yang dianggap tidak tepat karena
para mahasiswa Indonesia mempunyai tolak ukur dan tuntutan sendiri. Suatu asas
yang berlaku umum dan pemikiran yang supranasional ditolak orang karena alasan
nasional. Tetapi Leimena justru melihat bahwa dalam asas umum itu pemuda yang
sedang studi dapat saling memahami dan menghargai. Jelas bahwa bukan suatu
aliran politik yang dipegangnya, melainkan bersama berusaha menebus
kesalahan-kesalahannya berdasarkan suatu falsafah hidup alkitabiah.57 Dengan
kata lain terhadap suatu wawasan nasionalisme yang sempit, yang memisah atau
mempertentangkan golongan dengan golongan, CSV ditampilkan sebagai pilihan yang
merangkul dan sekaligus memberi dimensi transenden bagi kesatuan umat manusia.
Leimena menunjuk pada kesatuan di dalam Kristus, sebagaimana yang dinyatakan
dalam doa Tuhan Yesus (Yo. 17:21) – yang adalah juga motto gerakan mahasiswa
Kristen – sebagai dambaan, tugas dan tanggung jawab Kristen, juga di Indonesia.
Kesatuan itu tidak bersandar pada kesatuan yang didasarkan atas penyamaan ras,
kebudayaan atau agama.
Dr. T.S.G. Moelia, sebagai salah seorang tokoh pembina CSV, juga memberi
tekanan yang lebih rohani, memelihara para mahasiswa untuk tetap dalam
kekristenan selama mereka berada di rantau, dan menjadi wadah pembentukan
pemimpin-pemmpin rohani. Moelia membela sikap nasionalisme di kalangan para
mahasiswa Indonesia terhadap kecaman orang Eropa:
Tentu saja banyak mahasiswa Kristen pengikut gerakan nasionalis. Namun
sekalipun sentimen nasional mereka kuat, mereka tidak memutlakannya, melainkan
menaklukanya pada keyakinan keagamaan mereka. Memang sangat disesalkan jika
orang-orang Eropa tertentu salah paham terhadap nasionalisme ini dan
menentangnya, atau bahkan memaklumkan bahwa nasionalisme itu tidak sesuai
dengan semangat kekristenan, karena sikap semacam itu sering menciptakan
kecurigaan terhadap kekristenan dan dapat mengarahkan orang pada pengunduran
diri dari semua gerakan Kristen.58
Sesuai pandangan politiknya yang tergolong nasionalistik koperatif, Moelia
melihat dalam federasi mahasiswa Kristen bahwa kerjasama adalah kemungkinan dan
kebutuhan bahkan satu-satunya jalan Kristen:
Percayakah kita orang Kristen pada kebenaran kerjasama ataukah kita harus
secara sadar menuju pada pemisahan penuh antara Barat dengan orang Timur dalam
bidang kerohanian? Dalam hal ini federasi sedunia [WSCF] ada untuk membuktikan
bahwa kerjasama tidak hanya mungkin melainkan juga perlu, karena merupakan
satu-satunya jalan yang dikenal kekristenan. Dari Federasi Sedunia-lah kita
harus menimba kekuatan kita untuk tetap percaya pada kerja sama. Pengalaman
langsung kita kadang-kadang membuat kita bimbang, karena kerja sama tidak
jarang berarti menyesuaikan diri pada pimpinan pihak Eropa dan mengingkari
kepribadian dan kemandirian pihak lain. Memang kerja sama tidak dapat daatang
dari satu pihak; tidak dapat dilakukan hanya atas perintah, dan berarti bahwa
pada semua pihak harus dikorbankan sesuatu.59
Pada tahun 1933 jumlah anggota CSV op Java kurang lebih 80 orang dari
berbagai golongan: Indonesia, Cina dan Eropa (kebanyakan peranakan). Diantara
anggota CSV op Java terdapat orang-orang yang kemudian menjadi pemuka Kristen,
seperti: Amir Sjarifuddin, J.Leimena, A.M. Tambunan, A.L. Fransz, S.C.
Nainggolan dan G. Siwabessy.60
3.2.4 WSCF Citeureup 1933
Koferensi Citereup untuk Asia dan Australia, yang dikenal pula sebagai Java
Conference, mula-mula digagas oleh T.Z. Koo, tokoh mahasiswa Kristen Cina, yang
mengunjungi Indonesia (sebagai sekretaris regional WSCF) pada tahun 1931.
Gagasan itu dikemukakan dan disambut hangat pada rapat pengurus WSCF pada tahun
1932 di Woudschouten (Zeist, Negeri Belanda).
Dalam mengulas rencana konferensi itu, Augustine Ralla Ram, salah seorang
tokoh Asia WSCF dari India, menekankan bahwa WSCF dapat bermakna dalam hubungan
Barat dan Timur dimana pihak Timur dapat berperan serta dalam mewujudkan
cita-cita dan tujuan pergerakan seluruhnya, tetapi untuk itu pentinglah bahwa
pihak Timur menjalin persekutuan yang hidup dan erat antar berbagai kelompok
gerakan di wilayahnya. Dalam kerangka itu ia mengajukan empat pokok pemikiran.
Pertama-tama konferensi perlu meneliti pekerjaan federasi di Timur. Bagian
Timurfederasi dunia ini dibaginya atas lima wilayah: Timur Dekat; Timur Tengah;
Kelompok Birma-Sailan-Siam-Hindia-Filipina; Cina-Jepang-Korea; dan Australasia.
Kedua dalam rangka tugas federasi untuk mengkaji Pemberitaan Kristen dalam
hubungan dengan masalah-masalah modern, gerakan di Timur harus dibebani
tanggung jawab yang serius. Agama-agama, kemiskinan (yang menunjang perluasan
komunisme!), dan nasionalisme menonjol di belahan Timur ini. Menyangkut
nasionalisme itu, Ralla Ram menekankan:
Pada saat yang sama catatlah bahwa nasionalisme dari jenis yang keras
menegakkan kepalanya di Timur, suatu hal yang belum pernah sebelumnya. Kita
tidak akan dapat menekankan dan seharusnya tidak pernah mencoba berbuat
demikian. Namun pemurniannya dalam terang cita-cita internasional merupakan
tugas mendesak. Tidak hanya itu, bahkan dalam menentang kemunafikan-kemunafikan
yang tersembunyi dari negara-negara yang berperang kita perlu belajar dari
gerakan-gerakan seperti yang di India, yang memakai cara-cara anti kekerasan
untuk mencapai tujuannya.61
Pokok pikirannya yang ketiga menyangkut pelayanan kepada ribuan mahasiswa
dari Timur yang belajar di Barat atau berkunjung ke Barat, supaya mereka dapat
tetap mengenal masalah-masalah negerinya. Pokok yang terakhir adalah mengenai
kenyataan kekristenan sebagai agama di negara-negara Barat yang imperialistik
dan yang mengeksploitasi ekonomi ekonomi negara-negara lemah di Timur. Untuk
itu, perlu diatur perkunjungan-perkunjungan timbal balik antara mahasiswa Timur
Jauh, Timur Dekat dan Timur Tengah, supaya pengalaman mereka menjadi
pemberitaan bahwa agama Kristen bukan kultus khas dari bangsa-bangsa Barat yang
imperialistis.62
Konferensi diselenggarakan pada tanggal 9-14 September 1933 di Citeureup,
di sebuah rumah perkebuan (landhuis), dengan tugas federasi dalam pewartaan dan
panggilan persekutuan Kristen di Asia dan Australasia (Australia dan Selandia
Baru). Selain beberapa pengurus WSCF, Konferensi dihadiri utusan dan undangan
dari Australia (3), Birma (7), Salilan (1), Cina (6), Indonesia (38), Selat
[Malaya & Singapura] (6), India (6), Jepang (4), Selandia Baru (3) dan
Filipina (3), Amerika Serikat (2), Jerman (4) Perancis (1), Negeri Belanda (1),
serta sejumlah undangan lainnya. Seperti yang dikemukakan oleh Francis P.
Militer, Ketua WSCF, konferensi ini bermakna penting dalam kehidupan federasi,
khususnya dalam sumbangan dari dan bagi kehidupan gerakan mahasiswa Kristen, dan
dengan itu dari dan bagi keseleruhan gereja di Timur. Makna itu terfokus pada
dua pokok: penegasan Injili mengenai amanat iman Kristen kepada dunia, dan
pemantapan peran aktif gerakan mahasiswa Kristen di Timur:
Maknanya bagi gereja adalah bahwa ia memberi kesaksian yang paling jelas
yang dapat diberikan mengenai keunikan dan kegenapan Yesus Kristus sebagai
Berita pekabaran Injil Kristen kepada dunia. Baik melalui sambutan-sambutan
maupun melalui diskusi mengalir perbedaan yang menentukan antara semua agama
dan etika buatan manusia dengan karunia dari kasih Allah, dan dari
pemerintahan-Nya kepada kita dalam Yesus Kristus. Karena itu konferensi ini
dapat dianggap suatu jawaban konkret yang positif, yang dibuat oleh Gerakan
Mahasiswa Kristen di Timur terhadap penjelasan Pekabaran Injil Kristen yang
agak terlampau diilmiahkan dan tidak mengilhami yang diberikan dalam Report of the
American Laymen’s Commission.
Makna khusus konferensi bagi Federasi (Mahasiswa Kristen Sedunia) adalah
bahwa sebagai suatu hasilnya Gerakan Mahasiswa Kristen Nasional di Timur akan
menerima suatu peningkatan tanggung jawab untuk berprakarsa atas nama Federasi,
dan untuk mengembangkan karya antar gerakan dari Federasi, dan untuk
mengembangkan karya antar gerakan dari Federasi di Asia dan Australasia.63
Kedua pokok ini dibahas dalam rangkaian laporan-laporan dan ceramah-cerama.
Laporan-laporan gerakan mahasiswa nasional disampaikan oleh wakil-wakil
Australia, Cina, India-Birma-Sailan, Jepang, Indonesia, Selandia Baru, dan
Filipina. Di samping ceramah-ceramah mengenai gerakan mahasiswa dan federasi,
terdapat empat pokok ceramah yang bersifat dogmatis: makna Yesus Kristus (T.Z.
Koo, W.A. Visser’t hooft); pewartaan Kristen dalam hubungan dengan agama-agama
lain (Hendrik Kraemer); Kekristenan dan masyarakat (Francis P. Miller, Soichi
Sato); dan Kekristenan dan bangsa (E.Verwiebe, Sara Chakko).
Laporan-laporan nasional menyoroti masalah-masalah konkret dalam kehidupan
masyarakat dan bangsa masing-masing. Laporan-laporan tersebut jelas
memperlihatkan perhatian kalangan mahasiswa Kristen sedunia terhadap
masalah-masalah sosial politik nasional dan internasional, khususnya di Asia.64Delegasi
Cina antara lain mengemukakan pergumulan mahasiswa Kristen dalam masalah
rekonstruksi sosial dan soal invasi Jepang ke negerinya. Laporan mengenai
India, Birma dan Sailan mengungkapkan masalah-masalah konflik antar ras, sosial
dan agama, dan khususnya perjuangan kemerdekaan rakyat India. Di Jepang, para
mahasiswa Kristen terpilah antara kecenderungan beralih ke Komunisme dan yang
makin bersifat Injili, sementara yang lainnya tetap berusaha mempertahankan
prinsip-prinsip social christianity. Pada umumnya semua mahasiswa
Kristen Jepang menentang Fasisme, sedangkan dalam menentang Kapitalisme para
intelektual Kristen Jepang umumnya mendukung Komunisme dan Sosialisme sebagai
sistem ekonomi.
Laporan dari Filipina mengungkapkan tantangan-tantangan dari Islam,
kekafiran dan atheisme terhadap agama Kristen, dan usaha-usaha bangsa Filipina
memajukan kehidupan nasionalnya; sedangkan laporan dari Australian dan Selandia
Baru masing-msing mengungkapkan masalah-masalah yang khas di Barat, yakni
perhadapan kekristenan dengan masalah-masalah masyarakat moderen.
Mengenai orang Kristen dan masyarakat, Miller membicarkan masyarakat
kapitalis dengan mencatatkan sikap Kristen yang meliputi penolakan membela
kapitalisme dan penentangan terhadap setiap bentuk kekerasan. Dia menganjurkan
untuk bersikap realistis, yakni terjun ke dalam masyarakat untuk bekerja
sepenuh hati, dan memulai langkah awal dan berusaha memikirkan suatu perubahan
yang mendasar secara kristiani. Untuk tindakan pertama adalah memahami
kenyataan sosial, supaya dapat mempengaruhinya secara bernalar, realistik, dan
efektif.65
Secara khusus Soichi Saito dari Jepang memberi kesaksian singkat mengenai
pengaruh Komunisme dan berkembangnya Fasisme di negerinya. Dia mengutip suatu
seruan kepada mahasiswa dan pemuda Kristen Jepang untuk tetap setia pada dasar
Kristen, yang antara lain berbunyi:
Menghadapi kegelisahan masa kini, kita yang hidup oleh Kristus mempunyai
suatu tugas penting untuk menjadikan ajaran-Nya suatu kekuatan yang hidup dalam
masyarakat; karena kita diyakinkan bahwa tanpa menunaikan panggilan itu kritis
dewasa ini tidak dapat diatasi. Sebagai mahasiswa dan pemuda Kristen kita harus
menguduskan hidup kita dan melakukan suatu penelitian yang mendalam akan
kebenaran dasariah kekristenan, sebagaimana dikemukakan dalam Alkitab.
Selanjutnya, kita harus mengarah pada suatu pemahaman yang utuh akan
dasar-dasar yang ada kini bagi suatu kebudayaan yang baru dan hubungan
kemanusiaan yang baru.
Lagipula kita harus tak henti-hentinya berjuang untuk moralitas yang benar;
berupaya melalui penelitian-penelitian tentang dan pewujudan dari
hubungan-hubungan ekonomik yang benar di bawah prinsip-prinsip Kristen; dan
berusaha dengan suatu kesadaran akan panggilan khusus menuju kerja sama untuk
perdamaian dunia. Dengan ini kita berharap melakukan suatu upaya langsung
menemukan suatu pemecahan terhadap krisis dewasa ini.66
Laporan Leimena, selaku ketua CSV op Java, mengenai Indonesia mengungkapkan
serba kepelbagaian dalam masyarakat Indonesia yang sekaligus menjadi peluang
dan tantangan bagi kekristenan. Sambil menunjuk pada kenyataan bahwa hanya 2%
peduduk Indonesia beragama Kristen Protestan, Leimena menekankan tiga hal:
bahwa kecuali Korea, tidak ada negara di Asia Timur dengan jumlah Kristen yang
relatif banyak seperti di Indonesia; bahwa sekitar 8% dari keseluruhan jumlah
mahasiswa fakultas dan sekolah tinggi adalah anggota CSV; dan bahwa separuh
dari jumlah anggota CSV adalah orang Indonesia.67 Leimena
juga mengemukakan bahwa pusat-pusat pendidikan tinggi terdapat di kota-kota
(Batavia, Surabaya, Bandung) di mana arus politik utama bersumber, juga
menyebut usaha-usaha perluasan pendidikan dan pembinaan pemuda dan mahasiswa
Kristen, serta tempatnya yang positif dalam nasionalisme Indonesia.68
Pokok gereja dan bangsa dibahas dengan ceramah pengantar dari Dr. E.
Verwiebe. Dalam ceramahnya Dr. Verwiebe, pekabar Injil dan pembina pemuda
Kristen di Tanah Batak, mengemukakan empat pokok pemikiran mengenai “The
Christian and the Nation”. Pertama-tama, bangsa ada karena kehendak Allah.
Adalah kehendak Allah bahwa seseorang dilahirkan dan hidup dalam suatu bangsa
tertentu; maka bahasanya, tradisinya, hukum-hukum, kebiasaan dan moralnya harus
dihormati. Orang harus mencintai bangsanya dan memenuhi kewajibannya terhadap
bangsanya. Suatu internasionalisme yang mengabaikan kewajiban ini bertentangan
dengan kehendak Allah. Kedua, karena dosa, bangsa-bangsa bukan lagi
pengungkapan Kehendak Allah:
Sebagaimana dalam kehidupan pribadi dosa merintangi dan menaklukkan kita
serta menghalangi pengungkapan yang benar dari kehendak Allah,
demikian juga yang dosa lakukan dalam kehidupan nasional dan dalam hubungan
antar bangsa. Kehidupan bangsa-bangsa dewasa ini diracuni dosa. Kadang-kadang
hukum suatu bangsa merosot menjadi penyembahan berhala ketika bangsa itu
menuntut kata akhir dan kendali atas semua yang warganya katakan atau lakukan.
Suatu bangsa yang menuntut ketaaatan mutlak warganya menyangkal kemahakuasaan
Allah dan menentang kehendak-Nya, sertamenggantinya dengan penyembahan
berhala.69
Ketiga, bangsa tidak pernah boleh menjadi subyek kesetiaan mutlak kita,
sebab sebagai orang Kristen kita adalah warga satu Gereja yang Kudus di mana
terjadi kesatuan kekal antara orang-orang percaya dengan Kristus, sedangkan
bangsa-bangsa terhisab pada dunia dan kehidupan ini, tidak kekal. Ketiga hal di
atas belaku baik bagi ras dan negara manapun bagi bangsa.
Ras-ras dikehendaki Allah, namun telah kehilangan kemurniannya oleh
kesalahan manusia. Oleh karena kejahatan dalam kehidupan bangsa-bangsa kita,
Allah menganggap perlu untuk melembagakan negara untuk membatasi pengaruh dosa,
dan karena alasan itu kita harus menaati negara. Tetapi ras dan negara hanyalah
nilai-nilai yang nisbi. Bagi orang Kristen nilai-nilai itu tidak dapat menjadi
ketaatan mutlak. Ketaatan mutlak kita adalah Kerajaan Allah, dan tugas kita
akan berakhir hanya ketika kita Kerajaan Allah menjadi suatu kenyataan di dalam
dunia ini.70
Butir terakhir dari ceramah Verwiebe menyangkut tugas khusus orang Kristen
bagi bangsanya, yang meliputi tiga hal: kewajiban memberitakan Injil
kepada bangsanya, memerangi dosa bangsanya dan menentang pemutlakan
bangsanya.
Sarah Chakko dari India, sebagai pembicara kedua dalam pokok “The Christian
and Nation” ini, lebih banyak mengemukakan mengenai kasus-kasus pertentangan,
atau kesulitan menentukan sikap, dalam kesetiaan orang Kristen terhadap
kehendak Allah dan pemahaman bangsa adalah kehendak Allah. Untuk itu ia
mengajukan dua prinsip: mutlak menempuh jalaln anti kekerasan (non-violence)
dan dalam melawan kejahatan keharusan menghadapinya dengan kasih bukannya
dengan kebencian.71
Diskusi mengenai pokok ini, sebagaimana dilaporkan oleh Ralla Ram,
menyetujui tiga segi panggilan Kristen terhadap bangsanya, yakni menyaksikan
kuasa pembaruan Injil Kristus secara terus menerus dalam kata dan kehidupan,
memerangi dosa bangsa dan masyarakat tanpa kebencian, dan memperkuat keyakinan
bahwa pelayanan kepada bangsa adalah juga pelayanan kepada Allah. Dalam terang
pemahaman itu disoroti beberapa masalah dalam kenyataan hubungan bangsa-bangsa.
Pertama-tama mengenai kelompok mioritas di mana dianjurkan apa yang kini
disebut pembaruan:
Persoalan pertama yang dimunculkan adalah menyangkut warga negara
asing yang hidup di sebuah negara sebagai suatu kelompok minoritas, misalnya
seperti orang Cina di Indonesia. Jelas dirasakan bahwa jika orang tinggal di
suatu negeri asing, mereka wajib menyamakan diri dengan penduduk negeri itu dan
kepentingan-kepentingan mereka, dan pada pihak lain mereka harus diberi hak
penuh sebagai warga negara dari negeri itu.72
Selanjutnya dibicarakan mengenai gerakan anti-kekerasan dan non koperasi
dalam semangat ahimsaGandhi dan tentang hubungan Barat dan Timur.
Dengan menunjuk India dan Indonesia sebagai contoh di mana Barat mendominasi,
diserukan kepada Barat:
Timur telah menjadi begitu peka sehingga hubungan ini terasa menakutkan.
Itu harus diubah. Pada pihak kita haruslah ada prakarsa dan pengendalian,
sementara kita menyambut kerja sama dari pihak Barat.73
Pembahasan mengenai sikap Kristen dalam keadaan damai dan keadaan perang
mencapai penegasan bahwa orang Kristen harus menyerahkan diri sepenuhnya bagi
tugas penegakan perdamaian dan bahkan rela menderita dalam menyaksikan
kenyataan persekutuan Kristen yang mengungkapkan kehendak Allah bagi dunia dan
bangsa-bangsa.74
Suatu acara khusus disediakan Konferensi untuk menyambut CSV op Java ke
dalam WSCF sebagai “corresponding member” (keanggotaan penuh bersyarat
jumlah anggota di atas 150 orang), di mana diungkapkan jasa NCSV dan khususnya
suami isteri van Doorn dalam merintis dan membina terbentuknya CSV op Java.
Mewakili CSV op Java Leimena menyatakan terimakasih, harapan dan tekad:
Kami tidak hanya ingin menerima, melainkan juga memberi; dan kenyataan
memberi yang dibebankan kepada kami sebagai suatu warga baru dalam keluarga
merupakan suatu tanggung jawab besar. Kami menerima tanggung jawab ini dalam
kesadaran bahwa Allah, dan hanya Allah saja, akan mewujudkan kekuatannya dalam
kelemahan kami, dan bahwa kami akan bertumbuh oleh doa warga lain dari keluarga
WSCF. […] Saya ingin menekankan keopada para utusan dari Jawa untuk tidak
melupakan peristiwa khusus konferensi ini demi menjadi sumber ilham yang abadi;
[…].75
Pada akhir Konferensi yang dialaminya sebagai peristiwa yang amat menggugah
CSV op Java itu, salah seorang delegasi CSV op Java, S. Pelenkahu, mengemukakan
suatu pernyataan kegembiraan atas penerimaan CSV op Java ke dalam keanggotaaan
WSCF. Dia juga secara pribadi mengungkapkan perasaan yang dialaminya dalam
Konferensi itu, khususnya perluasan wawasan oikumenisnya:
… pemikiran egosentris saya telah dipatahkan sehingga saya melihat dan
bersimpati pada kesulitan-kesulitan yang orang hadapi di negeri-negeri lain,
dan tidak dapat lagi memandang diri saya sendiri saja.76
Catatan-catatan di atas menunjukan bahwa bagi gerakan mahasiswa Kristen di
Indonesia Konferensi Timur WSCF ini memberi arti yang sangat penting. Pertama,
persiapannya mendorong pembentukan CSV op Java sebagai organisasi gerakan
mahasiswa Kristen Nasional di Indonesia. Sesuai kenyataan sejarah masa itu,
perguruan tinggi yang ada hanya terdapat di tiga kota di Jawa dengan mahasiswa
dari seluruh bagian Indonesia. Sesuai kenyataan sejarah masa itu, perguruan
tinggi yang ada hanya terdapat di tiga kota di Jawa dengan mahasiswa dari
seluruh bagian Indonesia, sehingga nama op Java dapat diartikan in
Indonesië. Selama Konferensi dipergunakan nama Indonesia.77 Pembentukan
CSV op Java adalah pula pemisahan dari pelayanan pemuda namun tetap dalam
ikatan kerjasama yang erat. P.A. Tiendas dari Tomohon hadir dalam konferensi
sebagai wakil gerakan pemuda (YMCA), dan sempat memberi sambutan pada awal
konferensi.78
Kedua, konferensi mempertegas wawasan oikumenis gerakan mahasiswa Kristen
Indonesia, baik dalam arti geografis maupun konfesi. Selain keanggotan dalam
WSCF, persekutuan dengan para delegasi dari berbagai negara (dan aliran
kegerejaan) bermakna bagi pendalaman wawasan itu. Sangat penting dalam hal ini
perkenalan dengan para mahasiswa dari “gereja-gereja muda” di Asia. Van Doorn
yang merupakan tokoh sentral dibalik pembentukan CSV op Java dan
penyelenggaraan Konferensi menyatakan bahwa peristiwa itu bukan hanya
konferensi mahasiswa, melainkan jug amerupakan Konferensi kekristenan Timu (conferentie
van Oostersche Christenen).79 Dalam
kerangka WSCF sendiri, Citeureup dianggap membulatkan gerakan ini sebagai
gerakan sedunia, baik dalam arti makna WSCF bagi Asia, maupun sebaliknya,
sumbangsih mahasiswa Kristen Asia bagi gerakan mahasiswa sedunia itu.
Makna yang ketiga, menyangkut wawasan teologi yang eksklusif. Melalui
Kraemer dan Visser ‘t Hooft pengaruh teologi dialektis sangat menonjol dalam
pemikiran teologis selama Konferensi. Dengannya gerakan mahasiswa Kristen di
Indonesia diperkuat dalam suatu wawasan kekristenan yang eksklusif dan
konfrontatif terhadap agama-agama lain. Pendekatan dari India, yang lebih
terbuka dan mulai mencari makna positif kehadiran agama-agama lain serta
menyadari pentingnya kebersamaan damai antar umat berbeda agama, belum mendapat
dukungan dari para peserta.
Yang keempat adalah perhatian yang serius terhadap masalah-masalah sosial
politik. Sudah sepantasnya suatu Kkonferensi dunia yang dilakukan di Asia
memberi perhatian pada kenyataan sosial politik di negara-egara Asia, yang masa
itu (dengan perkecualian Jepang) masih berada di bawah dominasi penguasa Barat.
Maka tema rekonstruksi sosial dan nasionalisme tidak luput dari pembahasan dari
sudut pandang Kristen. Dalam hubungan ini Kraemer menilai Konferensi berhasil
dan menggugah:
Terharu, karena di sini tiba-tiba terhimpun orang-orang dari ras dan
kebangsaan yang berbeda-beda, yang berada di tengah-tengah kobaran
masalah-masalah rohani, sosial dan politik yang besar dari bangsa mereka, dan
yang setiap hari harus menentukan sikap dan memberi jawaban apa pun yangmenjadi
akibatnya bagi mereka secara pribadi. Dalam waktu beberapa hari, walaupun ada
perbedaan-perbedaan yang besar dalam cara berpikir dan latar belakang, dapat
tercipta suatu suasana kesatuan dan kesungguhan dalam pencarian oleh penyadaran
yang semakin jernih tentang pusat agamawi bersama.80
Visser ‘t Hooft mengenang bagaimana para mahasiswa dari India, Cina,
Jepang, Birma, Filipina, Srilanka dan Jawa (Indonesia) asik berdiskusi
menyangkut dua pokok yang sangat penting bagi mereka: kemerdekaan nasional dan
hubungan iman Kristen dengan agama-agama lain. Sebagai orang Kristen mereka
harus mngambil bahagian dalam perjuangan kemerdekaan bangsanya, tetapi mereka
tidak anti Barat. Mereka menghendaki pengalihan peran utama dari pihak penguasa
Barat, lalu dapat dijalin suatu kerjasama.81
Seperti dikemukakan di atas, tekanan utama adalah usaha memberlakukan
prinsip Kristen dalam menghadapi masalah-masalah kemasyarakatan, juga
menyangkut pergerakan nasional. Sudut pandang dalam hal ini adalah kekristenan
sebagai kewargaan Kerajaan Allah yang menuntut kesetiaan utama melampaui
kesetiaan terhadap bangsa, khususnya jika kedua hal itu bersilang jalan.
Artinya, bhakti terhadap masyarakat, bangsa dan negara dilakukan dalam rangka
menegakkan kehendak Allah di dalam kehidupan nasional. Pendekatan yang bersifat
teokratis ini membawa pergerakan mahasiswa Kristen di Indonesia pada jalan
tengah antara nasionalisme radikal dan nasionalisme konservatif: kritis
terhadap kenyataan kolonial, tetapi menolak nasionalisme yang sempit dan
dimutlakkan, serta menolak cara-cara perjuangan yang dianggap tidak sesuai
dengan prinsip-prinsip ajaran Kristen.
3.3 Pendidikan Teologi :
HTS
Salah satu tindakan yang bermakna penting dalam kerangka bangkitnya suatu
generasi muda Kristen Indonesia yang berwawasan baru adalah pembukaan
sekolah-sekolah teologi untuk mendidik pemuda-pemuda Kristen Indonesia menjadi
pelayan Gereja. Dalam hubungan dengan pokok bab ini, dua sekolah teologi dapat
disebut, Balewijoto di Malang, dan Hoogere
Theologische School (HTS) di Bogor (kemudian dipindahkan ke
Batavia).
Sebagimana dirangkum van den End, pendidikan tenaga-tenaga pribumi untuk
membantu pekerjaan para pekabar Injil dilakukan dalam berbagai pola. Mula-mula
berupa pendidikan di rumah pekabar Injjil: beberapa orang yang dianggap
berbakat dibina menjadi tenaga pembantu. Kemudian, ketika sekolah-sekolah
(dasar) menjadi bagian penting dari sarana dan panggilan penginjlan, dibuka
sekolah-sekolah guru sederhana (Kweekschool, ormaalschool atau Normaalleergang).
Dalam sekolah-sekolah itu ditekankan kecakapan membaca, menulis, menghitung,
dna pengetahuan Alkitab. Tingkat yang lebih tinggi adalah pembukaan sekolah-sekoklah
yang lebih khusus untuk mendidik pelayan gereja. Pada tahun 1878, atas dukungan
suatu lembaga bernama Centraal Comite Depok di Negeri Belanda, dibuka sebuah
seminari di Depok (Seminarie van nlandsche zendelingen) sebagai pendidikan guru
selama dua tahun yang dilanjutkan dengan pendidikan pengantar jemaat, juga
selama dua tahun.82 Seminari
Depok ditutup pada tahun 1926 setelah dibuka sekolah-sekolah sejenis di
berbagai tempat. Antara tahun 1868-1879 diselenggarakan pendidikan untuk
penolong Injil di Tomohon, yang dibuka kembali pada tahun 1886 sebagai STOVIL (School
tot Opleiding van Inlandsche Leeraars); sejak tahun 1884 diselenggarakan
Kursus Pandita Pansurnapitu (di Tanah Batak) dan tahun 1885 dibuka STOVIL di
Ambon. Kemudian di beberapa daerah, sesuai perkembangan kebutuhan penginjilan,
dibuka sekolah-sekolah pengantar jemaat: Nias (1901), Kupang (1902), Yogya
(1906), Karuni (Sumba, 1924), Rantepao (1930), Banjarmasin (1932) dan Pendolo
(Poso, 1940), serta kemudian di Irian Barat (1954). Lama pendidikan berkisar
dua sampai lima tahun dan dengan kurikulum yang berbeda namun dengan tekanan
yang kuat pada hubungan guru – murid pada segi ketrampilan praktis (lulusannya
siap pakai dalam pelayanan). Van den End mencatat bahwa tingkat pendidikan yang
rendah itu cocok dengan pandangan para zendeling untuk dapat mempertahankan
kedudukannya sebagai wali gereja bagi orang Kristen Indoensia; dan karena suatu
pendidikan yang lebih tinggi mamang belum dapat diselenggarkan berhubung
pendidikan menengah di Indonesia belum secara luas dibuka. Karena dukungan
kepustakaan teologi dalam bahasa Melayu atau bahasa daerah masih sangat langka,
sedangkan para siswa tidak dilengkapi pengetahuan bahasa asing, maka
majalah-majalah Kristen seperti Bentara Hindia, Pelita, Zaman Baroe,
Immanuel, Sinalsal, Mari Rahardja, Soelo,berperan penting mengisi
kekurangan kepustakaan itu sampai menjadi media pengungkapan pemikiran Kristen
masa itu.83
Pada kunjungannya ke Indonesia pada tahun 1926 John Mott mencela tiadanya
usaha mempersiapkan pemimpin-pemimpin pribumi. Teguran itu mendapat perhatian
kalangan Zending.84 Sementara
itu suatu pendekatan baru dimulai di Jawa Timur, yakni untuk mendukung
“pendewasaan” jemaat-jemaat sebagai milik Kristus yang bertanggung jawwab menjalankan
panggilannya di tengah-tengah dunia ini. Jemaat Mojowarno dinyatakan berdiri
sendiri pada tahun 1923. dan dalam hubungan dengan pendekatan baru itu dibuka
suatu pendidikan teologi pada tahun 1925 di Kediri, berupa kursus teologi bagi
20 orang guru jemaat, diasuh bersama oleh B. M. Schuurman dan C.W. Nortier.
Pada tahun 1926 diputuskan untuk menjadikan kota Malang sebagai pusat kegiatan
Zending (NZG) di Jawa Timur, di mana antara lain dibangun sekolah teologi dan
rumah sakit. Demikianlah maka sebuah sekolah teologi dengan nama “Bale Wijata”
(=serambi pengetahuan) dibuka pada tanggal 6 Januari 1927 di Malang.85
Nortier menjelaskan sifat pendidikan yang mereka selenggarakan di Malang
itu sebagai kehidupan bersama Kristus:
Hidup dan bekerja di “Bale Wiyata” seharusnya mengandung arti: selama empat
tahun menyerahkan diri kepada suatu kehidupan bersama dan tujuan utama di ditu
ialah belajar hidup bersama Kristus agar dengan perantaraanNya dapat menangkap
makna Firman Allah kepada manusia. Demikian “Bale Wiyata” sebenarnya lebih
tepat digambarkan sebagai sekolah intuk atau yang menuju kepada tercapainya
kehidupan rohaniah dan pertobatan yang lebih mendalam, suatu sekolah yang
menanamkan sifat-sifat seperti yang dimiliki para rasul, daripada sebagai
sekolah memberi wewenang guna memberitakan Injil berdasarkan pengetahuan
mengenai ilmu theologia belaka. Pembangunan gedung sekolah dan pengaturan
gedung-gedung di kampus dicoba diatur sedemikian rupa , hingga dapat
dilancarkan pergaulan yang erat antara murid-murid dan para dosen.86
Dari sudut lain Schuurman menyebutkan Bale Wiyata sebagai een
school voor Oostersche Christenen, dalam arti bukan hanya batu-batu
fondasinya yang diletakkan dalam bumi Jawa, melainkan terlebih dasar-dasar
rohaninya akan dipatok dalam dasar jiwa orang Jawa. Selanjutnya Schuurman
mengandaikan kekristenan sebagai benih yang membutuhkan tanah untuk
menanamnya:
Itu berarti: baru kalau pengenalan Alkitab dan sejarah kekristenan
digabungkan dengan pengenalan akan orang Jawa, pengenalan akan sastra dan
sejarahnya, dan kehidupan dan perjuangannya, maka ada harapan untuk memperoleh
suatu pemahaman hidup dalam kekuatan Injil bagi orang Jawa. Karena itu, sesuai
kekuatan kami, kami banyak mencurahkan perhatian pada berbagai ragam kehidupan
rohani di kalangan orang Jawa, dan berusaha mengetahui hal-hal itu terutama
dari kekayaan kesustraan Jawa dan sejarah Jawa yang menarik. Kami juga
mendorong para murid kami untuk belajar mengenal bangsanya melalui banyak
percakapan. Kekristenan baru dapat bertumbuh dalam tanah kehidupan yang utuh.87
Dalam penelitiannya, Schuurman menemukan dua titik api kehidupan orang
Jawa, yakni kraton (pusat kerajaan Jawa) dan ilmu (ajaran
rahasia kehidupan). Kraton memerintah dan mengasuh kehidupan jasmani, sedangkan
yang kedua menyangkut kehidupan rohani. Maka dalam memberitakan Injil dapat
ditunjuk kenyataan bahwa Yesus Kristus memenuhi kedua fungsi itu dengan lebih
baik.88
Schuurman hanya memperhubungkan Bale Wiyata dengan kontekstualisasi teologi
dalam rangka kedewasaan Gereja; tidak diperoleh catatannya mengenai hubungan
sekolah teologi ini dengan nasionalisme Indonesia. Tetapi telah dicatat pada
bagian awal bab ini mengenai dukungan Schuurman terhadap nasionalisme Indonesia
di kalangan VIO-NCSV. Ketika masih di Kediri, tahun 1923, Schuurman
mengemukakan pikiran-pikirannya mengenai prgerakan nasional Indonesia dalam
suatu surat kepada NZG, lembaga pekabaran Injil yang mengutusnya. Schuurman
menghendaki keterlibatan pihak Zending dalam mengarahkan orang Kristen dalam dunia
politik dan mendukung kemerdekaan Indonesia yagn pada gilirannya menentukan
kedewasaan Gereja. Semakin maju kemerdekaan di bidang gerejani danpolitik,
dengan sendirinya semakin maju pulalah kehidupan Kristen. Antara lain dia
menyatakan:
Proses kebangkitan nasional ini, yang berarti juga perlawanan nasional,
sedang berlangsung dan kami tidak dapat menduga apa akibatnya bagi kami nanti.
Yang pasti ialah bahwa dari pihak nasionalisme, hampir setiap orang Eropah
dipandang dengan rasa curiga, tidak terkecuali orang Kristen dan Zending. Apa
yang akan terjadi dengan yang terakhir ini sama sekali tergantung dari garis
kebijaksanaannya sendiri. […] Tugas Zending dalam kancah politik, pada hemat
saya, ialah tertutama memelihara dan membina hubungan kepercayaan, dan
membawanya memancar keluar ke dalam dunia politik, di mana suasana semakin
mendingin. Akan tetapi, barang yang mahal ini tidak dapat dibeli dengan harga
yang rendah. Dan kitalah yang harus membayar harga itu. […] Tetapi kebalikannya
adalah: dalam perjuangan demi otonomi dan kemerdekaan, saya tanpa reserve
memihak kapada nasionalisme Indonesia. Tetapi bagi saya adalah sama pentingnya
alasan yang menyangkut paedagogi bangsa ini, yaitu bahwa penggarapan sendiri
terhadap anugerah-anugerah Injil yang bersifat rohani itu, barulah dapat
diharapkan apabila ada lingkungan jasmani, di mana kesadaran Jawa yang berdiri
sendiri dapat melatih diri dan berkembang. Karena hukumnya ialah: yang jasmani
dulu barulah yang rohani. Desakan ke arah kemerdekaan politis dapat memberi
kesempatan kepada Injil untuk meresap lebih dalam. Dan sudah barang tentu
kemerdekaan Gereja yang tidak ditunda lagi itu akan memberi kesempatan yang
demikian.89
Kebutuhan akan suatu pendidikan teologi yang lebih tinggi dan melayani
seluruh Indonesia menjadi perhatian beberapa tokoh Gereja Protestan di
Indonesia.90 Percakapan
antara Kraemer dan Schuurman dengan tokoh-tokoh GPI: van Oosteom Soede (Ambon),
de Vreede (Minahasa) dan De Bruijn (Kupang), pada bulan Mei 1930, meyakinkan
GPI akan perlunya mendirikan sebuah sekolah teologi. Hal yang sama telah pula
dibicarakan Kraemer dengan Dr. Warneck dari pihak RMG, pada kunjungannya ke
Tanah Batak pada tahun 1929. Mula-mula pihak pimpinan Znding di Belanda
keberatan karena pertimbangan kebutuhan dan keuangan: wilayah-wilayah yang
dilayani kalangan Zending belum membutuhkan tamatan pendidikan tinggi dengan
gaji yang besar. Tetapi mereka dapat diyakinkan (oleh Crommelin) sehingga
akhirnya suatu panitia dibentuk terdiri dari wakil-wakil GPI, SCZ dan RMG untuk
mempersiapkan usaha mendirikan suatu sekolah tinggi teologi.91 Panitia
menunjuk komisi Depok (Centraal Comité Depok) di Negeri Belanda (badan
yang menyelenggarakan Seminari Depok yang telah ditutup pada tahun 1926)
sebagai pendiri sekolah teologi itu. Untuk itu Komisi Depok membentuk suatu
Dewan Kurator dan Pengurus. Dewan Kurator terdiri atas: Prof. J.M.J. Schepper
(Ketua), Mr. S.C. Graaf van Randwijk (Sekretaris), Dr. R. Tumbelaka dan Dr. H.
Kraemer; sedang pengurus adalah: Mr. S.C. Graaf van Randwijk (Ketua), Mr. C.C.
van Helsdingan dan Mr. J.E. van Hoogstraten.92
Setelah beberapa tahun persiapan, akhirnya Hoogere Theologische
School (disingkat H.Th.S., di sini dipakai HTS) secara resmi dibuka
pada tanggal 9 Agustus 1934 di Bogor dengan dihadiri antara lain Gubernur
Jenderal De Jonge dan para pejabat tinggi pemerintah kolonial lainnya. Tahun
1936 HTS dipindahkan ke Jakarta. Mula-mula hanya ada dua orang tenaga dosen
tetap, Dr. Th. Müler-Krüger (bidang teologi dan merangkap Rektor)93 dan
J.H. de Groot (bidang umum). Kemudian masuk Dr. M.C. Slotemaker de Bruïne
(sebagai Rektor tahun 1937)94 dan
Dr. A.J. Rasker (di bidang teologi, masuk tahun 1939). Mahasiswa yang diterima
haruslah sekurang-kurangnya lulusan atau sederajat MULO (setingkat SMP).95 Kuliah
diberikan dalam bahasa Belanda; bahasa Inggris dan bahasa Melayu merupakan mata
kuliah wajib, sedangkan bahasa Jerman pilihan. Pendidikan ditempuh selama enam
tahun, dengan rincian dua tahun pertama sebagai masa persiapan umum (propaedeuse),
lalu tiga tahun pendidikan teologi dan satu tahun terakhir untuk praktek di
lapangan di bawah bimbingan seorang pendeta. Pendidikan diselenggarakan dengan
tekanan pada penyediaan calon-calon pelayan bagi gereja. Sebab itu setiap calon
haruslah utusan dari gereja atau badan zending bakal gereja.96 Sebelum
Perang Dunia II diterima tiga angkatan, masing-masing (dengan jumlah mahasiswa:
1934 (18), 1936 (11) dan 1939 (9, seorang mahasiswi). Selama Perang Dunia HTS
ditutup, baru dibuka kembali pada tahun 1946. Pada tahun 1954, dengan
kepengurusan yang baru di tangan orang-orang Indonesia, HTS ditingkatkan
menjadi Sekolah Tinggi Theologia (STT).97
Dalam pidato peresmian HTS di Bogor, Hendrik Kraemer mengemukakan bahwa HTS
mempunyai makna lahiriah dan makna rohaniah. Dalam hal yang pertama Kraemer
menunjuk HTS sebagai buah kerjasama antara GPI dan badan-badan Zending dan
menjadi pusat kerjasama antara gereja-gereja di Indonesia.98Menyangkut
makna rohani, Kraemer menekankan pentingnya pembinaan rohani dalam
Protestantisme, yaitu bahwa jemaat selaku umat Allah dikumpulkan sekeliling
Kristus dan Firman Allah, dan untuk itu perlu pendidikan yang baik bagi para
pemimpin jemaat. Dalam hubungan itu, Kraemer menilai pendidikan pribumi
sebelumnya semata-mata untuk memperoleh pembantu-pembantu bagi
pekabar Injil dari Eropa. Maka HTS merupakan perwujudan dari pemikiran untuk
mewujudkan peningkatan dari kerjasama ke kepemimpinan bersama:
Akan tetapi dilihat dari pendirian bahwa kekristenan adalah tanah rohani,
dari mana kehidupan rohani dan persekutuan dari kelompok-kelompok dan
bangsa-bangsa yang dimenangkan akan bertumbuh, haruslah ditegaskan bahwa
kerjasama dengan pribumi hanya boleh menjadi suatu tahap awal dan sementara,
tetapi haruslah secepat mungkin menjadi kepemimpinan bersama oleh orang pribumi
di atas dasar suatu pendidikan yang sama seperti yang diterima pekerja-pekerja
Eropa.99
Di balik pemikiran ini ada desakan untuk secepatnnya mengusahakan
kemandirian gereja-gereja di kalangan pribumi. Selanjutnya Kraemer mengemukakan
fungsi HTS sebagai tempat studi dan persekutuan hidup dan kerja para dosen dan
siswanya, tempat di mana gereja dan Zending, pendidikan dan kesaksian,
kemuridan dan kerasulan menjadi suatu kesatuan.
Pidato singkat pada pembukaan itu oleh rektor HTS, Dr. Müller-Krüger,
menekankan dua hal: memandang HTS sebagai seminarium ecclesiae (persemaian
gereja), dalam arti melakukan pembibitan bagi tumbuhnya suatu gereja yang
berciri Indonesia untuk menggantikan bibit-bibit Barat yang di tanam di Timur
(Indonesia); dan kegiatan berteologi (yang bertolak dari kedalaman hati)
sebagai pemuliaan nama Tuhan.100
Kebutuhan gereja di Idonesia berupa kemandirian gereja, keesaan gereja,
kontekstualisasi teologi dan pendalaman kerohanian bagi panggilan pelayanan
menjadi ideal penyelenggaraan HTS pada tahun-tahun sebelum Perang Dunia II.101 Keterarahan
HTS kepada kebutuhan itu diwujudkan dalam isi dan metode pendidikan. Untuk itu
ditempuh jalan berteologi dari yang khusus ke yang umum:
Yang terakhir inilah jalan melalui mana kami belajar memahami dan
merumuskan masalah-masalah khusus dalam Gereja-gereja di negeri ini, dan
melalui jalan mana kami belajar menemukan jawaban-jawaban dalam bentuk yang
paling baik dimengerti di sini.102
Pendekatan yang kontekstual ini diharapkan kelak menghasilkan Indische
Theologie:
Apa yang pada masa depan pada Teologi Hindia menjadi yang khas Hindia itu,
yang dengannya Gereja-gereja di Hindia sendiri akan perdengarkan suaranya yang
sendiri, yang barangkali polifon di dalam Kekristenan Oikumensis, harus
ditemukan bukanlah oleh kita melainkan oleh penduduk-penduduk negeri ini
sendiri.103
Dalam rangka tujuan itu pula diberi makna penting pada asrama mahasiswa (schoolinternaat)
yang menunjang suasana belajar dan suasan rohani, sehingga tercipta suasana
persaudaraan rohani. Da mengingat HTS mendidik calon pelayan dari berbagai
gereja maka diharapkan persekutuan hidup dan belajar itu menjadikan HTS suatu
unsur penting dalam keesaan Gereja di Indonesia:
Lagipula, sejak penutupan Seminari Depok, dan di sana hal itu berdasarkan
keadaan gerejawi pad amasa itu dan jenjang Sekolah itu sendiri kurang penting,
untuk pertama kalinya dalam sejarah Gereja di Hindia terjadi bahwa suatu
persekutuan pendidikan pendeta bagi Gereja-Gereja di Indonesia yang berbeda-beda
dan Zending diwujudkan.karena hal ini kiranya kita boleh menganggap Sekolah
Theologia Tinngi sebagai suatu unsur penting bagi pembentukan dari suatu
Keesaan Gerejawi Hindia.104
Prof. Latuihamallo menilai tujuan-tujuan HTS umumnya tercapai, kecuali
dalam hal kontekstualisasi teologi. Beliau menyebut duaalasan untuk itu:
pertama, orang tidak bersungguh-sungguh dengan lingkungan sosio-kultural dan
religius. Tradisionalisme dipertahankan, juga karena takut perubahan teologi
akan memancing kritik dan propaganda anti-Kristen dari pihak Islam. Kedua,
karena “kepribadian Indonesia”. Mengikuti Soedarmo, Latuihamallo memberi
ciri-ciri umum watak identitas itu: religiositas, toleransi dan musyawarah.
Kepribadian ini menekankan dinamika Injil dan dengan demikian mendukung
konservatisme atau tradisionalisme.105
Berdirinya HTS mempunyai arti khusus bagi kalangan mahasiswa Kristen di
Jakarta, yakni hadirnya para mahasiswa teologi dalam CSV op Java. Dengan
demikian wawasan nasionalisme dan wawasan oikumenisme saling memberi masukan
dengan pemikiran teologi. Latuihamallo, sebagai mahasiswa HTS angkatan ke-3
(1939-1948), memberi kesaksian bahwa nasionalisme Indonesia terasa pengaruhnya
dalam pemikiran mahasiswa HTS sebagaimana tampak dalam diskusi-diskusi jika
diselenggarakan debating avonden yang wajib dihadiri semua
mahasiswa dan para dosen.106
3.4 Rangkuman
Pelayanan rohani di kalangan pemuda dan mahasiswa Kristen yang sedang
menuntut ilmu di berbagai lembaga pendidikan menengah dan tinggi di kota-kota
besar di pulau Jawa membuahkan suatu generasi muda berwawasan yang baru, yaitu
dengan memperhubungkan kekristenan dengan nasionalisme Indonesia. Pelayanan ini
tidak dapat dipisahkan dengan kegiatan persatuan para anggota VIO-NCSV dan juga
dengan Komisi Pemuda NZB, dengan tokoh-tokoh penggeraknya seperti suami-isteri
van Doorn-Snijders, Schuurman, Schepper, Kraemer dll. Kelompok “ekstra-gereja”
dari latar belakang gerakan mahasiswa Kristen (SCM,WSCF) ini memperkembangkan
kepekaan Kristen terhadap masalah-masalah sosial politik, baik dalam lingkup
nasional maupun internasional, serta keterbukaan terhadap aliran Kristen yang
berbeda di dalam pergerakan oikumene.
Pelayanan pemuda Kristen dilembagakan dalam kegiatan-kegiatan rutin
penelaahan Alkitab dan pembinaan rohani dalam hubungan dengan
kenyataan-kenyataan sosial dan politik, disamping kursus kterampilan, acara rekreasi
dan camping, yang dipusatkan pada clubhuis. Dalam hal ini pembinaan
diarahkan untuk memperluas cakrawala kekristenan para pemuda dan mahasiswa,
baik menyangkut masalah-masalah gereja (segi oikumene), maupun soal-soal
masyarakat dan bangsa (segi nasionalisme). Wawasan oikumene dan nasionalisme
para pemuda terungkap melalui pemikiran P.A. Tiendas dan J. Leimena, yang sama
memperhubungkan iman Kristen dengan pergerakan nasional.
Kunjungan tokoh-tokoh oikumenis, John. R. Mott dan H. Rutgers, ke Indonesia
(Sumatera dan Jawa) pada tahun 1926 menambahkan perkembangan baru dalam
pelayanan ini, yakni dilembagakannya konferensi tahunan para pemimpin pemuda, jeugdleidersconferentie,
dan pemantaban organisasi-organisais untuk pelayanan pemuda, pelajar dan
mahasiswa Kristen di beberapa kota besar.
Kemudian, Konferensi Asia – Australia WSCF di Citeureup pada tahun 1933
menjadi peristiwa yang menentukan, khususnya bagi pergerakan mahasiswa Kristen
di Indonesia. Konferensi itu sendiri menjadi ajang pendalaman wawasan oikumene
dan nasionalisme dari sudut pandang injili, yang sebelumnya telah menjadi acuan
pelayanan di kalangan pemuda dan mahasiswa. Sudut pandang tersebut melahirkan
wawasan nasionalisme yang kritis partisipatif; menyambut dan melibatkan diri
dalam masalah-masalah nasional tetapi dengan cermat menarik batas antara
nasionalisme yang baik dengan yang buruk berdasarkan prinsip-prinsip
Kristen.
Pada bidang pengkaderan pelayanan gereja, wawasan oikumenis mendapat salah
satu pusat pengembangannya dalam pembukaan HTS pada tahun 1934. Bagian tak
terpisahkan dari hubungan gerakan oikumene dan pergerakan nasional di lembaga
ini adalah pengembangan pemikiran teologi yang berakar dalam kenyataan
Indonesia. Dalam bidang ini B.M. Schuurman dengan Sekolah Teologinya di Malang,
“Bale Wiyata”, dan Th. Müller-Krüger di Batavia, HTS, patut dicatat sebagai
peritis ke arah teologi kontekstual itu.
1 C.P.
Cohen Stuart, Een Weg om te Dienen (n.d.), hlm. 21.
2 Naskah
ceramah dalam Mededeelingen VIO-NCSV, 1/2/ April 1920: 24-35.
3 Demikianlah
bagi orang Yahudi aku menjadi seperti orang Yahudi, supaya aku memenangkan
orang Yahudi. Bagi orang hidup di bawah hukum Taurat aku menjadi seperti orang
yang hidup di bawah hukum Taurat, sekalipun aku sendiri tidak hidup di bawah
hukum taurat, supaya aku dapat memenangkan mereka yang hidup di bawah hukum
Taurat.” (1 Kor. 9:20).
4 Mededeelingen VIO-NCSV,
1/2/April 1920: 37 dyb.
5 Dr.
B.M. Schuurman studi teologi di VU, 1922-1945 zedeling NZG di Jawa Timur,
1922-1942 dosen Sekolah Theologia “Bale Wyata” di Malang. Lihat H. Kraemer, “Dr.
B.M. Schuurman, Orangnya dan Karyanya” dalam H. Kraemer dkk (eds), Penyingkapan
Rahasia Kehidupan: Riwayat Hidup dan Karangan-Karangan Dr. B.M. Schuurman (Jakarta:
Persetia, 1977), hlm. 10-40.
6 B.M.
Schuurman, “Onze houding tegenover de nlandsche Beweging”, Mededeelingen VIO-NCSV,
4/3/Juli 1923:68.
7 Ibid.,
hlm. 72.
8 Ibid.,
hlm. 79 dyb.
9 Ibid.,
hlm. 81.
10 Ibid.
11 van
Helsdingen, “Nogmaals: Onze houding tegenover de Inlandsche Beweging”, Mededeelingen VIO-NCXV
4/4/Agustus 1923: 158.
13 Dalam
perkembangan CEP/CSP selanjutnya VIO-NCSV tidak mendukung seruan itu, wlaupun
beberapa anggotanya aktif pada partai politik Kriste yang konservatif
itu.
14 J.M.J.
Schepper, Het vonnis in de P.N.I. –zaak(Batavia: De Unie, n.d.).
Setelah proklamasi, Prof. Schepper memberi perhatian pada soal kebebasan
beragama dan hubungan agama dan negara. Lihat J.M.J. Schepper, Vrijheid
van Goldsdienst en de Verhouding Kerk en Staat (‘s-Gravenhage:Boekencentrum,
1948).
15 Ratu
Lange, “De Inlandsche Christenen en de nationalistische beweging”, Mededeelingen VIO-NCSV,
10/7/September-October 1929: 12.
16 Mededeelingen VIO-NCSV,
4/5/October 1923:195-210. Uraian berikut merurangkuman karangan ini yang
memperlihatkan idealisme pelayanan pemuda dan mahasiswa Kristen dalam
kalanganVIO-NCSV.
17 H.
Kraemer, “De komst van Dr. Mott”, De Opwekker, 71/1926: 4-5.
18 H.
Kraemer, “De komst van Dr. Mott”, De Opwekker, 71/1926:4-5.
19 Ruth
Rouse, “Voluntary Movements and the Changing Ecumenical Climate”, dalam Ruth
Rouse dan Stephen Charles Neill (eds), A History of the Ecumeical
Movement 1517-1948, hlm. 341. Ruth Rouse juga melihat seluruh karir
John R. Mott sebagai pengejawantahan makna gerakan mahasiswa Kristen
terhadap gerakan oikumene (hlm. 342). Untuk biografi John Mott, lihat A.L.
Fransz, Dr. John Mott, Pelopor Pekabaran Indjil dan Kesatuan Kristen (Djakarta:
Badan Penerbit Kristen, 1959); dan F.L. Cross and E.A. Livingstone (eds), The
Oxford Dictionary of the Christian Church (London, New York, Toronto:
Oxford University Press, 21974), hlm. 945.
20 Terjemahan
bahasa Belanda resolusi ini, selengkapnya dimuat dalam “De conferentie
van Peking”,Mededeelingen VIO-NCSV, 4/5/October 1923:213-216.
21 C.L.
en W.S.F. van Doorn-Snijders, “De Doorwerking van Peking”, Mededeelingen VIO-NCSV,
4/5/October 1923: 217-227. Beberapa bagian mereka kutip untuk memperlihatkan
bagaimana atau apa pokok perhatian kalangan mahasiswa Kristen sedunia yang
mempengaruhi kalangan pembina pemuda dan mahasiswa Kristen di Indonesia masa
itu.
22 Ibid.,
hlm. 224.
23 Ibid., hlm.
225 dyb.
24 Ibid.,
hlm. 227.
25 Rangkaian
acara perkunjungan disusu sebagai berikut: Dr. Rutgers tiba di Medan pada
tangal 20 Januari dan seminggu kemudian Dr. Mott menyusul. Keduanya mengunjungi
dan berceramah pada berbagai pos PI di Tanah Batak. Rabu 1 Pebruari bertolak
dari Padang dan tiba di Jakarta tanggal 10 Pebruari: berceramah pada berbagai
kelompok dan mengunjungi beberapa pos PI di Bogor dan sekitarnya. Tanggal 17
pebruari ke Bandung berceramah pada THS dan konferensi pemuda tanggal 18 dan 19
Pebruari. Sabtu, 20 Pebruari ke Jogyakarta: mengikuti pertemuan NIZB dan
mengunjungi pos-pos PI. Minggu 28 Pebruari ke Surabaya berceramah pada beberapa
kelompok. Kamis 4 Maret berangkat ke Australia. “Programaa voor de reis van dr.
Mot en Rutgers”, Mededeelingen VIO-VNCSV, 7/1/Januari 1926:
8.
26 C.
L. van Doorn, “Wat mogen wij van het bezoek van Dr.ott verwachten?”, Mededeelingen
VIO-VNCSV, 7/1/Jan 1926: 8.
27 De
resultaten van het bezoek van Dr. Mott”, Mededeelingen VIO-VNCSV,
7/1/Januari 1926: 102.
28 Sukarno
salah seorang lulusan THS Bandung. Putuhena, salah seorang pemuka Kristen dalam
pemerintahan pada awal Republik dan tokoh Parkindo, tamat ari THS pada
tahun 1927. Lihat Putuwati, Ir. Martinus Putuhena: Menteri Pekerjaan Umum di
Masa Revolusi (Jakarta: SinarHarapan, 1985), hlm. 33-34.
29 Cohen
Stuart, Een Weg om te Dienen, hlm. 17 dyb.
30 Kelling,
“Eind-nota aangaande het Y.M.C.A. – werk in Indië” Mededeelingen
VIO-VNCSV, 6/5/October 1925: 225-235.
31 C.L.
van Doorn dan W.S.F van Doorn-Snijders, “De Y.M.C.A. in Chinaen wat ze ons in
Indië leeren kan”, Mededeelingen VIO-NCSV, 4/1/April 1923:
9-14.
32 C.L.
van Doorn, “Verslag van den C.S.V. arbeid in Ned-Indië over het tejdva December
1926 to Juni 1927” Mededeelingen VIO-NCSV, 8/6/Juli 1927: 37-
41.
33 Di
sini tinggal van Doorn sekeluarga dan beberapa mahasiswa. Setelah seluruh
kegiatan dialihkan,clubhuis di Kwitang 10 menjadi pusat lektur (penyediaan
bahan bacaan) NIZB. Gedung Kebon Sirih 44 ini kemudian dihibahkan kepada GMKI,
tetapi pada tahun 1950-an dipakai pemerintah dan sampai kini GMKI belum
berhasil memperolehnya kembali.
34 Salah
seorang mahasiswa fakultas hukum (RHS) yang aktif dalam kelompok Schepper
adalah Amir Sjarifuddin. Lihat kesaksian Mr. A.L. Fransz dalam Christiaan de
Jonge, “Riwayat Hidup Mr. Augustine Leonore Fransz”, dalam J. Garang (ed), Pelaku
Wacana: Peringatan Asta Dasa Warsa Mr. Augustine Leonore Fransz, 20 Agustus
1987 (Jakarta: Balitbang PGI, 1987), hlm. 15 dyb.
35 Ibid.,
hlm. 22 dyb. Keterlibatan wanita dalam kegiatan-kegiatan organisasi Kristen
masa itu merupakan dukungan gerakan oikumene bagi gerakan emansipasi wanita.
36 Di
antara para aktivs pemuda Kristen Solo terdapat orang-orang yang kemudian
menjadi pemuka kalangan Kristen Indonesia, seperti Ds. Basoeki Probowinoto dan
Melanchton Siregar.
37
“De stand vna het Jeugdwerk”, Mededeelingen VIO-NCSV,
8/1/Februari 1927: 5-10; “Kebon Sirih 44”, Mededeelingen VIO-NCSV,
8/11/December 1927: 3-6. P.A. Tiendas dalam “Pergerakan Pemoeda Kristen Hindia”
Zaman Baru, 1928: 293-94 memberi daftar sebagai berikut: Organisasi Pemuda
berbahasa Boemi Poetera: Moeda Kristen Djawi (Solo), Per.
Pemoeda Prot. Timor (Kupang), Mal. Jong Makassar(Makassar), Concordia
Sangi (Tamako), Hehe, Pematang Siantar. Yang berbahasa
Belanda: Bond van Vereenigingen van Christen Jongeren dengan
anggota-anggota: Monika (Perkumpulan Gadis Hindia Kristen), Mardiwatjana,
Christen Jongeren Celebes, Tole, Advendo, Pasoendan Haju, Chr. Jongeren.
Lain-lain: Chr. Jongelingsclub (Djokja), Jong Indië (Bandoeng), Bataviasche
Kring van Chr. Jongeren (p/a J. Leimena, Batoe Toelis 57
Weltevreden); Ambonsche Bond van Chr. Jongeren(Ambon), Menadosche
Chr. Jongeren (Manado)
38 W.Schmidt,
“Jengdwerk”, De Opwekker, 74/1929: 168 dyb.
39 Peranan
penerbitan di kalangan organisasi sangat penting sehingga juga organisasi
pemuda Kristen mengusahakannya. Beberapa terbitan untuk pemuda Kristen tercatat
sebagai berikut: “S.s.ch. Christen boeat pemoeda-pemoeda; Moeda Kristen Djawi
(Jogja, maand. Org. Jav. Chr. Jongel.); Rindoe Dendam(Solo, Maand.
Bond. Van Ver. V. Chr. Jongeren); Soeloeh Pemoeda (Manado,
maand. Chr. Jeugdevereeningingen); Omhoog (Menado, tweem. Org.
Jeugdraad [Prot.]); Tuwokona (Tahoena, maad. Prot. Jeugd
organisatie Tahoena); Soerat Persaoran (Taroetoeng, maand.
Hoeria Kristen Batak). “Soerat Chabar Kristen Haroes Lebih Madjoe” (Pers Boemie
Poetera di Indonesia) Zaman Baroe, 1930:339.
40 “P.A.
Tiendas, “Soerat Terboeka”, Zaman Baru, 20/1928:233-235.
41 P.A.
Tiendas, “Pemandangan Ringkas Pergerakan Pemoeda Masehi di Indonesia”, Zaman
Baroe, 7/1920: 97-98; 8/1930:108-109.
42 P.A.
Tiendas, “Rentjana Ringkas dari pada Conferentie Pemimpin Pemoeda jang keempat
di Koepang”, Zaman Baroe, 67:1024. Bahkan Tiendas memberikan ceramah mengenai
kekristenan dan nasionalisme pada suatu JLC; lihat H. Meyerink,
“Jeugdleidersconferetie in Hotel Merbaboe van 21-27 September j.l.”,De
Opwekker, 74/1929: 398.
43 Johanes
Leimena dilahirkan pada tanggal 6 Maret 1905 di Lateri, Ambon, dari keluarga
guru Leimena-Sulilatu. Leimena mengikuti pamannya ke Jawa, dan kemudian tinggal
di Batavia. Setelah menamatkan sekolahnya pada MULO Kristen di Gang Menjangan
(kini SMA-PSKD Jl. Kwini), Leimena melanjutkan ke STOVIA. Selama masa
mahasiswanya, Leimena aktif dalam organisasi mahasiswa Maluku, Jong Ambon
(didirikan tahun 1917) dan Vereeniging Ambonsche Studenten (VAS,
1924). Kegiatan organisasi itu menyangkut juga politik di bawah kedua
organisasi politik Ambon yang berlawanan paham, SA dan CAV. Wawasan politik
pergerakan diperolehnya dalam organisasi kedaerahan itu. Seperti telah
dikemukakan di atas, dia menghadiri Kongres Pemuda II tahun 1928 mewakili Jong
Ambon. Pada masa yang sama juga Leimena aktif dalam lingkungan pemuda Kristen
berwawasan oikumenis, yang diasuh van Doorn, yang kemudian membawanya ke pucuk
pimpinan CSV op Java. Leimena menikah pada tahun1933 dengan Wijarsih
Prawiradilaga, seorang wanita Kristen asal Pasundan. Data biografi J. Leimena
didasarkan terutama pada karya R.Z. Leirissa, “Biografi Dr. J. Leimena”, dlaam
P.D. Latuihamallo dkk (pan.),Kewarganegaraan Yang Bertanggungjawab:
Mengenang Dr. J. Leimena (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1980), hlm.
1-103.
44 J.
Leimena, “Keloekoe dan Oentoeng oleh Pergerakan Pemoeda Masehi”, Zaman
Baru, 1918: 485 dst [4 seri].
45 Ibid., hlm.
487. Dalam kutipan ini terdapat dua kata yang tidak dijumpai dalam beberapa kamus:mengadon (=mengusahakan,
atau membentuk dalam hubungan dengan mencampur adonan?) dankeloekoe (=dasar?).
46 Ibid., hlm
497. Sebagaimana di kutip di atas, A. Schmidt menyebut pula bahaya
nationalistisch instinct atau supra-nationalisme.
47 Ibid., hlm.
497.
48 Ibid., hlm.
510.
49 Ibid.
50 J.
Leimena, “Report of Java Student Christian Movement”, dalam Francis P. Miller
(ed), Christ and Student of the East: The Report of Java Conference of
the World’s Student Christian Federation, Tjiteureup, Java, September 6-14,
1933 (Shanghai, 1933) hlm. 63, 64. Tampak dalam kutipan ini bahwa
Leimena dipengaruhi gagasan-gagasan “Soempah Pemoeda” yang berkembang di
kalangan pemuda nasionalis masa itu. Dia sendiri hadir mewakili Jong Ambon
dalam Kongres Pemud II 1928 ketika gagasan itu dirumuskan.
51 C.L.
van Doorn “lets over het Federatie Werk”, Mededeelingen VIO-NCSV,
13/1/1932: 96.
52 Mengenai
pembentukan CSV op Java, lihat pula R.Z. Leirissa, GMKI mengemban Oikumene dan
kesadaran Nasional”, Bagian III dalam W. Bonar Sidjabat, Tarianto dan R.Z.
Leirissa, Benang Biru Dimensi Ke-esaan dan Kebangsaan, Manuscrip
Sejarah Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia, (Jakarta: Pengurus
PusatGMKI, 1990), hlm. 105-119.
53 Dalam
pernyataan pembentukannya antara lain dikemukakan: “Dengan pembentukan CSV ini
kami bermaksud mengambil bagian dalam barisan perhimpunan-perhimpunan mahasiswa
Kristen sedunia, yang tergabung dalam the World’s Students Christian Federation
(WSCF), dengan tujuan untuk bersama-sama menyaksikan Yesus Kristus dalam dunia
kemahasiswaan. Adalah tujuan luhur kami supaya juga dalam perhimpunan kami
motto WSCF, “Ut omnes unum sint”, dapat terwujud dalam mengumpulkan para
mahasiswa dari semua kelompok bangsa yang terdapat di negeri ini. Kami yakin
bahwa permulaan ini kecil dna lemah, tetapi kami ingin mengawali pekerjaan ini
dalam keyakinan teguh bahwa Allah di dalam kelemahan kami mau mewujudkan
Kuasa-Nya.” De Christen Studentenvereeniging op Java”, dalam Wat wil de
ChristenStudentenvereeniging op Java?, hlm. 3-4.
54 “Christen
Studenten Vereeniging op Java. Statuten,” Arsip van Doorn, (ketikan
3 hlm., t.t.), hlm.1.
55 J.
Leimena, “De Ontwikkeling van de C.S.V op Java”, Eltheto,
88/8/1934:299 dyb.
56 Ibid., hlm.
301.
57 Leimena,
“Bij de oprichting van de Christen Studenten Vereeniging op Java.” Wat
wil de Chrsiten-Studentenvereeniging op Java?, hlm. 4-5.
58 T.S.G.
Moelia, “The Student Christian Movement of Java”, The Student World,
XXVI/3/1933:255.
59 T.S.G.
Moelia, “De crisis in de samenwerkingsgedachte”, Eltheto,
88/8/1934: 295.
60 Daftar
anggota CSV op Java tahun 1933 (tanda * adalah pengurus pusat): Batavia: J.
Leimena*, C.L. van Doorn*, Amir Sjarifoeddin, Auw Yang Sien, Nn. A.L. Franz,
Nn. E. Gabeler, Hario Koosman, Nn. P.F. Hengkelare, M. Ismangil, E. Kal*, J.W.
Kal, Khouw Eng Soei, M. Lawalata, Liem Bo Sing, Liem Hian Bo, Liem Jang Kiok,
W.J. Maengkom, Nn. A. Manoppo, J. Nanlohy, Oey Biau Hok, S. Pelenkahu, J.O.
Picauly, Poedijo, D.W. Siwy, Nn. R.A. Soemiati, Nn. A.J. Stam, A.M. Tamboenan,
Tan Oen Siang, Tan Tjoen Soei*, Tio Ban Hin, Tio Kee Tiong, E.P.S.L. Tobing,
N.H.L. Tobing, Wirjanoe, Wuller, Poedjio Jonathan*, A. Sinaga; Bandung:
V.Th. Kolmus, J.A. Manusama, M. Sitompoel, J.R. de Vries, Surabaya:
Nn. J.A. Geroengan; Han Soen Hoo, L. Hoeliselan, P. Hutagalung, W.F.Jacob,
Kaiden, Kasmolo, Sj. Latupeirissa, Lie Thing Sioe, J. Mangindaan, S.C.
Nainggolan, J.P. Napitoepoelo, G. Rambitan, M.E.O. Rononuwu, Nn. A. Sakoul,
Sambijono, H. Sinaga, G. Siwabessy, Soenoesno, R.E.M. Suling, K.A. Staa*, S.
Supit, Tamboenan, Tio Biauw Sing, J. Toemengkol, Mesach, Guan Sioe, H.
Wantassen. Jumlah anggota dalam daftar di atas (dari brosur pada pembentukan
CSV op Java) sebanyak 69 orang. Lihat wat wil de Christen –
Studentenvereeninging op Java?, hlm. 11-13. Dalam percakapan dengan penulis
(April 1991), Prof. Latuihamallo, mengingat beberapa anggota aktif CSV pada
tahun-tahun terakhir sebelum perang menurut suku sebagai berikut, Ambon:
Leimena, Putuhena, dr. Lukas Luhulima, Pattiasina, Tahahele, Siwabessy,
Engelen, dr. Hein Hattalabessy; Minahasa: Makaliwe, Makaliwy, Mr.
Henkelare (dari Sangir); Jawa dan Sunda: Sutjipto, Mr. Suwidji, dr.
Elia, Abednego; Batak: Amir Sjarifuddin, A.M. Tambunan, L. Sitorus; Timor:Fransz,
Dr. Johannes.
61 Augustine
Ralla Ram, “The Task of the Federation in the East”, The Student World,
XXVI/1/1933: 42.
62 Ibid.,
hlm. 37-43.
63 Francis
P. Miller (ed), Christ and Student of the East, hlm. iii-iv.
64 Laporan
diskusi kelompok mengenai “The Christian and Society” ini mengungkapkan
kesadaran bahwa panggilan orang Kristen dalam masyarakat berbeda antara satu
masyarakat dengan yang lainnya. Tetapi khusus dalam situasi kepitalistis,
pilihan bukanlah fasisme melainkan gerakan koperasi. K.F. Newman, “Report of
Group Discussion on the Christian and Society”, dalam Ibid., hlm.
106 dst.
65 Francis
P. Miller, “The Christian Message n Relation to Society”, dalam Ibid., hlm.
94-95.
66 Soichi
Saito,The Christian and Society (as illustrated in the present crisis in
Japan)*, Ibid., dalam hlm. 97. Kesaksian ini memperlihatkan bahwa
gereja (dalam hal ini mahasiswa Kristen) di Jepang sejak awal cukup tanggap dan
kritis terhadap perkembangan buruk yang kemudian membawa Jepang ke dalam Perang
Dunia II.
67 Agaknya
Leimena membatasi pada pihak Protestan, sehingga mengabaikan Filipina sebagai
negara Asia berpenduduk Kristen terbanyak. Jumlah mahasiswa pada ketiga sekolah
tinggi di Jawa 675 orang: THS 125, RHS 250 dan GHS 300 mahasiswa; dan dari segi
ras: Indonesia 350, Cina 150, dan Eropa 200 orang (kebanyakan Indo). Mahasiswa
Indonesia umumnya tergabung dalam PPPI, sedangkan mahasiswa
Cina terkumpul dalam organisasi tersendiri. “Ta Hsioh”. C.L. van Doorn,
“De Indische Studentengemeenschap” Eltheto,87/1932-33: 139 dyb.
Prof. Latuihamallo menyebut adanya USI (Unitas Studiosorum Indonesiensis) yang
bersifat nasionalistis, di mana menjadi anggota a.l. Max Maramis dan
Soedjatmoko; sedangkan mahasiswa Eropa terhimpun dalam suatu organisasi
mahasiswa elitis, Batavia Studenten Corps.
68 J.
Leimena, “Report of Java Student Christian Movement”, Christ and Student
of the East, hlm. 63.
69 E.
Verwiebe, “The Christian and the Nation” dalam Francis P. Miller (ed), Christ
and Student of the East, hlm. 99. Cukup beralasan untuk melihat dalam
ceramahnya terungkap sikap yang sangat kritis dari pekabar Injil Jerman ini
terhadap kecenderungan yang justru terjadi di negerinya di bawah Hitler yang
berkuasa ketka itu.
70 Ibid.,
hlm. 99.
71 Francis
P. Miller (ed), Christ and Student of the East, hlm. 100 dst.
72 A.
Ralla Ram, “Report of Group Discussion on the Christian Message in Relation to
Race and Nation”, dalam Ibid., hlm. 104.
73 Ibid., hlm.
105.
74 Ibid., hlm.
105 dyb. Keseluruhan ceramah dan pembahasan pokok “The Christian and the
Nation” menggemakan pemikiran-pemikiran teologis yang terungkap dalam majalah
WSCF, The Student World, XXVI/2/1933 yang khusus membahas
pokok itu.
75 The
reception of the S.C.M. of Java into the Federation”, dalam Francis P. Miller
(ed), Christ and Student of the East, hlm. 93.
76 “Statement
by S. Palenkahu”, dalam Ibid., hlm. 129.
77 Nama
resmi Indonesia di bawah pemerintahan kolonial Belanda, “Nederlands Indië” (The
Dutch East Indië), disebut Ralla Ram “a horrid name”. Lihat Augustine Ralla
Ram, “The Task of the Federation in the East”, The Student World,
XXVI/1/1933: 38.
78 Tiendas
adalah seorang dari tiga peserta yang mennyampaikan sambutan atas nama
masyarakat Kristen Indonesia. Dia mewakili wilayah de Groote Oost,
Sindhoepramana mewakili Jawa, dan A. Sinaga mewakili Batak. Pada kesempata itu
Tiendas menyatakan kritiknya kepada pemuka-pemuka Kristen di Indonesia (bagian
Timur): “While in some parts the result of strong mission-action was the
Christianizing of the whole population, the difficulties are now that some of
the leaders of the chruch is too much concerned with itself and is
loosing the missionary-spirit, and that the cooperation between students and
the churches is not all that it should be.” Lihat “Opening Session”, dalam
Francis P. Miller (ed), Christ and Student of the East, hlm. 2.
79 C.L.
van Doorn, “De Javaconferentie va de Wereldfederatie”, Eltheto,
88/3/1933:101.
80 H.
Kraemer dalam De Stuw 4/19/1933 sebagaimana dikutip oleh S.A.
van Hoogstraaten, “World’s Student Christian Federation Conferentie in
Tjiteureup 6-14 September 1933”, De opwekker, 78/1933:564.
81 W.A.
Visser ‘t Hooft, Memoires: Een leven in de oecumene (Brussel/Amsterdam:
Elsevier-Kampen: J.H. Kok, 1971), hlm. 51.
82 Pada
masa VOC, diselenggarakan Seminarium Theologicum di Batavia (1745-1755) yang
merupakan pendahuluan bagi pendidikan teologi di Barat. Lihat Liem Khiem Yang,
“Sekolah Tinggi Theologia Jakarta dan Studi Theologia di Indonesia” dalam S.
Wismoady Wahono dkk (eds), Tabah Melangkah (Jakarta: STT
Jakarta, 1984), hlm. 28 dyb.
83 Lihat
van den End, Ragi Carita 2, hlm. 348-354.
84 Salah
satu ukuran pada bertambahnya kepemimpinan Kristen pribumi di Indonesia adalah
perutusan ke Sidang Dewan Pekabaran Injil Sedunia. Pada Sidang II di
Yerusalem(1928) hanya T.S.G. Moelia wakil pribumi dari Indonesia, sedangkan
pada Sidang III di Tambaram (1937) sudah dapat hadir beberapa orang: dr. J.
Leimena, Mr. Soetjipta, R.M. Luntungan, Pouw Boen Giok, Pdt. Mas Mardjo Sir,
Pdt. B. Moendoeng dan isteri, P. Sitompoel, Pdt. W.H. Tutuarima, dan dr.
Wardojo bersama beberapa utusan lainnya. Lihat P.N. Holtrop, Selaku
Perintis Jalan Keesaan Gerejani di Indonesia: Sejarah Madjelis Keristen
Indonesia bahagian Timur 1947-1956 (Ujung Pandang:ISGIT, 1982), hlm.
11.
85 C.W.
Nortier, Tumbuh, Dewasa, Bertanggungjawab: Suatu Studi
Mengenai Pertumbuhan Gereja Kristen Jawi Wetan Menuju ke Kedewasaan dan
Kemerdekaan +/- 1835-1935 (Jakarta:
Persetia, 1980), hlm. 166. Lihat pula “De Theologische School Balewijata”,
Mededeelingen VIO-NCSV, 9/1/1928: 24-27. Karangan ini (rupanya ditulis oleh Ny.
Nortier) menguraikan pendidikan khusus bagi para isteri siswa berupa
keterampilan menjahitdan pekerjaan tangan lainnya.
86 Nortier, Tumbuh,
Dewasa, Bertanggungjawab, hlm. 166 dyb.
87 B.M.
Schuurman, “Bale Wiyata”, Mededeelingen VIO-=NCSV,
9/2/1928:15.
88 Schuurman,
“Bale Wijata”, Mededeelingen VIO-ncsv, 9/2/1928: 15. Kedalaman pengenalan
Schuurman atas manusia dan kebudayaan Jawa memampukan dia menulis dua jilid
dogmatika dalam bahasa Jawa dan dengan cara berpikiur orang Jawa, Pambijake
Kekeraning Ngaurip (1939, 1951). Untuk riwayat hidup dan pemikiran
Schuurman mengenai teologi dan pendidikan teologi , lihat H. Kraemer dkk (eds),Penyingkapan
Rahasia Kehidupan: Riwayat Hidup dan Karangan-karangan Dr. B.M. Schuurman (Jakarta:
Persetia, 1977). Dalam pengantar terjemahan ini Dr. J.A.B. Jongencel menulis:
“Schuurman memberikan kepada kita suatu contoh yang patut ditiru tentang cara
bagaimana dosen dari Barat harus membimbing kepada bertheologia secara
berdikari dalam konteks Indonesia. Dan tentu saja itulah juga panggilan dan tugas
dosen Indonesia.” (hlm. 9).
89 H.
Kraemer dkk (eds), Penyingkapan Rahasia Kehidupan, hlm. 54
dyb.
90 Sejak
tahun 1921 GPI mulai mengutus putra-putra Indonesia untuk belajar pada sekolah
teologi (di Zendingschool) di Negeri Belanda: A.Z.R. Wenas (1921), B. Moendoeng
(1929), F.W. Lumanauw (1931), W.H. Tutuarima (1931) dan A. Rotti (1935). Lihat
S.C. van Randwijck, Oegstgeest: Kebijaksanaan “Lembaga-Lembaga
Pekabaran Injil Yang Bekerjasama” 1897-1942 (Jakarta: BPK Gunung Mulia,
1989), hlm. 386.
91 Komisi
terdiri atas: Ds. W.F. Breyer dan K. van Dijk dari Indische Kerk, Dr.H. Kraemer
dan Dr. N.A.C. Slotemaker de Bruïne dari Samenwerkende Zendingscorporaties, dan
Dr. J. Warneck dari RMG. Lihat H. Kraemer, “Openingsrede, gehouden ter
gelegenheid van de officile opening der hoogere theologische school te
Buitenzorg”, De Opwekker, 79/1934: 447. Terjemahan naskah ini
terdapat dalam Tabah Melangkah, hlm. 13-27.
92 Lihat
S.C. van Randwijk, “Enkele Mededeelingen over de Hoogere Theologische School”, De
Opwekker, 80/1935: 462. Daftar ini berbeda dengan yang dicatat F. Ukur,
“Tapak-tapak Sejarah (Menyingkap Latar Belakang Historis Lahirnya H.T.S 50
Tahun Lamoau)”, dalam Tabah Melangkah, hlm. 60 dyb.
93 Rupanya
biografi Th. Muller-Krüger dilalaikan dalam buku penghormatan kepadanya; lihat
M.A. Ihromi dan S. Wismoady Wahono (eds), Theo-Dóron, Pemberian Allah:
Kumpulan Karangan dalam rangka menghormati usia 75 tahun Prof. D.Dr. Theodor
Mueller-Krueger (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1979).
94 Tetapi
tidak lama, dia kembali ke Negeri Belanda dan diganti oleh Dr. A.J. Rasker. Dr.
Th. Mueller-Krueger, sebagai seorang Jerman dan dari badan Zending Jerman
(RMG), rupanya tidak diterima kalangan Zending Belanda sebagai pimpinan.
95 Semula
ada pemikiran untuk mendidik pada tingkat sekolah tinggi atau fakultas sehingga
penerimaan dari lulusan AMS atau yang sederajat, tetapi dianggap tidak
realistis dalam hubungan dengan kuragnya lulusn setingkat itu dan karena
kehadiran sarjana teologi dalam jajaran pealyanan gereja akan menyulitkan dari
segi keuangan (gaji yang besar). Sebab itu tingkat pendidikan diturunkan,
bukannya suatu “Theologische Hoogeschool” melainkan suatu “Hoogere Theologische
School”. Lihat “Rectoraatsoverdracht Hoogere Theologische School”, De Opwekker
82/1937: 435 dyb.
96 Prof.
Dr. Ihromi mencatat beratnya beban studi: “Ada kemungkinan dalam penelitian
sedjarah STTtokoh Dr. Müller-Krüger akan mendapat sorotan istimewa: dengan
sistim seminarnja beliau se-olah2 mau mengedjar segala
kekurangan, memburu waktu, dan mahasiswa2 setjara indirect
dilatih berfikir dan bertindak sendiri. Debating-club seminggu sekali
berdasarkan masalah2 pentingdalam surat2 perlu
ditjatat, disamping itu pemakaian waktu untuk pelajanan terhadap pemuda dan
sekolah minggu(digeredjanja masing2) dan untuk mengedjar dan
menghapal bahan2 kuliah, dirasakan selaku kesibukan jang sangat
berat.” Ihromi, “Geredja dalam Revolusi Indonesia (sebelum 1942)”, dalam W.B.
Sidjabat, (ed), Partisipasi Kristen dalam Nation Building di Indonesia,
(Karya Research “Study Project” Fadjar) (Djakarta: Badan Penerbit Kristen,
1968), hlm. 90.
97 Peralihan
tersebut sangat penting bagi perkembagnan STT JAKARTA sehingga tanggal
pembukaan tahun ajaran , 27 September 1954, dirayakan sebagai Dies
Natalis STT JAKARTA.
98 Bandingakan
dengan evaluasi Th. Müller-Krüger, “Peranan Sekolah Tinggi Theologia didalam
Sedjarah Geredja di Indonesia”, E. Katoppo (ed), Djedjak-Langkah
Pertama: 25 Tahun Perguruan Tinggi Theologia(Djakarta: Pengurus Lembaga
Perguruan Tinggi Theologia, 1960), hlm. 51-64.
99 H.
Kraemer, “Openingsrede, gehouden ter gelegenheid van de officile opening der
hoogere theologische school te Buitenzorg”, De Opwekker 79/1934:
454.
100 Th.
Müller-Krüger, “Openingsrede Hoogere Theologische School te Buitenzorg”, De
Opwekker, 79/1934; 457-458. Terjemahan pidato ini terdapat dalam Tabah
Melangkah, hlm. 25-27. Untuk pokok yang kedua itu Müller dan Krüger
mengutip ucapan Vitringa, teolog Groningen (Belanda), yang mengatakan:
“Theologus est qui de Deo secundum veritatem ad gloriam Dei loquitur” (=Seorang
teolog adalah orang yang berbicara tentang Allah sesuai kebenaran untuk
kemuliaan Allah).
101 F.
Ukur merangkumtujuan pokok HTS, berdasarkan berbagai pernyataan sejak masa
persiapan sampai tahun 1942, dalam lima pokok: penyamaan kedudukan pelayan
Indonesia dengan rekan sejabat dari Eropa; mendidik pemikir-pemikir teologi
secara mandiri dan kontekstual; menjadikan HTS pusat pegembangan teologi bagi
masyarakat Kristen di Indonesia; pusat persekutuan rohani dan intelektual; dan
menjadikan HTS persekutuan studi dan poembinaan pelayan. Lihat F. Ukur,
“Tapak-tapak Sejarah (Menyingkap Latar Belakang Historis Lahirnya H.T.S. 50
Tahun Lampau)”, dalam Tabah Melangkah, hlm. 61 dyb.
102 Th.
Müller-Krüger dan A.J. Rasker, “Zes jaren theologische school te Batavia”, De
Opwekker, 86/1941: 62. Karangan kedua dosen HTS ini juga memberi penjelasan
atas tahap-tahap pendidikan dalam enam tahun itu (vooropleiding,
theologische opleiding en practische opleiding), serta mata kuliah teologi
yang diajarkan (Sejarah Agama, Teologi Biblika, Sejarah Gereja, Teologi
Sistematik, Teologi Praktis).
103 Th.
Müller-Krüger dan A.J. Rasker , “Zes jaren theologische school te Batavia”, De
Opweker, 86/1941: 63. Dalam evaluasinya kemudian, Dr. Müller-Krüger menyatakan
“di dalam satu hal sadaj pengharapan STT belum dipenuhi, ialah lapangan usaha
theologia pada chususnja.” Th. Müller-Krüger, “Peranan Sekolah Tinggi Theologia
didalam Sedjarah Geredja di Indonesia”, E.Katopo (ed), Djedjak-Langkah
Pertama: 25 Tahun Perguruan Tinggi Theologia, hlm. 63.
104 Th.
Müller-Krüger dan A.J. Rasker, “Zes jaren theologische school te Batavia”, De
opwekker, 86/1941: 80.
105 P.D.
Latuihamallo, “Perkembangan dan Posisi STT di Jakarta”, dalam Tabah Melangkah
hlm. 76-78 [merupakan terjemahan dari karangannya menyambut masa pensiun Prof.
Dr. A.J. Rasker dari jabatan mahaguru di Rijksuniversiteit Leiden pada tahun
1974]. Pak Latui (demikian sapaan kalangan mahasiswanya) lahir di Mamasa,
Sulawesi Selatan pada tanggal 11 Agustus 1918, kini menjadi mahaguruetika di
almamaternya serta pernah memimpinnya sebagai Rektor. Pernah menjadi Ketua Umum
DGI. Dikenal sebagai penganjur kontekstualisasi teologi. Biografi (dan
Bibliografinya) ditulis oleh Farsijana Risakotta dalam Eka Darmaputera (ed), Konteks
Berteologi di Indonesia (Buku Penghormatan untuk HUT ke-70 Prof.
Dr. P.D. Latuihamallo) (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1988), hlm.
377-390.
106 P.D.
Latuihamallo, “Teologi dan Nasionalisme”, dalam Tabah Melangkah,
hlm. 82. Mereka juga membahas disertasi Dr. De Vreede (pendeta di Minahasa)
mengenai nasionalisme: E.A.A. de Vrede, Het Nationalisme als Zedelijk
Vraagstuk (Amsterdam: H.J. Paris, 1932: 388-400. Pengaruh nasionalisme
Indonesia di kalangan mahasiswa HTS diperlihatkan secara nyata oleh beberapa
orang mahasiswa yang berdiam di asrama HTS pada tahun 1945/1946 (a.l.Th. P.
Pattiasina, J.L. Ch. Abineno dan P.D. Latuihamallo) yang dengan setia dan
berani menjaga supaya bendera “merah-putih” tetap berkibar di sana, walaupun
ada larangan dari pihak NICA.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar