Jumat, 09 Maret 2012

POKOK POKOK KESIMPULAN


Pokok-pokok Kesimpulan

POKOK-POKOK KESIMPULAN


Terasing dari Dunianya 
Ketika agama Kristn masuk ke Indonesia pada pertengahan abad ke-16, Indonesia sedang mengalami rekonfigurasi sosial politik. Kerajaan-karajan Hindu sedang runtuh dan digantikan oleh pusat-pusat kekuasaan Islam. Sementara itu kelompok-kelompok suku pedalaman mengalami kehidupannya dalam lingkaran sejarah yang seakan tak beranjak. Berbeda dengan kehadiran agama-agama “impor” sebelumnya, agama Kristen tidak disebarkan dengan mendirikan pusat-pusat kekuasaan pribumi. Para pembawa agama Kristen menempatkan kekuasaan dagang (dengan benteng-bnteng pemukiman asing sebagai pusatnya) sebagai kepentingan utamanya, bukan kekuasaan pemerintahan. Sebab itu tidak terbentuk negara-negara teokratis Kristen di Nusantara. Maka agama Kristen di Indonesia tetap tampak sebagai agama bangsa dan pemerintah asing. Selain itu, dalam agama Kristen urusan perniagaan tidak bersanding serasi dengan urusan keagamaan. Upaya mencari laba tidak seiring jalan dengan panggilan mencari jiwa-jiwa. Maka siar Injil – walaupun merupakan salah satu bagian pokok dari kegiatan para saudagra dari dunia Kristen itu – tidak dilaksanakan atau didukung dengan sepenuh hati. Sebaliknya, agama Kristen diperalat: persaingan dan permusuhan antar bangsa-bangsa yang memperebutkan monopoli perdagangan dan kekuasaan di Nusatara adalah pula pengelompokan yang mempermusuhkan penganut agama yang berbeda. Agama menjadi alat pembeda dan pengikat kelompok dalam kekuasaan atas perdagangan. 
Adalah para agamawan dari beberapa golongan biarawan Katollik, khususnya dari Ordo-ordo Fransiscan, Dominikan dan Yesuit yang ikut menyusuri jalur pelayaran sutera ke Asia  untuk “menyegerakan pertobatan orang-orang khalaik”.1 Pada beberapa tempat mereka berhasil memperoleh sejumlah penyambut, yang umumnya dibaptiskan secar masal tanpa persiapan yang memadai, dan misalnya di Indonesia, orang-orang Kristen pribumi itu diasingkan dari masyrakatnya dalam pemukiman di sekiter benteng. Pengkristenan menjadi alienation dalam pola “kekristenan benteng” tersebut: orang Kristen pribumi tercabut dari lingkungan masyarakat aslinya dan hidup dalam peniruan gaya hidup sing di sekeliling pusat kehidupan Eropa itu.
Pembinaan jemaat di lingkungan masyarakat sendiri, seperti di pulau-pulau Lease, Maluku Tengah, tidak diselenggarakan semestinya, antara lain oleh karena kurangnuya tenaga pelayan. Akibatnya, terjadi pertemuan kekristenan dengan kepercayaan pra-Kristen yang tidak diarahkan, sehingga unsur-unsur kepercayaan lama terbawa ke dalam kekristenan. Kekristenan dari mereka yang tinggal di sekitar pemukiman masyarakat Barat, maupun dalam masyarakat yang sebagian dikristenkan, sesuai perkembangan kekristenan masa itu, sampai belum mengembangkan persekutuan gereja yang kritis menghadapi kenyataan-kenyataan sosial politik dan tradisi adalah politisasi kekristenan yang dikemukakan di atas. Penduduk dikristenkan secara masal, antara lain untuk mengikat mereka secara politik kepada kepentingan monopoli perdagangan bangsa Eropa.
Pengalihan sebagian besar jemaat-jemaat Katolik di Nusantara ke Protestantisme di tangan VOC pada abad ke-17 tidak membawa perubahan yang bermakna dalam mengakarkan dan menghidupkan Injil. Walaupun VoC lebih cepat berkembang menjadi kekuasaan yang melampaui benteng-benteng saja, juga tetap menjadi suatu pemerintah asing. Pada masa itu pula menjadi nyata bahwa kepentingan politik dan perdagangan memojokkan kewajiban VOC memelihara kehidupan gereja.
Setelah keruntuhan VOC, penanganan kekristenan di Indonesia oleh pihak pemerintah pemerintah Belanda hanya berubah dalam bentuk pelembagaan gereja Protestan, sebagai gereja negeri. Perkembangan yang bermakna adalah masuknya badan-badan pekabaran Injil pada abad ke-19, yang berusaha mengkristenkan suku-suku terpencil, dan juga mengambil alih sebagian tanggungjawab pelayanan Gereja Protestan di wilayah Indonesia bagian Timur.
Berbagai faktor, antara lain penunjukan pemerintah untuk bekerja di daerah-daerah yang relatif terpencil dan masih mengannut agama sukunya, memberi peluang kepada badan-badan itu untuk juga menjadiagents of modernization. Melalui pelayanan di bidang-bidang pendidikan, kesehatna dan sosial, dalam rangka pemberitaan Injil, wawasan dunia yang baru diretaskan ke dalam kehidupan suku-suku terpencil yang lama tertutup dalam dunianya sendiri. Dengan itu kekristenan memberikan suatu wawasan baru mengenai sejarah, dunia, kehidupan dan masa depan.
Tetapi kekristenan di Indonesia pada abad ke-19 juga belum mengembangkan suatu sikap kritis terhadap kenyataa sosial dan politik kolonialisme. Kehadiran pemerintah kolonial seolah-olah suatu bagian normal dari kehidupan yang lebih maju dan moderen itu. Sering pula timbul pandangan baha kenyataan kolonialisme itu berada di luar wilayah agama. Masalah-masalah sosial, politik, ekonomi dan sebagainya dihisabkan pada “urusan duniawi “, yang tidak kena mengena dengan ibadah, moralitas pribdi atau keselamatan jiwa. Sebab itu agama Kristen tidak menjadi wahana pengungkapan kegelisahan sosial masyarakat.
Sikap kritis kepada pemerintah kolonial dari pihak gereja, khususnya Zending, juga dilemahkan oleh faktor dari luar. Pembatasan-pembatasan pemerintah, demi rust en orde, dan ketergantungan “nasib” pekerjaan penginjilan di tangan pemerintah, sesuai yang tertuang dalam Art. 123 RR tahun 1854 (kemudian dalam Art. 177 IS 1925), melemahkan daya kritis Zending terhadap pemerintah. Di lain pihak, peran pemerintah dalam mengawasi dan menerbitkan keamanan serta menyiapkan prasarana perhubungan di daerah-daerah terpencil (Tanah Batak, Toraja, Poso) diperlukan sebagai dukungan tak langsung bagi pekerjaan Zending.

Pada masa politik Etis, ada dukungan politik terhadap pekabaran Injil, khususnya di bawah Idenburg. Kenyataan itu tidak dapat dan tidak perlu diingkari. Tetapi dapat dijelaskan bahwa apa yang disebut sebagai Kersteningspolitiek masa itu ternyata bukan dukungan terhadap Zending, melainkan sebaliknya, sama seperti pada masa awalnya di Indonesia, agama Kristen diperalat bagi kepentingan politik, yakni untuk melawan pengaruh agama Islam. Dalam hal ini justu kekristenan Indonesia dirugikan, yaitu dipermusuhkan dengan pihak Islam, dan dampak negatifnya sampai kini belum teratasi sepenuhnya. Dapat pula dinyatakan bahwa ketampilan Islam di panggung pergerakan nasional “ditunjang” pula olehKersteningspolitiek tersebut. Kemunculan Muhammadiyah, misalnya, sebagian merupakan reaksi terhadap politik tersebut. Dalam prakteknya, pekabaran Injil tidak dimajukan oleh dukungan langsung pemerintah. Pertambahan jumlah orang Kristen pada beberapa dasa warsa terakhir pemeritahan kolonial, misalnya di Tanah Batak dan Sulawesi Tengah, merupakan buah-buah ketekunan dan kerja keras para pekabar Injil selama belasan bahkan puluhan tahun sebelumnya.
2. Perwalian untuk Masa Depan Bersama?
Politik etis kolonial menjadi faktor penting bagi bangkitnya nasionalisme Indonesia. Perluasan pendidikan dan kemudian pembentukan Volkraad, turut mendorong kalangan Kristen untuk menentukan sikap terhadap gagasan-gagasan masa depan Indonesia. Kebangkitan nasional merupakan suatu proses dengan percepatan yang berbeda pada tiap golongan. Pada tahap awal, dalam bentuk gerakan sosial, kebudayaan dan ekonomi, kalangan Kristen Indonesia melalui berbagai organisasi “masyarakat Kristen” turut memperjuangkan kemajuan bagi kelompoknya. Dalam hal ini juga segi agama (Kristen) belum memainkan peran yang penting. Faktor kesukuan (atau kedaerahan)mendominasi pengelompokan di kalangan orang-orang Maluku dan Minahasa di Jawa, yang pada masa itu menganut agama Kristen. Faktor kesukuan ini pula yang menentukan sikap politik kebanyakan orang Kristen dalam pergerakan nasional, ketika pergerakan itu telah beranjak ke tingkat politik – ideologis.
Dalam kerangka politik kolonial yang memberi kesempatan kepada penduduk Indonesia untuk turutmenangani urusan pemerintahan melalui pembentukan Volksraad (1918), perlahan-lahan muncul suatu kesadaran politik Kristen. Pembentukan Christelijk Etische Partij (CEP, kemudian menjadi CSP) pada tahun 1917 dapat dilihat sebagai penyadaran pihak Kristen untuk turut berpolitik: lamabat-laun orientasi kesukuan atau kedaerahan dialihkan (atau digabungkan) dengan oriwntasi kekristenan dalam pergerakan nasional. Tetapi kendala utama dalam proses ini adalah sifat konservatif CEP/CSP, yang membebek pada gagasan perwalian pemerintah kolonial. Kekecewan bertambah kemudian, ketika CEP, patron politik Kristen pribumi yang didominasi orang Kristen Eropa itu, mangkhianati sekutu pribuminya dengan menolak gagasan Inlandsche meerderheid dan kemudian juga menolak Petisi Soetardjo dalam Volksraad. Partai Kaoem Masehi Indonesia (PKMI), yang dibentuk ,pada tahun 1930 sebagai partai Kristen nasional, gagal karena tidak menampung aspirasi yang progresif para aktivis nasionalis Kristen dan karena dihempangoleh kuatnya ikatan-ikatan kesukuan atau kedaerahan.
Gagasan politik yang diketengahkan oleh para “politikus Kristen” dalam partai-partai Kristen masa pergerakan memperlihatkan beberapa kenyataan. Pertama-tama, sesuai hakikat suatu partai politik agama, tekanan teokrasi sangat menonjol,m yang disini diartikan sebagai usaha memperjuangkan supaya prinsip-prinsip Kristen diberlakukan pda semua bidang kehidupan negara dan masyarakat (tetapi bukan pembentukan negara atau pemerintahan Kristen).
Sumbangan penting yang diungkapkan dalam prinsip teokrasi ini adalah pembumian iman Kristen sehingga menyentuh soal-soal sosial dan politik yang pada periode sebelumnya dianggap berada di luar urusan agama. Tetapi prinsip itu belum dikembangkan secara penuh, belum merupakan partisipasi kritis Kristen dalam masalah-masalah sosial politik.
Sikap kolot tersebut berkaitan dengan tekanan lain dalam pemikiran politik partai-partai Kristen masa itu, yakni kesetiaan kepada pemerintah berdasarkan pemahaman atas teks Alkitab bhawa pemerintah adalah hamba Allah, atau bahwa kekuasaan pemerintah berasal dari Allah (Rm. 13: 1-7, Yo 19:11). Dalam pandangan yang didasarkan pada penafsiran yang sempit pada Kitab Suci ini justru  diabaikan pokok penting, yakni sikap politik kritis terhadap hubungan kolonial. Baik CEP maupun PKC dan PKMI, jelas-jelas mendukung pemerintah kolonial dan menaruh harapan pada fungsi perwaliannya membimbing bangsa Indonesia ke masa depan. Slogan nasionalis Indië los van Nederland dianggap gegabah atau tidak realistis.
Bagaiman menjelaskan loyalitas para politisi Kristen terhadap pemerintah kolonial ini? Selain pemahaman sempit atas nasihat Rasul Paulus dalam Romapasal 13 dan atas sabda Yesus terhadap Pilatus dalam Yohanes 19 itu, bahwa pemerintah adalah pemegang mandat kekuasaan dari Tuhan Allah, mereka juga memandang pergerakan nasional sebagai gerakan radikal pihak Islam dan pihak Komunis, yang merupakan “musuh-musuh” pihak Kristen.2 Maka pemihakan pada pemerintahan kolonial berkaitan pula dengan kenyataan minoritas pihak Kristen, yakni berlindung dari tekanan golongan-golongan yang besar. Hal ini menjelaskan pandangan politik Kristen selanjutnya, yakni yang sangat menekankan kebebasan beragama.3 Sikap yang sama tampak dalam penolakan beberapa organisasi masyarakat Kristen menggabung dalam PPPKI pada akhir rahun 1920-an, yang berkaitan dengan keanggotan partai yang tidak netral agama dalam federasi itu4 Penjelasan lain terdaspat dalam kenyataan bahwa sikap politik Kristen di Indonesia dikembangkan mula-mula dalam lingkungan dan didominasi oleh pihak Belanda (CEP), yang konservatif.
Para aktivis politik Kristen yang siuman terhadap pergerakan nasional memilih meninggalkan politik Kristen lalu menggabung dengan para aktivis “nasional sekuler”. Demikianlah Dr. Ratu Langie secara sadar memilih bergiat dalam kelompok Kebangsaan, bukanlah dalam lingkungan pengaruh partai Kristen. Tidak seperti yang banyak dilakukan politisi Kristen kemudian, Ratu Langie tidak memilih suatu kelompok non-Kristen untuk menjalankan panggilan Kristennya, melainkan “meninggalkan politik Kristen” dalam arti sikap politiknya tidak bertolak dari wawasan kekristenan. Model keterlibatan politik para polotisi Kristen di luar organisasi politik Kristen merupakan pendekatan lain, yang disarankan antara lain oleh Amir Sjarifuddin.
3. Wawasan Baru Generasi Baru
Amir Sjarifuddin dan angkatannya tergolong generasi kedua dalam pergerakan nasional (Angkatan 28, yang disebut Abu Hanifah “The Angry Young Men of 1928”), yang juga merupakan generasi baru dalam perpolitikan Kristen. Generasi ini juga tergolong baru dari segi visi mengenai kaitan kekristenan dengan pergerakan nasional Indonesia. Berbeda dengan generasi Moelia atau Ratu Langie, mereka memperhubungkan iman Kristen dengan sikap nasionalisme melalui pendekatan oikumenis.5 Dalam hubungan itu, peranan para pengasuh mereka, seperti Dr. C.L. van Doorn, Mr. J.M.J Schepper patut dicatat. Demikian pula organisasi-organisasi seperti Vio-NCSV, CSV op Java, atau Komisi Pemuda NIZB dan organisasi-organisasi pemuda dan mahasiswa serta wanita lainnya.
Tokoh-tokoh pengasuh para pemuda dan mahasiswa Kristen pada tahun 1920-an  dan 30-an tersebut sama berlatar belakang gerakan mahasiswa Kristen sedunia, yang walaupun secara teologis tergolong eksklusif, dapat menanggapi pergerakan nasional secara relatif progresif.6 Walaupun bukan yang pertama, Kraemer dapat dianggap juru bicara utama dalam penyadaran gereja dan Zending terhadap pergerakan nasional Indonesia. Dan khusus terhadap pembinaan para pemuda, ”dwisila Bandung”nya7 terbukti berhasil dalam pembinaan dan mahasiswa Kristen bervisi baru tersebut. Van Doorn, Schuurman dna Schepper dan para pembina lainnya mempersiapkan generasi muda Kristen Indonesia dengan pandangan-pandangan yang progresif terhadap nasionalisme.
Dalam kebangkitan generasi muda Kristen berwawasan baru itu pentinglah mencatat beberapa faktor penentu. Pertama, adanya para pembina yang berwawasn progresif, yang mengenal secara baik prinsip-prinsip iman Kristen dan memahami secara mendalam berbagai masalah sosial-politik yang berkembang dalam masyarakat, dan yang commited terhadap panggilan pembinaan. Terutama pasangan suami isteri van Doorn-Sinjders merupakan tokoh-tokoh panutan. Kedua, adanya jarignan pelayanan yang luas dan terkoordinasi dalam satu wawasan dan kerjasama dengan rekan-rekan sejabat. Ketiga, adanya pusat-pusat pertemuan dengan program berkala terencana dengan baik. Peran Student Centre seperti ClubhuisKebon Sirih 44 sangat penting dengan sarana pendukungnya (ruang pertemuan, perpustakaan dst). Akhirnya, sifat yang oikumenis dan kebebasan dari ikatan dengan lembaga gereja tertentu. Sifat ekstra-gereja dan interdenominasi organisasi-organisasi pelayanan pemuda dan mahasiswa asuhan van Doorn dan kawan-kawan mendukung perluasan wawasan melalui pergaulan dengan sesama anggota dari latar belakang yang berbeda.
Sikap nasionalis generasi muda tersebut merupakan bagian dari visi oikumenis yang berkembang dalam lingkungan mahasiswa Kristen sedunia. Dalam bentuknya dikalangan pergerakan mahasiswa, visi oikumenis mempertemukan beberapa gagasan sekaligus: kesungguhan menjalani iman Kristen, perhatian pada masalah-masalah sosial-politik nasional dan internasional, serta pengembangan kerjasama antara orang Kristen yang berbeda aliran. Jadi, visi oikumenis bukan sekadar membawa kepada pembebasan dari batas-batas denominasi gerejanya. Lebih luas dan dalam lagi adalah menjadi pembebasan dari kekristenan yang membatasi diri dalam dunia rohani, pembebasan dari batas-batas nasionalisme yang sempit dan radiakl, tetapi juga pembebasan dari sikap masa bodoh terhadap kenyataan sosial-politik yang dihadapi bangsanya. Titik tolaknya adalah menjadikan kekristenan sebagai kewargaan Kerajaan Allah. Dalam kewargaan ini kesetian kepada kehendak Allah menentukan dan melampaui kesetian terhdap bangsa. Dan bakti kepada masyarakat, bangsa dan negara dilakukan dalam rangka menegakkan kehendak Allah di dalam kehidupan nasional. Di bidang politik, prinsip ini mengarahkan para politisi Kristen pada gagasan teokrasi.
Konferendi WSCF pada tahun 1993 di Citeureup mengungkapkan prinsip-prinsip dasar sikap oikumenis yang diperkembangkan dalam gerakan mahasiswa Kristen sedunia ini. Dalam konferensi itu menjadi nyata kedalaman visi oikumenis mereka. Maka dapat dibayangkan bahwa kegiatan-kegiatan dalam gerakan mahasiswa Kristen masa itu, misalnya di Clubhuis. Organisasi 44, lebih dari sekadar “ceramah-ceramah rohani” atau penelaahan Alkitab yang dangkal. Bijbelkring merupakan pendalaman ajaran Alkitab dalam kaitan dengan kenyataan-kenyataan aktual masyarakat dengan sikap keterlibatan. Komitmen mereka dalam kehidupan gereja dan masyarakat, misalnya, dengan mengambil bagian dalam organisasi-organisasi pergerakan nasional mewujudkan ideal yang dalam kalangan mahasiswa Kristen Indonesia menjadi slogan “tinggi iman, tinggi ilmu dan tinggi pengabdian”.
Salah saatu ciri penting dalam kalangan pergerakan mahasiswa Kristen masa itu adalah pandangan teologi yang eksklusif. Pandangan ini memperlebar jarak dengan pihak Islam, yang akar-akarnya berasal dari permusuhan dalam sejarahh Eropa dan kemudian dari politik kolonial. Dengan kata lain, dalam visi oikumenis dan eksklusivisme agama. Disamping faktor kesejahteraan lainnya, mentalitas eksklusif itu menggiring pihak Kristen ke suatu blok politik tersendiri. Pada satu pihak sikap ini memperkuat solidaritas dan identits orang Kristen di Indonesia, tetapi pada segi lain, turut menghambat kerukunan antar umat beragama dalam Indonesia merdeka.
Sumbangan penting bagi kelahiran generasi berwawasan oikumenis juga datang dari pendidikna teologi. Sekali lagi Kraemer dan Schuurman bersama tokoh-tokoh lain, seperti Müller-Krügerdan kemudian Rasker tampil sebagai penganjur-penganjur di bidang ini. CSV op Java dan pembinaan pemuda mempersiapkan intelegensia Kristen sebagai kader-kader Kristen di bidang politik, sedangkan pendidikan teologi khususnya HTS, malahirkan kader-kader pemimpin gereja. Dengan demikian maka menjelang Indonesia merdeka pihak Kristen sempat memperoleh kader-kader yang – walaupun bilangannya tak seberapa – sangat bermakna bagi panggilan kekristenan dalam Indonesia merdeka.
4. Partisipasi Teokratis
Dalam kenyataan sejarahnya, generasi muda yang dibicarakan di atas pada umumnya tertuju ke dalam dunia politik dalam suatu situasi baru, yakni ketika kemerdekaan Indonesia telah diproklamirkan. Dalam kenyataan itu mereka berhadapan dengan masalah-masalah konsolidasi intern Indonesia merdeka dan konfrontasi dengan pihak Belanda yang mengklaim Indonesia sebagi jajahannya. Jika dibandingkan dengan generasi Kristen itu tidak banyak berbeda. Tekanan pada kecenderungan teokrasi, loyalitas pada pemerintah yang berkuasa atau alert terhadap golongan-golongan non-Kristen sama mewarnai pandangan politik mereka. Dengan kata lain, terdapat kesinambungan dalam prinsip-prinsip politik Kristen sebelum dan sesidah perang.
Tetapi perbedaan sikap terhadap kemerdekaan Indonesia juga menandai adanya suatu discontinuity. Jika diperhubungkan dengan visi oikumenis generasi baru, maka dukungan terhadap kemerdekaan bangsanya lahir dari pandangan yang sama sekali baru mengenai sejarah dan kemanusiaan. Intinya adalah hak setiap bangsa untuk memperkembangkan kehidupan kebangsaannya masing-masing dalam kemerdekaan demi kesejahteraan umat manusia seluruhnya. Hanya satu bangsa yang merdeka yang dapat “melayani” kemanusiaan, dan dengan demikian memuliakan Allah. Dalam titik tolak ini terdapa t motif yang lebih dalam, yang berhubungan dengan teokrasi: bagsa dan negara sebagai wahana dalam pelaksanaan kehendak Allah di dalam dunia. Sebab itu pula secara prinipil kekristenan kritis terhadap nasionalisme dan menekankan ketaatan kepada kehendak Allah. Agama di atas kebangsaan.
Kecenderungan teokratis ini, dalamarti pemberlakuan kehendak Allah dalam kehidupan masyarakat, bangsa dan negara, merupakan dasar dari partisipasi Kristen di bidang politik di Indonesia sejak zaman pergerakan. Pandangan-pandangan pribadi ataupun pernyataan organisasi politik Kristen pada zaman pergerakan dan PARKINDO secara resmi pada beberapa tahun pertama kemerdekaan diwarnai oleh kecenderungan ini. Demikian juga pemikiran politk yang berkembang di dalam lingkup gereja, baik di Indonesia bagian Timur (Konferensi Malino, 1947), maupun Gereja Protestan (Sinode Am ke-3 GPI, Bogor, 1948).
Tetapi kecenderungan teokratis ini tidak diperjuangkan dalam bentuk suatu “negara Kristen”. Mlahan pihak Kristen sangat menekankan kebebasan agama8 dan menentanggagasan-gagasannegara Islam atau pendasaaran negara pada keyakinan sesuatu agama (Piagam Jakarta, UUD NIT).9 Kekristenan sudah lama mengalami pencerahan: negara Kristen adalah kenyataan Abad-abad Pertengahan Eropa, yang tidak lagi sesuai dengan perkembangan bina negara (statecraft) modern. 
Dalam kaitan dengan kebebasan agama itu, pihak Kristen juga menekankan demokrasi dan nasionalisme. Program politik dalam negeri PARKINDO pada Kongres ke-1, tahun 1945, menyatakan tekad “meresapkan arti kedaulatan rakjat jang sebenar-benarnja dan seloeas-loeasnja” di samping “mempertebalkan rasa kebangsaan dan memperkokoh rasa persatoean, memberantas rasa kedaerahan”. Demikianlah dalam politik Kristen Indonesia, prinsip teokrasi dipadukan dengan asas-asas kebebasan beragama, nasionalisme dan demokrasi. Pihak Kristen mendukung pemerintah yang mempertahankan asas-asas itu mempertahankan asas-asas itu, sebagaimana yang tertuang dalam UUD 1945.10 Berbeda dengan dukungan terhadap pemerintah kolonial sebelumnya, yang berdasarkan penerimaan gagasan perwalian, dukungan kepada pemerintah Indonesia merdeka berkaitan dengan asas-asas tersebut. Sikap ini “kebetulan” cocok dengan pemahaman Kristen yang umum masa itu terhadap pemerintah (Rm. 13:1-7). Kekuatiran terhadap adanya usaha golongan politik yang menghendaki negara Islam atau yang menentang kebebasan (ber)-agama memperkuat “ketaatan” pihak Kristen kepada pemerintah. 
Sebagai catatan akhir mengenai pokok ini, satu dua hal dapat dikemukakan mengenai gereja dan politik. Menjelang kemerdekaan Indonesia, pihak gereja mulai sadar terhadap panggilan politik Kristen di Indonesia. Tetapi gereja juga sadar mengenai batas-batas dalampanggilan itusupaya greja tidak menjadi kelompok politik. Peran gereja adalah menyatakan kasih, penghakiman dan kehendak Tuhandalam kehidupan nasional. Dalam bingkai itu gereja memberi tuntunan kepada warganya yang menjalankan peran politik, supaya dapat melaksanakannya dalam kesetiaan kepada Tuhan. Maka dalam arti yang dalam dan luas, partai politik Kristen dianggap sebagai salah satu wujud khusus dari pelayanan gereja terhadap dunia. Dalam pengertian ini terungkap salah satu dimensi dari temuan gerakan oikumene, yaitu pelayanan sosial politik gereja.11 
5. Model-model Keterlibatan Kristen 
Sejarah kekristenan dan nasionalisme Indoensia dalam kurun masa pergerakan nasional menampilkan tokoh-tokoh Krisen, baik orang asingmaupun orang Indonesia,yang telah menyumbangkan karya hidupnya bagi kekristenan di Indonesia. Yang hendak dicatat secara singkat dalam evaluasi ini adalah beberapa orang dari mereka yang berperan penting dalam perjumpaan pergerakan nasonalisme dengan kekristenan di Indonesia, untuk melihat model-model keterlibatan orang Kristen dalam bidang  politik. 
Sebagaimana digambarkan dalam studi ini, Dr.T.S.G. Moelia merupakan prototipe dari politikus Kristen Indonesia angkatan pertama. Moelia berakar kuat dalam lingkungan Zending dan sukunya, konservatif dalam sikap politik terhadap kolonialisme. Baru kemudian dia mengisi kemerdekaan Indonesia dengan pelayanan di bidang pendidikan dan kegerejaan. Rekan seangkatannya dan yang juga pernah menjadi anggota Volksraad, Dr.G.S.S.J. Ratu Langie, lebih kritis terhadap nasionalisme, tetapi berorientasi kedaerahan. Tetapi Ratu Langie tidak dapat digolongkan sebagai politikus Kristen, dalam arti pembawa aspirasi politik berdasarkan prinsip-prinsip Kristen secara formal. Baginya, agama tidak perlu dikedepankan dalam percaturan politik, demi kebersamaan dengan pihak lain. Dua tokoh nasionalis lainnya, Mr. A.A. Maramis dan AJ. Patty (yang dikabarkan masuk Islam kemudian) juga memperlihatkna posisi itu. Stokoh lain dari generasi ini, Mr. J. Latuharhary, sama “sekuler” dan kedaerahan seperti Ratu Langie dan Patty, tetapi kemudian (mennurut Yamin) menyuarakan aspirasi pihak Kristendalam PPKI dengan menolak Piagam Jakarta, pembentukan Kementerian Agama, dan bagian-bagian UUD (1945) yang bernuansa Islam. 
Jadi pada tokoh-tokoh ini ditemukan model-model keterlibatan orang Kristen dalam politik: yang berpolitik melalui wadah politik Kristen (Moelia), dan yang tidak bertolak dari pemahaman atau lembaga politik Kristen dan menjalankan politik secara “sekuler” (Ratu Langie, Patty, Maramis, Latuharhary). 
Generasi berikunya diwakili oleh tokoh-tokoh muda yang lebih progresif. Mr. Mir Sjarifuddin menjalankan panggilan politiknya di luar partai Kristen, dan kemudian terjebak dalam kemelut revolusi. Amir dapat dipandang sebagai prototipe dari model yang lainlagi dari keterlibatanorang Kristen dalam bidang politik: politisi Kristen yang bergerak dalam partai politik yang tidak berasas agama Kristen. 
Generasi berikutnya diwakili oleh tokoh-tokoh muda yang lebih progresif. Mr. Amir Sjarifuddin menjalankan panggilan politiknya di luar partai Kristen, dan kemudian terjebak dalam kemelut revolusi. Amir dapat dipandang sebagai prototipe dari model yang lain lagi dari keterlibatan orang Kristen dalam bidang politik: politisi Kristen yang bergerak dalam partai politik yang tidak berasas agama Kristen. 
Berbeda dengan Amir, Dr.J. Leimena tidak menonjol dalam politik masa pergerakan, tetapi sama terbna dalam lingkungan pemuda dan mahasiswa Kristen yang berwawasan nasionalis. Leimena juga berbeda dengan Amir dalam hal pilihan golongan politik. Seperti Moelila, Leimena menemukan tempatnya dalam kelompok politik Krisetne dan kemudian menjadi salah seorang tokoh utamanya. Dalam rentang masa yang dibicarakan dalam studi ini, pemikiran politik Leimena belum menonjol dibandingkan dengan masa kemudian. 
Peran pemikir politik itu dijalankan oleh tokoh politik Kristen lainnya, Ds. B. Probowinoto (dan kemudian Notohamidjojo), yang berlatar belakang pendidikan teologi. Dia tampil sebagai pemimpin dzn pemikir politik yang memberi dasar-dasar utama dalam pembentukan Partai Kristen Indonesia. 
Model-model keterlibatan orang Kristen dalam politik di atas dapat dibedakan atas mereka yang bertolak dari keyakinan atau prinsip-prinsip politik Kriseten dan menjalankannya politiknya di dalam atau di luar partai Kristen, dan mereka yang “meninggalkan” kekristenan dalam berpolitik. Dengan kata lain, tidak setiap tokoh atau aktivis politik yang beragama Kristen otomatis menjadi “wakil” pihak Kristen. 
6. Nasionalisme Gerejawi 
Perhadapan kekristenan dengan nasionalisme Indonesia pada umumnya, dan pergerakan nasional Indonesia pada khususnya, tidak hanya membangkitkan kesadaran dan sikap politik orang Kristen Indonesia. Pengaruh nasionalisme yang lebih luas dan dalam lagi, dan menjadi bingkai dari kesadaran dan sikap politik ini, tampak sebagai faktor penentu dalam penemuan bentuk dan arah gerakan oikumene di Indonesia. 
Nasionalisme dan gerakan oikumene di Indonesia mewujud dalam gerakan pelembagaan jemaat-jemaat Zending menjadi gereja-gereja yang berdiri sendiridan dalam gerakan kesatuan gereja di Indonesia. Kesadaran dan semangat nasionalisme orang Kristen Indonesia mendorong kalangan Zending guntuk mendirikan gereja-gereja yang berdiri sendiri. Semangat dan kesadaran yang sama, dalam kerangka gerakan oikumene, mendorong para pemimpin gereja, termasuk tokoh-tokoh Indonesia, untuk mengupayakan wadah keesaan gereja. 
Dalam gerakan kemandirian gereja, baik berupa pendewasaan jemaat-jemaat Zending maupun reorganisasi Gereja Protestan, peranan pihak Zending atau pemuka-pemuka Kristen Belanda (dalam Gereja Protestan) cukup menonjol, sehingga terdapat kesan bahwa proses ini bergerak dari atas ke bawah. Pemahaman yang lebih cermat menunjukan bahwa pada satu pihak terdapat kesadaran kalangan Zending untuk mendewasakan jemaat-jemaat, sedangkan pada lain pihak, warga jemaat Indonesia menuntut hak mereka untuk mengatur sendiri kehidupan gerejanya. Gerakan-gerakan di kalangan orang Kristen Batak dan di Minahasa memperlihatkan adanya keinginan itu. Tetapi perlu dicatat bahwa perkembangan pekabaran Injil di Indonesia tidak sama pada setiap daerah atau setiap lembaga. Ketika di tempat lain sudah siap untuk mandiri, di tempat-tempat lainnya pekabaran Injil baru mulai dirintis. Yang meonjol adalah kesamaan waktu antara proses kemandiri dengan pergerakan nasional, dan adanya indikasi bahwa pengaruh gagasan-gagasan nasionalisme bergema dalam proses kemandirian gereja-gereja di Indonesia. Dalam proses itu pula gerakan kemandirian gereja sejajar dengan emansipasi politik dalam pergerakan nasional (mencapai Indonesia merdeka), sedangkan gerakan keesaan gereja sejajar pula dengan perjuangan mencapai kesatuan dan persatuan nasional. 
Tetapi kesejajaran itu tidak benar-benar sama, seolah-olah perjuangan kemerdekaan nasional dalam pergerakan politik diterjemahkan ke dalam gereja menjadi perjuangan kemandirian dan keesaan. Walaupun gagasan-gagasannya tampak sejajar, misalnya kemerdekaan dan kemandirian atau perwalian dengan guru kandiwasan serta kesatuan dengan keesaan, tetap ada perbedaan yang mendasar antara pergerakan nasional sebagai pergerakan politik (karena itu dijalankan dengan berbagai sarana dan cara politik) dengan gerakan kemandirian gereja kemandirian gereja sebagai gerakan gerejawi dengan cara, sarana dan kaidah-kaidahnya sendiri. Misalnya, tetap ada ikatan antara gereja-gereja di Indonesi dengan gereja-gereja “induk” (kemudian menjadi mitra), sesuai hakikat katolisitas Gereja. Dalam hubungan itu,Kwitang-structuur dan Kwitang-accord merupakan model hubungan gerejawi. 
Salah satu faktor penting dalam gerakan kemandirian gereja adalah pengadaan dan pembinaan tenaga-tenaga pelayan Indonesia. Sejalan dengan kebutuhan itu, diselenggarakan pendidikan teologi di berbagai tempat dan kemudian HTS (1934) sebagai puncaknya. Walaupun kehadiran lembaga pendidikan teologi tinggi ini seolah-olah terlambat dan dengan jumlah lulusannya sampai pendudukan Jepang hanya beberapa puluh orang. HTS berfungsi menentukan dalam pengalihan kepemimpinan gereja dan dalam pemenuhan kebutuhan staf pengajar di sekolah itu kemudian. Segi penting pendidikan teologi masa itu, di HTS Batavia dan di Bale Wjata Malang, adalah kesinambungan antara segi pengetahuan ilmiah dengan kesiapan praktis untuk menjadi pelayan gereja. Dengan kata lain, dalam pendidikan masa itu mutu para calon pelayanan itu diutamakan.12 
Kemandirian gereja-gereja di Indonesia kebanyakan menampilkan pengelompokan suku di samping pengelompokan denominasi. Pengelompokan suku itu terjadi karena badan-badan pekabaran Injil, antara lain karena pegaturan pemerintah, bekerja di daerah-daerah suku tertentudan kemudian pengorganisasiannya (juga dalam reorganisasi Gereja Protestan) mengikuti kenyataan alamiah tersebut. Kenyataan ini merupakan peluang dan tentangan tersendiri bagi kekristenan Indonesia, terutama di dalam gerakan keesaan gereja. 
Bersama dengan gerakan kemandirian, gerakan keesaan gereja-gereja di Indonesia berlangsung semasa dengan pergerakan nasional Indonesia, khususnya pada tahap ketika pergerakan nasional memasuki pergerakan kesadaran kesebangsan suku-suku bangsa Indonesia. Di dalam gerakan keesaan gereja, ketegangan antara kesukuan (kemandirian gereja suku) dengan kebangsaan (pembentukan gereja yang esa) diperdamaikan dengan pembentukan sebuah dewan gereja-gereja, DGI sebagai suatu sarana mencapai tujuan gerakan. Bagaimana proses selanjutnya, akan ditentukan oleh kenyataan-kenyataan sejarah masanya. Tetapi dengan DGI sudah jelas wawasan nasionalisme dalam kekristenan di Indonesia, bahwa bukan suku masing-masing melainkan bangsa Indonesia seluruhnya yang menjadi konteks kehadiran Gereja Tuhan di Indonesia. Keseluruhan pelaksanaan panggilan gereja, khususnya di bidang pekabaran Injil. Karena itu pula maka peran pihak Zending pada tahap awalnya sangat menonjol. Tetapi karena didesak kenyataan sosial-politik maka terjadi pergeseran13 “segi Belanda” ke “segi Indonesia” (Boland) atau dari pemahaman yang missiocentrisch ke ecclesiocentrisch (Hoekendijk), dan bukan lagi kepentingan Zending yang menentukan, melainkan panggilan gereja keseluruhannya terhadap kenyataan Indonesia sebagai satu bangsa yang merdeka.Pergeseran itu terungkap dalam mtujuan gerakan keesaan gereja-gereja di Indonesia, yakni membentuk Gereja Kristen yang esa di Indonesia.14 Pergeseran ini pula menandai makin kuatnya kesadaran nasionalisme dalam gerakan keesaan tersebut, bahwa gereja-gereja di Indonesi a dipanggil menjadi satu gereja Kristus dari dan untuk bangsa Indonesia. 
Unsur-unsur nasionalisme dalam gerakan oikumene di Indonesia cukup menentukan sehingga dapat dinyatakan bahwa jawaban kekristenan terhadap nasionalisme Indonesia terungkap dalam gerakan oikumene itu, disamping dalam bentuk sikap nasionalisme politik Kristen. Jawaban itu terungkap dalam pergeseran kepemimpinan gereja dari pihak Zending kepada pihak Indonesia, dan dalam cita-cita pembentukan gereja yang esa di Indonesia. Pada dasar pengungkapan-pengungkapan ini dapat ditemukan kenyataan bahwa gereja-gereja di Indonesia menunaikan penggilannya dengan menjadi Gereja Indonesia dalam serba kepelbagaiannya. Dengan kata lain, transformasi nasionalisme di dalam gereja di Indonesia mengarahkan kekristenan pada konteksnya. Akan sangat bermanfaat jika dilakukan suatu kajian tersendiri mengenai perkembangan lanjut proses kotekstualisasi itu dalam alam Indonesia merdeka sampai kini.


1 Neil ,mengutip tujuan Ordo Yesuit: “to hasten the conversation of the heathen”. Stephen Neill, A History of Christian Missions (Penguin Books, R1973), hlm. 180.
2 Kebangketan Sarekat Islam sebagai gerakan massa, khususnya di pulau Jawa, sempat menggoncangkan masyarakat Eropa, dan pemogokan-pemogokan kaum buruh radikal pada awal tahun 1920-an serta pemberontakan PKI pada tahun 1926/1927 memberi citra buruk pergerakan nasional di mata para pendamba keamanan dan ketertiban. 
3 Melihat perkembangan pemikiran politik Kristen dalam Indonesia merdeka, cukup beralasan untuk menyatakan bahwa para politisi Kristen mengidap “minority complex”. 
4 Mungkin pula dapat dikemukakan bahwa sikap pro pemerintah para aktivis politik Kristen berkaitan dengan kedudukan sebagai pekerja (pegawi, tentara) pemerintah. Para pemuka nasionalis umumnya bekerja di luar ketergantungan kepada pemerintah: pengacara, wartawan, pengusaha dst. 
5 Peberdaan visi dan ideologi seperti ini di kalangan umat Islam di Indonesia menimbulkan konflik antara “kaum tua” dan “kaum muda”. Konflik seperti itu tidak berlangsung dalam kalangan Kristen. Memasuki Indonesia merdeak, kedua golongan bersatu dalam PARKINDO. 
6 Eksklusif di bidang pemikiran teologi di sini dimaksudkan pandangan yang memperhadapkan iman Kristen sebagai kebenaran tunggal, sebagaimana terungkap dalam pandangan the uniqueness and finality of Jesus Christ dari Kraemer dan Visser’t Hooft. Sikap ini menutup pintu bagi dialog dan perjumpaan yang dinamis dengan para penganut agama lain. 
7 Yang dimaksud “dwisila Bandung” kraemer adalah pola pembinaan pemuda Kristen dengan dua pendekatan, sebagaimana yang dicetuskannya pada koferensi pemuda Kristen di Bandung pada tahun 1926: “Memperhubungkan semua golongan pemuda Kristen tanpa pengecualian, dan membentuk suatu perhimpunan penuda Kristen supaya sebagai orang Kristen dapat melayani negeri dan bangsanya sendiri melalui suatu organisasi tersendiri”.
8 Dalam kerangka iman Kristen, kebebasan beragama merupakan prasyarat bagi kedewasaan manusia memilih dan memperkembangkan nilai-nilai dasar kehidupan yang diyakininya. Pembatasan terhadap kebebasan itu, apapun dasarnya, mengurangi hak dan martabat manusia. Kebebasan agama memungkinkan suatu pertobatna sejati, di mana orang secara pribadi dan dalam kebebasan menjawab sabda Tuhan. 
9 Dalam pancasila sebagai dasar negara Republik Indonesia, rumusan sial pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa, bukanlah pernyataan bahwa negara Indonesia berdasar agama. Pemahaman rumusan ini perlu memprehatikan sejarah penemuan, penyusunan dan penetapan Pancasila sebagai dasar negara Indonesia. Rumusan ini merupakan penolakan sekaligus pada suatu negara sekuler dan pada suatu negara agama (Islam). Penolakan Moelia terhadap “dasar keagamaan” dalam UUD agaknya berhubungan dengan kemungkinan dasar itumenjadi peluang bagi pembentukan negara agama. 
10 Asas-asas kebebasan beragama, nasionalisme dan demokrasi dalam UUD 1945 terkandung dalam Pembukaan (alinea ke-4, yakni Pancasila) dan dalma batang tubuh (kebebasan beragama: pasal 29; nasionalisme: pasal 1; dan demokrasi: pasa1:2, pasal 26-28). 
11 Dapat dicatat bahwa dalam kalangan Kristen di Belanda sesudah Perang Dunia II timbul penolakan terhadap partai konfesional (gerakan “Doorbraak”). Tetapi di Indonesia, pada masa dmeokrasi liberal (tahun 1950-an) hubungan antara gereja-gereja dengan PARKINDO cukup erat. Lihat PARKINDO” dan Gereja-gereja di Indonesia (DGI)” dalam J.C.T. Simorangkir, Manuscript Sejarah Parkindo (Jakarta: Yayasan Komunikasi, 1989), hlm. 310 dyb; lihat juga Th. Sumartana, “Beberapa persoalan dan Gagasan tentang “Gereja dan Masyarakat” sekitar Tahun-tahun 1950-an”, dalam S.Wismoady Wahono dkk (eds), Tabah Melangkah (Jakarta: STT Jakarta, 1984), hlm. 135-159.
12 Berbeda dengan sistem pendidikan teologi yang banyak dijalankan sekarang, pada masa itu HTS (dan Bale Wyata) menghasilkan pelayan yang “sudah jadi”, bahkan diurapi sebelum diserahkan kepada gereja pengutusny. Segi-segi yang kini dalam lingkungan PERSETIA dikenal sebagai academic Formation, practical formation, and spiritul formation telah dijalankan dengan relatif sukses pada thaun 1930-an itu. 
13 Dengan sengaja dipakai kata “pergeseran”, bukan “peralihan”, untuk menghindarkan kesan mekaistik dalam proses perubahan tersebut. 
14 Diskusi mengenai “gereja yang esa” dalam sejarah DGI merupakan suatu gagasan yang masih terus diperkembangkan. Tetapi cukup jelas bahwa dalam proses pembetnukannya terdapat pandangan-pandangan yang menghendaki “federasi” gereja-gereja (keesaan jeruk atau anggur) atau satu gereja secara nasional (keesaan mangga).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar