Gerakan
Kemandirian Gereja-Gereja
BAB V
GERAKAN KEMANDIRIAN GEREJA-GEREJA
Ketika bangsa indonesia memperjuangkan suatu masa depan baru Indonesia di
lapangan sosial politik dalam pergerakan nasional, gereja-gereja di Indonesia
sibuk pula dalam gerakan ganda kemandirian dankeesaan gereja.
Kemandirian gereja berlangsung dalam dua bentuk, yakni pelembagaan
jemaat-jemaat hasil pekerjaan Zending menjadi gereja yang berdiri sendiri, dan
perobakan organisasi Gereja Protestan (Indische Kerk) dalam rangka mengurai
ikatan dengan pemerintahan dan membentuk beberapa gereja otonom.Proses kemandirian
dan keesaan gereja-gereja di Indonesia berlangsung bersamaan dengan memuncaknya
pergerakan nasional pada tahun 1920-an dan 1930-an. Gereja-gereja yang
terbentuk sampai tahun 1950 meliputi: Methodist (1922), HChB (1927, HKI 1934),
HKBP (1930), GKJ, GKJW (1931), KGPM (1933), GMIM, GKP, GKI-JATIM (1934), GPM,
GKE (1935), GKI-JATENG, BNKP (1936), GKI-JABAR (1938), GKMI (1939), GKS, GMIST,
GTR, GKST, GMIST (1947), GPIB, GTM, GKPB (1949), GMIH (1950).1 Dalam
bab ini proses kemandirian beberapa dari gereja tersebut dibicarakan sebagai
contoh-contoh untuk memperoleh gambaran mengenai gerakan kemandirian gereja di
Indonesia.
Lingkungan Zending
Gereja-gereja Batak: HKB
Sejarah pengkristenan Tnah Batak dapat dibagi atas enam periode: peletakan
dasar-dasar pertama di lembah Silindung (1861-1881); pengkristenan wilayah
sekitar danau Toba (1881-1901); perluasan lebih lanjut (1901-1918); menuju
kemandirian ( 1918-1940); dinamika kemandirian dan kemitraan (1940-1954); dan
periode kedewasaan (1954 – kini).2 Usaha-usah
kemandirian jemaat telah lama dijalankan, khususnya melalui pendidikan,
pengangkatan dan pembiayaan pelayan-pelayan pribumi. HKBP menjadi suatu
organisasi gereja yang berdiri sendiri pada tahun 1930. Tetapi pada
kenyataannya pimpinan dan pengambilan keputusan masih berada di tangan
para pekabar Injil (RMG) sampai tahun 1940, sehingga penetapan Tata Gereja baru
tahun 1930 itu lebih merupakan reorganisasi pekerjaan Zending daripada
pembentukan gereja Batak.
Tetapi pembentukan HKBP pada tahun 1930 bukan pula semata-mata prakarsa
pihak Zending (RMG). Salah satu faktor yang cukup berpengaruh adalah
gerakan-gerakan di kalangan orang Kristen Batak sendiri untuk mencapai
kemandirian. Dalam hubungan ini peranan Hatopan Kristen Batak (HKP) sangat
penting.3 HKB
dibentuk pada tanggal 28 September 1917 dari suatu kumpulan mpaduan suaraZangvereenigng
Hadomuan di Balige. Tujuannya adalah untuk memperkuat agama, kasih
persaudaraan, tolong menolong dalam segala pekerjaan baik, khusus dalam
lingkungan anggota-anggota serikat dan mengusahakan perdamaian dan pembangunan
sosial suku Batak.4 Para
pendirinya antara lalin guru Polin Siahaan, wartawan M.H. Manullang dan guru
Ambrosius Simatupang. Dalam HKP terdapat beberapa aliran. Yang pertama adalah
yang mengarahkan kegiatan HKB pada bidang agama Kristen (gereja-sentris) dan
yang dalam rangka itu menghendaki keterlibatan para Zending di dalam HKB
(kelompok 13, kemudian menjadi kelompok 17) dengan Siahaa dan Simatupang
sebagai penganjurnya. Aliran yang lain, di bawah penganjuran Manullang,
bersifat sosial politis. Pada beberapa tahun pertama terbentuknya HKB,
Manullang memelopori penolakan terhadap penguasaan tanah rakyat oleh
pengusaha-pengusaha perkebunan. Segi politik HKB melemah ketika pemerintah
menghapus kontrak tanah di Tapanuli Utara dan Manullang sendiridipenjarakan
karena delik pers pada tahun 1922-1023.5
Menyangkut kemandirian Gereja, HKB dapat dicatatat dalam hubungan dengan
pembentukan suatu gereja Batak yang berdiri sendiri, Huria Christen Batak
(HChB), di Pematang Siantar pada tanggal 1 April 1927. Hubungan itu tidak
langsung, tetapi pengaruh-pengaruh penolakan dominasi RMG dalam sayap
nasionalistisHKB bergema di kalangan para pemuka HChB.6 Demikian
pula pengaruhny dalam pembentukan Mission Batak, yang mula-mula
diprakarsai bersama denga orang Ambon dan Menado, pada tanggal 17 Juli 1927 dan Huria
Christen Batak Medan Parjolo pada tanggal 5 Agustus 1928.7Gemanya
sampai pula ke Jakarta, di mana pada tanggal 10 Juli 1927 didirikan Punguan
Kristen Batak(PKB).8
Peran HKB yang lebih langsung dalam kemandirian gereja berhubungan dengan
proses pembentukan HKBP. Walaupun sejak semula aliran gerejawi dalam HKB tidak
menentang RMG, tetapi cita-cita mereka adalah mewujudkan suatu gereja Kristen
Batak. Sebab itu HKB mengikuti dengan saksama penyusunan tata gereja rancangan
tata gereja baru pada tahun 1928. Di bawah pimpinan ketuanya masa itu, Sutan
Sumurung, HKB membentuk suatu mpanitia untuk menyusun konsep tandingan, tetapi
hasil pekerjan mereka, yang disetujui “rapat umum semua orang Kristen Batak” di
Tarutung, ditolak Ephorus J. Warneck. Konsep tandingan tersebut menekankan
penolakan dominasi Zending di bidang pimpinan dan penataan gereja, dan menghendaki
adnaya serah-terima semua lembaga di bidang pendidikan, kesehatan, dsb dari
pihak RMG kepada gereja Batak. Juga dinyatakan bahwa kewargaan gereja tidak
berdasarkan bangsa dan kedudukan pihak zending adalah bagian dari gereja:
Dengan demikian yang menjadi titik tolak bukan lagi pandangan bahwa badan
perkabaran Injl merupakan badan asing yang memimpin dan mengurus gereja,
melainkan pandangan yang bersifat ekklesiologis. Hal itu berarti bahwa orang
mencita-citakan suatu gereja Batak yang sanggup memimpin dan menata diri
sendiri.9
Walaupun konsep tandingan itu ditolak, perjuangan tetap dilanjutkan untuk
menyuarakan aspirasi HKB menyambut Sinode Godang tanggal 8-9 Oktober
1929. di dalam surat kabar dimuat tulisan-tulisan yang menyoroti konsep tata
gereja yang “otokratik” itu dengan tekanan yang lebih demokratis dan juga ada
pembagian wewenang RMG dengan orang-orang Batak. Upaya-upaya itu juga gagal,
karena dalam HKBP yang berdiri sendiri dominasi Zending tetap berjalan.10
Dominasi tersebut bukannya tidak mendapat reaksi dari kalangan orang Batak.
Diskusi-diskusi dalam konferensi tahunan memperlihatkan tuntutan kemandirian
dari pihak orang Batak, yang ditanggapi negatif oleh pihak zending. Pihak RMG
memandang reaksi itu sebagai “nasionalistis” dan untuk itu mereka mengembangkan
suatu ekklesiologi yang bersifat politis. Hutahuruk menilai:
Para utusan RMG menganggap dirinya sebagai anggota gereja yang universal
(am), suatu gereja yang tidak terikat kepada waktu atau kebangsaan yang
tertentu, dan mereka tidak memperhatikan persoalan-persoalan yang menyangkut
hal kolonialisme dan tuntutan orang-orang RMG akan kekuasaan di dalam HKBP.
Dengan demikian, ekklesiooogi mereka memiliki sifat dasar yang politi, yang tak
bisa tidak harus menentang setiap usaha orang pribumi untuk memperoleh
kemerdekaan dalam lingkungan masyarakat maupun dalam lingkungan gereja.11
Pada tahun 1938, H. Marbun, seorang pandita Batak, mengemukakan
suatu pandangan yang mengungkapkan reaksi terhadap dominasi Zending. Marbun
menekankan identitas HKBP sebagai gereja bangsa (Batak). Hutahuruk mengutip
pandangannya:
Kristus menilai tinggi sukubangsa Batak. Ia tidak mau menolak sifat
bangsa Batak. Ia setuju, bahwa gereja Batak adalah persekutuan dari semua orang
Kristen Batak yang telah diselamatkan dan dikumpulkan-Nya. […] Kristus berada
di dalam gereja Batak seakan-akan Dia sendiri seorang Batak. […] Bahkan seperti
halnya garam Ia telah meresap ke dalamnya. Kristus bukan berada di bawah
bangasa dan juga bukan di atasnya, Ia meresap ke dalam suku bangsa Batak untuk
menjadi satu dengannya.12
Pada bahagian lalin, Marbun berpendapat bahwa “gereja internasional”,
sebagai gereja yang am, justru terdiri atas gereja-gereja (suku) bangsa. Gereja
Batak adalah “cabang dari gereja Yesus Kristus yang am”. Bertolak dari
pandangan itu Marbun menentang pengaruh gereja Katolik-Roma, yang dianggapnya
membahayakan adat dan kebudayaan Batak. Dalam hubungan itu pula dia
memperjuangkan pengalihan sekolah-sekolah dari RMG kepada HKBP.
Kalangan Zending menganggap pandangan Marbun yang berpusat pada suku bangsa
dan kebudayaan Batak lebih sebagai sifat anti-Eropa. Diskusi-diskusi antara
tahun 1937-1939 dan Sinode Godang tahun 1940 memperlihatkan penolakan pihak RMG
terhadap reaksi yang bersifat nasionalistis seperti itu. Ephorus Verwiebe
menjelaskan mengenai “kebangsaan kita tidak boleh menggeser Kristus”
(kesimpulan konferensi tahun 1939); bahwa yang Tuhan inginkan melaui orang
Kristen adalah utnuk memberlakukan kehendak Allah di bumi; bahwa Tuhan Yesus
tidak mendirikan kebangsaan murni, melainkan supaya dia menjadi raja semua
bangsa; dan bahwwa dosa, yang merajai kaum nasionalis yang berjwa kelewat
nasionalis, menghalangi bangsa masuk ke bawah pemeritahan Kristus.13
Dominasi pihak Zending atas HKBP diakhiri secara paksa oleh suatu kenyataan
sejarah dari luar gereja dan zending, yakni perang dunia II denagn pendudukan
Jepang di Indonesia. Sinode luar biasa pada tanggal 11-12 Juli 1940, setelah
para pekabar Injil RMG ditahan oleh pemerintah Belanda, menunjuk seorang
pendeta Batak sebagai Voorzitter HKBP, yaiut Pdt. K. Sirait; dan kemudian pada
tahun 1942 Sinode Agung menetapkan Ephorus bar, juga seorang pendeta Batak,
Pdt. J. Sihombing.14
5.1.2 Gereja-Gereja Jawa
Di Jawa Timur, jemaat Mojowarno menjadi semacam pilot project menuju
kemandirian gereja.15 Konteks
dari proses pemandirian itu adalah suatu haluan baru Zending. Akibat dari
meluasnya pengaruh gerakan-gerakan sosial politik di dalam jemaat dan mobilitas
warga jemaat dari desa ke kota, Zending mengubah haluan dari penginjilan desa
ke pembentukan pusat-puat penginjilan di kota (dalam rangka itu di Malang
dibangun pusat pelayanan gereja) dan dari sikap perwalian ke pendewasaan
jemaat-jemaat.
Pada konferensi tahunan para guru pada tahun 1918 terbit usul untuk
mendirikan suatu Sinode. Gagasan itu berasal dari kelompok kecl guru-guru
jemaat yang masih muda-muda. Nortier manilai gagasan itu timbul dari pengaruh
organisasi masyarakat dan kurang bersifat gerejawi dan membahayakan gereja:
Nyata sekali bahwa mereka yang berbicara di sini terpengaruh oleh mental
yang kita jumpai di dalam kehidupan mperseriatan orang-orang pribumi.
Sedikitpun tak ada kesadaran akan sifat-sifat yang merupakan sifat-sifat khas
persekutuan gerejani, atau kalau kesadaran itu ada, itu untuk sementara
dihanyutkan oleh luapan aksi pemimpin-pemimpin nasional. Andaikata ketika itu
tanpa persiapan dan pembicaraan yang mendalam di jemaat-jemaat, synode jadi
didirikan, maka semangat untuk berkuasa akan menang, dan jiwa ingin-melayani,
yang di dalam suatu persekutuan yang menggunakan nama Kristus seharusnya
merupakan azas setiap organisasi, akan hilang.16
Tetapi suara-suara yang menghendaki kemerdekaan dari perwalian Zending
tetap memperoleh erhatian. Tahun 1923 Jemaat Mojowarno dinyatakan berdiri
sendiri dalam suatu “masa percobaan yang lamanya lima tahun” dan pada tahun
1925 diselenggarakan semacam referendum atas 29 jemaat mengenai wewenang di
dalam jemaat. Hasilnya adalah 13 jemaat menginginkan wewenang penuh, 13 jemaat
menereima sebagian wewenang dan menolak bagian lainnya dan tiga jemaat
menginginkansupaya keadaaan dibiarkan seperti sedia kala. Salah satu kaitan
dengan kemandirian jemaat-jemaat adalah pemberian hak melayankan tahun 1924.
Pendidikan tenaga-tenaga pelayan gereja melalui suatu sekolah teologi dimulai
pada tahun 195 sebagai kursus teologi, dan kemudian dilembagakan dalam Sekolah
Theologia “Bale Wyata” di Malang pada tahun 1926.17
Penelitan Kraemer beberapa tahun kemudian menemukan kenyataan bahwa
sebenarnya kebanyakan orang Kristen Jawa sendiri merasa tidak siap atau merasa
kurang percaya diri untuk berdiri sendiri.18Kraemer
juga menemukan, seperti sinyalemen Nortier, sekelompok orang muda yang
dipengaruhi gagasan-gagasan kemerdekaan dari dunia politik. Tetapi Kraemer
tetap menganjurkan pentingnya memandirikan jemaat-jemaat itu menjadi suatu
gereja, di mana pihak Zending menjadi guru kadiwasan:
Perlu bagi perubahan penting ini bahwa badan-badan pekabaran Ijil tidak
akan menetapkan jemaat-jemaat yang siap membiayai diri sendiri, mengatur diri
sendiri dan memberitakan Injil sendiri sebagai syarat bagi kemandirian mereka, melainkan
bahwa jemaat-jemaat itu menjalankan hal-hal ini dalam suatu suasana
kemandirian. […] Inti persoalan bukanlah bahwa jemaat-jemaat Jawa, dipersatukan
dalam Gereja Jawa Timur, akan menerima suatu tata Tata Gereja, melainkan cara
bagaimana semua ini disiapkan dan dijalankan. […] Para pekabar Injil harus
menjalankan pekerjaan-pekerjaan intensif sebagai organisator kehidupan gereja
yang mandiri dan sebagai pembagi kekayaan rohani, sementara pada saat yang sama
peran mereka sebagai administrator dan sebagai pemecah segala perkara
diperkecil. Tuntunan dan pengawasan atas suatu jemaat yang pada prinsipnya
telah dimaklumkan mandiri tetapi yang pada hakikatnya sedang dilatih untuk
mandiri, menuntut jauh lebih banyak enersi dan kemampuan daripada langsung mengatur
segala sesuatu sendiri.19
Sesuai dengan usul-usul Kraemer, jemaat-jemaat NZG di Jawa Timur itu
dipersatukan dalam suatu gereja, Geredja Kristen Djawi Wetan, pada tanggal 11
Desember 1931, di bawah pimpinan suatu Majelis Agung yang diketahui oleh C.W.
Nortier.20
Berbeda dengan NZG di Jawa Timur, yang membentuk jemaat-jemaat yang berada
di baah perwalian Zending, NGZV di Jawa Tengah mempraktekkan asas-asas Zending
Gereformeerd (GKN), yang a.l. langsung memberi kemandirian bagi setiap jemaat.21 Salah
satu ciri Zending ini adalah membawa konsep Gereformeerd mengenai panggilan
Kristen dalam masyarakat luas, seperti kegiatan politik, pendirian
sekolah-sekolah sampai universitas.22
Jemaat-jemaat yang dihasilkan melaui pekabaran Injil, pelayanan medis dan
pelayanan pendidikan mulai didewasakan pada tahun 1900 (Purworejo). Kemandirian
di sini berarti mempunya jemaat majelis sendiri yang memimpin kehidupan jemaat
itu sepenuhnya. Tetapi pelayan jemaatnya belum orang Jawa sendiri. Jemaat
Yogyakarta-lah yang pertama dengan pendeta Jawa pada tahun 1926. ada tahun 1931
jemaat-jemaat yang sudah berdiri sendiri menyatuka diri dalam satu sinode,
Pasamoewan Gereformeerd Djawi Tengah. Jadi di sini kemandirian tampaknya
merupakan keinginan jemaat-jemaat dan sepenuhnya merupakan urusan orang Jawa
Kristen. Para zendeling memang tidak berhak suara dalam sidang pembentukan itu.
Tugas zending adalah membina jemaat-jemaat yang dapat berdiri sendiri.23 Walaupun
prose kemandirian di sini bergerak dari tepi ke pusat, sama sekali tidak
berarti bahwa sikap paternalisme Zending tidak berlaku. Ara pekabar Injil
menentukan pengangkatan para pelayan, dengan ketentuan-ketentuan yang
ditetapkan gereja induk di Belanda, yang selanjutnya menjadi syarat bagi
kemandirian suatu jemaat. Pada umumnya masih kurang kepercayaan untuk
mengangkat pandita Jawa, sehingga peran menentukan dari pekabar Injil Barat
tidak terhindarkan.24 Juga
dalam jemaat-jemaat yang dinyatakan mandiri, dan kemudian dlam siode, peran
pihak Zending tetap menentukan. Quarles van Ufford mencatat:
Jelas bahwa tidak ada pemutusan hubungan dengan zending, jika gereja-gereja
yang dilembagakan memanggil seorang pendeta sendiri. Juga tidak akan terjadi
banyak mperubahan oleh bertambahnya jumlah jemaat-jemaat dengan pendeta Jawa
sendiri, atau oleh pembentukan susunan-susunan gerejawi Jawa yang baru,
hubungan-hubungan klasis dan juga suatu sinode pada tahun 1931. Pendeta-pendeta
zending tetap memegang peran utama dalam ikatan gereja yang erat terpadu dengan
zending setelah tahun 1931. Gereja Jawa Tengah terdiri atas jemaat-jemaat yang
sudah berdiri sendiri dengan pendeta masing-masing. Pada tingkat sinode
pendeta-pendeta Belanda berbeda dengan di Jawa Timur tidak mempunyai fungsi
resmi, namun bertindak sebagai penasihat-penasihat. Sebab itu pengaruh
mereka di dalam gereja tetap besar.25
Indische
Kerk
5.2.1 Reorganisasi Gereja Protestan
Sebagaimana dicatat dalam bab terdahulu, Gereja Protestan terikat secara
struktural dan finansial dengan pemerintah kolonial. Berkali-kali ada usaha
untuk memisahkan Gereja Protestan dari keterikatan itu, tetapi gagal.26
Usaha yang kemudian membuahkan hasil dimulai oleh pemerintah (atas perintah
Ratu Belanda) dengan membentuk suatu komisi negara pada tanggal 13 Oktober 1910
di Belanda. Tugasnya adalah menyusun aturan-aturan yang dapat diberlakukan
untuk pegubahan ikatan antara Pemerintah dengan Gereja Protestan di Hindia
Belanda, melalui pemberian kemandirian yang lebih besar sesuai tuntutan
kehidupannya sendiri.27 Pada
tanggal 11 April 1913 komisi itu berhasil mengemukakan laporannya, yang pada
intinya mempertahankan karakter Protestan gereja di Hindia dan pengakuan pada
kemerdekaannya (dari ikatan dengan gereja di Belanda). Komisi juga
mempertahankan dasar gereja ini bahwa ajaran gereja Protestan Am di Hindia
adalah Injil sesuai dengan prinsip dasar Protestantisme. Susunan baru yang
diusulkan adalah satu gereja dengan tingkat-tingkat jemaat, resort, klasis
(tiga di Jawa, tiga di Timur besar, dan satu yang tersebar) dan sinode. Pada
tiap tingkat itu masing-masing ada majelis jemaat, rapat resort, rapat klasis
dan rapat sinode. Rapat-rapat tersebut menunjuk pengurus. Rapat sinode akan
memilih suatu Majelis Sinode sebagai ganti kedudukan Kerkbestuur. Jadi mengubah
pola hirarkhis menjadi lebih demokratis. Persidangan sinode sekali dalam tiga
tahun. Resort-resort dibagi atas resort Eropa, Pribumi dan campuran. Pembiayaan
gereja tetap ditanggung oleh negara. Diusulkan pula adanya persidangan sinode
di Batavia sesudah persidangan-persidangan pada tingkat-tingkat yang lebih
rendah untuk menetapkan aturan-aturan yang diusulkan itu. Di samping usul-usul
tersebut, juga diusulkan tiga belas konsep peraturan menyangkut berbagai segi
pekerjaan gereja.28
Usul-usul komisi ini mendapat berbagai reaksi, khususnya dari Predikantenbond (=serikat
pendeta) dan Majelis Jemaat Kediri serta Majelis Jemaat Solo. Tetapi pada
akhirnya (sesuai usul komisi) dilangsungkan sidang-sidang pada berbagai
tingkatan yang bermuara pada De Grote Vergadering (=sidang raya) tanggal 19
September s/d 14 Oktober 1916 di Batavia, yang merupakan rapat gerejawi umum
yang pertama sejak tahun 1624. Sidang raya ini menolak usul-usul Panitia
Negara, a.l. menyangkut desentralisasi kekuasaan dan penggantian Kerkbestuur
dengan Komisi Sinodal.29 Kemudian
Kerkbestuur menyusun usul-usul baru, a.l. mengenai organisasi dan keuangan,
yang dikemukakan kepada pemerintah pada tahun 1919. Dalam usul-usul itu
antaranya kedudukan Kerkbestuur diperkuat, dan tetap diharapkan bantuan
keuangan dari pemerintah. Selain itu terdapat mosi di dalam Volksraad yang
menghendaki gereja dan negara dipisahkan, juga di bidang keuangan:
Volksraad berharap – dengan mempertimbangkan bahwa di sebuah negeri seperti
Hindia, di mana di kalangan penduduk terdapat pengaruh agama-agama yang
demikian berbeda, hanyalah mungkin kebenaran dan keadilan yang menyangkut hal
ini dijalankan jika berlaku suatu pemisahan penuh atara Gereja dengan Negara –
supaya pemisahan itu, juga dari segi keuangan, akan secepatnya terwujud.30
Berdasarkan msukan-masukan itu, juga dari pihak Departemen Pendidikan dan
Agama pemerintah membentuk “Commissie voor de scheiding van Kerk en Staat”
(=Panitia Pemisahan Gereja dan Negara) dengan Surat Keputusan No. 65 bertanggal
24 Spetember 1921, dengan tugas meneliti kemungkinan-kemungkinan bagi pemisahan
Gereja dan Negara.31 Panitia
ini terdiri atas unsur-unsur pemerintah, Volksraad, Gereja Protestan dan
Katolik Roma. Baru pada tanggal 5 September 1927 penitia ini berhasil
menyelesaikan tugasnya dengan laporan setebal 29 halaman, yang antara lain
menyatakan pemisahan administratif perlu didahulukan dari pemisahan keuangan.32
Dalam kaitan dengan reorganisasi Gereja Protestan ini nama Hendrik Kraemer
patut dimunculkan sekali lagi. Laporan perjalannya ke Maluku dan Minahasa
pada tahun 1926, antara lain berisi sebuahmemorandum kepada
Kerkbestuur menyangkut reorganisasi Gereja Protestan. Memorandum tersebut
bermakna penting dalam dua hal: penilaian kritis terhadap realitas Gereja
Protestan sebagai suatu bagian yang terikat dengan pemerintah (kolonial) dan
usul bagi kemandirian gereja-gereja (dengan warga Kristen pribumi) di Maluku
dan di Minahasa.33
Dalam penilaian kritisnya Kraemer menyatakan Gereja Protestan sebearnya bukan
gereja. Sifat rohani dan gerejawi lembaga pemerintah ini tidak
menjadikannya suatu gereja dalam arti sebenarnya; tidak dapat disebut suatu
gereja negara (state church) atau suatu gereja bangsa (national
church). Hanya karena berciri kegerejaan maka disebut suatu gereja.34
Apa yang saya pikirkan adalah ini: sebagai suatu organisasi, Gereja
Protestan di Hindia berasal dari suatu keputusan pemerintah. Ia seluruhnya
merupakan bagian dari pemerintah dalam arti ganda. Pengangkatan dan pembiayaan
para pendetanya selalu bersumber dari pemerintah, dan organisasi serta
administrasinya dirancang menurut dan disesuaikan dengan sistem pemerintah.
Dengan kata lian, organisasi Gereja Protestan murni dikembangkan dalam
syarat-syarat sentralistik birokratis, murni dari sudut pandang urusan sekuler,
[…] maka gagasan dasarnya sama sekali tak-Krisen dan tak-Protestan.35
Setelah memberikan contoh-contoh bagaimana Gereja Protestan menderita defect yang
juga dialami pemerintah, Kraemer mencatat:
Dengan cara ini kesinambungan dan pembinaan yang benar dalam pelayanan
jemaat-jemaat Kristen Pribumi pada umumnya mustahil, dan pelayanan rohani yang
muncul dari Gereja Protestan memperlihatkan cap administrasi rohani dan formalistik.
[…] Khususnya dengan contoh Minahasa, saya pikir dapat digambarkan kenyataan
bahwa Gereja Protestan di Hindia mengandung, secara tak sengaja
namun tak tertegahkan oleh dasar-dasarnya, suatu rintangan bagi pengembangan
kehidupan rohani dan jemaat yang sejati, walaupun saya harus menekankan
lagi pada banyak hal yang baik, yang dikerjakan sejumlah pendeta Gereja
Protestan melalui kepribadian dan kesalehan mereka.36
Dalam kaitan dengan jemaat-jemaat di Minahasa, Kraemer menilai bahwa karena
hakikatnya itu maka Gereja Protestan mutlka statis dan dan tak progresif
sehingga menjadi kendala bagi pertumbuhan suatu Gereja Minahasa yang
sebenarnya. Dan untuk menjadikannya gereja yang sejati maka Gereja Protestan
harus mengalami kelahiran kembali secara mendasar, dengan pembentukan
gereja-gereja yang berdiri sendiri:
Jika Gereja Protestan di Hindia hendak menjadi suatu Gereja dalam arti yang
diajarkan sejarah gereja dan pemikiran teologis, haruslah ia mengalami suatu
regenarasi yang radikal. Jika regenerasi ini hendak terjadi dengan benar maka
hanya ada satu cara untuk melestarikan kesatuannya yang kita kenal sampai
sekarang, yakni mempersatukan gereja-gereja orang Ambon dan orang Minahasa itu
oleh kehendak bebas mereka sendiri, yang mereka putuskan dalam kebebasan
Krisren. Bila kita mengarahkan upaya-upaya ke tujuan ini sekarang, itu berarti
bahwa kita mengantisipasi kecenderungan zaman. Tujuan yang dapat dan harus
menjadi arah upaya-upaya kita adalah pembentukan gereja-gereja pribumi
yang terdiri atas kelompok-kelompok Kristen Pribumi bersatu secara alami,
dan yang sebagai Gereja-gereja dapat mengusahakan dan mengokohkan hubungan satu
dengan yang lainnya.37
Pada tahun 1933 kerkbestuur mengundang suatu Sidang Raya Gereja Protestan
membicarakan soal pemisahan itu berdasarkan suatu konsep yang disusunnya
setelah mempelajari laporan komisi negara dan masukan-masukan lainnya, a.l.
dari Hendik Kraemer tersebut.38 Berbeda
dengan yang pertama (1916) di mana hanya tiga belas orang yang berhak suara
(diantaranya satu orang Indonesia) pada Sidang Raya Kedua ini terdapat 25 orang
berhak suara (antaranya dua belas orang Indonesia). Perbedaan lain antara kedua
Sidang Raya ini adalah bahwa suatu babak baru dimulai setelah Sidang Raya tahun
1933, di mana hakikat Gereja Protestan sebagai gereja tampil menggantikan
kenyataan sebelumnya sebagai lembaga pemerintah. Sidan ini dianggap
oleh pmpinannya sebagai suatu tonggak (een mijlpaal) penting dalam
perjalanan Gereja Protestan, dalam hubungan dengan dua pokok: pertama, sidang
dapat menegaskan bahwa dasar gereja ini adalah Yesus Kristus; dan kedua,
keputusan mengenai kemandirian gereja-gereja di dalam keseluruhan Gereja
Protestan. Pasal 33 keputusan Sidang menyatakan:
Dalam ikatan dengan Gereja Protestan di Hindia Belanda, dapat dibetuk dan
diterima gereja-gereja uyang berdiri sendiri atas persetujuan Sinode Am.
Di Minahasa, di Maluku dan di kepualauan Timor akan dibetuk masing-masing
sebuah Gereja Protestan di Minahasa, sebuah Gereja Protestan di Maluku dan
sebuah gereja Protestan di kepulauan Timur.40
Mengenai pemisahan gereja dengan negara, Sidang Raya menekankan jaminan
penuh atas hak-hak Gereja (a.l. mengenai formasi personil Gereja yang masih
tetap menjadi tanggungan pembiayaan negara), yang baru dapat disepakati
kemudian. Setelah itu, Ratu Belanda menandatangani ketetapannya pada tanggal 1
Juni 1935 dan berdasarkan itu Gubernur-Jenderal menetapkan bahwa kemandirian
administratif Gereja Protestan mulai berlaku pada tanggal 1 Agustus 1935.
Segera setelah Sidang Raya 1933 usaha-usaha untuk membentuk gereja yang
berdiri sendiri dalam lingkungan Gereja Protestan diwujudkan. Tanggal 30
September 1934 dibentuk Gereja Minahasa, dan Gereja Mluku pada tanggal 6
September 1935. Keduanya diakui pemerintah dengan Surat Keputusan o. 7 tanggal
24 Desember 1935.41 Kedua
Sinode membentuk masing-masig peraturan-peraturan gerejanya yang disahkan oleh
Kerkbestuur, dan kepada masing-masing sinode dipercayai untuk mengatur pendeta
pribumi dan guru jemaat di wilayahnya, menyusun Pengakuan sendiri (asal tidak
bertentangan dengan dasar dari keseluruhan gereja), memakai uang yang
dikumpulkan sendiri oleh para anggota, dan memelihara semua yang menjadi
kepentingan Gereja secara keseluruhan.42 Sedangkan
Kerkbestuur tetap berwenang dalam soal pengangkatan pendeta-pendeta pribumi,
pengangkatan dan pemindahan pendeta-pendeta dan pendeta-pendeta bantu (dengan
memperhatikan usul-usul Sinode yang bersangkutan), menentukan jumlah para
pengantar jemaat yang digaji dari Kas Negara, memungut prosentase tertentu
penghasilan semua jemaat bagi dana-dana pusat Gereja Protestan, dan menetapkan
tindakan-tindakan jika Sinode-Sinode mengambil keputusan yang bertentangan
dengan kepentingan seluruh Gereja.43
Dalam Sinode Am44 tahun
1936 berlangsung perundingan mengenai tanggung jawab atas penyelenggaraan
STOVIL pendidikan pribumi, rumah sakit dan beberapa hal lainnya. Tahun 1939
STOVIL di Ambon dan di Tomohon diserahkan kepada masing-masing sinode. Masalah
lain yang dibicarkan pada Sinode Am tahun 1936 adalah hubungan antara kelompok
berbahasa Belanda dengan yang berbahasa Melayu. Prinsip umum yang berlaku
adalah bahwa kesatuan Gereja Protestan melampaui perbedaan bahasa. Karena itu
perlu diusahakan supaya kedua kelompok tidak terpisah, misalnya penghentar
jemaat pada masing-masing kelompok perlu menguasai kedua bahasa itu.45
Catatan-catatan mengenai proses reorganissasi Gereja Protestan di atas
menunjukan bahwa para pemimpin gereja ini selama hampir seratus tahun merasa
puas dengan kedudukan gereja sebagai bagian dari struktur pemerintah kolonial
dan bahwa dorongan-dorongan untuk “membebaskan” gereja dari keterikatan itu
terbanyak dari pihak pemerintah datangnya, yang oleh pihak gereja tidak
ditanggapi dengan sukacita. G.P.H. Locher mencatat lima alasan bagi penolakan
pemisahan itu: pertama, jemaat tersebar dalam wilayah yang begitu luas sehingga
sulit untuk menghimpun wakil-wakilnya dalam suatu pertemuan; kedua, tiadanya
kelompok inti dalam jemaat-jemaat karena anggota-anggota Eropa datang dan
pergi; ketiga, gereja tidak siap untuk reorganisasi karena kurangnya perhatian
warga (Eropa) terhadap kehidupan jemaat; keempat, kekuatiran akan timbulnya
batas-batas dogmatis yang tajam menggantikan sifat umum Protestan dengan
kebebasan ajaran yang ada; kelima, alasan keuangan: gereja mau tetap bergantug
pada pembiayaan oleh pihak pemerintah.46 Alasan
ketiga, yang ditunjuk Locher sebagai alasan utama, yaitu ketidaksiapan gereja
dalam hubungan dengan kurangnya perhatian warga Eropa dalam jemaat terhadap
kehidupan Gereja, menunjukan bahwa seperti kedudukan para pelayannya, warga
Kristen Indonesia dalam Gereja Protestan berada pada kedudukan kelas dua dan
dianggap tidak bisa menjadi basis bagi kehidupan suatu gereja yang berdiri
sendiri. Dalam lingkungan Kerkbestuur terdapat pula kekuatiran bahwa
kalau pemisahan keuangan diatur, orang-orang Kristen pribumi akan meninggalkan
Gereja Protestan dan menuntut keuangan yang menjadai bagian mereka.47 Gerakan-gerakan
kemandirian gereja dalam lingkungan Gereja Protestan mungkin juga menunjukan
kenyataan yang berbeda daripada yang disangkakan Locher. Menjelang dimulainya
kemandirian gereja-gereja dalam lingkungan Gereja Protestan, terdapat gerakan
Autonome Moluksche Kerk (AMK) di Maluku48 dan
KGPM di Minahasa.49
5.2.2 Berdirinya KGPM
Pada tahun 1917
guru-guru sekolah-sekolah Kristen di Minahasa mendirikan perkumpulan Pangkal
Setia. Di antara para pembentuknya terdapat nama-nama A.M. Pangkey. J.U.
Mangowal, A. Pandelaki (ketiganya dari Kweekschool Kuranga), L. Undap (guru
sekolah rakyat), N. Potu (pengawas sekolah Zending), D. Lumunon, E. Karundeng
dan G. Rompas. Tetapi yang kemudian menjadi pemimpin-pemimpinnya yang
menentukan dalam hubungan dengan KGPM adalah J. Jacobus dan B.W. Lapian.50Tujuan
Pangkal Setia adalah: (1) memperhatikan kepentingan anggota-anggotanya, (2)
melanjutkan peningkatan pendidikan Kristen di Keresidenan Manado, dan (3)
memperkuat ikatan antara Minahasa dengan Belanda.51
Pada tahun 1925 Ketua Pangkal Setia, J.U. Mangowal, dengan dukungan sekitar
400 guru Zending memutuskan (1) untuk mengirim telegram kepada Kerkbestuur
mendesak pembentukan gereja Kristen yang otonom di Minahasa dan (2) Pangkal
Setia segera menyusun AD/ART bagi gereja yang diusulkan itu.AD/ART disusun
bersama oleh pengurus Pangkal Setia dan wakil-wakil NZG di Minahasa. Rapat
Pangkal Setia pada tahun 1928 menegaskan perlunya pembentukan suatu gereja
otonom, yang didukung oleh persatuan penolong-penolong Injil (Inlands
Leeraaren Bond) Indische Kerk. Tetapi baru pada tahun 1930 Pangkal Setia mengadakan
kebaktian Hari Minggu secaraterpisah dari Indische Kerk di Sonder.52
Pada tahun 1932 suatu delegasi pangkal Setia bertolak ke Batavia untuk
memperhadapkan kepada Kerkbestuur tuntutan pemisahan gereja dari negara, tetapi
juga ditolak. Delegasi ini meminta Dr. G.S.S.J. Ratu Langie, Dr. R. Tumbelaka,
dan Mr. A.A. Maramis sebagai wakil-wakil masyarakat Minahasa untuk
memperjuangkan kepada pemerintah pemberian gereja otonom bagi Minahasa. Maka
rapat pengurus Pangkal Setia pada bulan Agustus 1932 di Kuranga, memutuskan
suatu panitia persiapan bagi pembentukan gereja otonom dengan tugas (1) membicarakan
serta merumuskan nama bagi gereja otonom di Minahasa, (2) menugaskan lebih
lanjut kepada wakil-wakil masyarakat di Jakarta untuk tetap memperjuangkan
gereja otonom kepada pemerintah.53 Pada
awal bulan Maret Dr. G.S.S.J. Ratu Langie tiba di Manado dan pada tanggal 11
Maret 1933 dia berbicara dalam suatu pertemuan sekitar 70-an pemuka Kristen Minahasa
mengenai usaha memisahkan gereja dan negara.54 Rapat
mencapai kesepakatan untuk membentuk suatu panitia yang akan memperjuangkan
berdirinya gereja otonom di Minahasa. Pantia yang diketuai Jacobus itu kemudian
menetapkan nama bagi gereja otonom yang dikehendaki, yaitu Kerapatan Geredja
Protestan Minahasa, disingkat K.G.P.M., yang bermakna “mengumpulkan/mewujudkan
gereja-gereja Protestan yang ada di Minahasa untuk berdiri, mengurus serta
bertanggung jawab sendiri”.55 Rapat
luar biasa pada tanggal 21 April 1933 di gedung Gemeentebiodcoop Manado
dihadiri pengurus organisasi politik atau kemasyarakatan Minahasa (Persatuan
Minahasa, Pangkal Setia, PIKAT, Inlands Leeraaren Bond dst), memutuskan
memaklumkan KGPM sebagai gereja yang bebas dari pemerintah Belanda dan
memisahkan diri Indische Kerk. Dari kalangan hadirin hanya Dr. De Vreede dan
seorang “penoeloeng” Indische Kerk yang menentang pembentukan itu karena
berpendapat gereja otonom di Minahasa harus tetap terikat dengan indische Kerk.
Untuk memperoleh kekuatan hukum sebagai suatu organisasi, maka rapat pada
tanggal 3 Juni 1933 menetapkan bahwa KGPM merupakan bahagian dari (berlindung
di bawah) Pangkal Setia.56 Pembentukan
KGPM tidak langsung berarti hadirnya suatu gereja baru. Jemaat KGPM yang
pertama baru terbentuk ketika jemaat Wakan memisahkan diri dari Indische Kerk
pada bulan Oktober 1933. Kebaktian KGPM yang pertama di jemaat itu berlangsung
pada tanggal 29 Oktober 1933, yang sekaligus merupakan peresmian jemaat itu
sebagai jemaat KGPM. Tetapi baru tanggal 10 Nopember 1933 anggota-anggota
majelisnya beralih dari Indische Kerk ke KGPM.
Pengakuan mencatat penjelasan pimpinan KGPM, B.W. Lapian57 dan
E. Sumampouw, kepada Dr. N.A.C. Slotemaker de Bruïne, Ketua Kerkbestuur, pada
tanggal 17 Agustus 1934, bahwa pembentukan KGPM bertujuan untuk “mempertahankan
dan mencegah umat Protestan Minahasa pindah ke golongan lain” dan untuk
“memberitakan Injil Yesus Kristus sebagai suatu Gereja Protestan”.58 Percakapn
ketika itu juga mengungkapkan apa yang dianggap sebagai segi nasionalisme KGPM:
Demikianpoen kita, selakoe anak2 Minahasa, patoetlah kita pelihara akan
perasaan tjinta dan kasih atas bangsa dan tanah kita. Maka sebagaimana kita
mengasihi tanah dan bangsa kita, demikian patoetlah kita selakoe orang Masehi,
mengasihi tanah dan bertjintahan bangsa2 dan tanah2 jang lain jang sama
peroentoengan dengan kita, jang ada rindoe berhoeboengan dengan kita. […] kita
tahoe bahwa kita klak, boleh mengadakan berkat, oentoeng dan selamat, bagi diri
ita sendiri selakoe anggota K.G.P.M., bagi isi roemah kita, bagi bangsa dan
tanah kita sendiri.59
KGPM mempunyai semboyan “Kristus dalam kebangsaan, Kebangsaan dalam
Kristus”.60 Semboyan
ini kemudia menjadi tema Sidang Raya ke-19 KGPM, 14-16 Mei 1967, di Wuwuk,
Minahasa Selatan.61Dalam
semboyan ini tampaknya tersirat usaha pihak KGPM untuk memberi citra diri KGPM
sebagai “gereja pejuang nasional Indonesia”:
Tak dapat disangkal proses berdiri KGPM berlangsung pada proses bangsa
Indonesia memperjuangkan kemerdekaan. Dengan demikian nasionalisme sangat
mempengaruhi dan mewarnai semangat KGPM dalam pertumbuhan dan perkembangan
selanjutnya. Keadaan ini membawa KGPM pada memperoleh jati diri yang
Kongregasional Merdeka, Mandiri dan Nasional di dalam menjalankan tugas
panggilan Gereja yang kemudian dirumuskan dalam satu tema KGPM: “Kristus dalam
Kebangsaan, Kebangsaan dalam Kristus.62
Boyke Suak menambahkan kaitan semboyan ini dengan sikap oikumenis KGPM:
Gema tema itu sendiri telah turut mendorong KGPM untuk mengembangkan kerja
samanya dengan gereja-gereja lain dalam rangka gerakan keesaan gereja-gereja di
Indonesia serta berupaya lebih meningkatkan kerjasama tersebut dengan
gereja-gereja di luar Indonesia.63
Nyata dari proses terbentuknya KGPM bahwa kemandirian gereja atau
reorganisasi dalam lingkungan gereja Protestan adalah pula aspirasi orang
Kristen Indonesia dari pihak gereja. Jelas pula adanaya pengaruh pergerakan
nasionalisme. Tetapi perjuangan yang melahirkan KGPM bukan pertama-tama
perjuangan politik, melainkan gerakan gerejawi yang menghendaki adanya gereja
otonom di Minahasa, baik dalam kaitan dengan proses reorganisasi Gereja
Protestan, maupun dengan perkembangan umum menuju kemandiran gereja-gereja
asuhan Zending di Indonesia masa itu. Kurangnya dukungan terhadap KGPM
dibanding dengan GMIM padaawalnya dapat merupakan petunjuk bahwa kecenderungan
atau kesadaran politik dalam gerakan itu tidak begitu kuat. Proklamasi
pendirian KGPM pada bulan April 1933 oleh para aktivis organisasi-organisasi
politik di Minahasa merupakan suatu usah a”membelokkan” gerakan gerejawi itu
menjadi lebih bersifat gerakan politik.
5.3
Rangkuman
Pertama-tama, dapat dicatat bahwa tidak ada petunjuk bahwa kemandirian
gereja-gereja, juga yang diperjuangkan dari bawah oleh orang Kristen Indonesia,
merupakan gerakan politik. Tetapi gagasan politik dalam HKB di tanah Batak atau
dalam Pangkal Setia di Minahasa – yang pada mulanya merupakan perjuangan
nasionalisme kesukuan atau kedaerahan – saling mempngaruhi dengan cita-cita
gerejawi. Jadi, walaupun gerakan kemandirian itu terutama adalah merupakan
fenomena gereja, secara tidak langsung merupakan pula pengungkapan dari
kesadaran nasionalisme orang Kristen Indonesia.64 Kenyataan
bahwa pada umunya prakarsa kemandirian datang dari atas dan bahwa posisi-posisi
kunci di dalma gereja yang mandiri masih tetap dipegang tokoh-tokoh Kristen
dari Barat – dan karena itu proses kemandirian berlangsung menurut cara dan
tempo “perwalian” zending – tidak berarti penolakan terhadap “emansipasi” orang
Kristen Indonesia. Kenyataan itu dapat ditempatkan dalam kerangka perwalian
Zending (bandingkan dengan konsep guru kadiwasan), yang sejajar
dengan pendekatan kemerdekaan di bidang politik, bahwa pihak kolonial Belanda
menganggap tugas membimbing bangsa Indonesia menuju kemerdekaan sebagai
penggilan sucinya. Dengan demikian kemandirian gereja dapat pula dilihat
sebagai jawaban kalangan Zending terhadap nasionalisme Indonesia.
Jika kemandirian gereja ditinjau dari segi “three-self-formula”, jelas
bahwa kemandirian itu baru pada tahap awal.65 Seperti
yang berlaku pada Gereja Protestan, kemandirian yang terjadai baru dalam arti self-government,
itupun masih di bawah perwalian. Pendudukan Jepanglah yang mengakhiri perwalian
itu. Kemandirian dan a (self-support) merupakan suatu pokok masalah
lain, yang bagi sejumlah gereja bahkan samapai sekarang belum rampung.
Sementara self-propagation, dengan segala keterbatasan,
diselenggarakan oleh gereja-gereja –mula-mula di bawah asuhan, dan kemudian
dalam kerjasama dengan pihak Zending.66
Tidak diperoleh pemahaman mengenai kemandirian dari pihak orang Kristen
Indonesia, dan dari pihak Zending juga dasar teologis kemandirian gereja tidak
bantak disuarakan. Kemandirian gereja dilihat seakan-akan suatu proses alami
dalam sejarah pekabaran Injil, bahwa gereja yang mandiri pada akhirnyaakan
berdiri setelah pihak Zending berhasil membimbing orang-orang Kristen setempat
ke arah kedewasaan.67 dalam
pandangan ini syarat-syarat kedewasaan diukur dengan tolak ukur kelembagaan
gereja induk, yang kurang lebih bersifat formal organisatoris. Bahkan di Jawa
Timut, dimana kesadaran mengenai tolak ukur teologis dikembangkan, pendekatan
itu juga berlaku dalam konsep kemandirian di bawah perwalian (Zending sebagai guru
kadiwasan).68 Dampak
lain dari pemahaman ini adalah model kelembagaan gereja yang secara tak
terhindarkan disusun menurut gagasan pihak Zending.69
Gerakan pemandirian gereja-gereja asuhan Zending itu tidak terlepas dari
kaitan dengan berbagai faktor, khususnya munculnnya gereja-gereja muda di
berbagai lapangan zending dunia, yang wakil-wakilnya kemudian muncul dalam
pertemuan-pertemuan oikumenis, yang mulai mencolok pada Konferensi Pekabaran
Injil Sedunia di Yerusalem tahun 1928.70 Di
Indoensia, Kraemer berperan cukup penting sebagai penganjur gerakan kemandirian
gereja di kalangan Zending. Pemikiran-pemikirannya serta keterlibatannya dalam
proses itu mempengaruhi kalangan Zending. Kraemer juga memperhubungkan
kemandirian gereja di Indonesia dengan nasionalisme Indonesia. Tanggapan
positifnya terhadap nasionalismedan dorongannya terhadap kalangan Zending
menyambut kennyataan itu di dalam panggialn Zending jelas bermakna khusus bagi
pemandirian gereja. Demikian juga gagasannya mengenai tempat pihak Zending
sebagai pembina dalam gereja yang berdiri sendiri. Memang
sengan pandangannya mengenai pihak Zending sebagai guru kadiwasan ini,
Kraemer bersikap paternalistis, yang merupakan sikap yang cukup realistis pada
masanya. Kraemer juga berusaha memberi dasar teologis bagi kemandirian. Dalam
ceramahnya pada konferensi NIZB tahun 1934, Kraemer menyatakan bahwa
kemandirian gereja berhubungan dengan prinsip bahwa Kristus adalah Kepala
Gereja. Sebab itu kemandirian bukanlah terutama soal hubungan dengan Zending
melainkan kesadaran untuk menerima Tuhan dan bertanggung jawab kepada-Nya.
Tugas Zending adalah membantu menaburkan kesadaran itu. Secara konkret bantuan
itu berupa tugas-tugas pembentukan penghayatan teologis para penghntar jemaat,
pengadaan bacaan, pendalam Injil dan pemeliharaan rohai jemaat, di samping
bantuan finansial, kepemimpinan dan pelayanan sosial (pendidikan dan kesehatan).71
Salah satu kenyataan penting dalam proses pelembagaan organisasi
gereja-gereja di Indonesia adalah kuatnya orientasi pada gereja suku atau
gereja daerah, walaupun ada juga corak denominasi. Selain pengaruh pendekatan
pekabaran Injil utuk membentuk gereja bangsa dan faktor penentuan pemerintah
bagi setiap badan Zending untuk bekerja pada wilayah tersendiri, kenyataan itu
berkaitan pula dengan kadar ikatan kesukuan yang lebih dominan daripada
kesadaran naisonal. Tetapi orientasi itu tarik menarik dengan gerakan keesaan
gereja yang berlangsung pada saat yang bersamaan. Gereja Protestan berusaha memperdamaikan
dilema itu dengan mempertahankan kesatuan dalam reorganisasinya, sedangkan
gereja-gereja lainnya berusaha membentuk suatu wadah keesaan. Semua dinamika
itu bermuara pada pembentukan Dewan Geredja-Geredja di Indonesia (DGI)
pada tahun 1950.
1 Lihat
Th. Van den End, Ragi Carita : Sejarah Gereja di Indonesia, 2, 1860-an
– sekarang (Jakarta: BPK Gunung Mulai, 1989), hlm. 391-393; bnd. Th.
Müller-Krüger, “Peta-Peta, Statistik-statistik, Daftar Kronologi” lampiran
lepas pada Th. Müller-Krüger, Sedjarah Geredja di Indonesia (Djakarta:
Badan Penerbit Kristen, 21966), hlm. xxi-xxiii. Karena
gereja-gereja baru mulai berdiri sendiri pada tahun 1930-an, maka Dr. Ukur
menunjuk masa sejak 1930 sebagai “Sejarah Gereja-Gereja di Indonesia”,
sedangkan sebelumnya (645-1935) hanyalah masa “pra-sejarah gereja di
Indonesia”. Lihat F. Ukur, “pengkajian kembali Sejarah Gerejadi Indonesia”,
dalam M.A. Ihromi dan S. Wismoady Wahono (ed), Theo-Dóron. Pemberian
Allah: Kumpulan Karangan Dalam Rangka Menghormati Usia 75 Tahun Prof. D. Dr.
Theodor Mueller-Krueger (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1979), hlm. 44-45.
Karangan ini dimuat pula sebagai bab IV dalam F. Ukur dan F.L. Cooley, Jerih
dan Juang: Laporan Nasional Survai Menyeluruh Gereja di Indonesia(Jakarta:
LPS-DGI, 1979), hlm. 446-553.
2 Bnd.
Lothar Schreiner, Telah Kudengar dari Ayahku: Perjumpaan Adat dengan
Iman Kristen di Tanah Batak (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1978), hlm. 8
dyb. Lihat pula Edward O.V. Nyhus, An Indonesian Church in the Midst of
Social Change: the Batak Protestant Christian Church, 1942-1957 (Diss.
University of Winconsin, 1987), hlm. 23-32.
3 Mengenai
HKB selengkapnya, lihat J.R. Hutauruk, Kemandirian Gereja. Penelitian
Historis-Sistematis tentang Gerakan Kemandirian Gereja di Sumatera Utara dalam
Kancah pergolakan Kolonialisme dan Gerakan Kebangsaan di Indonesia, 1899-1902 (jakarta:
BPK Gunung Mulia, 1992), hlm: 84 dst. Lihat pula Lance Castles, The
Political Life of Sumatran Residency: “Tapanuli 1915-1940 (Diss.
Yale University, 1972), hlm. 123-170. Castles memandang HKB sebagai jawaban
pihak Kristen terhadap tekanan kolonial atas masyarakat Batak.
4 Hutauruk, Kemandirian
Gereja, hlm. 84 dyb.
5 Ibid., hlm.
103 dst.
6 HchBkemudian
terpecah menjadi HKI dan HCB. Mengenai pembetukan HCB, lihat Hutahuruk,
Kemandirian Gereja, hlm. 131-145; Walter Lempp, Benih Yang Tumbuh XII:
Suatu Survey mengenai Gereja-Gereja di Sumatera Utara (Jakarta:
LPS-DGI, 1976), hlm. 233-237; T.J. Sitorus dkk, Sejarah Huria Kristen
Indonesia (H.K.I.) Sejak Masa Pendahuluan 1927 s/d Keutuhan Bulat 1976 (Kolportase
HKI, 1978).
7 Hutauruk, Kemandirian
Gereja, hlm. 131 dst.
8 Ibid., hlm.
145 dst. Hutauruk mencatat pula bahwa dalampembentukan gereja-gereja mandiri
itu, selain reaksi terhadap dominasi Zending, terdapat pula unsur-unsur ikatan
marga.
9 Ibid.,
hlm. 114. Sejalan dengan reaksi terhadap zending ini, Kraemer menilai bahwa
gerakan kemandirian di Tanah Batak tidak berakar dalam kekuatan dan kehormatan
diri. H. Kraemer, From Missionfield to independent chuch: Report on a
Decisive Decade in the Growth of indigenous Churches in Indonesia (The
Hague: Boekencentrum, 1958), hlm. 64.
10 Hutauruk
meringkaskakn hasil-hasil sikap oposisi HKB meliputi: Pembentukan kerkeraad
(1920), penyelenggaraan “sinode tahunan Gereja Batak” (1922), penamaan Huria
Kristen Batak (1925), pembentukan Moderamen Sinode, yakni hoofdbestuur pada
tahun 1929 dan pengakuan pemerintah atas gereja Batak sebagai”gereja” (1931).
Lihat Hutauruk, Kemandirian Gereja, hlm. 122.
11 Ibid.,
hlm. 173.
12 Ibid., hlm.
166 dyb.
13 Ibid., hlm.
170 dyb. Bandingkan dengan pandangannya mengenai nasionalisme pada Konferensi
WSCF Asia tahun 1933 di Citeureup.
14 Untuk
mengenang peristiwa penunjukan Vorzitter Batak yang pertama itu maka setiap Hari
Minggu pertama bulan Juli dirayakan HKBP sebagai “pesta HKBP manjungjung
baringinna” (=pesta HKBP berdiri sendiri). Lihat Benih Yang Tumbuh XII,
hlm. 120 dyb.
15 C.W.
Nortier, Tumbuh, Dewasa, Bertanggungjawab: Suatu Studi Mengenai Pertumbuhan
Gereja Kristen Jawi Wetan Menuju Kedewasaan dan Kemerdekaan +/-1835
– 1935 (Jakarta; PERSETIA, 1981), hlm. 162-165.
16 Ibid.,
hlm. 154. Kesan seperti ini dapat dipertanyakan apakah merupakan penilaian yang
jujur terhadap kenyataan, atau bertolak dari suatu prasangka yang berbias.
17 Ibid.,
hlm. 166 dst.
18 Kraemer
mendaftarkan ungkapan-ungkapan bahasa Jawa yang dikemukakan para responden
penelitiannya, yang menggambarkan kenyataan itu. Lihat Kraemer, From
Missionfield, hlm. 85-89.
19 Ibid.,
hlm. 91 dyb. Nortier mencatat beberapa bagian dari laporan Kraemer ini, lihat
Nortier, Tumbuh, Dewasa, bertanggungjawab, hlm. 184-196.
20 Para
pengurus Majelis Agung antara lain Drijo Mestoko (Wakil Ketua sejak 1934),
Poeger (Sekretaris sejak 1931), dan Poertjojo Gadroen (Bendahara sejak 1931).
Lihat Nortier, Tumbuh, Dewasa, bertanggungjawab, hlm. 208
21 Asas-asas
itu ditetapkan tahun 1896 meliputi: (1) Tujuan pekabaran Injil adalah kemuliaan
Allah (bukan pertama-tama menyelamatkan jiwa yang menjadi pusat perhatian);
Yang menjalankan pekabaran Injil adalah jemaat setempat ; (3) Para utusan harus
pelayan Firman yang berpendidikan akademis dan yang berhak penuh sebagai
pendeta juga dalam gereja induk; (4) Usaha zending tidak pertama-tama diarahkan
kepada orang-orang perorangan melainkan kepada bangsanya (sukunya) dan bermula
di pusat-puast kehidupan bangsa/suku itu; (5) Orang yang masuk Kristen secepat
mungkin dikumpulkan menjadi jemaat yang setingkat dengan jemaat induk di
Belanda, dan sedapat mungkin dilayani pendeta yang setingkat dengan rekannya
pendeta utusan Belanda; (6) Ada perbedaan tajam antara pelayanan Firman
(pengabaran Injil), yang merupakan pelayanan utama, dengan pelayanan di bidang
kesehatan, pendidikan, dsb yang merupakan pelayanan penunjang. Lihat van de
End, Ragi Carita 2, hlm. 227.
22 Van
den End mencatat: “Di Negeri Belanda, anggota-anggota Gereja-gereformeerd giat
sekali di bidang politik dan sosial budaya, dengan semboyan “memenangkan dunia
bagi Kristus Raja”. Metode yang mereka anut ialah dengan mendirikan
organisasi-organisasi Kristen tersendiri d segala bidang. Dengan demikian telah
berdiri partai politik Kristen, universitas Kristen (Vrije
Universiteit/Universitas Bebas di Amsterdam), serikat buruh Kristen dan
lain-lain.” Ibid., hlm. 229 dyb.
23 Ibid., hlm.
230 dyb; J.A.C. Rullmann, De Gereformeerde Zending in Midden Java (Baarn;
Zendingscentrum van Gereformeerde kerken, , z.j.)., hlm. 28 dyb; Lihat juga
Müller-Krüger, Sedjarah Geredja di Indonesia, hlm. 180-185.
24 Lihat
Ph. Quarles van Ufford, Grenzen van Internationale Hulpverlening (Assen:
van Gorcum, 1980), hlm. 48-53.
25 Ibid., hlm.
52.
26 Lihat
rangkuman dari empat kali usaha pemisahan dalam J.L. Ch. Abineo, Sejarah
Apostolat di Indonesia, II/1, (Jakarta: Persetia, 1978), hlm. 26-29.
Selengkapnya, lihat C.W.Th. van Boetzelaer, De Protestantsche Kerk in
Nederlandsch Indië (‘s-Gravenhage: Martinus Nijhoff, 1947), 10e, 12e
en 13e hfds.
27 Van
Boetzelaer, De Protestantsche Kerk, hlm. 382.
28 Lihat
rangkuman usul-usul tersebut dalam Ibid., hlm. 384-389; bnd.
Van Randwijck, Oegstgeest, hlm. 118 dyb.
29 Van
Boetzelaer, De Protestantsche Kerk, hlm. 395-397. Van den End
menyebutkan adanya usul (yang juga ditolak Sidang Raya) mengenai kemandirian
jemaat-jemaat pribumi di Indonesia Timur. Lihat van den End, Ragi Carita 2,
hlm. 51; lihat juga G.P.H. Locher, De Kerkorde der Protestanse Kerk in
Indonesi: Bijdrage tot de Kennis van haar Historie en Beginselen (Diss.
Rijkuniversiteit Leiden 1948), hlm. 54 dst.
30 Hanya
Schmutzer (Katolik Roma) dan Bergmeijer (CEP) yang menentang mosi, yang
akhirnya diterima dengan 18 lawn 6 suara itu. Van Boetselaer, De
Protestansche Kerk, hlm. 404 dyb.
31 Ibid., hlm.
409 dyb.
32 Ibid.,
hlm. 411.
33 Lihat
“Report on Amboina and the Minahasa”, dalam Kraemer, From Missionfield,
khususnya hlm. 31-36.
34 Ibid., hlm.
34. Sebutan”gereja negeri” tampaknya tepat dalam arti merupakan bagian dari
sistem pemerintah dan dihidupi oleh pemerintah.
35 Ibid., hlm.
32 dyb.
36 Ibid., hlm.
36.
37 Ibid., hlm.
41
38 Selain
laporan yang disebut diatas, Kraemer terlibat diskusi dengan Kerkbestuur
menyangkut konsep yang akan diajukan bagi Sidang Raya 1933. Lihat tanggapannya
dalam H. Kraemer, “De reorganisatieplannen der Indische Kerk”, De
Opwekker, 77/1932: 181-196.
40 Ibid.,
hlm. 41. Lihat pula van Randwijck, Oegestgeest, hlm. 121.
41 Seperti
gereja-gereja lainnya, dalam kemandiriaan kedua gereja dalam lingkungan Gereja
Protestan ini pimpinan puncaknya masih dipegang pendeta Belanda. Kemandirian
sebagai “gereja pribumi” baru dipaksakan oleh pendudukan yang keempat (GPIB)
pada tahun 1948. Mengenai pembentukan GPIB, lihat Protetantse Kerk in Westelijk
Indonesie, verslag van de Proto-Synode, gehouden van 25 tot 31 October
1948 te Batavia met toevoeging van Kerkorde en Regelen (Batavia:
Kappee, 1948).
42 Van
Boetselaer, De Protestansche Kerk, hlm. 442 dyb.
43 Ibid.,
hlm. 443.
44 Sidang
Gereja Protestan tahun 1916 dan tahun 1933 merupakan Groote Vergadering (Sidang
Raya), sedangkan setelah Gereja Protestan berdirisendiri sebagai satu dinode
persidangan sinodalnya disebut Algemeene Synode (Sinode Am).
45 Ibid., hlm.
444 dyb. Perbedaan bahasa dalam jemaat menimbulkkna masalah-masalah, seperti
yang dialami jemaat Gereja protestan di Makassar mejelang Perang Dunia II.
Lihat H. Th. Chabot, “Protestantse Christelijke Groepen te Makassar”, dalam Indonesië, 7/1953-1954:
425-432.
46 Locher,
De Kerkorde der Protestantse Kerk, hlm. 46 dyb.
47 Notulen
Kerkbestuur, tanggal 3 Nopember 1926 butir 12 dan tanggal 17 Oktober
1928 butir 2.
48 Gerakan
ini jarang disebut dalam karangan sejarah gereja di Maluku. Catatan ringkas van
den End,Ragi Carita 2, hlm. 70 dan informasi lisan dari Dr. I.H.
Enklaar memberi kesan bahwa gerakan ini tidak bersifat nasionalistis, dan lebih
merupakan usaha yang dimotori beberapa pemuka Belanda dalam jemaat di Ambon
untuk mempercepat kemandirian dan melepaskan diri dari “kekuasaan” Kerkbestuur
di Batavia.
49 Mengenai
KGPM lihat E.W. parengkuan, “Suatu Tijnauan Sejarah tentang Peranan KGPM dalam
Sejarah Pergerakan Nasional di Minahasa” (Skripsi Sarjana Muda Fak. Sastra
UNSRAT, Manado, 1971); Boyke Arher Suak, “Kerapatan Gereja Protestan Minahasa.
Suatu Uraian Sejarah tentang Berdirinya dan Perkembangannya” (Tesis SEA-GST,
Jakarta 1992).
50 Pada
tahun 1914 Jacobus, seorang pensiun jaksa, sudah melibatkan diri dalam
perjuangan orang-orang Kristen Minahasa dengan menghadap Kerkbestuur di Batavia
membwa petisi pembentukan gereja yang otonom di Minahasa. Disebutkan para
penandatanganan petisi itu adalah tokoh-tokoh pribumi : F. Rotinsulu (majoor
Manado), para Hukum Besar L. Tocoalu (Bantik), L. Wakari (Manado), P. Ratulangi
(Maumbi), Hukum Tua P. Lomban (Tikala), Hukum Tua A. Kapugu (Singkil), dan
guru-guru S. Abuthan (Singkil), J. Sahelangi (Tikala). Lihat E.W. Parengkuan,
“Peranan KGPM”, hlm. 22 dyb. Petisi itu diulangi lagi pada tahun-tahun 1917 dan
tahun 1923; lihat Boyke Arther Suak, “Berdirinya KGPM”, hlm. 36.
51 Petrus
Blumberger, de Nationalistische Beweging, hlm. 51; bnd. Boyke
Arhter Suak, “Berdirinya KGPM”, hlm. 37. Antara tahun 1921-1922 beberapa
perjuangan Pangkal Setia tercapai: NZG kembali memegang tanggungjawab atas
pendidikan, penambahan dosen teologi supaya STOVIL DAPAT DITINGKATKAN MENJADI
SEKOLAH PENDETA (CIKAL BAKAL FTh-UKIT) serta penunjukan Dr. R. Tumbelaka
sebagai anggots Kerkbestuur. Ketika sekolah-sekolah Zending (NZG) diserahkan
kepada Indische Kerk pada tahun 1931, kalangan Pangkal Setia mendirikan
sekolah-sekolah sendiri sebagai sekolah swasta. Yang pertama didirikan pada
tahun 1932 oleh guru E. Turangan di Tompaso. Lihat Boyke Arhter Suak, “Berdirinya
KGPM”, hlm. 37-41.
52 Organisasi
ini didirikan dan dipimpin oleh beberapa pemuka Pangkal Setia, seperti A.
Talumepa, H. Sinaulan dan N.B. Pandean untuk mendukung perjuangan Pangkal
Setia. Boyke Arhter Suak, “Berdirinya KGPM”, hlm. 40.
53 Panitia
tersebut terdiri atas J. Jacobus (Ketua), B.W. Lapian (Penulis), dan
anggota-anggota: H. Sinaulan, Z. Talumepa, J.U. Mangowal, Dr. A.V. Andu, Dr. Ch
Singal. Ibid., hlm. 42 dyb.
54 E.W.
Parengkuan, “Peranan KGPM”, hlm. 26; “Berdirinya KGPM”, hm. 43 menyebut Dr. G.
S.S.J. Ratoe Langie datang bertiga dengan Dr. R. Tumbelaka and Mr. A.A.
Maramis.
55 Boyke
Arhter Suak, “Berdirinya KGPM”, Hlm.45.
56 KGPM
berlindung di bawah Pangkal Setia sampai tahun 1939. Ibid., hlm.
48.
57 Mula-mula
KGPM dipimpin J. Jacobus, lalu kemudian B.W. Lapian menjadi “Ketua seumur
Hidup” (1934-1969), yang menimbulkan masalah-masalah di dalam KGPM pada tahun
1969. Lihat Sem Narande,Valdu La Paskah: Tonggak Perjalanan Suatu Jemaat,
Buku II (s.l. 1980), hlm. 472-476. Narande menyatakan: “Dengan seluruh kekurangan
dan kelemahannya sepanjang 3 ½ dasa warsa, telah ia buktikan
bahwa KGPM adalah B.W. Lapian dan B.W. Lapian adalah KGPM. KGPM dalam arti
dasar-dasar strtegis dari maksud pembentukannya.” (hlm. 476).
58 Parengkuan
mendasarkan pada berita Lontjeng Geredja , No.4/Oct. 1935,
hlm. 26; lihat “Peranan KGPM”, hlm. 38.
59 Demikian
kutipan dalam E.W. Parengkuan, “Peranan KGPM”, hlm.39 dyb. Dari Lontjeng
Geredja No.4/Oct. 1935, hlm. 27-28. Kiranya jelas bahwa nasionalisme
yang dimaksud pada masa itu – sesuai kecenderungan Ratu Langie dan Persatoean
Minahassa – bersifat kesukuan/kedaerahan (ethnic nasionalism); itu juga nyata
dari nama dan asal warga KGPM. Pada mulanya Pangkal Setia tidak bersifat
gerakan politik nasionalis, dalam arti tidak mengandung perlawanan terhadap
kolonialisme. Sebagaimana dicatat diatas, salah satu tujuannya justru untuk
mempererat ikatan antara Minahasa dengan Belanda. Tetapi perjuangan untuk suatu
gereja otonom menghadapkan Pangkal Setia dengan Indische Kerk yang adalah
bagian dari sistem kolonial itu, sehingga lambat laun dipengaruhi
gagasan-gagasan politik. Terutama oleh pengaruh-pengaruh pergerakan nasional (a.l.
melalui Persatoean Minahassa) yang merambat ke dalam Pangkal Setia sifat
politik tumbuh menjadi suatu sayap yang penting. Dalam kepengurusan Pangkal
Setia J.Jacobus (dan Mangowal) merupakan tokoh sayap gerejawi sedangkan B.W.
lapian pada sayap politiknya.
60 Parengkuan
mencatat “Kristen dalam Kebangsaan, Kebangsaan dalam Kristen”, E.W. Parengkuan,
“Peranan KGPM”, hlm. 37.
61 Boyke
Arther Suak, “Kerapatan Gereja Protestan Minahasa, hlm. 285 dyb.
62 KPIPG-PGI, Almanak
Kristen Indonesia 1990, hlm. 57 dyb. Kepejuangan KGPM berhubungan
dengan peran pribadi tokoh-tokoh sepert Ratu Langie, B.W. Lapian, Ch.Ch. Taulu
dan S. Wuisan.
63 Boyke
Arther Suak, “Kerapatan Gereja Protestan Minahasa, hlm. 288.
64 Menurut
Kraemer, nasionalisme di lapangan Zending merupakan kritik terhadap kekuasaan
Zending. H. Kraemer, De Huidige stand vasn het Christtendom in
Nederlandsch-Indië (’s-Gravenhage: Boekecentrum, 1937), hlm. 51.
65 Verkuyl
mencatat empat kelemahan dalam perumusan “tri swadiri” ini: bersifat terlalu
ekklesio-centris, prinsip swadana tidak cocok dengan kenyataan jemaat-jemaat
Perjanjian Baru, dapat mengancam hubungan oikumenis (kasus Gereja di Cina pada
zaman Revolusi Kebudayaan), dan bertentangan dengan kenyataan di Barat bahwa
peranan badan-badan Zending di luar gereja tetap penting. Lihat J. Verkuyl,Inleiding
in de Nieuwere Zendingswetenschap (Kampen: J.H. Kok, 1975),
hlm.253-258.
66 Peranan
para pembantu pribumi bagi Zending dalam pemberitaan Injil sangat menentukan,
juga dalam kaitan dengan “kesiapan” gereja-gereja untuk berdiri sendiri. Sebab
itu faktor pengkaderan melalui pendidikan juga memainkan peranan penting.
67 Dalam
hubungan dengan tugas Zending untuk melembagakan gereja dapat disebut kritik
Hoekendijk yang menilai pandangan “church-ism” (Mission as the road from Church
to Church, atau the church as the starting-point and the goal of the Mission),
yang mendominasi pemikiran mmisiologia sejak abad ke-19 itu, sebagai tidak
sesuai dengan kesaksian PerjanjianBaru mengenai pemberitaan Injil. Lihat J.C.
Hoekendijk, “The Church in Missionary Thinking”, dalam The
International Review of Missions, 41/1952: 324-336; lihat juga kumpulan
karangannya, The Church Inside Out, L.A. Hoedemaker dan Pieter
Tijmes (eds), (London: SCM, 1967).
68 Van
Randwijck mencatat mengenai kesadaran baru tersebut: “Namun pihak Zending mulai
menginsafi bahwa gereja ada jika dalam suatu masyarakat (suatu oikos menurut
istilah Hoekendijk) terdapat unsur-unsur yang mengaku Yesus Kristus sebagai
Tuhannya dan bahwa dengan demikian sudah terjelma kemandirian gereja, tanggungkawab
sendiri, baik ke luar maupun ke dalam, dengan tidak mengindhkan banyak
sedikitnya orang yang mengikrarkan pengakuan itu, tingkat kecerdasannya,
ciri-ciri kebangsaannya, sifat-sifat moralnya ataupun kedudukannya dalam
masyarakat (termasuk masyarakat kolonial). Gereja menjelma bukannya sebagai
hasil suatu proses pematangan, bukan dengan pendidikan yangmembawa orang keluar
dari agama Indonesia aslinya (Kruyt), melainkan oleh mujizat khasiatnya Roh
Kudus dalam dunia yang kurang siap menerimanya.” Lihat van Randwijck, Oegstgeest, hlm.
367.
69 Pihak
HKB di Tanah Batak menyusun suatu tata gereja tandingan yang lebih “demokratis”
menentang susunan RMG yang dianggap “otokratis”, tetapi ditolak. Di Jawa Tengah
ada kesadaran (yang idealistis) dari pihak Zending untuk tidak mendirikan suatu
Gereformeerde Kerk. F.L. Bakker, “De Stichting van de kerk op het Zendingveld”, De
Opwekker, 85/1940: 136.
70 Kraemer
menyebut empat faktor yang mendukung makin besarnya kemandirian gereja-gereja
muda di seluruh dunia: perang dunia pertama, kebangkitan dunia Timur, gerakan
pekabaran Injil sedunia (khususnya Konferensi Yerusalem) dunia Timur, gerakan
pekabaran Injil sedunia (khususnya Konferensi Yerusalem) dan perumusan baru
masalah gereja oleh pihak Kristen Barat sebagai suatu masalah sentral. H.
Kraemer, “De verhouding van de Zelfstandige Inheemsche kerken en de Zending”, De
opwekker, 79/1934: 553 dyb.
71 Ibid., hlm.
555 dyb.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar