Jumat, 09 Maret 2012

GERAKAN MUDA KRISTEN : NASIONALISME DAN OIKUMENE


Generasi Muda Kristen: Nasionalisme dan Oikumene
BAB III
GENERASI MUDA KRISTEN :
NASIONALISME DAN OIKUMENE

Sementara pergerakan nasional Indonesia berlangsung dengan berbagai dinamikanya menghadapi rezim kolonial, dari tengah-tengah kalangan Kristen yang kecenderungan konservatif  tampil sekelompok kesil generasi muda terpelajar dengan wawasan yang baru. Mereka merupakan hasil binan para mantan anggota gerakan mahasiswa Kristen Belanda dalam wadah-wadah pemuda dan mahasiswa Kristen. Perkembangan pembnaan ini berkaitan erat dengan gerakan mahasiswa sedunia dan dengan derakan oikumene yang sama memberi perhatian pada masalah-masalah sosial-politik dalam lingkup nasional dan internasional. 
3.1        Indsche Oud-leden der NCSV 
3.1.1        Pembentukan VIO-NCSV 
Karena lembaga-lembaga pendidikan menengah dan tinggi masih terbatas di kota-kota tertentu di Pulau jawa, maka pemuda-pemuda Indonesia datang dari daerah-daerah luar Jawa untuk menempuh pendidikan lanjutan lanjutan di Batavia, Bandung, Bogor (Buitenzorg), Yogyakarta, Solo atau Surabaya. Demikian juga pemuda-pemuda beragama Kristen dari Maluku, Minahasa dan Tanah batak berdatangan ke Jawa untuk melanjutkan pendidikan. Di rantau mereka menghadapi berbagai tantangan, juga secara rohani. Mereka terputus dari wadah persekutuan rohani yagn menuntun hidup mereka sebellumnya. Di tempat yang baru mereka berada dalam lingkungan yang asing serta sering tidak memperhubungkan diri dengan persekutuan Kristen setempat. Mereka berhadapan dengan penganut agama-agama lain , berkenalan dengan gagasan-gagasan ideologi yang belum mereka kenal dan masuk dalam pola-pola hidup yang asing. Selain itu, ada kesulitan keuangan, pemondokan dan sebagainya. Sudah sejak tahun 1912 dipikirkan oleh pemuka-pemuka gereja di Belanda dan di Indonesia suatu usaha untuk melayani para pelajar di perantauan itumelalui pengadaan asrama-asrama pelajar-mahasiswa Kristen (Christeljke internaten). Maka dibentuk suatu panitia bernama Comité voor de Huisvesting van de Studeerende Inlanders, yang dalam dua tahun mengumpulkan sekitar 30 ribu gulden. Pada tahun 1916 sejumlah 20-an siswa di Batavia dan di Surabaya dapat dibantu oleh panitia ini. Juga di Sukabumi ddirikan sebuah asrama, tetapi hanya berjalan beberapa tahun karena tidak ada yang dapat memimpin asrama dengan baik. 
Dr. G. Roijer, salah seorang mantan anggota Perhimpunan mahasiswa Kristen Belanda (Nederlandsch Christen Studentenveteeniging, NCSV), mengirim surat edaran kepada rekan-rekannya sesam mantan anggorta NCSV supaya dikirim tenaga khusus dari Belanda untuk bekerja di kalangan pemuda-mahasiswa menuju pembentukan perhimpunan mahasiswa Kristen. Gagasan itu mendapat  sambutan yang positif dengan pertama-tama menghimpun sesama mantan anggota NCSV yang berada di Indonesia dalam suatu wadah pertemuan. Pada tanggal 17 Pebruari 1920 dibentuk Vereenigde Indische Oud-leden der nederlandsche Christen Studentenvereeniging (=VIO-NCSV) dalam konferensi yang diselenggarkan di Sukabumi  pada tanggal 14-18 Pebruari 1920. Tujuannya adalah membetuk persatuan mahasiswa Kristen Hindia, menjalin hubungan dengan pengurus NCSV di Belanda dan mengurus kepentingan anggota dalam mendapatkan pekerjaan. 
Dalam upaya mencapai tujuan-tujuannya VIO-NCSV menggalang persatuan dan kesadaran antar para anggota dengan tentara lain menyelenggarakan konferensi tahunan dan menerbitkan majalah bulananMededeelingen van de Vereenigde Indische Oud-leden der Nederlandsche Christen Studentenvereeniging, sejak bulan Maret tahun 1920. Mereka juga menghimpun dana untuk membiayai pelayanan di kalnagan pemuda dan mahasiswa C.P. Cohen Stuart menunjuk pada Auxiliary Movement di kalangan persatuan mantan anggota gerkan mahasiswa Kristen di Inggis sebagai model bagi kegiatan VIO-NCSV: 
Perlahan-lahan kami kini memperoleh juga suatu gambaran yang lebih benar mengenai ke arah mana kami harus menuju, dengan mencontoh “Auxiliary Movement” di Inggeris dan di tempat-tempat lain yang sudah jauh lebih maju dari kami. […] ysng membuang smaa sekali sifat eksklusifnya dan “berusaha membawa orang ke dalam kelompok-kelompok persekutuan tanpa sesuatu pembatasan atau kekhususan, untuk mencari kerajaan Allah”; dan mereka menghidupkan kelompok-kelompokk itu dengan “semangat idealisme dan iman Kristen yang tak kenal kompromi, semangat kerinduan yang menyala-menyala akan suatu gereja yang dipersatukan dan akan suatu tatanan politik Kristen”.1 
Pada kunjungannya ke Indonesia bersama John R. Mott pada tahun 1926, Sekretaris Jenderal NCSV, H.C. Rutgers, dapat menilai bahwa VIO-NCSV bukan sekedar sebagai suatu wadah nostalgia para mantan anggota NCSV, melainkan hidup dan kerja mereka dalam masyarakat tidak lain daripada suatu kelanjutan langsung dari gagasan-gagasan yang telah diperkembangkan dalam NCSV. 
3.1.2        Orientasi Nasioanlistis VIO-NCSV 
Ceramah-ceramah pada konferensi pembentukan VIO-NCSV memberi tekanan p[ada usaha menjalin hubungan dengan berbagai kelompok penduduk Indonesia. C.P. Cohen Stuaart menyajikan pokok “Contact met Hollandsch-sperekende inlanders” (Kontak dengan penduduk pribumi yang berbahasa Belanda) berdasarkan pengalamannya dengan isterinya memberi kursus tentang partai-partai politik di Negeri Belanda kepada para siswa sekolah pertanian dan peternakan di Bogor. Diantara dalil-dalil yang diajukannya Cohen Stuart mengemukakan bahwa kegiatan politik kalangan terpelajar Indonesia tidak terelakkan, bahwa rakyat Hindia harus merdeka, dan bahwa kita perlu membangunkan para pemimpinnya pada pemahaman dan perwujudan politik itu, mengarahkan mereka pad asikap kedewasaan rohani, kesadaran sosialisme, idealisme, gairah hidup dan kesederhanaan, serta mengakarkan mereka dalam kenyataan zaman dan situasi mereka; bahwa metode induktif lebih tepat untuk pengenala pandangan hidup Kristen, dan bahwa para pemimpin perlu menganut ortodoksi Kristen; bahwa perlu disediakan asrama mahasiswa; perlu mendidik mereka untuk tidak bersikap polemis terhadap Islam; perlu menjalin hubungan dengan federasi mahasiswa sedunia; dan bahwa perlu didirikan suatu Indische Hoogeschool dengan fakultas teologi umum; serta penting menjelaskan kepada mereka hubungan antara revolusi dan iman.2 
Selanjutnya, D. Crommelin dalam ceramahnya yang berjudul “Contact me eigen taal sprekende Inlanders” (Kontak dengan penduduk pribumi yang memakai bahasanya sendiri) mengemukakan adanya tiga sudut pandang dalam menilai hubungan Eropa dengan pribumi, yakni: 
(1) memandang orang Barat sebagai yang baik sedangkan sifat-sifat buruk orang Timur ditonjolkan; (2) bahwa pribumi dengan orang Eropa sebenarnya sama dan karena itu seorang pribumi dapat dan harus diperlakukan seperti orang Eropa, tetapi dalam kenyataannya selalu timbul salah pengertian; dan (3) orang Eropa dan pribumi setara tetapi berbeda orientasi, sebagaimana ada kutub positif dan kutub negatf dalam fisika. 
Jelas kedua sudut pandang pertama tidak dapat membuka hubungan yang baik, maka kesadaran pada perbedaan adanya orientasi mengisyaratkan perlunya mengikuti prinsip Paulus: bagi orang pribumi menjadi seperti seorang pribumi sehingga kita dapat memahami mereka.3 Sangat penting di sini adalah bahasa sebagai pengungkapan jiwa suatu bangsa (volksziel). Maka bukan hanya pribumi yang perlu belajar bahasa Belanda untuk mendekatkan mereka kepada orang Eropa, melainkan juga sebaliknya orang Eropa perlu belajar bahasa pribumi supaya dapat memahami perbedaan-perbedaan yang ada dan menghormati mereka. Injil dapat menjadi jelas dalam sikap penghargaan terhadap pribumi.4 
 Pada konferensi VIO-NCSV ketiga , yang dilangsungkan di Bandung pada tanggal 1-4 Juni 1923 , B.M. Schuurman (1889-1942)5 membahas sikap terhadap pergerakan nasional dalam makalah yang berjudul “Onze houding tegenover de Indlandsche Beweging” (Hubungan kita terhadap Pergerakan Pribumi). Ia mulai enggan mengutip hasil konferensi VIO-NCSV kedua di Solo yang menyimpulkan sikap Kristen terhadap pergerkan nasional Indonesia: 
(1) Bahwa sebagai orang Kristen di Hindia kita berkewajiban memperoleh pengertian yang jelas tentang perjuangan nasinalistis dan politik dunia pribumi dan berusaha mengambil sikap yang jelas terhadapnya; (2) Bahwa dunia pribumi berhak untuk disambut secara bersungguh-sugguh dalam keinginan-keinginan politik dan berhak untuk mengetahui apa sikap kita di dalamnya.6 
Schuurman memahami pergerakan pribumi bukan semata-mata sebagai pergerakan politik, melainkan berkaitan dengan pengungkapan jati diri yang mewujud dalam suasana kolonial. Dia juga menunjuk pada perkembangan dalam gereja di Mojowarno menuju kemandirian (1923) sebagai wujud gerejawi dari pergerakan nasional. Dia menilai perkembangan pergerakan pada awal tahun 20-an dalam kalangan Islam (SI), PEB (Politiek Economische Bond) dan Komunis sebagai pengungkapan pertarungan politik yang berskala internasional antara kekuatan kapitalisme Barat dengan fanatisme Islam. Jadi sikap Kristen tidak ditentukan oleh kenyataan permukaannya melainkan oleh pengertian yang jelas terhadap hakikat pergerakan nasional sebagai kesadaran memperjuangkan masa depan suatu bangsa. Schuurman menangkap hakikat pergerakan nasional Indonesia dalam definisinya: 
Pergerakan pribumi adalah dorongan hidup yang mendasar, yang perlahan-lahan bangkit dari kedalaman ketidaksadaran rakjat, yang diperkuat oleh kesadaran hukum yang sedang bertumbuh, kepada kehidupan suatu bangsa yang kuat, penuh, sarat tindakan dan yang menciptakan masa depan yang indah.7 
Definisi ini mengugkapkan nasioalisme sebagai suatu keniscayaan yang alami dan tak tergoyahkan; kemunculannya lambat dan tidak terencana, tetapi didukung oleh kesadaran hukum (hak asasi manusia) dan terarah pada suatu cita-cita nasional. Dengan kata lain, pergerakan nasional Indonesia adalah suatu kenyataan yang tidak bisa dihindari dan sudah jelas arahnya, tetapi dapat diberi bentuk atau saluran-saluran yang tepat. Schuurman menyadari bahwa cita-cita nasioanl dalam pergerakan pribum itu tidak dapt diabaikan dan terarah pada suatu kemandirian politik dengan mengeyahkan kekuasaan Belanda. Dalam pada itu perhadapan kedua belah pihak menyangkut pula perjuangan Islam untuk lepas dari cengkeraman Barat. Jika Islam tampil dalam sejarah pergerakan nasional sebagai pembebas dari Timur maka akan terus mempertajam pertentangan Timur dan Barat. Dan bersamanya kekristenan dan Zending akan seakan-akan memperjuangkan suatu cita-cita yang gagal atau mengemban suatu kewajiban yang dasarnya lemah. Bertolak dari pemahaman itu dia menempatkan Zending dalam kerangka sejarah pergerakan nasional Indonesia dengan peran yang bermakna. Menurut Schuurman, masih kurang disadari bahwa kendala besar usaha penginjilan adalah karena kekristenan diwakili dan dibawa oleh golongan (ras) penjajah. Maka, hanya kalau kekristenan terlibat dalam pemandirian dan pembebasan ras terjajah komunikasi iman dapat terjalin, dan ini sangat menentukan.8 Dalam keyakinan itu Schuurman melihat bahwa pergerakan nasional bukan hanya suatu jalan kemajuan bagi kekristenan bagi rakyat pribumi: sejarah Hindia, yang dibuka pintunya oleh pergerakan nasional bukan hanya suatu jalan kemajuan bagi kekristenan. Dengan kata lain, menjadi kesempatan bagi agama Kristen untuk turut mendukungdan mengarahkan “dorongan hidup yang mendasar” bagi tercapainya cita-cita nasionalisme Indonesia. Dan dengan itu agama Kristen membuktikan diri sebagai bukan bagian dari dominasi Barat atas dunia Timur. 
Selain kewajiban terhadap Hindia secara keseluruhan itu, Schuurman menunjuk panggilan secara khusus bagi kelompok-kelompok besar dan kecil orang Kristen pribumi yang tersebar di berbagai bagian Hindia, yang pada umumny amasih terhu bug dengan orang-orang Belanda Kristen. Dan karena hubungan masih baik, Schuurman menganjurkan supaya dijaga agar pergerakan nasional tidak tersisih dari jemaat-jemaat Kristen. Kewajiban Zending dan orang-orang Kristen Eropah untuk memelihara hubungan baik itu, walupun itu harus berkorban.9 Dengan menunjuk pada masyarakat Jawa dimana ia bekerja, Schuurman mengemukakan juga adanya stuktur yang menindas dalam sistem kemasyarakatan pribumi. Sebab itu pergerakan nasional harus pula merupakan pembebasan dari kenyataan itu, di samping dari penjajah Belanda. Pada akhirnya Schuurman menekankan keniscayaan keterjalinan yang rohani dengan yang alami – manusiawi dalam sejarah, yakni untukkalangan Kristen pentingnya keterikatan pada Injil untukkemerdekaan politik
Schuurman menutup ceramahnya dengan suatu seruan bagi orang Kristen di Hindia, khususnya kalangan Zending untuk berkorban bagi kemajuan pergerakan nasinal demi pertumbuhan kekristenan dalam kehidupan pribumi.10 Dia menyimpulkan ceramahnya dengan menegaskan pemihakan pada pergerakan nasional Indonesia: 
Sikap kita terhadap pergerakan nasional? Bukan suatu sikap terhadap, melainkan bersiakap didalamnya. Baiklah saya menyebut kata yang tepat, bukan dalam arti tragisnya melainkan artiny yang sungguh kegembiraan: pengorbanan.11 
Diskusi setelah presentasi itu memperlihatkan pandangan yang berbeda terhadap pergerakan nasioanla dari beberapa hadirin yang adalah tokoh-tokohnya CEP. Ds. Breijer menyatakan bahwa pemuka-pemuka pribumi tidak dapat dipercaya sebagaiman nyata dalam aksi-aksi pemogokan dan, dengan menunjuk pada perbedaan pandangan nasionalis suku-suku yang berbeda, dia menekankan masih sangat oerlunya perwalian. Ds. H.A. van Andel menuduh NCSV takut politik (politiek-schuw) dan mengajak VIO-NCSV bergabung dengan CEPO. Tetapi Svhuurman menyatakan CEP  te veel een Hollandsche bewegign, te weining georiënteerd aan de belangen van het iIndsch natonalisme (terlalu bersifat pergerakan orang Belanda, kurang diarahkan pada kepentingan nasionalisme Hindia). Reaksi CEP terhadap ceramah  Ds. Schuurman dilanjutkan kemudian dalam suatu karangan khusus oleh C.C. van Helsdingen, sekretaris pengurus CEP (kelak lama menjadi ketuanya), berjudul “Nogmaals: Onze houding togenover de Inlandsche Beweging” (Sekali lagi: Sikap kita terhadap Pergerakan Pribumi) menyanggah atau mempertanyakan beberapa hal. Dalam salah sastu point Van Helsdingen menyatakan persetujuannya terhadap gagasan kemerdekaan Hindia, tetapi yakn bahwa belum tiba waktunya: 
[…] dan inilah keyakinan dasar saya: bahwa Belanda, terlebih orang-orang Krsten, melakukan kejahatan kepada negeri ini, jika kita kini sedia memberikan kemerdekaan itu kepada hindia. 
Kemudian dengan panjang lebar Van Helsdingen menguraikan mengenai CEP, khususnya untuk menentang pernyataan Ds. Schuurman bahwa CEP tidak mendukung kepentingan pergerakan nasioal. Akhirnya dia mengajak warga VIO-NCSV mendukung CEP.13 
Perhatian VIO-NCSV terhadap pergerakan nasional terus berlanjut ketika pergerakan memasuki puncak radikalnya di bawah pengaruh PNI. Perhatian itu jelas sangat perlu untuk memahami kenyataan yang menentukan masa depan para pemuda Kristen Pribumi yang berada dalam binaan VIO-NCSV. Munculnya tokoh-tokoh muda Kristen berwawasan nasionalis dari kalangan CSV merupakan salah satu hasil dari pendekatan VIO-NCSV itu. Salah seorang tokoh VIO-NCSV , J.MJ. Schepper (1888-1967), yang adalah guru besar Sekolah Tinggi Hukum di Jakarta,menulis suatu brosur sebagai reaksi terhadap vonis Landraad (pengadialn negeri) Bandung terhadap Sukarno dan kawan-kawannya, para pemuka PNI.14 Selain Schuurman dan Schepper, tokoh-tokoh pembina dalam pelayanan pemuda seperti Hendrik Kraemer, dan terutama C.L. van Doorn secara sadar dan terencana mengarahkan para pemuda dan mahasiswa Kristen pada nasionalisme Indonesia. 
Dalam rangka perhatian terhadap pergerakan nasional itu maka Konferensi VIO-NCSV kedelapan, tanggal 2-4 Agutus 1929, yang dihadiri sejumlah pemuka Kristen Indonesia, membahas khusus pokok orang-orang Kristen pribumi dan pergerakan pergerakan nasional (“De Inlandsche Christenen en de nationalistische bewegingen”), dengan pembicara Dr. G.S.S.J. Ratu Langie (menggantikan Dr. T.S.g. Moelia yang berhalangan). Pada kesempatan itu Ratu Langie, yang adalah anggota Volksraad  mewakili Persatoen Minahassa, menyatakan penolakannyya membentuk suatu kelompok Kristen dalam pergerakan politik, karena hanya akan menimbulkan reraksi negatif dari kalangan penganut agama lain dan karena perlu pula diperhitungkan perbedaan-perbedaan aliran dalam kalangan Kristen sendiri. Agama Kristen tidak perlu dijadikan basis dalam politik pergerakan. Pada pandangannya, lebih baik memikirkan konsolidasi pada pusat-pusat wilayah masing-masing dimana organisasi kemasyarakatan (kesukuan) diperkuat.15 
3.1.3    Dimensi Oikumenis VIO-NCSV 
Selain kenyataan pergerakan nasional Indonesia, VIO-NCSV juga memberi perhatian pada perkembangan gerakan mahasiswa Kristen sedunia, khususnya di Asia, sebagai acuan penting dalam pembinaan pemuda dan mahasiswa Kristen di Indonesia. Dalam hal ini pentinglah peranan WSCF (World’s Student Christian Federation). M. Cohen Stuart-Franken memperkenalkan WSCF dalam suatu artikel “De Federatie van Christen-Studenten”.16 WSCF didirikan pada tahun 1895 di Vadstena (Swedia) oleh wakil-wakil organisasi gerakan mahasiswa kristen (SCM, Student’s Christian Movement) dari Amerika Utara dan Kanada, Inggris, Jerman, Skandinavia dan dari daerah-daerah pekabaran Injil. Dibalik pembentukan ini berperan tokoh-tokoh mahasiswa: J. Reynolds, dari Universitas Yale, yang mempelopori pembentukan SCM di kampus-kampus universitas di Eropa dan L.D. Wishard, sekretaris SCM Amerika Utara, di berbagai tempat di Asia, serta John R. Mott yang memelopori pembentukan federasi sedunia organisasi-organisasi mahasisw itu. Pada tahun 1922 anggota WSCF sudah berjumlah 260.184 mahasiswa (pada tahun 1895 baru 35ahasiswa). Tujuan WSCF adalah mempersatukan dan mempererat hubungan antar gerakan mahasiswa sedunia; menghimpun dan menyebarkan informasi mengenai kenyataan hidup para mahasiswa di seluruh dunia dan mengenai agama-agama. Selain itu WSCF secara khusus berusaha untuk menuntun mahasiswa iman Kristen, memperdalam kerohanian mahasisw melalui penelaahan Alkitab, mendorong para mahasiswa untuk berbakti bagi kelebaran Kerajaan Allah, untuk saling memahami dan mnghargai, dan memperkembangkan kesehatan jasmani, rohani dan moral sesuai tujuan kekristenan. Manfaat perkujungan-perkunjungan para sekretaris sangat besar dalam pewujudan cita-cita WSCF. 
M. Cohen Stuart-Fraken menekankan secara khusus segi keesaan dalam WSCF dimana kesatuan dalam Kristus secara praktis diwujudkan mliputi semua denominasi Kristen (termasuk Roma katolik dan Ortodoks); ciri nasional dimana SCM harus menjaga karakter nasional yang murni dan kuat dan perhatian yang mendalam pada masalah-masalah internasional dan ras. Hal yang sama ditunjukan Kraemer dalam karangannya menyambut kedatangan Mott ke Indonesia. Kraemer menyebutkan tiga ciri penting WSCF yang diperkembangkan Mott: 
(1) suatu federasi (bukan serikat yang sentralis) dari gerakan-gerakan nasional yamg mandiri, yagn organisasi dan arahnya seluruhnya dipimpin dengan semangat yang seirama denga sejarah dan karakter bangsanya; (2) sifat interkonfesional federasi itu, sehingga menjadi ajang perjuangan mwujudkan kesatuan di atas kepelbagaian; dan (3) dalam setiap upayanya Federasi memberi perhatian pada seluruh dunia.17 
Sifat interkonfesional khususnya, menurut Kraemer, sangat bermakna dalam menjadikan WSCF suatu alat penting dalam memperkuat dan memperkaya dunia kemahasiswaan dan Gereja Kristen dalam kepelbagaiannya, dan menjadi wujud konkret katolisitas Gereja.18 
Walaupun WSCF tidak berpolitik praktis, tetapi melalui engkajian dan melalui kegiatan para mantan anggotanya sumbangan WSCF di bidang itu, khususnya di negara-negara Asia (Cina, Jepang, India, Filipina, Korea) cukup nyata. 
Kegiatan-kegiatan WSCF a.l. yaitu melayani para mahasiswa asing, yaitu yang menuntut ilmu di luar negeri, menyelenggarakan Hari Doa (Prayer Day) dan Minggu Persaudaraan Mahasiswa Sedunia (World Student Friendship Week) serta Hari Federasi (Federation Day). Penelaahan Alkitab dan doa merupakandasa utama dalam pembentukan sikap moral dan kerohanian para anggota SCM. Disamping itu WSCF juga mempunyai kelompok-kelompok studi mengenai pekabaran Injil, yang antara lain membuahkan Student Volunteers Movement for Foreign Missions (gerakan relawan mahasiswa untuk pekabaran Injil). Sesudah perang Dunia I WSCF mengembangkan gagasannya tentang new social order(tatanan masyarakat baru) melalui kesaksian yang bersemangat bahwa Injil juga harus dipraktekkan dalam kehidupan msyarakat dan khususnya pada sistem industri, dan bahwa hanya dengan mengikuti semangat Kristus mengasihi sesama maka berbagai kendala sosial masa kini dapat diatasi. Di beberapa tempat para mahasiswa menunjukan solidaritas dan pelayanan konkret kepada kaum buruh dan memperjuangkan hak-hak narapidana. Ruth Rouse, aktivis dan sejarawati gerakan oikumene, mengungkapkan peran WSCF dalam gerakan oikumene: 
Inilah gerakan yang ditakdirkan menghasilkan jumlah terbesar pemimpin gerakan oikumene modern, laki-laki dan perempuan, yang kelak akan melahirkan perkembangan-perkembangannya yang palilng khas – gerakan-gerakan Dewan Pekabaran Injil Sedunia, Iman dan Tata Gereja, dan Hidup dan Karya.19 
WSCF juga memberi perhatian pada para pelajar sekolah menengah dengan menyelenggarakan kegiatan khusus dengan mereka, misalnya camping bersama. Ada beberapa SCM yang mempunyai bagian pelajar dengan sekretaris khusus untuk itu. 
Salah satu perkembangan penting di kalangan mahasiswa Kristen Asia adalah Konfrensi WSCF ke-11 di Tsinghua Colege, dekat Peking, pada bulan April 1922, yang dihadiri 127 utusan dari 34 negara (selain Cina sendiri yang diwakili 800 orang). Konferensi ini sungguh-sungguh bersifat internasional dengan peserta Asia yang menonjoll, dan dengan tema dari falsafah Confusian Cina “Under Heaven One Family” konferensi membahas berbaga masalah internasional. Aline pertama resolusi konferensi, yang keseluruhannya diwarnai semangat persaudaraan antar bangsa-bangsa sedunia itu, berbunyi: 
Kami, wakil-wakil mahasiswa Kristen dari semua bagian dunia, percaya pada kesamaan hakiki semua ras dan bangsa, dan menganggap sebagai bagian dari panggilan Kristen kami untuk mewujudkan kenyataan itu dalam semua hubungan kami.20 
Konferensi memilih John R. Mott (Amerika Serikat) sebagai Ketua, didampingi Dr. H.C. Rutgers (Belanda) sebagai Bendahara, Maya Das (India-Inggris) dan T. Tatlow (Inggris) sebagai Wakil Ketua serta T.Z. Koo (Cina), sebagai orang Asi pertama yang menjadi salah seorang Sekretaris keliling. Perkunjungan tokoh-tokoh WSCF, khususnya Mott dan Rutgers pada tahun 1926, dan kemudian juga Koo (1930) ke Indonesia, serta penyelenggaraan Konferensi Asia dan Australia WSCF di Indonesia (1933) menentukan perkembangan baru kebangkitan pemuda dan mahasiswa Kristen Indonesia. 
Beberapa bulan kemudian, pasangan suami isteri van Doorn Snijders, mencatat dampak Konferensi Peking di berbagai bagian dunia. Pengamatan mereka, berdasarkan pemberitaan majalah-majalah Kristen, menunjukan kuatnya pengaruh Konferensi Peking di kalangan mahasiswa Kristen, khususnya mengenai perbaikan hubungan internasional.21 Salah satu laporan dari India (ketika itu masih jajahan Inggris) menyatakan kesadaran bersama kalangan Kristen dari berbagai latar belakang terhadap seriusnya pasang naik perlawanan kulit berwarna melawan kulit putih, dan sadar bahwa harus berbuat sesuatu untuk memperbaiki kenyataan itu. Para mahasiswa Kristen dari berbagai negara bagian di Amerika Serikat yang menyelenggarakan suatu konferensi yang antara lain menghimbau dewan mahasiswa nasional: 
Yakin bahwa para mahasiswa mempunyai suatu tanggung jawab nyata untuk menghadapi masalah-masalah pada zaman mereka, dan bahwa mereka harus menolong membentuk suatu gagasan bagi hubungan-hubungan dunia, kami merekomendasikan kepada Gerakan-gerakan Mahasiswa Kristen Amerika Serikat untuk memusatkan seluruh kegiatan mereka di tahun-tahun mendatang pada suatu penelitian yang jujur dan berani, dalam terang ajaran dan semangat Yesus: (1) mengenai keseluruhan permasalahan peperangan dalam dimensi-dimensi militer, rasial, industrial dan komersialnya; dan (2) mengenai usul-usul konstruktif untuk mewujjudkan dunia yang adil-damai.22 
Konferensi lainnya juga di Amerika Serikat, diselenggarakan oleh para mahasiswa Asia (Jepang, Cina, Korea, Filipina, India) di Amerika mengenai “Christian Fellowship and International Problems”. Pokok itu mulai dibahas dengan kesepakatan menjawab positif pertanyaan : Apakah kesetiaan kepada Kristus pernah akan mengharuskan kita untuk menentang politik dalam dan luar negeri masing-masing pemerintah kita? Di Eropa para pemuka gerakan mahasiswa dari beberapa negara menyelenggarkan konferensi mengenai European Student Reliefwork. Salah seorang wakil dari Perancis menyatakan: 
Tembok-tembok terentang antara bangsa-bangsa yang berbeda. Tetapi di balik itu saya sekarang melihat lagi para pemuda yang menghendaki perdamaian dan persahabatan. Para orang tua sudah gagal. Mereka tidak dapat mengembalikan perdamaian, biarlah kita pemuda-pemuda mengusahakannya, berani melakukannya.23 
Pada bagian akhir suami isteri van Doorn Snijders memperhubungakan gerakan itu dengan kenyataan hubungan kolonial di Indonesia. Mereka menghhimbau adanya suatu dialog antara Belanda dan Hindia dalam suatu open forum, di mana masalah-masalah dan kesulitan-kesulitan bangsa-bangsa lain. Usul itu secara praktis diuraikan atas empat pokok: 
(1) supaya kalangan pekabar Injil dapat menjadi penghubung antara Zending dan gereja pribumi di negeri ini, dengan menjalin hubungan erat dengan ketua masing-masing lembaga; (2) supaya pendeta-pendeta kita mencari ikatan dengan rekan sejabatan dari Timur (India) yang dengannya mungkin suatu pandangan yang lebih mendalam tentang kedudukan Indische Kerk dapat diperoleh; (3) supaya VIO mengusahakan membawa para mantan anggota organsasi gerakan mahasiswa lain ke dalam lingkungannya; (4) supaya inti-inti kecil bagi suatu persatuan mahasiswa Kristen di Hindia dipersentuhkan dengan kehidupan federasi.24 
Jadi, VIO-NCSF sebagaimana NCSF sendiri menempatkan dirinya dalam kerangka pergerakan mahasiswa sedunia, dan dengan itu memperhubungkan mahasiswa Kristen Indonesia dalam arus penting pergerakan oikumene. 
3.1.3        Kunjungan Mott dan Rutgers (1926) 
Mata oikumenis pembinaan pemuda dan mahasiswa Kristen Indonesia tersebut dikonkretkan oleh dua peristiwa penting: perkunjungan Dr. John Mott (Ketua WSCF) dan Dr. H. Rutgers (Bendahara WSCF, Sekretaris NCSF) ke Indonesia pada tahun 1926, dan konferensi Asia dan Australia WSCF di Citeureup pada tahun 1933. 
Perkunjungan kedua tokoh Federasi Mahasiswa Kristen Sedunia itu berlangsung tanggal 20 Januari s/d 4 Maret 1926 dalam kaitan dengan WSCF dan juga dengan Zending (John Mott ketua IMC, International Missionary Council).25 Dalam suatu karangan menyambut rencana perkunjungan itu van Doorn mencatat tiga bidang pengaruh Mott: Zending dan gereja, pelayanaan pemuda, dan pelayanan sosial. Di bidang Zending dan gereja diharapkan terjadi pendewasaan kepemimpinan dan organisasi Kristen pribumi sebagaimana sudah nyata di Jepang dan di Cina. Di bidang pelayanan pemuda, perkunjungan itu dikatkan dengan penyelenggaraan Konferensi Pemuda Kristen di Bandung. Konferensi itu diharapkan akan membahas pokok-pokok: 
a) Posisi pemuda Kristen dalam pergerakan pribum, b) upaya-upaya membentuk pemimpin pemuda (antara lain dengan penerbitan  Leidersblad), c) makna kerjasama, dan d) organisasi dan pembiayaan organisasi pemuda (Jeugdbond).26 
Harapan-harapan khusus dari perkunjungan itu bagi pelayanan pemuda adalah memperdalam pelayanan pemuda di Batavia, adanya kesatuan langkah dalam urusan asrama dan pelayanan pemuda dan ditemukannya pola-pola pembinaan para kader pemuda (jeugdleiders). Pada bidang yang ketiga, pelayanan sosial (maatschappelijke arbeid), menjadi nyata di Batavia sebagai pusat pemerintahan dan pusat pendidikan, dan di Surabaya yang berkembang sebagai bandar perdagangan. 
Pokok-pokok pembicaraan Mott dalam pertemuan dengan kalangan pemuda dan mahasiswa pada berbagai kesempatan di kota-kota di pulau Jawa meliputi soal-soal budi pekerti Kristen dan pembinaan rohani serta makna kekristenan di Asia. 
Keseluruhannya ceramahnya menekankan penghayatan Injil dalam kehidupan sehari-hari. Hasil-hasil nyata dari perkunjungan itu adalah dorongan ke arah kesatuan dalam pekerjaan Zending di berbagai bidang. Khusus di bidang pelayanan pemuda dan mahasiswa, dampak utama kunjungan Mott adalah timbulnya keinsyafan yang lebih mendalam akan hakikat bidang pelayanan itu. Kalangan Zending, guru-guru dan pendeta mulai memberi perhatian yang lebih serius, dan terdapat peningkatan jumlah kegiatan pemuda dan mahasiswa di pulau Jawa, Tanah Batak dan Minahasa. Perkembangan lainnya adalah jenis pelayanan baru, yakni pembentukan suatu cabang YMCA, yang merupakan terobosan di mana orang Eropa dan orang Cina asma dilayani kebutuhannya yang berbeda. Melihat seluruh perkembangan itu, diusulkan dua langkah menuju kemantaban pelayanan pemuda, yakni memperhubungkan kelompok-kelompok pemuda dan para pemimpinnya dengan WSCF: 
Kita harus membuat saluran yang melaluinya semangat WSCF mengalir ke dalam masyarakat ini. Dengan kesatuan pelayanan pemuda dapat ditingkatkan dengan sebaik-baiknya.27 
Langkah kedua adalah mengarahkan suatu kelompok kader inti yang matang untuk menjadi pemimpin-pemimpin pribumi. Dengan langkah-langkah ini dapat dicapai suatu kegiatan kekeluargaan yang kuat di seluruh Hindia. 
3.2        Pemuda dan Mahasiswa Kristen 
3.2.1        Kebon Sirih 44: Dr. Van Doorn 
Bagaimanakah kenyataan pelayanan pemuda selama itu? Konferesi VIO-NCSF yang kedua di Cigombong pada tahun 1921 antara lain membicarakan kemungkinan pembentukan suatu Indische Christen Studenten Vereeniging (ICSV) dan penjagaan hubungan dengan anggota-anggota VCSB (Vrijzinnige Christen Studenten Bond) di Indonesia. Mengenai pembentukan ICSV, ada rencana pengurus NCSV mengutus seorang “Indischen Secretaris” untuk merintis pelayann di kalangn pemuda dn mahasiswa. Sedangkan dengan VCSB dicapai kesepakatan untuk saling membantu tetapi tidak untuk menjadi federasi. Ancang-ancang mengenai tingkat pendidikan sasaran layanannya adalah poara mahasiswa Technische Hoogeschool (THS) di Bandung (umumnya orang Eropa),28 kelas-kelas tinggi kedua sekolah kedokteran (kebnyakan orangIndonesia) dan Rechtsschool voor Inlanders. Tetapi pada akhir Juli tahun 1921 itu VIO-NCSV agak dikejutkan oleh berita pembentukan Bandoengsche Christen Studenten Vereeniging (BCSV). Yang dikembangkan dari Bijbelkring asuhan lima tokoh Bandung: P.F. Binkhorst, J. Mijer, R.E. Ungerer, De Berghes dan A. Nobbe. Walupun dianggap prematur (CSV cabang Bandung baru mantap pada tahun 1935), pembentukan itu mendorong VIO-NCSV bekerja sama dengn prof. J. Clay membentuk suatu organisasi mahasiswa di Batavia. Percakapan antara C.W. Nortier dan J.M.J. Schepper dengan mahaguru tersebut membuahkan pembentukan suatu  persatuan mahasiswa dengan nama T.A.O. (Tot Algemeene Ontwikkeling), yang ditandai dengan pertemuan-pertemuan pada tanggal 8 dan 9  Oktober 1921 di mana Prof. Clay berceramah mengenai “Vrijheid” dan Schepper tentang “Wetenschap, wijsbegeerte en religie” dan W.J.L. Dake mengenai “De Wereld Federatie van Christen Studenten”. BCSV dan TAO menjadi bendera organisasi-organisasi mahasiswa Kristen di Indonesia.29 
Keadaan pembinaan pemuda Kristen di Hindia, sebagaimana yang diungkapkan dalam laporan M.A.J. Kelling pada tahun 1925, tidak begitu baik.30 Utusan anggota komisi Belanda untuk pelayanan YMCA di Hindia itu menyatakan persekutun pemuda Kristen di Hindia lesu dna mandek, karena dibentuk secara Eropa. Kelling menganjurkan untuk mengadakan penyesuaian dalam arti keluar dari batasan sempit organisasi pemuda Kristen dengan menyelenggarkan kegiatan-kegiatan yang menarik mereka. Kelling menunjukan bahwa isi panggilan pelayanan pemuda adalah pembinaan untuk mencegah pengaruh-pengaruh buruk ilmu pengetahuan dan teknologi dari Barat, yaitu dengan melakukan pencerahan pribadi para pemuda pada kehidupan yang berdasarkan Firman Allah. Dia mengusulkan supaya organisasi yang menangani pelayanan pemuda merupakan perkumpulan untuk pembinaan, perluasan wawasan dan keterampilan melalui penyelenggaraan perpustakaan dan penyediaan bahan-bahan bacaan bermutu yang gratis atau murah, menyelenggarakan kursus-kkursus (bahasa, teknik, dsb), melakukan kegiatan-kegiatan sosial, mengadakan suatu pusat kegiatan pemuda (jeugdcentrum, clubhuis), serta mengatur kegiatan liburan, misalnya kegiatan camping. Dan yang menurut Kelling sangat menentukan adalah adanya seorang sekretaris YMCA untuk Hindia. Dalam hubungan itu, atas permintaan VIO-NCSV, pengurus NCSV di Belanda mengutus pasangan Dr. C.L. van Doorn dan isterinya untuk bekerja bagi pelayanan pemuda dan mahasiswa di Indonesia. Van Doorn dan isteri mengabdikan hidup mereka bagi pelayanan pemuda dan mahasiswa, sedemikian berungguh-sungguh sehingga dalam kalangannya jeugdwerk in disebut sebagai het werk van de Van Doorns. 
C.L. van Doorn (1896-1975), doktor di bidang kehutanan tropis. Isterinya seorang aktivis NCSV. Van Doorn pertama kali ke Indonesia pada tahun 1920 dan bekerja di Jawa Tengah membantu Dr. Boeke melakukan penelitian mengenai kredit kepada rakyat desa. Thun 1922 dia pindah ke Bataviapada Centrale Kas van het Volkscredietwezen (Pusat Perbendaharaan Perkreditan Rakyat) dan juga bekerja dalam pelayanan pemuda dan mahasiswa secara paruh waktu. Kemudian, atas biaya NCSV, van Doorn memberi perhatian penuh pada jeugdwerk sementara isterinya menjadi guru. Pada tahun 1936 mereka menjadi utusan Zending di Jawa Barat setelah setelah Dr. van Doorn menempuh suatu pendidikan teologi pada Zendingsschool di Oegstgeest dan ditempatkan pada tugas pekabaran Injil di Kampung Sawah sambil mengajar di HTS. 
Pelayanan pemuda menurut visi van Doorn berkatan erat dengan pekabaran Injl, yakni pembinaan watak Kristiani bagi para remaj (12-17 tahun) menuju terbentuknya suatu kelompok Kristen terpelajar bagi masa depan gereja setempat. Dalam pembinaan remaja atau pemuda itu, van Doorn menekankan pentingnya pembinaan watak dalam ketaatan kepada Kristus. Rupanya van Doorn menimba inspirasi dari falsafah kegiatan kepanduan Bapak Pramuka dunia, Sir Robert Baden Powell (1857-1941), bahwa latihan para remja untuk menemukan jalan di padang dan di rimba adalah pula untuk “menemukan jalan kehidupan”  (membina watak). Dan karena itu van Doorn sangat mementingkan ketaatan dalam kebebasan, yaitu ketaatan oleh dorongan pengertian yang diperoleh dari keteladanan pembina, bukan oleh disiplin yang kaku atau oleh perintah. 
Dalam rangka mempersiapkan diri untuk memenuhi harapan NCSV, pasangan ini sempat meninjau kegiatan YMCA di Cina dalam perjalanan dari Eropa pada tahun 1922. Dalam kesan-kesannya vanDoorn melihat tiga segi penting dari YMCA di Cina yang dapat diterapkan di Indonesia, yaitu pentingnya pelayanan pemuda dan gerakan pemuda, perlunya mengorganisasikan mereka secara interkonfesional dan berusaha memperlengkapi mereka untuk berkarya bagi Kerajaan Allah.31 
Pekerjaan van Doorn dalam pelayanan pemuda dan mahasiswa dipayungi oleh dua pihak, Seksi Pemuda NIZB dan Komisi Pemuda VIO-NCSV. Konferensi NIZB pada tanggal 4-7 Juni 1923 membentuk Centraal Bureau voor Jeugdwerk dengan tugas-tugas antara lain: menyebar luaskan semua penjelasan pada pengurus-pengurus setempat mengenai pekerjaan dan mengenai alamat para lulusan HIS dan HCS, memberi penyuluhan, menghimpun dan menyebarluaskan pengalaman-pengalaman dalam pelayanan pemuda dan mengelola suatu majalah para alumnus (oud-leerlingen-blad). 
Karena perhatian VIO-NCSV terarah juga pada pelayanan pemuda yang belum atau bukan mahasiswa, maka pada konferensinya yang ke-5 tahun 1924 di purworejo VIO-NCSV membentuk suatu komisi pemuda yang beranggotakan Henry van Helsdingen, Kraemer, Dake dan Bavink. Komisi ini mulai dengan menyewa sebuah pavilyun di Vioslaan 25, Weltevreden, dimana diselenggarakan tiga kegiatan pokok: persuratan dengan kelompok-kelomok pemuda, menyediakan dan menyebarkan majalah-majalah dan melakukan kumpulan dan konferensi. 
Laporan van Doorn mengenai pelayanan pemuda di seluruh Indonesia pada parohan pertama tahun 1927 memperlihatkan bahwa pelayanan dan organisasi pemuda masih terbatas pada kota-kota besar: Surabaya, Batavia, Solo, Yogya dan Bandung, serta juga di Mojowarno. Kegiatan-kegiatan meliputi pelayanan pemudi (meisjeswerk), pertemuan, penerbitan (antara lain Leidersblad), schoolarbeid, asrama siswa,  jongenskamp. Tantangan yang cukup alot dihadapi adalah perbedaan ras, gereja dan tingkat pendidikan.32 
Kemajuan pelayanan pemuda di Batavia sesudah kunjungan Mott dan Rutgers adalah tersedianya duaclubhuis, masing-msing di Kwitang 10 (kegiatan Komsi Pemuda NIZB) dan di Kebon Sirih 44 (oleh VIO-NCSV). Mula Veereniging voor Christelijk Jeugdwerk, yang dipimpin De Groot dan van Doorn, memperoleh tempat yang baru sebagai ganti Vioslaan 25,  yakni di Kwitang 10, yang dibuka pada atanggal 10 Oktober 1926. Di clubhuis ini diselenggarkan kursus-kursus yang dihadiri ratusan pemuda. Perkumpulan-perkumpulan yang bertemu secara teratur adalah: de Christen Jongeliedenbond, de Bataviasche Kring van Studerenden dan sebuah perkumpulan wanita. Di gedung itu pula disediakan sebuah perpustakaan. Ketika gedung itu dianggap tidak lagi memadai bagi seluruh kegiatan, maka diusahakan memperoleh tempat yang baru. Dengan dukungan finansial warga VIO-NCSV 9dalam lima tahun berkembang dari delapan menjadi 170 orang anggota) melalui komisi pelayanan pemudanya, dan dalam kerjasama dengan persatuan pelayanan pemuda Batavia, diperoleh biaya bagi pembelian rumah dan paviliunnya di Kebun Sirih 44. Clubhuis Kebon Sirih 44 inilah yang dapat dikatakan menjadi pusat pembinaa pemuda dan mahasiswa kristen Indonesia sebelum Perang Dunia II.33 Kegiatan di Clubhhuis dihadiri pemuda-pemuda Kristen Indonesia, khususnya yang berasal dari Minahasa, Ambon, Jawa dan Batak. Sementara itu Vereeniging van Christen Studenten di Batavia baru mencatat jumlah 18 anggota dari para mahasiswa STOVIA, BS, RS, RHS. Kegiatan masih terbanyak di kalangan para siswa Kweek- dan Normaalscholen dna dengan menggabungkan pelayanan mahasiswa dengan pelayanan pemuda. Bijbelkring diasuh oleh van Doorn, Schepper, dan seorang Jawa.34 Ceramah-ceramah yang diadakan meliputi soal-soal kekristenan dan pengetahuan umum, khususnya mengenai Indonesia. Selan kelompok studi siswa, terdapat pula persekutuan gadis-gadis (Clubhuismeisjesvereeniging) dengan pengurusnya sendiri. Dan diantara anggotanya terdapat pemudi-pemudi Jawa. 
Pada tahun 1929 terbentuk organisasi tersendiri bagi pelayanan wanita (dan pemudi) dalam kerjasama dengan pelayanan pemuda. Pelayanan wanita bermula dari suatu hasil angket oleh Onderzoek-commissie voor Arbeid onder Vrouwen en Meisjes pada tahun 1926-27 di kalangan para pelayan Injil yang menunujukan bahwa di seluruh Hindia terdapat kebutuhan besar bagi tenaga-tenaga penginjil wanita, sehingga pendidikan dan pembianan pemuda-pemudi harus diselenggarakan. Dengan itu dicapai tujuan ganda: perluasan pendidikan umum (yang menunjang upaya mempertinggi usia kawin) dan diperoleh tenaga-tenaga sejawat sebgai guru-guru Taman Kanak-Kanak (Fröbelonderwijzeres) dan guru pribadi anak-anak di rumah (huisonderwijzeres), perawat, pendidik dan pengatur rumahtangga. Dari pertimbangan ini lahirlah de Vereeniging voor Christelijke Jonge-Vrouwen-Scholen di Weltevreden. Kemudian dibentuk deChristen Jonge Vrouwen Federatie in Indië pada bulan November 1929 dengan Zr. Gunning sebagai sekretarisnya (yang diutus untuk tugas itu oleh Federatie van Christelijk Vereenigingen van en voor Meisjes in Nederland). Pada tahun 1933, setamatnya dari Sekolah Tinggi Hukum, Mr. A.L. Fransz menggabung dengan Zr. Gunning dan Ny. Van Doorn dalam pelayanan wanita ini.35 Sebagaimana pelayanan pemuda, pelayanan wanita Kristen Hindia ini berusaha menghidupkan organisasi-organisasi wanita setempat untuk diperhubungkan menjadi suatu “national YWCA”. Kegiatan-kegiatannya meliputi penyelenggaraan kelompok Penelaahan Alkitab, camping, kerajinan, driehoekswerk (pengorganisasian wanita dalam tripelayanan rumah tangga, gereja dan masyarakat) dan sebagainya. Sejak tahun 1926 di wilayah zending Jawa Timur wanita Kristen secar teratur menyelenggarakan konferensi tahunan. Pada tahun 1926 konferensinya membentuk perhimpunan Wanita Roekoen Sentosa, dengan tujuan membentuk persatuan semua organisasi wanita Kristen setempat, dan secara khusus membagi informasi antar para pemimpinnya menyangkut kemajuan pelayanan wanita. Seorang pengamat menyatakan bahwa salah satu kemajuan yang dicapai, adalah bahwa pada konferensinya yang ke-5 sisa satu orang Eropa menjadi pembicara, selebihnya semua wanita Jawa. 
Jelas kegiatan jeugdwerk terbanyak di Batavia, tetapi van Doorn ingin menggalang pelayanan yang lebih luas pada skala nasional. Sekembalinya dari cuti di Negeri Belanda pada tahun 1930, van Doorn memusatkan perhatiannya pada biro pusat untuk menjalin kontak antara organisasi-organisasi pemuda Kristen, sedangkan tanggung jawab kegiatan clubhuis diserahkan pada keluarga Haatjes. 
Pelayanan pemuda dan mahasiswa di luar Batavia terdapat a.l. di Surabaya, dimana terbentuk perkumpulan Jong-Indië di lingkungan siswa sekolah kedokteran (NIAS). Dengan kegiatan berupa penyediaan perpustakaan kecil, pertemuan berkala dan Bijbelkringen. Di sekat Mojowarno terdapat tempat perkemahan dengan gubuk (pondok) bambu berdaya tampung kurang lebih 300 orang, yang menjadi ajang kegiatan kelompok-kelompok pemuda Kristen di Jawa Timur. Pentinglah peran C.W. Nortier dan B.M. Schuurman dalam pelayan pemuda di Jawa Timur. Biro pemuda NIZB menerbitkan majalah pemudaOpgang di Yogya. Di Bandung ada suatu perkumpulan pemuda bernama Dageraad (=fajar) yang menerbitkan de Christelijke Jongelingsbode. Pelayanan pemuda di Yogya dan di Solo diisi dengan kegiatan camping di luar kota. Perhimpunan pemuda di Solo, de Algemeene Bond van Chrsiten Jongelieden, terutama beranggotakan siswa Kweekshool dengan Saroinsong sebagai ketuanya.36 Di kalnagan organisasi pemuda di berbagai kota muenonjol jumlah siswa asal Minahasa, Ambon dan Batak.37 Di luar Jawa, terdapat pelayanan pemuda di Tanah Batak (di bawah asuhan Dr. E. Verwiebe) dan di Minahasa. 
Dalam ceramahnya pada Konferensi Pemuda Kristen tahun 1926 di Bandung yang juga dihadiri Mott dan Rutgers, Hendrik Kraemer mencangankan “dwisila Bandung” bagi pelayanan pemuda dan mahasiswa, yakni memperhubungkan secara sistematis semua golongan pemuda Kristen tanpa pengecualian, dan mengupayakan pembentukan suatu perhimpunan pemuda Kristen supaya sebagai orang Kristen dapat melayani negeri dan bengasanya sendiri melalui suatu organisasi tersendiri. Dwisila tersebut merupakan kistalisasi pemikiran kalangan kalangan pembina pemuda (van Doorn dan VIO-NCSV, NIZB) sejak awal. Sila pertama mengikuti prinsip interconfessional gerakan oikumene, sedangkan yang kedua adalah dukungan kepada pergerakan nasional. Sesuai pendekatan kalangan VIO-NCSV, para pemuda diarahkan untuk memahami pergerakan nasional secara kritis. W. Schmidt, salah seorang pembina pemuda dari Solo, dalam suatu pembinaan guru-guru menyatakan pentingnya memperhubungkan pelayanan pemud adengan masalah-masalah konkret yang mereka hadapi dalam masyrakatnya, khususnya pergerakan nasional: 
Barangsiapa ingin mempengaruhi massa, haruslah mengenal massa itu: penderitaanya, kebutuhannya, prinsip-prinsip yang menguasai keberadaannya. Barangsiapa ingin mempengaruhi pemuda, haruslah mengenal pemuda itu, haruslah mengenal apa yang pemuda prihatinkan, menjadi pokok perhatiannya, yang menggugahnya, yang mengilhaminya. Menguasai pengetahuan psikologi pemuda mutlak ada! […] Nasionalisme mempuyai banyak pembela dan penganutnya yang antusias di kalangan pemuda. Juga di kalangan pemuda Kristen. Karena itu kita harus memperhatikannya dengan baik. Sangat perlu pelayanan pemuda memperhitungkan hal itu. Kita harus berusaha memaham nasionalisme, juga jika kita sama sekali tidak menyetujuinya. Nasionalisme itu seringkali merosot menjadi suatu naluri nasionalistis, sehingga hanya mencari kemuliaan diri dan bangsa sendiridan menghancurkan yang lain. Kita harus berusaha memperhadapkannya dengan supra nasionalisme kekristenan.38 
Mengenai konsolidasi oikumenis Schmidt mengajukan beberapa usul:  a) supaya di kota besar dibentuk suatu majelis pemuda (jeugdraad) yang beranggotakan juga orang pribumi, b) di setiap sekolah ada komisi yang menjalin kontak dengan orang tua dan para alumnus, c) ada gedung pertemuan (clubhuis) d) pembentukan kelomok-kelompok olah raga, kesenian, dsb, e) menyelenggarakan kursus yang gratis atau yang murah mengenai pokok yang dibutuhkan para pemuda, f) ada acara-acara camping bersama, dan g) ada usaha-usaha pendekatan pribadi. 
Ideal seperti ini menjadi acuan dalam penyeleggaraan tahunan jeugdleidersconferentie (JLC) di berbagai tempat sejak 1926, yang merupakan kerjasama antara Komisi Pemuda NIZB dengan organisasi-organisasi pemuda. JLC pertama dilangsungkan di Chr. Kweekschool Solo pada tahun 1926 dan baru merupakan orientasi awal dan perkenalan antara para peserta. Salah satu dukungan bagi kegiatan ini adalah penerbitan Leidersblad.39 Konferensi kedua tahun 1927 di Padalarang juga dihadiri wakil-wakil pemuda dari berbagai kota. Konferensi yang diketuai oleh J. Nababan dari Solo itu berhasil membentuk suatu Komite Pusat bagi pelayanan pemuda, dengan tujuan mempersatukan pemuda Kristen Indonesia bagi kemajuan Indonesia: 
Conferentie pengandjoer2 anak-anak moeda di-Padalarang dihadiri 30 pemoeda-pemoeda Hindia Kristen, telah mendirikan soeatoe Comite pertengahan (Centraal Comite) bagi Oesaha Kemoedaan. Maksoed dan golongan pekerdjaannja jaitoe:
1e. Beroesaha akan datang kepada peratoeran dan persatoean sedjati antara perkoempoelan pemoeda di-Hindia. 2e. Tolong mengatoer soeatoe soerat chabar, jang mendjadi pemimpin bagi perkoempoelan, sertapoen pembawa soeara doenia anak dan pemoeda. 3e. Mengatoer sama-sama akan Jeugdleiders conferentie tiap-tiap tahun. 4e. Mengoempoelkan dan menjiarkan pembatjaan kristen goena perkoempoelan-perkoempoelan. […] Centraal Comite dan Bond van Christen Jongeren bekerja sama-sama goena Oesaha kemoedaan Hindia. Kedoeanja satoe kerindoean. Satoe maksoed. Jaitoe kemadjoean anak Hindia Kristen menoeroet roh dan tubuh, olehnja kemadjoean Kristen Hindia, karenanja inipoen kemadjoean Hindia sedjati kepada hormat Allah”.40 
3.2.2        Nasionalisme Kristen Indonesia: Tiendas dan leimena 
Organisasi yang disebut pada akhir kutipan di atas, Bond van Christen Jongeren (BCJ) merupakan salah satu organisasi pemuda Kristen yang terpenting masa itu. BCJ mula-mula merupakan suatu perhimpunan organisasi-organisasi pemuda dan siswa Kristen di Solo, tetapi kemudian juga mencatat anggota dari kota-kota lain termasuk dari luar Jawa. Salah seorang pemukanya adalah P.A. Tiendas, yang berasal dari Minahasa, dan karena ayahnya seorang “Penoeloeng Indjil” di pulau-pulau Sangir di dapat diterima oleh suku-suku Minahasa dan Sangir dengan baik. Apalagi Tiendas mudah bergaul dan periang. Mula-mula Tiendas mendirikan organisasi de Groote Oost di Solo untuk siswa-siswa asal Minahasa, Sangir dan Ambon, yang menerbitkan majalah pemud Kristen Rindoe Dendam. Dalam perjalanan pulang dari perlawatan ke negeri Belanda pada tahun 1931, Tiendas mengunjungi Tanah Batak untuk meninjau pelayanan pemuda Kristen Batak oleh Dr. E. Verwiebe, sebagai orientasi bagi pekerjaanny dalam pelayanan pemuda Kristen di Minahasa. Tugas pelayanan pemuda di Minahasa itu mendapat dukungan pembiayaan dari pihak Nederlandsch Jongelingsverbond (N.J.V). 
Sesuai pendekatan pelayanan pemuda, P.A. Tiendas juga berusaha memperhubungkan gerkan pemuda Kristen dengan faham kebangsaan, sebagaimana terungkap dalam beberapa tulisannya. Dari lima catatannya atas keadaan pergerakan pemuda Kristen pada tahun 1930 Tiendas antara lain menulis: 
[..] bahwa Oesaha Kemoedaan Masehi Indonesia beralas agama Kristen dan bersendi nasional, berhaloean Masehi dalam aksi kebangsaan dan kekristenannja. Ia pentingkan agama dan tanah air, karena Toehan. Ia menoedjoe doenia dan soerga, kepada hormat Allah.41 
Beberapa tahun sebelumnya, dalam melaporkan penyelenggaraan suatu JLC, Tiendas menyatakan: 
Soeatoe persatoean Indonesia Masehi, jang memang koekoeh  karena, kita lihat dan rasa dalam conferentie ini. Kami pertjaja dan jakin bahwa perhoeboengan rohani ini boekan ketjil manfaatnja bagi persatoean pikiran, maksoed dan tjita-tjita goena Agama dan Bangsa.42 
Pemikiran Tiendas (yang sayang tidak secara lebih tegas menggambarkan wawasan dan sikapnya terhadap pergerakan nasional pada zamannya) merupakan gema dari sikap yang relatif positif terhadap nasionalisme Indonesia dari kalangan para pemuda Kristen (dan pembina-pembina mereka). 
Contoh yang lain dari kuatnya wawasan kebangkitan di kalangan gerakan pemuda Kristen adalah Johanes Leimena.43 Dalam suatu karangannya yang diterbitkan bersama dalam Zaman Baroe pada tahun 1928 Leimena membicarakan hubungan antara gerakan pemuda Kristen dengan nasionalisme.44 Jalan pemikiran Leimena sebagai berikut: Nasionalisme bersumber pada keadilan yang sama diperjuangkan bangsa-bangsa. Perkembangan pada bangsa-bangsa Asia seperti Cina, Jepang, India menunjukan pentingnya pengaruh Kristen. Diantara tokoh-tokoh nasional mereka terdapat orang-orang Kristen. Itu suatu petunjuk supaya juga di Indonesia orang-orang Kristen mengambil bahagian dalam memajukan bangsa: 
Kita misti tjari djoega kebesaran Kriatus dalam woedjoed kita, keadaan kita di Hindia ini. Djoega Hindia misti akan minginsjafkan kedirian, jang tegoeh berdiri atas roekoennja dan jang maoe diperhamba negerinja sepanjang kepandaiannja. Kita misti berdiri di tengah kesoenggoehan. Kita misti tjari daja oepaja akan mengadon kedirian; adakah oentoeng sebagai di tanah lain akan mendidik kedirian itoe. […] sebagai di tanah lain akan mendidik kedirian itoe. […] Kelakoeannja inilah, bahwa dia akoe Isa Almasih sebagai pemimpinnja pada segala tempat kehidoepan. Pergerakan pemoeda Kristen maoe mengadon kedirian jang tegoeh berdiri atas jakinnja, tatapi jang sedia djoega akan mengoesahakan dirinja oentoek bangsanja. Menurut pengetahoeannja.45 
Leimena mencatat sejumlah tantangan bagi perwujudan suatu gerakan pemuda dalam ideal itu. Salah satu hambatan yang cukup berat adalah yang disebutnya naluri kebangsaan (nationaal instinct) yaitu sikap nasionalisme yang sempit dan tertutup bagi bangsa sendiri sehubungan dengan kenyataan bahwa dalam pergerakan pemuda Kristen bergabung juga orang-orang asing: 
Karena kita ada pada pangkal pengatoeran baroe, tak dapat tidak kita haroes tolong menolong pada soeatoe tempat dengan orang arang bangsa asing. Djadi pergerakan Pemoeda Kristen misti terima Anak Negeri dan Orang Asing: Eropah, Tiong Hoa, Hindoe d.l.l. Pada waktoe ini perloe pemimpin Eropah, jang akan memimpin pemoeda itoe akan kerdja sendiri kelak. Ini misti dipandang biasa. Tetapi rasa kebangsaan saban bertambah, merantjah dia, merawan tiap anak jang memikir dia lazat, merampas boei dan perasaannja belaka. Kebangsaan itoe beroesaha sama dan atas tjita. Dan boekannja kebangsaan toelen semuannja jang berlindoeng di bawah tiap anak; boekan, sekarang kebangsaan itoe terlaloe; ada bahajanja perasaan itoe mendjadi “instinkt kebangsaan” (national instinct).46 
Demikianlah Leimena membedakan antara kebangsaan yang berwawasan sempit itu dengan kebangsaan tulen, yang adalah karunia Allah. Kebangsaan tulen mengarahkan pemuda Kristen pada pengabdian, sedangkan naluri kebangsan membingungkan orang: 
Perasaan kebangsaan toelen pegang harganja, meskipoen terpoekoel dia oleh sembojan baroe. Itoe tiada berobah. Itoe moelia. […] Tentang itoelah instinkt [sic] kebangsaan, jang tak ada perksa sendiri tapi berobah-robah. Ia maoe tjoba memoengoet angan-angan filsafi, akan menerangkan lakoe pekerdjaannja; pada hari ini pengiring sembahjang ini, akan melepaskannja besok. Dalam ini hoeroe-hara itoe. Dia dari roemah Kristen, tapi dia maoe djoega nationalis. Ini lagi satoe soesahnja: Sebab ia Kristen orang maoe pandang dia sebagai orang Barat, sebab agama Masehi, biar berasal dari Timoer, orang Barat jang memasoekannja dalam negeri ini.47 
Lebih lanjut Leimena menekankan pentingnya agama bagi pembentukan moral dan budi pekerti, sebab perjuangan bangsa tidak hanya memerlukan orang yang berkepandaian, melainkan juga orang yang beragama dan bersopan santun. Suatu bangsa yang tinggi kemjuan teknologinya tetapi tidak memiliki orang-orang yang berbudi maka tergolong bangsa yang miskin. Leimena menempatkan agama di atas kebangsaan dalam arti kesungguhan beriman akan memperbesar pengabdian: 
Tiap orang misti nasionalis, tjelaka besar kalau orang tidak nasionalis. Kalau kamoe bertjampoer dengan bangsa lain, dengan kemadjoean lain, tjampoerkanlah kemadjoeanmu dengan jang lain itoe, koetip baiknja; Tetapi djangan lepaskan milikmoe, pegang, didik dengan baik. Tinggikan kebangsaanmu, rasa harga dirimoe dan rasa bahwa kamoe dapat. Tetapi djanganlah itoe mendjadi agamamoe. Kalaoe agama Masehi telah masoek dalam hatimoe, telah berakar dalam djiwamoe dan boekan lagi sebagai pakaian sadja, tetapi seperti ditanamkan, agama jang dirasai benar-benar, jang mengingat sabdanja Isa Almasih; kaloe agama Masehi telah menyediakan oentoek peperangan akan keadilan, maka nasionalisme, jakni smaa-sama itoe, sekali-kali tak hilang harganja. Agama Masehi dan kebangsaan: agama Masehi di atas kebangsaan dan kebangsaan djoega. Berkebangsaan, sebab pengadjaran dan hidoepnja Kristoes lain dirasa kalau lain negerinja. Ini diboektikan riwayat Masehi dibeberapa benoea; tetapi di atas kebangsaan, sebab agama Masehi artinja Kristoes sendiri, jang selamanja satoe oentoek segala bangsa dan segala zaman.48 
Pada bagian akhir karangannya Leimena mengungkapka perhubungan yang lebih dalam antara agama Kristen dan kebangsaan (sifat kontekstual), baik dalam pengungkapannya, maupun dalam keprihatinannya pada masalah-masalah yang dihadapi orang Kristen Indonesia: 
Agama Masehi di-Hindia ini pada kemoedian hari djanganlah Masehi di Timoer, dimasoeki oensoer kemadjoean Timoer. Soeatoe agama jang masoek pada pikiran bangsa itoe. Dengan demikian sadja ia dapat tinggal dan bertambah kaja. Stanley Jones mengatakan: Kristoes pada djalan raja Hindia (Ingeris); begitoelah di negeri ini haroes diaktakan; Kristoes pada djalan raja Indonesia. Agama Masehimisti menerangkan pada pendoedoek negeri tntang perlawanan hak. Tetapi misti diketahoeinja djoega bahwa bukan hak sadja jang ada, tetapi djoega kewadjiban , boekan dalam tempat diam sadja, djoega tentang persekoetoean doenia. Kalaoe diakoei bangsa-bangsa dan soekoe-soekoe dipoelau-poelau kita ini, maka njatalah bahwa agama itoe ada kewadjibannja jang besar.49 
Dalam suatu laporan, beberapa tahun kemudian, dengan lebih tegas Leimena menyatakan: 
Kekristenan ditempatkan orang Indoensia sejajar dengan Eropaisme dan Kapitalisme; pada pihak lain, nasionalisme dianggap sebagai Komunisme dan pengungkapan dari suatu rasa rendah diri oleh banyak orang Eropa, suatu kecongkakan yang harus ditolak. Para mahasiswa Kristen tidak boleh memerlihatkan bahwa karena mereka Kristen maka mereka juga termasuk pada “kaum sana” (Kelompok Eropa), melainkan bahwa panggilan mereka dan dan kewajiban Kristen adalah untuk bekerja sama sebagai kawan-kawan sekerja dalam membangun bangsa Indonesia, yang ke dalamnya mereka juga terhisab, dan bahwa mereka juga harus menyadari bahwa karena mereka telah memiliki pendidikan yang maju maka mereka merupakan suatu golongan istimewa. […] Pengaruh nasional terus berkembang, dan tidak ada fsasal hukum yang dapat merintanginya; dan nasionalisme yang menginginkan suatu Kesatuan melawan pemerintah-pemerintah asing, dan mengigninkan suatu negara Kesatuan, memelihara dan saling menghargai kebudayaan, sifat dan kemampuan masing-masing, yang menghendaki suatu bahsa kesatuan, bahasa Melayu yang akan menjadi jembatan di atas banyak bahasa yang kaya, nasionalisme ini juga menuntut dari orang Kristen suatu keyakinan nasional yang murni dan suatu kegiatan nasional.50 
Pemikiran Tiendas dan Leimena  dapat menunjukan bahwa dalam kalangan aktivis gerakan pemuda (dan mahasiswa) Kristen masa itu telah dimulai suatu pendekatan baru dari pihak Kristen terhadap pergerakan nasionalisme. Tetapi dalam hal itu tetaplah dijaga suatu batas supaya pergerakan pemuda Kristen tidak menjadi kegiatan politik, walaupun masalah-masalah yang berkembang di dalam masyarakt tidak bisa diabaikan dan bahwa bagi pihak Kristen, nasionalisme harus dihadapi secara kritis, yakni ditempatkan di bawah terang Injil. Dalam menjawab suatu pertanyaan, pada tahun 1932, mengenai apakah ada kecenderungan politik di kalangan organisasi-organisasi pemuda dan mahasiswa Kristen yang dibinanya, van Doorn menyatakan: 
Secara umum tidak. Tetapi para anggota secara pribadi sangat tertarik. Masalah-masalah nasional harus dibicarakan, kalau tidak perhatian manusia seutuhnyna tidak tersentuh. Hanya pemuda-pemuda yang ingin sekaligus menjadi seorang Kristen dan seorang nasionalis dapat membawa pemecahan. Bagi banyak orang konflik ini begitu sulit sehingga mereka tidak bisa menanggung ketegangan itu.51 
3.2.3        CSV op Java 
Setelah satu dekade, pelayanan di kalangan pemuda dan mahasiswa Kristen mulai mendapat bentuknya yang lebih jelas. Terdapat bagian-bagian pelayanan pemuda setempat (plaatselijk jeugdwerk), pelayanan gabungan (federatie werk) di bawah koordinasi van Doorn, dan pelayanan wanita (meisjes werk) yang secara khusus digeluti oleh Zr. Gunning. Dari segi penddikan, pelayanan itu meliputi empat tingkat dalam kelompok studenten: mahasiswa ketiga sekolah tinggi (MHS dan RHS di Batavia, dan THS di Bandung), siswa Kweekscholen, siswa BS, NIAS, MLS, VAS, MOSVIA, dan murid-murid sekolah menengah. Anggota CSV Batavia hanay 25 orang mahasiswa dari kedua sekolah tinggi dan alumnus STOVIA. Mahasiswa cina Kristen di Batavia membentuk organisasi sendiri bernama TaTung dengan 12 orang anggota. Sedangkan ketiga Kweekschool Kristen masing-masing di Solo dan Malang (pribumi) dan Weltevreden (Eropa), merupakan pusat-pusat pergerakan pemuda Kristen. Batavia (dengan pemudaClubhuisnya di Kebon Sirih 44 ) tetap merupakan pusat yang terpenting. Khusus untuk tingkat mahasiswa, Leimena mencatata tiga pusat utama dimana organisasi mahasiswa Kristen dapat dibentuk, yakni Batavia, Surabaya dan Bandung. De Bataviasche  C.S.V. dibentuk pada tahun 1926 (dalam semangat kunjungan Mott dan Rutgers) dari hanya belasan mahasiswa RHS dan siswa STOVIA dan Bestuursschool. Tahun berikutnya masuk beberapa mahasiswa MLS. Setelah para siswa STOVIA angkatan terakhir tamat Bataviasche CSV menjadi perhimpunan yang hanya terdiri atas para mahasiswa, sedangkan para siswa Bestuursschool diorganisasikan tersendiri. Di Surabaya, para mahasiswa NIAS baru kemudian dapat membentuk suatu cabang CSV, walaupun sudah sejak tahun 1915 ada kelompok mahasiswa Krisrten (tetapi beranggota lpenganut agama lain juga) bernama Jong-Indië. THS di Bandung didirikan pada tahun 1912, dan sejak itu ada upaya membentuk suatu kelompok mahasiswa Kristen, tetapi juga baru pada tahun 1932 suatu kelompok inti dapat dibentuk. 
Pada masa liburan Natal tahun 1932 dilangsungkan JLC ke-7 di Kaliurang. Konferensi itu dihadiri 50 peserta dari berbagai kota di Jawa. Sejumlah mahasiswa yang hadir (mewakili CSV Batavia, CSV Surabaya dan kelompok siswa Hoof dactecursus serta beberapa mahasiswa Bandung) melakukan percakapan khusus dalam usaha membentuk suatu CSV nasional.52 Akhirnya, pada tanggal 28 Desember 1932 dicapai kesepakatan membentuk Christen Studenten Vereeniging op Java (disingkat C.S.V op Java) dengan badan pengurus: J. Leimena sebagai Ketua , Sekretaris Dr. C.L.van Doorn dan Bendahara Tan Tjoan Soei.53 Tujuannya secara jelas memperlihatkan sifatnya sebagai organisasi pembinaan rohani yang mengarahkan anggotanya pada kegiatan gereja, mendukung persatuan nasional dan terbuka terhadap persaudaraan dengan bangsa lain (CSV tidak khusus untuk mahasiswa Kristen Indonesia), ikut mendukung usaha-usaha mengatasi masalah-masalah sedunia, dan turut berupaya menghidupkan kesadaran oikumenis. Tujuan itu dirumuskan: 
Persatuan menghimpunkan mahasiswa, yang mengakui Allah selaku Tuhan atas kehidupannya, dan yang menginginkan Yesus Kristus sebagai Pandunya. 
Persatuan menetapkan tujuannya: pertama, pembinaan kehidupan rohani aggotanya untuk ikut aktif dalam kehidupan gereja dan bangsanya; kedua, mewujudkan kerjasama dan hidup bersama yang seerat mungkin antara anggota dari berbagai persekutuan bangsa yang berbeda; ketiga, menggugah perhatian bagi masalah-masalah kehidupan internasional, sebagaimana yang hidup dalam federasi mahasiswa Kristen sedunia; keempat, menghidupkan kesadaran untuk megambil bagian dalam “suatu Gereja Kristen yang Am”.54 
Disepakati pula bahwa para keanggotan CSV op Java terbuka bagi yang telah masuk pendidikan di atas AMS atau Kweekschool. 
Leimena menyebut pemmbentukan CSV op Java sebagai suatu “tindakan bersejarah” dalam rangka keinginan untuk turut berperan dalam dunia kemahasiswaan pada masa depan, bukan karena menginginkan “hormat” dan “kuasa”, melainkan oleh dorongan profetis untuk membentuk mahasiswa yang bertanggung jawab, menjadi sosok pribadi yang tegak di tengah-tengah kehidupan, memahami kenyataan keadaannya sendiri dan keadaan bangsanya dalam titik keluasan dan kedalamannya, dalam kelemahan dan kekuatannya; membentuk kepribadian yang menjunjung kesederhanaan, kerendahan dan menahan diri di hadapan Tuhan, sang Bapa dalam Yesus Kristus. Juga dengannya menjadikan mahasiswa, dalam keilmuwannya, seorang murid Yesus dan olehnya menjadi guru dan pelayan sejati bagi bangsanya.55Leimena memperhubungkan pembentukan CSV op Java dengan kenyataan sejarah masanya, yakni nasionalisme Indonesia. Dalam hal itu mahasiswa berperan penting di dalam pertarungan ideologi menuju kemerdekaan melalui kesatuan semua kelompok penduduk. Pada penilaiannya titik kelemahan di dalam soal ini adalah bahwa nasionalisme belum murni dan lebih merupakan suatu reaksi dari kompleks rendah diri. Kelompok terbesar masa belum yakin benar pada panggilannya dan karena itu juga tidak yakin pada para pemimpinnya. 
Pada hakikatnya kegiatan mahasiswa Kristen berada di luar kerangka arus politik, namun pasti, bahwa dia tidak ingin memperkuat sesuatu “nafsu gerombolan”, membentuk manusia yang hidup dan berpikir mandiri, yang hanya mau bergantung pada Allah. Manusia yang tidak hanya membutuhkan suatu kesadaran abadi humanistis, melainkan juga hidup dari kenyataan dan di dalam kesadaran bahwa “Kekekalan” sudah datang ke dalam “Sejarah”. Dari kenyataan sejarah dan dengan pengetahuan ini CSV telah memulai dan akan melanjutkan karyanya.56 
Dalam tulisannya yang lain, Leimena menyebut pembentukan CSV op Java sebagai suatu tindakan yang berani, mengingat siswa dan mahasiswa berasal dari berbagai ras dan tingkatan, dan dalam situasi yang dianggap tidak tepat karena para mahasiswa Indonesia mempunyai tolak ukur dan tuntutan sendiri. Suatu asas yang berlaku umum dan pemikiran yang supranasional ditolak orang karena alasan nasional. Tetapi Leimena justru melihat bahwa dalam asas umum itu pemuda yang sedang studi dapat saling memahami dan menghargai. Jelas bahwa bukan suatu aliran politik yang dipegangnya, melainkan bersama berusaha menebus kesalahan-kesalahannya berdasarkan suatu falsafah hidup alkitabiah.57 Dengan kata lain terhadap suatu wawasan nasionalisme yang sempit, yang memisah atau mempertentangkan golongan dengan golongan, CSV ditampilkan sebagai pilihan yang merangkul dan sekaligus memberi dimensi transenden bagi kesatuan umat manusia. Leimena menunjuk pada kesatuan di dalam Kristus, sebagaimana yang dinyatakan dalam doa Tuhan Yesus (Yo. 17:21) – yang adalah juga motto gerakan mahasiswa Kristen – sebagai dambaan, tugas dan tanggung jawab Kristen, juga di Indonesia. Kesatuan itu tidak bersandar pada kesatuan yang didasarkan atas penyamaan ras, kebudayaan atau agama. 
Dr. T.S.G. Moelia, sebagai salah seorang tokoh pembina CSV, juga memberi tekanan yang lebih rohani, memelihara para mahasiswa untuk tetap dalam kekristenan selama mereka berada di rantau, dan menjadi wadah pembentukan pemimpin-pemmpin rohani. Moelia membela sikap nasionalisme di kalangan para mahasiswa Indonesia terhadap kecaman orang Eropa: 
Tentu saja banyak mahasiswa Kristen pengikut gerakan nasionalis. Namun sekalipun sentimen nasional mereka kuat, mereka tidak memutlakannya, melainkan menaklukanya pada keyakinan keagamaan mereka. Memang sangat disesalkan jika orang-orang Eropa tertentu salah paham terhadap nasionalisme ini dan menentangnya, atau bahkan memaklumkan bahwa nasionalisme itu tidak sesuai dengan semangat kekristenan, karena sikap semacam itu sering menciptakan kecurigaan terhadap kekristenan dan dapat mengarahkan orang pada pengunduran diri dari semua gerakan Kristen.58 
Sesuai pandangan politiknya yang tergolong nasionalistik koperatif, Moelia melihat dalam federasi mahasiswa Kristen bahwa kerjasama adalah kemungkinan dan kebutuhan bahkan satu-satunya jalan Kristen: 
Percayakah kita orang Kristen pada kebenaran kerjasama ataukah kita harus secara sadar menuju pada pemisahan penuh antara Barat dengan orang Timur dalam bidang kerohanian? Dalam hal ini federasi sedunia [WSCF] ada untuk membuktikan bahwa kerjasama tidak hanya mungkin melainkan juga perlu, karena merupakan satu-satunya jalan yang dikenal kekristenan. Dari Federasi Sedunia-lah kita harus menimba kekuatan kita untuk tetap percaya pada kerja sama. Pengalaman langsung kita kadang-kadang membuat kita bimbang, karena kerja sama tidak jarang berarti menyesuaikan diri pada pimpinan pihak Eropa dan mengingkari kepribadian dan kemandirian pihak lain. Memang kerja sama tidak dapat daatang dari satu pihak; tidak dapat dilakukan hanya atas perintah, dan berarti bahwa pada semua pihak harus dikorbankan sesuatu.59 
Pada tahun 1933 jumlah anggota CSV op Java kurang lebih 80 orang dari berbagai golongan: Indonesia, Cina dan Eropa (kebanyakan peranakan). Diantara anggota CSV op Java terdapat orang-orang yang kemudian menjadi pemuka Kristen, seperti: Amir Sjarifuddin, J.Leimena, A.M. Tambunan, A.L. Fransz, S.C. Nainggolan dan G. Siwabessy.60 
3.2.4        WSCF Citeureup 1933 
Koferensi Citereup untuk Asia dan Australia, yang dikenal pula sebagai Java Conference, mula-mula digagas oleh T.Z. Koo, tokoh mahasiswa Kristen Cina, yang mengunjungi Indonesia (sebagai sekretaris regional WSCF) pada tahun 1931. Gagasan itu dikemukakan dan disambut hangat pada rapat pengurus WSCF pada tahun 1932 di Woudschouten (Zeist, Negeri Belanda). 
Dalam mengulas rencana konferensi itu, Augustine Ralla Ram, salah seorang tokoh Asia WSCF dari India, menekankan bahwa WSCF dapat bermakna dalam hubungan Barat dan Timur dimana pihak Timur dapat berperan serta dalam mewujudkan cita-cita dan tujuan pergerakan seluruhnya, tetapi untuk itu pentinglah bahwa pihak Timur menjalin persekutuan yang hidup dan erat antar berbagai kelompok gerakan di wilayahnya. Dalam kerangka itu ia mengajukan empat pokok pemikiran. Pertama-tama konferensi perlu meneliti pekerjaan federasi di Timur. Bagian Timurfederasi dunia ini dibaginya atas lima wilayah: Timur Dekat; Timur Tengah; Kelompok Birma-Sailan-Siam-Hindia-Filipina; Cina-Jepang-Korea; dan Australasia. Kedua dalam rangka tugas federasi untuk mengkaji Pemberitaan Kristen dalam hubungan dengan masalah-masalah modern, gerakan di Timur harus dibebani tanggung jawab yang serius. Agama-agama, kemiskinan (yang menunjang perluasan komunisme!), dan nasionalisme menonjol di belahan Timur ini. Menyangkut nasionalisme itu, Ralla Ram  menekankan: 
Pada saat yang sama catatlah bahwa nasionalisme dari jenis yang keras menegakkan kepalanya di Timur, suatu hal yang belum pernah sebelumnya. Kita tidak akan dapat menekankan dan seharusnya tidak pernah mencoba berbuat demikian. Namun pemurniannya dalam terang cita-cita internasional merupakan tugas mendesak. Tidak hanya itu, bahkan dalam menentang kemunafikan-kemunafikan yang tersembunyi dari negara-negara yang berperang kita perlu belajar dari gerakan-gerakan seperti yang di India, yang memakai cara-cara anti kekerasan untuk mencapai tujuannya.61 
Pokok pikirannya yang ketiga menyangkut pelayanan kepada ribuan mahasiswa dari Timur yang belajar di Barat atau berkunjung ke Barat, supaya mereka dapat tetap mengenal masalah-masalah negerinya. Pokok yang terakhir adalah mengenai kenyataan kekristenan sebagai agama di negara-negara Barat yang imperialistik dan yang mengeksploitasi ekonomi ekonomi negara-negara lemah di Timur. Untuk itu, perlu diatur perkunjungan-perkunjungan timbal balik antara mahasiswa Timur Jauh, Timur Dekat dan Timur Tengah, supaya pengalaman mereka menjadi pemberitaan bahwa agama Kristen bukan kultus khas dari bangsa-bangsa Barat yang imperialistis.62 
Konferensi diselenggarakan pada tanggal 9-14 September 1933 di Citeureup, di sebuah rumah perkebuan (landhuis), dengan tugas federasi dalam pewartaan dan panggilan persekutuan Kristen di Asia dan Australasia (Australia dan Selandia Baru). Selain beberapa pengurus WSCF, Konferensi dihadiri utusan dan undangan dari Australia (3), Birma (7), Salilan (1), Cina (6), Indonesia (38), Selat [Malaya & Singapura] (6), India (6), Jepang (4), Selandia Baru (3) dan Filipina (3), Amerika Serikat (2), Jerman (4) Perancis (1), Negeri Belanda (1), serta sejumlah undangan lainnya. Seperti yang dikemukakan oleh Francis P. Militer, Ketua WSCF, konferensi ini bermakna penting dalam kehidupan federasi, khususnya dalam sumbangan dari dan bagi kehidupan gerakan mahasiswa Kristen, dan dengan itu dari dan bagi keseleruhan gereja di Timur. Makna itu terfokus pada dua pokok: penegasan Injili mengenai amanat iman Kristen kepada dunia, dan pemantapan peran aktif gerakan mahasiswa Kristen di Timur: 
Maknanya bagi gereja adalah bahwa ia memberi kesaksian yang paling jelas yang dapat diberikan mengenai keunikan dan kegenapan Yesus Kristus sebagai Berita pekabaran Injil Kristen kepada dunia. Baik melalui sambutan-sambutan maupun melalui diskusi mengalir perbedaan yang menentukan antara semua agama dan etika buatan manusia dengan karunia dari kasih Allah, dan dari pemerintahan-Nya kepada kita dalam Yesus Kristus. Karena itu konferensi ini dapat dianggap suatu jawaban konkret yang positif, yang dibuat oleh Gerakan Mahasiswa Kristen di Timur terhadap penjelasan Pekabaran Injil Kristen yang agak terlampau diilmiahkan dan tidak mengilhami yang diberikan dalam Report of the American Laymen’s Commission. 
Makna khusus konferensi bagi Federasi (Mahasiswa Kristen Sedunia) adalah bahwa sebagai suatu hasilnya Gerakan Mahasiswa Kristen Nasional di Timur akan menerima suatu peningkatan tanggung jawab untuk berprakarsa atas nama Federasi, dan untuk mengembangkan karya antar gerakan dari Federasi, dan untuk mengembangkan karya antar gerakan dari Federasi di Asia dan Australasia.63 
Kedua pokok ini dibahas dalam rangkaian laporan-laporan dan ceramah-cerama. Laporan-laporan gerakan mahasiswa nasional disampaikan oleh wakil-wakil Australia, Cina, India-Birma-Sailan, Jepang, Indonesia, Selandia Baru, dan Filipina. Di samping ceramah-ceramah mengenai gerakan mahasiswa dan federasi, terdapat empat pokok ceramah yang bersifat dogmatis: makna Yesus Kristus (T.Z. Koo, W.A. Visser’t hooft); pewartaan Kristen dalam hubungan dengan agama-agama lain (Hendrik Kraemer); Kekristenan dan masyarakat (Francis P. Miller, Soichi Sato); dan Kekristenan dan bangsa (E.Verwiebe, Sara Chakko). 
Laporan-laporan nasional menyoroti masalah-masalah konkret dalam kehidupan masyarakat dan bangsa masing-masing. Laporan-laporan tersebut jelas memperlihatkan perhatian kalangan mahasiswa Kristen sedunia terhadap masalah-masalah sosial politik nasional dan internasional, khususnya di Asia.64Delegasi Cina antara lain mengemukakan pergumulan mahasiswa Kristen dalam masalah rekonstruksi sosial dan soal invasi Jepang ke negerinya. Laporan mengenai India, Birma dan Sailan mengungkapkan masalah-masalah konflik antar ras, sosial dan agama, dan khususnya perjuangan kemerdekaan rakyat India. Di Jepang, para mahasiswa Kristen terpilah antara kecenderungan beralih ke Komunisme dan yang makin bersifat Injili, sementara yang lainnya tetap berusaha mempertahankan prinsip-prinsip social christianity. Pada umumnya semua mahasiswa Kristen Jepang menentang Fasisme, sedangkan dalam menentang Kapitalisme para intelektual Kristen Jepang umumnya mendukung Komunisme dan Sosialisme sebagai sistem ekonomi. 
Laporan dari Filipina mengungkapkan tantangan-tantangan dari Islam, kekafiran dan atheisme terhadap agama Kristen, dan usaha-usaha bangsa Filipina memajukan kehidupan nasionalnya; sedangkan laporan dari Australian dan Selandia Baru masing-msing mengungkapkan masalah-masalah yang khas di Barat, yakni perhadapan kekristenan dengan masalah-masalah masyarakat moderen. 
Mengenai orang Kristen dan masyarakat, Miller membicarkan masyarakat kapitalis dengan mencatatkan sikap Kristen yang meliputi penolakan membela kapitalisme dan penentangan terhadap setiap bentuk kekerasan. Dia menganjurkan untuk  bersikap realistis, yakni terjun ke dalam masyarakat untuk bekerja sepenuh hati, dan memulai langkah awal dan berusaha memikirkan suatu perubahan yang mendasar secara kristiani. Untuk tindakan pertama adalah memahami kenyataan sosial, supaya dapat mempengaruhinya secara bernalar, realistik, dan efektif.65
Secara khusus Soichi Saito dari Jepang memberi kesaksian singkat mengenai pengaruh Komunisme dan berkembangnya Fasisme di negerinya. Dia mengutip suatu seruan kepada mahasiswa dan pemuda Kristen Jepang untuk tetap setia pada dasar Kristen, yang antara lain berbunyi: 
Menghadapi kegelisahan masa kini, kita yang hidup oleh Kristus mempunyai suatu tugas penting untuk menjadikan ajaran-Nya suatu kekuatan yang hidup dalam masyarakat; karena kita diyakinkan bahwa tanpa menunaikan panggilan itu kritis dewasa ini tidak dapat diatasi. Sebagai mahasiswa dan pemuda Kristen kita harus menguduskan hidup kita dan melakukan suatu penelitian yang mendalam akan kebenaran dasariah kekristenan, sebagaimana dikemukakan dalam Alkitab. Selanjutnya, kita harus mengarah pada suatu pemahaman yang utuh akan dasar-dasar yang ada kini bagi suatu kebudayaan yang baru dan hubungan kemanusiaan yang baru. 
Lagipula kita harus tak henti-hentinya berjuang untuk moralitas yang benar; berupaya melalui penelitian-penelitian tentang dan pewujudan dari hubungan-hubungan ekonomik yang benar di bawah prinsip-prinsip Kristen; dan berusaha dengan suatu kesadaran akan panggilan khusus menuju kerja sama untuk perdamaian dunia. Dengan ini kita berharap melakukan suatu upaya langsung menemukan suatu pemecahan terhadap krisis dewasa ini.66 
Laporan Leimena, selaku ketua CSV op Java, mengenai Indonesia mengungkapkan serba kepelbagaian dalam masyarakat Indonesia yang sekaligus menjadi peluang dan tantangan bagi kekristenan. Sambil menunjuk pada kenyataan bahwa hanya 2% peduduk Indonesia beragama Kristen Protestan, Leimena menekankan tiga hal: bahwa kecuali Korea, tidak ada negara di Asia Timur dengan jumlah Kristen yang relatif banyak seperti di Indonesia; bahwa sekitar 8% dari keseluruhan jumlah mahasiswa fakultas dan sekolah tinggi adalah anggota CSV; dan bahwa separuh dari jumlah anggota CSV adalah orang Indonesia.67 Leimena juga mengemukakan bahwa pusat-pusat pendidikan tinggi terdapat di kota-kota (Batavia, Surabaya, Bandung) di mana arus politik utama bersumber, juga menyebut usaha-usaha perluasan pendidikan dan pembinaan pemuda dan mahasiswa Kristen, serta tempatnya yang positif dalam nasionalisme Indonesia.68
Pokok gereja dan bangsa dibahas dengan ceramah pengantar dari Dr. E. Verwiebe. Dalam ceramahnya Dr. Verwiebe, pekabar Injil dan pembina pemuda Kristen di Tanah Batak, mengemukakan empat pokok pemikiran mengenai “The Christian and the Nation”. Pertama-tama, bangsa ada karena kehendak Allah. Adalah kehendak Allah bahwa seseorang dilahirkan dan hidup dalam suatu bangsa tertentu; maka bahasanya, tradisinya, hukum-hukum, kebiasaan dan moralnya harus dihormati. Orang harus mencintai bangsanya dan memenuhi kewajibannya terhadap bangsanya. Suatu internasionalisme yang mengabaikan kewajiban ini bertentangan dengan kehendak Allah. Kedua, karena dosa, bangsa-bangsa bukan lagi pengungkapan Kehendak Allah: 
Sebagaimana dalam kehidupan pribadi dosa merintangi dan menaklukkan kita serta menghalangi pengungkapan yang benar dari kehendak Allah, demikian juga yang dosa lakukan dalam kehidupan nasional dan dalam hubungan antar bangsa. Kehidupan bangsa-bangsa dewasa ini diracuni dosa. Kadang-kadang hukum suatu bangsa merosot menjadi penyembahan berhala ketika bangsa itu menuntut kata akhir dan kendali atas semua yang warganya katakan atau lakukan. Suatu bangsa yang menuntut ketaaatan mutlak warganya menyangkal kemahakuasaan Allah dan menentang kehendak-Nya, sertamenggantinya dengan penyembahan berhala.69 
Ketiga, bangsa tidak pernah boleh menjadi subyek kesetiaan mutlak kita, sebab sebagai orang Kristen kita adalah warga satu Gereja yang Kudus di mana terjadi kesatuan kekal antara orang-orang percaya dengan Kristus, sedangkan bangsa-bangsa terhisab pada dunia dan kehidupan ini, tidak kekal. Ketiga hal di atas belaku baik bagi ras dan negara manapun bagi bangsa. 
Ras-ras dikehendaki Allah, namun telah kehilangan kemurniannya oleh kesalahan manusia. Oleh karena kejahatan dalam kehidupan bangsa-bangsa kita, Allah menganggap perlu untuk melembagakan negara untuk membatasi pengaruh dosa, dan karena alasan itu kita harus menaati negara. Tetapi ras dan negara hanyalah nilai-nilai yang nisbi. Bagi orang Kristen nilai-nilai itu tidak dapat menjadi ketaatan mutlak. Ketaatan mutlak kita adalah Kerajaan Allah, dan tugas kita akan berakhir hanya ketika kita Kerajaan Allah menjadi suatu kenyataan di dalam dunia ini.70 
Butir terakhir dari ceramah Verwiebe menyangkut tugas khusus orang Kristen bagi bangsanya, yang  meliputi tiga hal: kewajiban memberitakan Injil kepada bangsanya, memerangi dosa bangsanya dan menentang pemutlakan bangsanya. 
Sarah Chakko dari India, sebagai pembicara kedua dalam pokok “The Christian and Nation” ini, lebih banyak mengemukakan mengenai kasus-kasus pertentangan, atau kesulitan menentukan sikap, dalam kesetiaan orang Kristen terhadap kehendak Allah dan pemahaman bangsa adalah kehendak Allah. Untuk itu ia mengajukan dua prinsip: mutlak menempuh jalaln anti kekerasan (non-violence) dan dalam melawan kejahatan keharusan menghadapinya dengan kasih bukannya dengan kebencian.71 
Diskusi mengenai pokok ini, sebagaimana dilaporkan oleh Ralla Ram, menyetujui tiga segi panggilan Kristen terhadap bangsanya, yakni menyaksikan kuasa pembaruan Injil Kristus secara terus menerus dalam kata dan kehidupan, memerangi dosa bangsa dan masyarakat tanpa kebencian, dan memperkuat keyakinan bahwa pelayanan kepada bangsa adalah juga pelayanan kepada Allah. Dalam terang pemahaman itu disoroti beberapa masalah dalam kenyataan hubungan bangsa-bangsa. Pertama-tama mengenai kelompok mioritas di mana dianjurkan apa yang kini disebut pembaruan: 
Persoalan  pertama yang dimunculkan adalah menyangkut warga negara asing yang hidup di sebuah negara sebagai suatu kelompok minoritas, misalnya seperti orang Cina di Indonesia. Jelas dirasakan bahwa jika orang tinggal di suatu negeri asing, mereka wajib menyamakan diri dengan penduduk negeri itu dan kepentingan-kepentingan mereka, dan pada pihak lain mereka harus diberi hak penuh sebagai warga negara dari negeri itu.72 
Selanjutnya dibicarakan mengenai gerakan anti-kekerasan dan non koperasi dalam semangat ahimsaGandhi dan tentang hubungan Barat dan Timur. Dengan menunjuk India dan Indonesia sebagai contoh di mana Barat mendominasi, diserukan kepada Barat: 
Timur telah menjadi begitu peka sehingga hubungan ini terasa menakutkan. Itu harus diubah. Pada pihak kita haruslah ada prakarsa dan pengendalian, sementara kita menyambut kerja sama dari pihak Barat.73 
Pembahasan mengenai sikap Kristen dalam keadaan damai dan keadaan perang mencapai penegasan bahwa orang Kristen harus menyerahkan diri sepenuhnya bagi tugas penegakan perdamaian dan bahkan rela menderita dalam menyaksikan kenyataan persekutuan Kristen yang mengungkapkan kehendak Allah bagi dunia dan bangsa-bangsa.74 
Suatu acara khusus disediakan Konferensi untuk menyambut CSV op Java ke dalam WSCF sebagai “corresponding member” (keanggotaan penuh bersyarat jumlah anggota di atas 150 orang), di mana diungkapkan jasa NCSV dan khususnya suami isteri van Doorn dalam merintis dan membina terbentuknya CSV op Java. Mewakili CSV op Java Leimena menyatakan terimakasih, harapan dan tekad: 
Kami tidak hanya ingin menerima, melainkan juga memberi; dan kenyataan memberi yang dibebankan kepada kami sebagai suatu warga baru dalam keluarga merupakan suatu tanggung jawab besar. Kami menerima tanggung jawab ini dalam kesadaran bahwa Allah, dan hanya Allah saja, akan mewujudkan kekuatannya dalam kelemahan kami, dan bahwa kami akan bertumbuh oleh doa warga lain dari keluarga WSCF. […] Saya ingin menekankan keopada para utusan dari Jawa untuk tidak melupakan peristiwa khusus konferensi ini demi menjadi sumber ilham yang abadi; […].75 
Pada akhir Konferensi yang dialaminya sebagai peristiwa yang amat menggugah CSV op Java itu, salah seorang delegasi CSV op Java, S. Pelenkahu, mengemukakan suatu pernyataan kegembiraan atas penerimaan CSV op Java ke dalam keanggotaaan WSCF. Dia juga secara pribadi mengungkapkan perasaan yang dialaminya dalam Konferensi itu, khususnya perluasan wawasan oikumenisnya: 
… pemikiran egosentris saya telah dipatahkan sehingga saya melihat dan bersimpati pada kesulitan-kesulitan yang orang hadapi di negeri-negeri lain, dan tidak dapat lagi memandang diri saya sendiri saja.76 
Catatan-catatan di atas menunjukan bahwa bagi gerakan mahasiswa Kristen di Indonesia Konferensi Timur WSCF ini memberi arti yang sangat penting. Pertama, persiapannya mendorong pembentukan CSV op Java sebagai organisasi gerakan mahasiswa Kristen Nasional di Indonesia. Sesuai kenyataan sejarah masa itu, perguruan tinggi yang ada hanya terdapat di tiga kota di Jawa dengan mahasiswa dari seluruh bagian Indonesia. Sesuai kenyataan sejarah masa itu, perguruan tinggi yang ada hanya terdapat di tiga kota di Jawa dengan mahasiswa dari seluruh bagian Indonesia, sehingga nama op Java dapat diartikan in Indonesië. Selama Konferensi dipergunakan nama Indonesia.77 Pembentukan CSV op Java adalah pula pemisahan dari pelayanan pemuda namun tetap dalam ikatan kerjasama yang erat. P.A. Tiendas dari Tomohon hadir dalam konferensi sebagai wakil gerakan pemuda (YMCA), dan sempat memberi sambutan pada awal konferensi.78 
Kedua, konferensi mempertegas wawasan oikumenis gerakan mahasiswa Kristen Indonesia, baik dalam arti geografis maupun konfesi. Selain keanggotan dalam WSCF, persekutuan dengan para delegasi dari berbagai negara (dan aliran kegerejaan) bermakna bagi pendalaman wawasan itu. Sangat penting dalam hal ini perkenalan dengan para mahasiswa dari “gereja-gereja muda” di Asia. Van Doorn yang merupakan tokoh sentral dibalik pembentukan CSV op Java dan penyelenggaraan Konferensi menyatakan bahwa peristiwa itu bukan hanya konferensi mahasiswa, melainkan jug amerupakan Konferensi kekristenan Timu (conferentie van Oostersche Christenen).79 Dalam kerangka WSCF sendiri, Citeureup dianggap membulatkan gerakan ini sebagai gerakan sedunia, baik dalam arti makna WSCF bagi Asia, maupun sebaliknya, sumbangsih mahasiswa Kristen Asia bagi gerakan mahasiswa sedunia itu. 
Makna yang ketiga, menyangkut wawasan teologi yang eksklusif. Melalui Kraemer dan Visser ‘t Hooft pengaruh teologi dialektis sangat menonjol dalam pemikiran teologis selama Konferensi. Dengannya gerakan mahasiswa Kristen di Indonesia diperkuat dalam suatu wawasan kekristenan yang eksklusif dan konfrontatif terhadap agama-agama lain. Pendekatan dari India, yang lebih terbuka dan mulai mencari makna positif kehadiran agama-agama lain serta menyadari pentingnya kebersamaan damai antar umat berbeda agama, belum mendapat dukungan dari para peserta. 
Yang keempat adalah perhatian yang serius terhadap masalah-masalah sosial politik. Sudah sepantasnya suatu Kkonferensi dunia yang dilakukan di Asia memberi perhatian pada kenyataan sosial politik di negara-egara Asia, yang masa itu (dengan perkecualian Jepang) masih berada di bawah dominasi penguasa Barat. Maka tema rekonstruksi sosial dan nasionalisme tidak luput dari pembahasan dari sudut pandang Kristen. Dalam hubungan ini Kraemer menilai Konferensi berhasil dan menggugah: 
Terharu, karena di sini tiba-tiba terhimpun orang-orang dari ras dan kebangsaan yang berbeda-beda, yang berada di tengah-tengah kobaran masalah-masalah rohani, sosial dan politik yang besar dari bangsa mereka, dan yang setiap hari harus menentukan sikap dan memberi jawaban apa pun yangmenjadi akibatnya bagi mereka secara pribadi. Dalam waktu beberapa hari, walaupun ada perbedaan-perbedaan yang besar dalam cara berpikir dan latar belakang, dapat tercipta suatu suasana kesatuan dan kesungguhan dalam pencarian oleh penyadaran yang semakin jernih tentang pusat agamawi bersama.80 
Visser ‘t Hooft mengenang bagaimana para mahasiswa dari India, Cina, Jepang, Birma, Filipina, Srilanka dan Jawa (Indonesia) asik berdiskusi menyangkut dua pokok yang sangat penting bagi mereka: kemerdekaan nasional dan hubungan iman Kristen dengan agama-agama lain. Sebagai orang Kristen mereka harus mngambil bahagian dalam perjuangan kemerdekaan bangsanya, tetapi mereka tidak anti Barat. Mereka menghendaki pengalihan peran utama dari pihak penguasa Barat, lalu dapat dijalin suatu kerjasama.81 
Seperti dikemukakan di atas, tekanan utama adalah usaha memberlakukan prinsip Kristen dalam menghadapi masalah-masalah kemasyarakatan, juga menyangkut pergerakan nasional. Sudut pandang dalam hal ini adalah kekristenan sebagai kewargaan Kerajaan Allah yang menuntut kesetiaan utama melampaui kesetiaan terhadap bangsa, khususnya jika kedua hal itu bersilang jalan. Artinya, bhakti terhadap masyarakat, bangsa dan negara dilakukan dalam rangka menegakkan kehendak Allah di dalam kehidupan nasional. Pendekatan yang bersifat teokratis ini membawa pergerakan mahasiswa Kristen di Indonesia pada jalan tengah antara nasionalisme radikal dan nasionalisme konservatif: kritis terhadap kenyataan kolonial, tetapi menolak nasionalisme yang sempit dan dimutlakkan, serta menolak cara-cara perjuangan yang dianggap tidak sesuai dengan prinsip-prinsip ajaran Kristen.                                
3.3        Pendidikan Teologi : HTS 
Salah satu tindakan yang bermakna penting dalam kerangka bangkitnya suatu generasi muda Kristen Indonesia yang berwawasan baru adalah pembukaan sekolah-sekolah teologi untuk mendidik pemuda-pemuda Kristen Indonesia menjadi pelayan Gereja. Dalam hubungan dengan pokok bab ini, dua sekolah teologi dapat disebut, Balewijoto di Malang, dan Hoogere Theologische School (HTS) di Bogor (kemudian dipindahkan ke Batavia). 
Sebagimana dirangkum van den End, pendidikan tenaga-tenaga pribumi untuk membantu pekerjaan para pekabar Injil dilakukan dalam berbagai pola. Mula-mula berupa pendidikan di rumah pekabar Injjil: beberapa orang yang dianggap berbakat dibina menjadi tenaga pembantu. Kemudian, ketika sekolah-sekolah (dasar) menjadi bagian penting dari sarana dan panggilan penginjlan, dibuka sekolah-sekolah guru sederhana (Kweekschool, ormaalschool atau Normaalleergang). Dalam sekolah-sekolah itu ditekankan kecakapan membaca, menulis, menghitung, dna pengetahuan Alkitab. Tingkat yang lebih tinggi adalah pembukaan sekolah-sekoklah yang lebih khusus untuk mendidik pelayan gereja. Pada tahun 1878, atas dukungan suatu lembaga bernama Centraal Comite Depok di Negeri Belanda, dibuka sebuah seminari di Depok (Seminarie van nlandsche zendelingen) sebagai pendidikan guru selama dua tahun yang dilanjutkan dengan pendidikan pengantar jemaat, juga selama dua tahun.82 Seminari Depok ditutup pada tahun 1926  setelah dibuka sekolah-sekolah sejenis di berbagai tempat. Antara tahun 1868-1879 diselenggarakan pendidikan untuk penolong Injil di Tomohon, yang dibuka kembali pada tahun 1886 sebagai STOVIL (School tot Opleiding van Inlandsche Leeraars); sejak tahun 1884 diselenggarakan Kursus Pandita Pansurnapitu (di Tanah Batak) dan tahun 1885 dibuka STOVIL di Ambon. Kemudian di beberapa daerah, sesuai perkembangan kebutuhan penginjilan, dibuka sekolah-sekolah pengantar jemaat: Nias (1901), Kupang (1902), Yogya (1906), Karuni (Sumba, 1924), Rantepao (1930), Banjarmasin (1932) dan Pendolo (Poso, 1940), serta kemudian di Irian Barat (1954). Lama pendidikan berkisar dua sampai lima tahun dan dengan kurikulum yang berbeda namun dengan tekanan yang kuat pada hubungan guru – murid pada segi ketrampilan praktis (lulusannya siap pakai dalam pelayanan). Van den End mencatat bahwa tingkat pendidikan yang rendah itu cocok dengan pandangan para zendeling untuk dapat mempertahankan kedudukannya sebagai wali gereja bagi orang Kristen Indoensia; dan karena suatu pendidikan yang lebih tinggi mamang belum dapat diselenggarkan berhubung pendidikan menengah di Indonesia belum secara luas dibuka. Karena dukungan kepustakaan teologi dalam bahasa Melayu atau bahasa daerah masih sangat langka, sedangkan para siswa tidak dilengkapi pengetahuan bahasa asing, maka majalah-majalah Kristen seperti Bentara Hindia, Pelita, Zaman Baroe, Immanuel, Sinalsal, Mari Rahardja, Soelo,berperan penting mengisi kekurangan kepustakaan itu sampai menjadi media pengungkapan pemikiran Kristen masa itu.83 
Pada kunjungannya ke Indonesia pada tahun 1926 John Mott mencela tiadanya usaha mempersiapkan pemimpin-pemimpin pribumi. Teguran itu mendapat perhatian kalangan Zending.84 Sementara itu suatu pendekatan baru dimulai di Jawa Timur, yakni untuk mendukung “pendewasaan” jemaat-jemaat sebagai milik Kristus yang bertanggung jawwab menjalankan panggilannya di tengah-tengah dunia ini. Jemaat Mojowarno dinyatakan berdiri sendiri pada tahun 1923. dan dalam hubungan dengan pendekatan baru itu dibuka suatu pendidikan teologi pada tahun 1925 di Kediri, berupa kursus teologi bagi 20 orang guru jemaat, diasuh bersama oleh B. M. Schuurman dan C.W. Nortier. Pada tahun 1926 diputuskan untuk menjadikan kota Malang sebagai pusat kegiatan Zending (NZG) di Jawa Timur, di mana antara lain dibangun sekolah teologi dan rumah sakit. Demikianlah maka sebuah sekolah teologi dengan nama “Bale Wijata” (=serambi pengetahuan) dibuka pada tanggal 6 Januari 1927 di Malang.85 
Nortier menjelaskan sifat pendidikan yang mereka selenggarakan di Malang itu sebagai kehidupan bersama Kristus: 
Hidup dan bekerja di “Bale Wiyata” seharusnya mengandung arti: selama empat tahun menyerahkan diri kepada suatu kehidupan bersama dan tujuan utama di ditu ialah belajar hidup bersama Kristus agar dengan perantaraanNya dapat menangkap makna Firman Allah kepada manusia. Demikian “Bale Wiyata” sebenarnya lebih tepat digambarkan sebagai sekolah intuk atau yang menuju kepada tercapainya kehidupan rohaniah dan pertobatan yang lebih mendalam, suatu sekolah yang menanamkan sifat-sifat seperti yang dimiliki para rasul, daripada sebagai sekolah memberi wewenang guna memberitakan Injil berdasarkan pengetahuan mengenai ilmu theologia belaka. Pembangunan gedung sekolah dan pengaturan gedung-gedung di kampus dicoba diatur sedemikian rupa , hingga dapat dilancarkan pergaulan yang erat antara murid-murid dan para dosen.86 
Dari sudut lain Schuurman menyebutkan Bale Wiyata sebagai een school voor Oostersche Christenen, dalam arti bukan hanya batu-batu fondasinya yang diletakkan dalam bumi Jawa, melainkan terlebih dasar-dasar rohaninya akan dipatok dalam dasar jiwa orang Jawa. Selanjutnya Schuurman mengandaikan kekristenan sebagai benih yang membutuhkan tanah untuk menanamnya: 
 Itu berarti: baru kalau pengenalan Alkitab dan sejarah kekristenan digabungkan dengan pengenalan akan orang Jawa, pengenalan akan sastra dan sejarahnya, dan kehidupan dan perjuangannya, maka ada harapan untuk memperoleh suatu pemahaman hidup dalam kekuatan Injil bagi orang Jawa. Karena itu, sesuai kekuatan kami, kami banyak mencurahkan perhatian pada berbagai ragam kehidupan rohani di kalangan orang Jawa, dan berusaha mengetahui hal-hal itu terutama dari kekayaan kesustraan Jawa dan sejarah Jawa yang menarik. Kami juga mendorong para murid kami untuk belajar mengenal bangsanya melalui banyak percakapan. Kekristenan baru dapat bertumbuh dalam tanah kehidupan yang utuh.87 
Dalam penelitiannya, Schuurman menemukan dua titik api kehidupan orang Jawa, yakni kraton (pusat kerajaan Jawa) dan ilmu (ajaran rahasia kehidupan). Kraton memerintah dan mengasuh kehidupan jasmani, sedangkan yang kedua menyangkut kehidupan rohani. Maka dalam memberitakan Injil dapat ditunjuk kenyataan bahwa Yesus Kristus memenuhi kedua fungsi itu dengan lebih baik.88 
Schuurman hanya memperhubungkan Bale Wiyata dengan kontekstualisasi teologi dalam rangka kedewasaan Gereja; tidak diperoleh catatannya mengenai hubungan sekolah teologi ini dengan nasionalisme Indonesia. Tetapi telah dicatat pada bagian awal bab ini mengenai dukungan Schuurman terhadap nasionalisme Indonesia di kalangan VIO-NCSV. Ketika masih di Kediri, tahun 1923, Schuurman mengemukakan pikiran-pikirannya mengenai prgerakan nasional Indonesia dalam suatu surat kepada NZG, lembaga pekabaran Injil yang mengutusnya. Schuurman menghendaki keterlibatan pihak Zending dalam mengarahkan orang Kristen dalam dunia politik dan mendukung kemerdekaan Indonesia yagn pada gilirannya menentukan kedewasaan Gereja. Semakin maju kemerdekaan di bidang gerejani danpolitik, dengan sendirinya semakin maju pulalah kehidupan Kristen. Antara lain dia menyatakan: 
Proses kebangkitan nasional ini, yang berarti juga perlawanan nasional, sedang berlangsung dan kami tidak dapat menduga apa akibatnya bagi kami nanti. Yang pasti ialah bahwa dari pihak nasionalisme, hampir setiap orang Eropah dipandang dengan rasa curiga, tidak terkecuali orang Kristen dan Zending. Apa yang akan terjadi dengan yang terakhir ini sama sekali tergantung dari garis kebijaksanaannya sendiri. […] Tugas Zending dalam kancah politik, pada hemat saya, ialah tertutama memelihara dan membina hubungan kepercayaan, dan membawanya memancar keluar ke dalam dunia politik, di mana suasana semakin mendingin. Akan tetapi, barang yang mahal ini tidak dapat dibeli dengan harga yang rendah. Dan kitalah yang harus membayar harga itu. […] Tetapi kebalikannya adalah: dalam perjuangan demi otonomi dan kemerdekaan, saya tanpa reserve memihak kapada nasionalisme Indonesia. Tetapi bagi saya adalah sama pentingnya alasan yang menyangkut paedagogi bangsa ini, yaitu bahwa penggarapan sendiri terhadap anugerah-anugerah Injil yang bersifat rohani itu, barulah dapat diharapkan apabila ada lingkungan jasmani, di mana kesadaran Jawa yang berdiri sendiri dapat melatih diri dan berkembang. Karena hukumnya ialah: yang jasmani dulu barulah yang rohani. Desakan ke arah kemerdekaan politis dapat memberi kesempatan kepada Injil untuk meresap lebih dalam. Dan sudah barang tentu kemerdekaan Gereja yang tidak ditunda lagi itu akan memberi kesempatan yang demikian.89 
Kebutuhan akan suatu pendidikan teologi yang lebih tinggi dan melayani seluruh Indonesia menjadi perhatian beberapa tokoh Gereja Protestan di Indonesia.90 Percakapan antara Kraemer dan Schuurman dengan tokoh-tokoh GPI: van Oosteom Soede (Ambon), de Vreede (Minahasa) dan De Bruijn (Kupang), pada bulan Mei 1930, meyakinkan GPI akan perlunya mendirikan sebuah sekolah teologi. Hal yang sama telah pula dibicarakan Kraemer dengan Dr. Warneck dari pihak RMG, pada kunjungannya ke Tanah Batak pada tahun 1929. Mula-mula pihak pimpinan Znding di Belanda keberatan karena pertimbangan kebutuhan dan keuangan: wilayah-wilayah yang dilayani kalangan Zending belum membutuhkan tamatan pendidikan tinggi dengan gaji yang besar. Tetapi mereka dapat diyakinkan (oleh Crommelin) sehingga akhirnya suatu panitia dibentuk terdiri dari wakil-wakil GPI, SCZ dan RMG untuk mempersiapkan usaha mendirikan suatu sekolah tinggi teologi.91 Panitia menunjuk komisi Depok (Centraal Comité Depok) di Negeri Belanda (badan yang menyelenggarakan Seminari Depok yang telah ditutup pada tahun 1926) sebagai pendiri sekolah teologi itu. Untuk itu Komisi Depok membentuk suatu Dewan Kurator dan Pengurus. Dewan Kurator terdiri atas: Prof. J.M.J. Schepper (Ketua), Mr. S.C. Graaf van Randwijk (Sekretaris), Dr. R. Tumbelaka dan Dr. H. Kraemer; sedang pengurus adalah: Mr. S.C. Graaf van Randwijk (Ketua), Mr. C.C. van Helsdingan dan Mr. J.E. van Hoogstraten.92 
Setelah beberapa tahun persiapan, akhirnya Hoogere Theologische School (disingkat H.Th.S., di sini dipakai HTS) secara resmi dibuka pada tanggal 9 Agustus 1934 di Bogor dengan dihadiri antara lain Gubernur Jenderal De Jonge dan para pejabat tinggi pemerintah kolonial lainnya. Tahun 1936 HTS dipindahkan ke Jakarta. Mula-mula hanya ada dua orang tenaga dosen tetap, Dr. Th. Müler-Krüger (bidang teologi dan merangkap Rektor)93 dan J.H. de Groot (bidang umum). Kemudian masuk Dr. M.C. Slotemaker de Bruïne (sebagai Rektor tahun 1937)94 dan Dr. A.J. Rasker (di bidang teologi, masuk tahun 1939). Mahasiswa yang diterima haruslah sekurang-kurangnya lulusan atau sederajat MULO (setingkat SMP).95 Kuliah diberikan dalam bahasa Belanda; bahasa Inggris dan bahasa Melayu merupakan mata kuliah wajib, sedangkan bahasa Jerman pilihan. Pendidikan ditempuh selama enam tahun, dengan rincian dua tahun pertama sebagai masa persiapan umum (propaedeuse), lalu tiga tahun pendidikan teologi dan satu tahun terakhir untuk praktek di lapangan di bawah bimbingan seorang pendeta. Pendidikan diselenggarakan dengan tekanan pada penyediaan calon-calon pelayan bagi gereja. Sebab itu setiap calon haruslah utusan dari gereja atau badan zending bakal gereja.96 Sebelum Perang Dunia II diterima tiga angkatan, masing-masing (dengan jumlah mahasiswa: 1934 (18), 1936 (11) dan 1939 (9, seorang mahasiswi). Selama Perang Dunia HTS ditutup, baru dibuka kembali pada tahun 1946. Pada tahun 1954, dengan kepengurusan yang baru di tangan orang-orang Indonesia, HTS ditingkatkan menjadi Sekolah Tinggi Theologia (STT).97 
Dalam pidato peresmian HTS di Bogor, Hendrik Kraemer mengemukakan bahwa HTS mempunyai makna lahiriah dan makna rohaniah. Dalam hal yang pertama Kraemer menunjuk HTS sebagai buah kerjasama antara GPI dan badan-badan Zending dan menjadi pusat kerjasama antara gereja-gereja di Indonesia.98Menyangkut makna rohani, Kraemer menekankan pentingnya pembinaan rohani dalam Protestantisme, yaitu bahwa jemaat selaku umat Allah dikumpulkan sekeliling Kristus dan Firman Allah, dan untuk itu perlu pendidikan yang baik bagi para pemimpin jemaat. Dalam hubungan itu, Kraemer menilai pendidikan pribumi sebelumnya semata-mata untuk memperoleh pembantu-pembantu bagi pekabar Injil dari Eropa. Maka HTS merupakan perwujudan dari pemikiran untuk mewujudkan peningkatan dari kerjasama ke kepemimpinan bersama: 
Akan tetapi dilihat dari pendirian bahwa kekristenan adalah tanah rohani, dari mana kehidupan rohani dan persekutuan dari kelompok-kelompok dan bangsa-bangsa yang dimenangkan akan bertumbuh, haruslah ditegaskan bahwa kerjasama dengan pribumi hanya boleh menjadi suatu tahap awal dan sementara, tetapi haruslah secepat mungkin menjadi kepemimpinan bersama oleh orang pribumi di atas dasar suatu pendidikan yang sama seperti yang diterima pekerja-pekerja Eropa.99 
Di balik pemikiran ini ada desakan untuk secepatnnya mengusahakan kemandirian gereja-gereja di kalangan pribumi. Selanjutnya Kraemer mengemukakan fungsi HTS sebagai tempat studi dan persekutuan hidup dan kerja para dosen dan siswanya, tempat di mana gereja dan Zending, pendidikan dan kesaksian, kemuridan dan kerasulan menjadi suatu kesatuan. 
Pidato singkat pada pembukaan itu oleh rektor HTS, Dr. Müller-Krüger, menekankan dua hal: memandang HTS sebagai seminarium ecclesiae (persemaian gereja), dalam arti melakukan pembibitan bagi tumbuhnya suatu gereja yang berciri Indonesia untuk menggantikan bibit-bibit Barat yang di tanam di Timur (Indonesia); dan kegiatan berteologi (yang bertolak dari kedalaman hati) sebagai pemuliaan nama Tuhan.100 
Kebutuhan gereja di Idonesia berupa kemandirian gereja, keesaan gereja, kontekstualisasi teologi dan pendalaman kerohanian bagi panggilan pelayanan menjadi ideal penyelenggaraan HTS pada tahun-tahun sebelum Perang Dunia II.101 Keterarahan HTS kepada kebutuhan itu diwujudkan dalam isi dan metode pendidikan. Untuk itu ditempuh jalan berteologi dari yang khusus ke yang umum: 
Yang terakhir inilah jalan melalui mana kami belajar memahami dan merumuskan masalah-masalah khusus dalam Gereja-gereja di negeri ini, dan melalui jalan mana kami belajar menemukan jawaban-jawaban dalam bentuk yang paling baik dimengerti di sini.102 
Pendekatan yang kontekstual ini diharapkan kelak menghasilkan Indische Theologie
Apa yang pada masa depan pada Teologi Hindia menjadi yang khas Hindia itu, yang dengannya Gereja-gereja di Hindia sendiri akan perdengarkan suaranya yang sendiri, yang barangkali polifon di dalam Kekristenan Oikumensis, harus ditemukan bukanlah oleh kita melainkan oleh penduduk-penduduk negeri ini sendiri.103 
Dalam rangka tujuan itu pula diberi makna penting pada asrama mahasiswa (schoolinternaat) yang menunjang suasana belajar dan suasan rohani, sehingga tercipta suasana persaudaraan rohani. Da mengingat HTS mendidik calon pelayan dari berbagai gereja maka diharapkan persekutuan hidup dan belajar itu menjadikan HTS suatu unsur penting dalam keesaan Gereja di Indonesia: 
Lagipula, sejak penutupan Seminari Depok, dan di sana hal itu berdasarkan keadaan gerejawi pad amasa itu dan jenjang Sekolah itu sendiri kurang penting, untuk pertama kalinya dalam sejarah Gereja di Hindia terjadi bahwa suatu persekutuan pendidikan pendeta bagi Gereja-Gereja di Indonesia yang berbeda-beda dan Zending diwujudkan.karena hal ini kiranya kita boleh menganggap Sekolah Theologia Tinngi sebagai suatu unsur penting bagi pembentukan dari suatu Keesaan Gerejawi Hindia.104 
Prof. Latuihamallo menilai tujuan-tujuan HTS umumnya tercapai, kecuali dalam hal kontekstualisasi teologi. Beliau menyebut duaalasan untuk itu: pertama, orang tidak bersungguh-sungguh dengan lingkungan sosio-kultural dan religius. Tradisionalisme dipertahankan, juga karena takut perubahan teologi akan memancing kritik dan propaganda anti-Kristen dari pihak Islam. Kedua, karena “kepribadian Indonesia”. Mengikuti Soedarmo, Latuihamallo memberi ciri-ciri umum watak identitas itu: religiositas, toleransi dan musyawarah. Kepribadian ini menekankan dinamika Injil dan dengan demikian mendukung konservatisme atau tradisionalisme.105 
Berdirinya HTS mempunyai arti khusus bagi kalangan mahasiswa Kristen di Jakarta, yakni hadirnya para mahasiswa teologi dalam CSV op Java. Dengan demikian wawasan nasionalisme dan wawasan oikumenisme saling memberi masukan dengan pemikiran teologi. Latuihamallo, sebagai mahasiswa HTS angkatan ke-3 (1939-1948), memberi kesaksian bahwa nasionalisme Indonesia terasa pengaruhnya dalam pemikiran mahasiswa HTS sebagaimana tampak dalam diskusi-diskusi jika diselenggarakan debating avonden yang wajib dihadiri semua mahasiswa dan para dosen.106 
3.4        Rangkuman 
Pelayanan rohani di kalangan pemuda dan mahasiswa Kristen yang sedang menuntut ilmu di berbagai lembaga pendidikan menengah dan tinggi di kota-kota besar di pulau Jawa membuahkan suatu generasi muda berwawasan yang baru, yaitu dengan memperhubungkan kekristenan dengan nasionalisme Indonesia. Pelayanan ini tidak dapat dipisahkan dengan kegiatan persatuan para anggota VIO-NCSV dan juga dengan Komisi Pemuda NZB, dengan tokoh-tokoh penggeraknya seperti suami-isteri van Doorn-Snijders, Schuurman, Schepper, Kraemer dll. Kelompok “ekstra-gereja” dari latar belakang gerakan mahasiswa Kristen (SCM,WSCF) ini memperkembangkan kepekaan Kristen terhadap masalah-masalah sosial politik, baik dalam lingkup nasional maupun internasional, serta keterbukaan terhadap aliran Kristen yang berbeda di dalam pergerakan oikumene. 
Pelayanan pemuda Kristen dilembagakan dalam kegiatan-kegiatan rutin penelaahan Alkitab dan pembinaan rohani dalam hubungan dengan kenyataan-kenyataan sosial dan politik, disamping kursus kterampilan, acara rekreasi dan camping, yang dipusatkan pada clubhuis. Dalam hal ini pembinaan diarahkan untuk memperluas cakrawala kekristenan para pemuda dan mahasiswa, baik menyangkut masalah-masalah gereja (segi oikumene), maupun soal-soal masyarakat dan bangsa (segi nasionalisme). Wawasan oikumene dan nasionalisme para pemuda terungkap melalui pemikiran P.A. Tiendas dan J. Leimena, yang sama memperhubungkan iman Kristen dengan pergerakan nasional. 
Kunjungan tokoh-tokoh oikumenis, John. R. Mott dan H. Rutgers, ke Indonesia (Sumatera dan Jawa) pada tahun 1926 menambahkan perkembangan baru dalam pelayanan ini, yakni dilembagakannya konferensi tahunan para pemimpin pemuda, jeugdleidersconferentie, dan pemantaban organisasi-organisais untuk pelayanan  pemuda, pelajar dan mahasiswa Kristen di beberapa kota besar. 
Kemudian, Konferensi Asia – Australia WSCF di Citeureup pada tahun 1933 menjadi peristiwa yang menentukan, khususnya bagi pergerakan mahasiswa Kristen di Indonesia. Konferensi itu sendiri menjadi ajang pendalaman wawasan oikumene dan nasionalisme dari sudut pandang injili, yang sebelumnya telah menjadi acuan pelayanan di kalangan pemuda dan mahasiswa. Sudut pandang tersebut melahirkan wawasan nasionalisme yang kritis partisipatif; menyambut dan melibatkan diri dalam masalah-masalah nasional tetapi dengan cermat menarik batas antara nasionalisme yang baik dengan yang buruk berdasarkan prinsip-prinsip Kristen. 
Pada bidang pengkaderan pelayanan gereja, wawasan oikumenis mendapat salah satu pusat pengembangannya dalam pembukaan HTS pada tahun 1934. Bagian tak terpisahkan dari hubungan gerakan oikumene dan pergerakan nasional di lembaga ini adalah pengembangan pemikiran teologi yang berakar dalam kenyataan Indonesia. Dalam bidang ini B.M. Schuurman dengan Sekolah Teologinya di Malang, “Bale Wiyata”, dan Th. Müller-Krüger di Batavia, HTS, patut dicatat sebagai peritis ke arah teologi kontekstual itu.

1 C.P. Cohen Stuart, Een Weg om te Dienen (n.d.), hlm. 21.
2 Naskah ceramah dalam Mededeelingen VIO-NCSV, 1/2/ April 1920: 24-35.
3 Demikianlah bagi orang Yahudi aku menjadi seperti orang Yahudi, supaya aku memenangkan orang Yahudi. Bagi orang hidup di bawah hukum Taurat aku menjadi seperti orang yang hidup di bawah hukum Taurat, sekalipun aku sendiri tidak hidup di bawah hukum taurat, supaya aku dapat memenangkan mereka yang hidup di bawah hukum Taurat.” (1 Kor. 9:20). 
4 Mededeelingen VIO-NCSV, 1/2/April 1920: 37 dyb.
5 Dr. B.M. Schuurman studi teologi di VU, 1922-1945 zedeling NZG di Jawa Timur, 1922-1942 dosen Sekolah Theologia “Bale Wyata” di Malang. Lihat H. Kraemer, “Dr. B.M. Schuurman, Orangnya dan Karyanya” dalam H. Kraemer dkk (eds), Penyingkapan Rahasia Kehidupan: Riwayat Hidup dan Karangan-Karangan Dr. B.M. Schuurman (Jakarta: Persetia, 1977), hlm. 10-40. 
6 B.M. Schuurman, “Onze houding tegenover de nlandsche Beweging”, Mededeelingen VIO-NCSV, 4/3/Juli 1923:68. 
7 Ibid., hlm. 72. 
8 Ibid., hlm. 79 dyb.
9 Ibid., hlm. 81. 
10 Ibid. 
11 van Helsdingen, “Nogmaals: Onze houding tegenover de Inlandsche Beweging”, Mededeelingen VIO-NCXV 4/4/Agustus 1923: 158.
13 Dalam perkembangan CEP/CSP selanjutnya VIO-NCSV tidak mendukung seruan itu, wlaupun beberapa anggotanya aktif pada partai politik Kriste yang konservatif itu. 
14 J.M.J. Schepper, Het vonnis in de P.N.I. –zaak(Batavia: De Unie, n.d.). Setelah proklamasi, Prof. Schepper memberi perhatian pada soal kebebasan beragama dan hubungan agama dan negara. Lihat J.M.J. Schepper, Vrijheid van Goldsdienst en de Verhouding Kerk en Staat (‘s-Gravenhage:Boekencentrum, 1948).
15 Ratu Lange, “De Inlandsche Christenen en de nationalistische beweging”, Mededeelingen VIO-NCSV, 10/7/September-October 1929: 12. 
16 Mededeelingen VIO-NCSV, 4/5/October 1923:195-210. Uraian berikut merurangkuman karangan ini yang memperlihatkan idealisme pelayanan pemuda dan mahasiswa Kristen dalam kalanganVIO-NCSV. 
17 H. Kraemer, “De komst van Dr. Mott”, De Opwekker, 71/1926: 4-5. 
18 H. Kraemer, “De komst van Dr. Mott”, De Opwekker, 71/1926:4-5.
19 Ruth Rouse, “Voluntary Movements and the Changing Ecumenical Climate”, dalam Ruth Rouse dan Stephen Charles Neill (eds), A History of the Ecumeical Movement 1517-1948, hlm. 341. Ruth Rouse juga melihat seluruh karir John R. Mott sebagai pengejawantahan makna gerakan mahasiswa  Kristen terhadap gerakan oikumene (hlm. 342). Untuk biografi John Mott, lihat A.L. Fransz, Dr. John Mott, Pelopor Pekabaran Indjil dan Kesatuan Kristen (Djakarta: Badan Penerbit Kristen, 1959); dan F.L. Cross and E.A. Livingstone (eds), The Oxford Dictionary of the Christian Church (London, New York, Toronto: Oxford University Press, 21974), hlm. 945. 
20 Terjemahan bahasa Belanda resolusi ini, selengkapnya dimuat dalam  “De conferentie van Peking”,Mededeelingen VIO-NCSV, 4/5/October 1923:213-216.
21 C.L. en W.S.F. van Doorn-Snijders, “De Doorwerking van Peking”, Mededeelingen VIO-NCSV, 4/5/October 1923: 217-227. Beberapa bagian mereka kutip untuk memperlihatkan bagaimana atau apa pokok perhatian kalangan mahasiswa Kristen sedunia yang mempengaruhi kalangan pembina pemuda dan mahasiswa Kristen di Indonesia masa itu. 
22 Ibid., hlm. 224. 
23 Ibid., hlm. 225 dyb.
24 Ibid., hlm. 227. 
25 Rangkaian acara perkunjungan disusu sebagai berikut: Dr. Rutgers tiba di Medan pada tangal 20 Januari dan seminggu kemudian Dr. Mott menyusul. Keduanya mengunjungi dan berceramah pada berbagai pos PI di Tanah Batak. Rabu 1 Pebruari bertolak dari Padang dan tiba di Jakarta tanggal 10 Pebruari: berceramah pada berbagai kelompok dan mengunjungi beberapa pos PI di Bogor dan sekitarnya. Tanggal 17 pebruari ke Bandung berceramah pada THS dan konferensi pemuda tanggal 18 dan 19 Pebruari. Sabtu, 20 Pebruari ke Jogyakarta: mengikuti pertemuan NIZB dan mengunjungi pos-pos PI. Minggu 28 Pebruari ke Surabaya berceramah pada beberapa kelompok. Kamis 4 Maret berangkat ke Australia. “Programaa voor de reis van dr. Mot en Rutgers”, Mededeelingen VIO-VNCSV, 7/1/Januari 1926: 8. 
26 C. L. van Doorn, “Wat mogen wij van het bezoek van Dr.ott verwachten?”, Mededeelingen VIO-VNCSV, 7/1/Jan 1926: 8. 
27 De resultaten van het bezoek van Dr. Mott”, Mededeelingen VIO-VNCSV, 7/1/Januari 1926: 102. 
28 Sukarno salah seorang lulusan THS Bandung. Putuhena, salah seorang pemuka Kristen dalam pemerintahan pada awal Republik dan  tokoh Parkindo, tamat ari THS pada tahun 1927. Lihat Putuwati, Ir. Martinus Putuhena: Menteri Pekerjaan Umum di Masa Revolusi (Jakarta: SinarHarapan, 1985), hlm. 33-34.
29 Cohen Stuart, Een Weg om te Dienen, hlm. 17 dyb. 
30 Kelling, “Eind-nota aangaande het Y.M.C.A. – werk in Indië” Mededeelingen VIO-VNCSV, 6/5/October 1925: 225-235.
31 C.L. van Doorn dan W.S.F van Doorn-Snijders, “De Y.M.C.A. in Chinaen wat ze ons in Indië leeren kan”, Mededeelingen VIO-NCSV, 4/1/April 1923:  9-14.
32 C.L. van Doorn, “Verslag van den C.S.V. arbeid in Ned-Indië over het tejdva December 1926 to Juni 1927” Mededeelingen VIO-NCSV, 8/6/Juli 1927: 37- 41. 
33 Di sini tinggal van Doorn sekeluarga dan beberapa mahasiswa. Setelah seluruh kegiatan dialihkan,clubhuis di Kwitang 10 menjadi pusat lektur (penyediaan bahan bacaan) NIZB. Gedung Kebon Sirih 44 ini kemudian dihibahkan kepada GMKI, tetapi pada tahun 1950-an dipakai pemerintah dan sampai kini GMKI belum berhasil memperolehnya kembali.
34 Salah seorang mahasiswa fakultas hukum (RHS) yang aktif dalam kelompok Schepper adalah Amir Sjarifuddin. Lihat kesaksian Mr. A.L. Fransz dalam Christiaan de Jonge, “Riwayat Hidup Mr. Augustine Leonore Fransz”, dalam J. Garang (ed), Pelaku Wacana: Peringatan Asta Dasa Warsa Mr. Augustine Leonore Fransz, 20 Agustus 1987 (Jakarta: Balitbang PGI, 1987), hlm. 15 dyb. 
35 Ibid., hlm. 22 dyb. Keterlibatan wanita dalam kegiatan-kegiatan organisasi Kristen masa itu merupakan dukungan gerakan oikumene bagi gerakan emansipasi wanita.
36 Di antara para aktivs pemuda Kristen Solo terdapat orang-orang yang kemudian menjadi pemuka kalangan Kristen Indonesia, seperti Ds. Basoeki Probowinoto dan Melanchton Siregar. 
37 “De stand vna het Jeugdwerk”, Mededeelingen VIO-NCSV, 8/1/Februari 1927: 5-10; “Kebon Sirih 44”, Mededeelingen VIO-NCSV, 8/11/December 1927: 3-6. P.A. Tiendas dalam “Pergerakan Pemoeda Kristen Hindia” Zaman Baru, 1928: 293-94 memberi daftar sebagai berikut: Organisasi Pemuda berbahasa Boemi Poetera: Moeda Kristen Djawi (Solo), Per. Pemoeda Prot. Timor (Kupang), Mal. Jong Makassar(Makassar), Concordia Sangi (Tamako), Hehe, Pematang Siantar. Yang berbahasa Belanda: Bond van Vereenigingen van Christen Jongeren dengan anggota-anggota: Monika (Perkumpulan Gadis Hindia Kristen), Mardiwatjana, Christen Jongeren Celebes, Tole, Advendo, Pasoendan Haju, Chr. Jongeren. Lain-lain: Chr. Jongelingsclub (Djokja), Jong Indië (Bandoeng), Bataviasche Kring van Chr. Jongeren (p/a J. Leimena, Batoe Toelis 57 Weltevreden); Ambonsche Bond van Chr. Jongeren(Ambon), Menadosche Chr. Jongeren (Manado)
38 W.Schmidt, “Jengdwerk”, De Opwekker, 74/1929: 168 dyb.
39 Peranan penerbitan di kalangan organisasi sangat penting sehingga juga organisasi pemuda Kristen mengusahakannya. Beberapa terbitan untuk pemuda Kristen tercatat sebagai berikut: “S.s.ch. Christen boeat pemoeda-pemoeda; Moeda Kristen Djawi (Jogja, maand. Org. Jav. Chr. Jongel.); Rindoe Dendam(Solo, Maand. Bond. Van Ver. V. Chr. Jongeren); Soeloeh Pemoeda (Manado, maand. Chr. Jeugdevereeningingen); Omhoog (Menado, tweem. Org. Jeugdraad [Prot.]); Tuwokona (Tahoena, maad. Prot. Jeugd organisatie Tahoena); Soerat Persaoran (Taroetoeng, maand. Hoeria Kristen Batak). “Soerat Chabar Kristen Haroes Lebih Madjoe” (Pers Boemie Poetera di Indonesia) Zaman Baroe, 1930:339. 
40 “P.A. Tiendas, “Soerat Terboeka”, Zaman Baru, 20/1928:233-235.
41 P.A. Tiendas, “Pemandangan Ringkas Pergerakan Pemoeda Masehi di Indonesia”, Zaman Baroe, 7/1920: 97-98; 8/1930:108-109. 
42 P.A. Tiendas, “Rentjana Ringkas dari pada Conferentie Pemimpin Pemoeda jang keempat di Koepang”, Zaman Baroe, 67:1024. Bahkan Tiendas memberikan ceramah mengenai kekristenan dan nasionalisme pada suatu JLC; lihat H. Meyerink, “Jeugdleidersconferetie in Hotel Merbaboe van 21-27 September j.l.”,De Opwekker, 74/1929: 398. 
43 Johanes Leimena dilahirkan pada tanggal 6 Maret 1905 di Lateri, Ambon, dari keluarga guru Leimena-Sulilatu. Leimena mengikuti pamannya ke Jawa, dan kemudian tinggal di Batavia. Setelah menamatkan sekolahnya pada MULO Kristen di Gang Menjangan (kini SMA-PSKD Jl. Kwini), Leimena melanjutkan ke STOVIA. Selama masa mahasiswanya, Leimena aktif dalam organisasi mahasiswa Maluku, Jong Ambon (didirikan tahun 1917) dan Vereeniging Ambonsche Studenten (VAS, 1924). Kegiatan organisasi itu menyangkut juga politik di bawah kedua organisasi politik Ambon yang berlawanan paham, SA dan CAV. Wawasan politik pergerakan diperolehnya dalam organisasi kedaerahan itu. Seperti telah dikemukakan di atas, dia menghadiri Kongres Pemuda II tahun 1928 mewakili Jong Ambon. Pada masa yang sama juga Leimena aktif dalam lingkungan pemuda Kristen berwawasan oikumenis, yang diasuh van Doorn, yang kemudian membawanya ke pucuk pimpinan CSV op Java. Leimena menikah pada tahun1933 dengan Wijarsih Prawiradilaga, seorang wanita Kristen asal Pasundan. Data biografi J. Leimena didasarkan terutama pada karya R.Z. Leirissa, “Biografi Dr. J. Leimena”, dlaam P.D. Latuihamallo dkk (pan.),Kewarganegaraan Yang Bertanggungjawab: Mengenang Dr. J. Leimena (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1980), hlm. 1-103. 
44 J. Leimena, “Keloekoe dan Oentoeng oleh Pergerakan Pemoeda Masehi”, Zaman Baru, 1918: 485 dst [4 seri]. 
45 Ibid., hlm. 487. Dalam kutipan ini terdapat dua kata yang tidak dijumpai dalam beberapa kamus:mengadon (=mengusahakan, atau membentuk dalam hubungan dengan mencampur adonan?) dankeloekoe (=dasar?).
46 Ibid., hlm 497. Sebagaimana di kutip di atas, A. Schmidt menyebut pula bahaya nationalistisch instinct atau supra-nationalisme. 
47 Ibid., hlm. 497.
48 Ibid., hlm. 510. 
49 Ibid.
50 J. Leimena, “Report of Java Student Christian Movement”, dalam Francis P. Miller (ed), Christ and Student of the East: The Report of Java Conference of the World’s Student Christian Federation, Tjiteureup, Java, September 6-14, 1933 (Shanghai, 1933) hlm. 63, 64. Tampak dalam kutipan ini bahwa Leimena dipengaruhi gagasan-gagasan “Soempah Pemoeda” yang berkembang di kalangan pemuda nasionalis masa itu. Dia sendiri hadir mewakili Jong Ambon dalam Kongres Pemud II 1928 ketika gagasan itu dirumuskan. 
51 C.L. van Doorn “lets over het Federatie Werk”, Mededeelingen VIO-NCSV, 13/1/1932: 96.
52 Mengenai pembentukan CSV op Java, lihat pula R.Z. Leirissa, GMKI mengemban Oikumene dan kesadaran Nasional”, Bagian III dalam W. Bonar Sidjabat, Tarianto dan R.Z. Leirissa, Benang Biru Dimensi Ke-esaan dan Kebangsaan, Manuscrip Sejarah Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia, (Jakarta: Pengurus PusatGMKI, 1990), hlm. 105-119. 
53 Dalam pernyataan pembentukannya antara lain dikemukakan: “Dengan pembentukan CSV ini kami bermaksud mengambil bagian dalam barisan perhimpunan-perhimpunan mahasiswa Kristen sedunia, yang tergabung dalam the World’s Students Christian Federation (WSCF), dengan tujuan untuk bersama-sama menyaksikan Yesus Kristus dalam dunia kemahasiswaan. Adalah tujuan luhur kami supaya juga dalam perhimpunan kami motto WSCF, “Ut omnes unum sint”, dapat terwujud dalam mengumpulkan para mahasiswa dari semua kelompok bangsa yang terdapat di negeri ini. Kami yakin bahwa permulaan ini kecil dna lemah, tetapi kami ingin mengawali pekerjaan ini dalam keyakinan teguh bahwa Allah di dalam kelemahan kami mau mewujudkan Kuasa-Nya.” De Christen Studentenvereeniging op Java”, dalam Wat wil de ChristenStudentenvereeniging op Java?, hlm. 3-4.
54 “Christen Studenten Vereeniging op Java. Statuten,” Arsip van Doorn, (ketikan 3 hlm., t.t.), hlm.1. 
55 J. Leimena, “De Ontwikkeling van de C.S.V op Java”, Eltheto, 88/8/1934:299 dyb.
56 Ibid., hlm. 301. 
57 Leimena, “Bij de oprichting van de Christen Studenten Vereeniging op Java.” Wat wil de Chrsiten-Studentenvereeniging op Java?, hlm. 4-5.
58 T.S.G. Moelia, “The Student Christian Movement of Java”, The Student World, XXVI/3/1933:255. 
59 T.S.G. Moelia, “De crisis in de samenwerkingsgedachte”, Eltheto, 88/8/1934: 295. 
60 Daftar anggota CSV op Java tahun 1933 (tanda * adalah pengurus pusat): Batavia: J. Leimena*, C.L. van Doorn*, Amir Sjarifoeddin, Auw Yang Sien, Nn. A.L. Franz, Nn. E. Gabeler, Hario Koosman, Nn. P.F. Hengkelare, M. Ismangil, E. Kal*, J.W. Kal, Khouw Eng Soei, M. Lawalata, Liem Bo Sing, Liem Hian Bo, Liem Jang Kiok, W.J. Maengkom, Nn. A. Manoppo, J. Nanlohy, Oey Biau Hok, S. Pelenkahu, J.O. Picauly, Poedijo, D.W. Siwy, Nn. R.A. Soemiati, Nn. A.J. Stam, A.M. Tamboenan, Tan Oen Siang, Tan Tjoen Soei*, Tio Ban Hin, Tio Kee Tiong, E.P.S.L. Tobing, N.H.L. Tobing, Wirjanoe, Wuller, Poedjio Jonathan*, A. Sinaga; Bandung: V.Th. Kolmus, J.A. Manusama, M. Sitompoel, J.R. de Vries, Surabaya: Nn. J.A. Geroengan; Han Soen Hoo, L. Hoeliselan, P. Hutagalung, W.F.Jacob, Kaiden, Kasmolo, Sj. Latupeirissa, Lie Thing Sioe, J. Mangindaan, S.C. Nainggolan, J.P. Napitoepoelo, G. Rambitan, M.E.O. Rononuwu, Nn. A. Sakoul, Sambijono, H. Sinaga, G. Siwabessy, Soenoesno, R.E.M. Suling, K.A. Staa*, S. Supit, Tamboenan, Tio Biauw Sing, J. Toemengkol, Mesach, Guan Sioe, H. Wantassen. Jumlah anggota dalam daftar di atas (dari brosur pada pembentukan CSV op Java) sebanyak 69 orang. Lihat wat wil de Christen – Studentenvereeninging op Java?, hlm. 11-13. Dalam percakapan dengan penulis (April 1991), Prof. Latuihamallo, mengingat beberapa anggota aktif CSV pada tahun-tahun terakhir sebelum perang menurut suku sebagai berikut, Ambon: Leimena, Putuhena, dr. Lukas Luhulima, Pattiasina, Tahahele, Siwabessy, Engelen, dr. Hein Hattalabessy; Minahasa: Makaliwe, Makaliwy, Mr. Henkelare (dari Sangir); Jawa dan Sunda: Sutjipto, Mr. Suwidji, dr. Elia, Abednego; Batak: Amir Sjarifuddin, A.M. Tambunan, L. Sitorus; Timor:Fransz, Dr. Johannes. 
61 Augustine Ralla Ram, “The Task of the Federation in the East”, The Student World, XXVI/1/1933: 42. 
62 Ibid., hlm. 37-43.
63 Francis P. Miller (ed), Christ and Student of the East, hlm. iii-iv. 
64 Laporan diskusi kelompok mengenai “The Christian and Society” ini mengungkapkan kesadaran bahwa panggilan orang Kristen dalam masyarakat berbeda antara satu masyarakat dengan yang lainnya. Tetapi khusus dalam situasi kepitalistis, pilihan bukanlah fasisme melainkan gerakan koperasi. K.F. Newman, “Report of Group Discussion on the Christian and Society”, dalam Ibid., hlm. 106 dst.
65 Francis P. Miller, “The Christian Message n Relation to Society”, dalam Ibid., hlm. 94-95. 
66 Soichi Saito,The Christian and Society (as illustrated in the present crisis in Japan)*, Ibid., dalam hlm. 97. Kesaksian ini memperlihatkan bahwa gereja (dalam hal ini mahasiswa Kristen) di Jepang sejak awal cukup tanggap dan kritis terhadap perkembangan buruk yang kemudian membawa Jepang ke dalam Perang Dunia II.
67 Agaknya Leimena membatasi pada pihak Protestan, sehingga mengabaikan Filipina sebagai negara Asia berpenduduk Kristen terbanyak. Jumlah mahasiswa pada ketiga sekolah tinggi di Jawa 675 orang: THS 125, RHS 250 dan GHS 300 mahasiswa; dan dari segi ras: Indonesia 350, Cina 150, dan Eropa 200 orang (kebanyakan Indo). Mahasiswa Indonesia umumnya tergabung dalam PPPI, sedangkan mahasiswa Cina terkumpul dalam organisasi tersendiri. “Ta Hsioh”. C.L. van Doorn, “De Indische Studentengemeenschap” Eltheto,87/1932-33: 139 dyb. Prof. Latuihamallo menyebut adanya USI (Unitas Studiosorum Indonesiensis) yang bersifat nasionalistis, di mana menjadi anggota a.l. Max Maramis dan Soedjatmoko; sedangkan mahasiswa Eropa terhimpun dalam suatu organisasi mahasiswa elitis, Batavia Studenten Corps
68 J. Leimena, “Report of Java Student Christian Movement”, Christ and Student of the East, hlm. 63. 
69 E. Verwiebe, “The Christian and the Nation” dalam Francis P. Miller (ed), Christ and Student of the East, hlm. 99. Cukup beralasan untuk melihat dalam ceramahnya terungkap sikap yang sangat kritis dari pekabar Injil Jerman ini terhadap kecenderungan yang justru terjadi di negerinya di bawah Hitler yang berkuasa ketka itu.
70 Ibid., hlm. 99. 
71 Francis P. Miller (ed), Christ and Student of the East, hlm. 100 dst.
72 A. Ralla Ram, “Report of Group Discussion on the Christian Message in Relation to Race and Nation”, dalam Ibid., hlm. 104. 
73 Ibid., hlm. 105. 
74 Ibid., hlm. 105 dyb. Keseluruhan ceramah dan pembahasan pokok “The Christian and the Nation” menggemakan pemikiran-pemikiran teologis yang terungkap dalam majalah WSCF,  The Student World, XXVI/2/1933 yang khusus membahas pokok itu. 
75 The reception of the S.C.M. of Java into the Federation”, dalam Francis P. Miller (ed), Christ and Student of the East, hlm. 93. 
76 “Statement by S. Palenkahu”, dalam Ibid., hlm. 129. 
77 Nama resmi Indonesia di bawah pemerintahan kolonial Belanda, “Nederlands Indië” (The Dutch East Indië), disebut Ralla Ram “a horrid name”. Lihat Augustine Ralla Ram, “The Task of the Federation in the East”, The Student World, XXVI/1/1933: 38. 
78 Tiendas adalah seorang dari tiga peserta yang mennyampaikan sambutan atas nama masyarakat Kristen Indonesia. Dia mewakili wilayah de Groote Oost, Sindhoepramana mewakili Jawa, dan A. Sinaga mewakili Batak. Pada kesempata itu Tiendas menyatakan kritiknya kepada pemuka-pemuka Kristen di Indonesia (bagian Timur): “While in some parts the result of strong mission-action was the Christianizing of the whole population, the difficulties are now that some of the leaders of the chruch is too much concerned with itself  and is loosing the missionary-spirit, and that the cooperation between students and the churches is not all that it should be.” Lihat “Opening Session”, dalam Francis P. Miller (ed), Christ and Student of the East, hlm. 2.
79 C.L. van Doorn, “De Javaconferentie va de Wereldfederatie”, Eltheto, 88/3/1933:101. 
80 H. Kraemer dalam De Stuw 4/19/1933 sebagaimana dikutip oleh S.A. van Hoogstraaten, “World’s Student Christian Federation Conferentie in Tjiteureup 6-14 September 1933”, De opwekker, 78/1933:564.
81 W.A. Visser ‘t Hooft, Memoires: Een leven in de oecumene (Brussel/Amsterdam: Elsevier-Kampen: J.H. Kok, 1971), hlm. 51.
82 Pada masa VOC, diselenggarakan Seminarium Theologicum di Batavia (1745-1755) yang merupakan pendahuluan bagi pendidikan teologi di Barat. Lihat Liem Khiem Yang, “Sekolah Tinggi Theologia Jakarta dan Studi Theologia di Indonesia” dalam S. Wismoady Wahono dkk (eds), Tabah Melangkah (Jakarta: STT Jakarta, 1984), hlm. 28 dyb. 
83 Lihat van den End, Ragi Carita 2, hlm. 348-354. 
84 Salah satu ukuran pada bertambahnya kepemimpinan Kristen pribumi di Indonesia adalah perutusan ke Sidang Dewan Pekabaran Injil Sedunia. Pada Sidang II di Yerusalem(1928) hanya T.S.G. Moelia wakil pribumi dari Indonesia, sedangkan pada Sidang III di Tambaram (1937) sudah dapat hadir beberapa orang: dr. J. Leimena, Mr. Soetjipta, R.M. Luntungan, Pouw Boen Giok, Pdt. Mas Mardjo Sir, Pdt. B. Moendoeng dan isteri, P. Sitompoel, Pdt. W.H. Tutuarima, dan dr. Wardojo bersama beberapa utusan lainnya. Lihat P.N. Holtrop, Selaku Perintis Jalan Keesaan Gerejani di Indonesia: Sejarah Madjelis Keristen Indonesia bahagian Timur 1947-1956 (Ujung Pandang:ISGIT, 1982), hlm. 11.
85 C.W. Nortier, Tumbuh, Dewasa, BertanggungjawabSuatu Studi Mengenai Pertumbuhan Gereja Kristen Jawi Wetan Menuju ke Kedewasaan dan Kemerdekaan +/1835-1935 (Jakarta: Persetia, 1980), hlm. 166. Lihat pula “De Theologische School Balewijata”, Mededeelingen VIO-NCSV, 9/1/1928: 24-27. Karangan ini (rupanya ditulis oleh Ny. Nortier) menguraikan pendidikan khusus bagi para isteri siswa berupa keterampilan menjahitdan pekerjaan tangan lainnya. 
86 Nortier, Tumbuh, Dewasa, Bertanggungjawab, hlm. 166 dyb.
87 B.M. Schuurman, “Bale Wiyata”, Mededeelingen VIO-=NCSV, 9/2/1928:15. 
88 Schuurman, “Bale Wijata”, Mededeelingen VIO-ncsv, 9/2/1928: 15. Kedalaman pengenalan Schuurman atas manusia dan kebudayaan Jawa memampukan dia menulis dua jilid dogmatika dalam bahasa Jawa dan dengan cara berpikiur orang Jawa, Pambijake Kekeraning Ngaurip (1939, 1951). Untuk riwayat hidup dan pemikiran Schuurman mengenai teologi dan pendidikan teologi , lihat H. Kraemer dkk (eds),Penyingkapan Rahasia Kehidupan: Riwayat Hidup dan Karangan-karangan Dr. B.M. Schuurman (Jakarta: Persetia, 1977). Dalam pengantar terjemahan ini Dr. J.A.B. Jongencel menulis: “Schuurman memberikan kepada kita suatu contoh yang patut ditiru tentang cara bagaimana dosen dari Barat harus membimbing kepada bertheologia secara berdikari dalam konteks Indonesia. Dan tentu saja itulah juga panggilan dan tugas dosen Indonesia.” (hlm. 9).
89 H. Kraemer dkk (eds), Penyingkapan Rahasia Kehidupan, hlm. 54 dyb. 
90 Sejak tahun 1921 GPI mulai mengutus putra-putra Indonesia untuk belajar pada sekolah teologi (di Zendingschool) di Negeri Belanda: A.Z.R. Wenas (1921), B. Moendoeng (1929), F.W. Lumanauw (1931), W.H. Tutuarima (1931) dan A. Rotti (1935). Lihat S.C. van Randwijck, Oegstgeest: Kebijaksanaan “Lembaga-Lembaga Pekabaran Injil Yang Bekerjasama” 1897-1942 (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1989), hlm. 386. 
91 Komisi terdiri atas: Ds. W.F. Breyer dan K. van Dijk dari Indische Kerk, Dr.H. Kraemer dan Dr. N.A.C. Slotemaker de Bruïne dari Samenwerkende Zendingscorporaties, dan Dr. J. Warneck dari RMG. Lihat H. Kraemer, “Openingsrede, gehouden ter gelegenheid van de officile opening der hoogere theologische school te Buitenzorg”, De Opwekker, 79/1934: 447. Terjemahan naskah ini terdapat dalam Tabah Melangkah, hlm. 13-27. 
92 Lihat S.C. van Randwijk, “Enkele Mededeelingen over de Hoogere Theologische School”, De Opwekker, 80/1935: 462. Daftar ini berbeda dengan yang dicatat F. Ukur, “Tapak-tapak Sejarah (Menyingkap Latar Belakang Historis Lahirnya H.T.S 50 Tahun Lamoau)”, dalam Tabah Melangkah, hlm. 60 dyb. 
93 Rupanya biografi Th. Muller-Krüger dilalaikan dalam buku penghormatan kepadanya; lihat M.A. Ihromi dan S. Wismoady Wahono (eds), Theo-Dóron, Pemberian Allah: Kumpulan Karangan dalam rangka menghormati usia 75 tahun Prof. D.Dr. Theodor Mueller-Krueger (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1979). 
94 Tetapi tidak lama, dia kembali ke Negeri Belanda dan diganti oleh Dr. A.J. Rasker. Dr. Th. Mueller-Krueger, sebagai seorang Jerman dan dari badan Zending Jerman (RMG), rupanya tidak diterima kalangan Zending Belanda sebagai pimpinan. 
95 Semula ada pemikiran untuk mendidik pada tingkat sekolah tinggi atau fakultas sehingga penerimaan dari lulusan AMS atau yang sederajat, tetapi dianggap tidak realistis dalam hubungan dengan kuragnya lulusn setingkat itu dan karena kehadiran sarjana teologi dalam jajaran pealyanan gereja akan menyulitkan dari segi keuangan (gaji yang besar). Sebab itu tingkat pendidikan diturunkan, bukannya suatu “Theologische Hoogeschool” melainkan suatu “Hoogere Theologische School”. Lihat “Rectoraatsoverdracht Hoogere Theologische School”, De Opwekker 82/1937: 435 dyb. 
96 Prof. Dr. Ihromi mencatat beratnya beban studi: “Ada kemungkinan dalam penelitian sedjarah STTtokoh Dr. Müller-Krüger akan mendapat sorotan istimewa: dengan sistim seminarnja beliau se-olahmau mengedjar segala kekurangan, memburu waktu, dan mahasiswasetjara indirect dilatih berfikir dan bertindak sendiri. Debating-club seminggu sekali berdasarkan masalahpentingdalam suratperlu ditjatat, disamping itu pemakaian waktu untuk pelajanan terhadap pemuda dan sekolah minggu(digeredjanja masing2) dan untuk mengedjar dan menghapal bahan2 kuliah, dirasakan selaku kesibukan jang sangat berat.” Ihromi, “Geredja dalam Revolusi Indonesia (sebelum 1942)”, dalam W.B. Sidjabat, (ed), Partisipasi Kristen dalam Nation Building di Indonesia, (Karya Research “Study Project” Fadjar) (Djakarta: Badan Penerbit Kristen, 1968), hlm. 90.
97 Peralihan tersebut sangat penting bagi perkembagnan STT JAKARTA sehingga tanggal pembukaan tahun ajaran , 27 September 1954, dirayakan sebagai Dies Natalis STT JAKARTA
98 Bandingakan dengan evaluasi Th. Müller-Krüger, “Peranan Sekolah Tinggi Theologia didalam Sedjarah Geredja di Indonesia”, E. Katoppo (ed), Djedjak-Langkah Pertama: 25 Tahun Perguruan Tinggi Theologia(Djakarta: Pengurus Lembaga Perguruan Tinggi Theologia, 1960), hlm. 51-64. 
99 H. Kraemer, “Openingsrede, gehouden ter gelegenheid van de officile opening der hoogere theologische school te Buitenzorg”, De Opwekker 79/1934: 454.
100 Th. Müller-Krüger, “Openingsrede Hoogere Theologische School te Buitenzorg”, De Opwekker, 79/1934; 457-458. Terjemahan pidato ini terdapat dalam Tabah Melangkah, hlm. 25-27. Untuk pokok yang kedua itu Müller dan Krüger mengutip ucapan Vitringa, teolog Groningen (Belanda), yang mengatakan: “Theologus est qui de Deo secundum veritatem ad gloriam Dei loquitur” (=Seorang teolog adalah orang yang berbicara tentang Allah sesuai kebenaran untuk kemuliaan Allah). 
101 F. Ukur merangkumtujuan pokok HTS, berdasarkan berbagai pernyataan sejak masa persiapan sampai tahun 1942, dalam lima pokok: penyamaan kedudukan pelayan Indonesia dengan rekan sejabat dari Eropa; mendidik pemikir-pemikir teologi secara mandiri dan kontekstual; menjadikan HTS pusat pegembangan teologi bagi masyarakat Kristen di Indonesia; pusat persekutuan rohani dan intelektual; dan menjadikan HTS persekutuan studi dan poembinaan pelayan. Lihat F. Ukur, “Tapak-tapak Sejarah (Menyingkap Latar Belakang Historis Lahirnya H.T.S. 50 Tahun Lampau)”, dalam Tabah Melangkah, hlm. 61 dyb. 
102 Th. Müller-Krüger dan A.J. Rasker, “Zes jaren theologische school te Batavia”, De Opwekker, 86/1941: 62. Karangan kedua dosen HTS ini juga memberi penjelasan atas tahap-tahap pendidikan dalam enam tahun itu (vooropleiding, theologische opleiding en practische opleiding), serta mata kuliah teologi yang diajarkan (Sejarah Agama, Teologi Biblika, Sejarah Gereja, Teologi Sistematik, Teologi Praktis). 
103 Th. Müller-Krüger dan A.J. Rasker , “Zes jaren theologische school te Batavia”, De Opweker, 86/1941: 63. Dalam evaluasinya kemudian, Dr. Müller-Krüger menyatakan “di dalam satu hal sadaj pengharapan STT belum dipenuhi, ialah lapangan usaha theologia pada chususnja.” Th. Müller-Krüger, “Peranan Sekolah Tinggi Theologia didalam Sedjarah Geredja di Indonesia”, E.Katopo (ed), Djedjak-Langkah Pertama: 25 Tahun Perguruan Tinggi Theologia, hlm. 63. 
104 Th. Müller-Krüger dan A.J. Rasker, “Zes jaren theologische school te Batavia”, De opwekker, 86/1941: 80. 
105 P.D. Latuihamallo, “Perkembangan dan Posisi STT di Jakarta”, dalam Tabah Melangkah hlm. 76-78 [merupakan terjemahan dari karangannya menyambut masa pensiun Prof. Dr. A.J. Rasker dari jabatan mahaguru di Rijksuniversiteit Leiden pada tahun 1974]. Pak Latui (demikian sapaan kalangan mahasiswanya) lahir di Mamasa, Sulawesi Selatan pada tanggal 11 Agustus 1918, kini menjadi mahaguruetika di almamaternya serta pernah memimpinnya sebagai Rektor. Pernah menjadi Ketua Umum DGI. Dikenal sebagai penganjur kontekstualisasi teologi. Biografi (dan Bibliografinya) ditulis oleh Farsijana Risakotta dalam Eka Darmaputera (ed), Konteks Berteologi di Indonesia (Buku Penghormatan untuk HUT ke-70 Prof. Dr. P.D. Latuihamallo) (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1988), hlm. 377-390.
106 P.D. Latuihamallo, “Teologi dan Nasionalisme”, dalam Tabah Melangkah, hlm. 82. Mereka juga membahas disertasi Dr. De Vreede (pendeta di Minahasa) mengenai nasionalisme: E.A.A. de Vrede, Het Nationalisme als Zedelijk Vraagstuk (Amsterdam: H.J. Paris, 1932: 388-400. Pengaruh nasionalisme Indonesia di kalangan mahasiswa HTS diperlihatkan secara nyata oleh beberapa orang mahasiswa yang berdiam di asrama HTS pada tahun 1945/1946 (a.l.Th. P. Pattiasina, J.L. Ch. Abineno dan P.D. Latuihamallo) yang dengan setia dan berani menjaga supaya bendera “merah-putih” tetap berkibar di sana, walaupun ada larangan dari pihak NICA.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar