Pemikiran Politik Kristen Indonesia
BAB IV
PEMIKIRAN
POLITIK KRISTEN INDONESIA
4.1 Karang Pandan 1941:
Amir Sjarifuddin
Dalam kalangan orang Kristen di
Indonesia, juga dalam kalangan Zending, terdapat kalangan yang mendukung
pergerakan nasional Indonesia. Telah disebutkan peran ZB.M. H. Kraemer sebagai
pelopor dalam usaha pihak Zending untuk memahami dan menghadapi pergerakan
nasonal Indonesia secara tepat. Juga telah diuraikan bangkitnya generasi muda
Kristen Indonesia terpelajar yang memperhubungkan kekristenan dengan
nasionalisme. Pada latar belakang inilah dapat ditempatkan
konferensi-konferensi NIZB sejak tahun 1930-an, yang menghimpun para pekabar
Injil dari berbagai lembaga dan daerah penginjilan di Indonesia dan tokoh-tokoh
dari lembaga yang terkait, seperti Zendingconsulaat dan NBG, dan orang-orang
Kristen Indonesia yang aktif dalam kegiatan gereja dan zending (seperti Moelia
dan Leimena). Puncaknya adalah konferensi NIZB terakhir, yang berlangsung di
Karang Pandan, dekat Solo.
Konferensi NISB tersebut, yang
berlangsung pada tanggal 21-24 Oktober 1941, bermakna khusus dalam kaitan
dengan sikap orang kristen terhadap politik pada umumnya dan pergerakan
nasional Indonesia pada khususnya. Pada konferensi itu dibicarakan panggilan
Gereja di bidang poltik, dengan pengantar yang disampaikan oleh Mr. Soewidji.
Pada kesempatan itu hadir antara lain Mr. Amir Sjarifuddin dan J.
Verkuyl.
Soewidji, seorang ahli hukum
darigereja Jawa Tengah lulusan Vrije Universiteit Amsterdam, menyampaikan
ceramahnya dengan judul “De roeping der Kerken op politiek terrein” (=panggila
Gereja-Gereja di bidang politik).1 Ceramah
Soewidji mengungkapkan hal-hal berikut:
(1) Zending terlalu sedikit
membangkitkan kesadaran politik dalam kalangan Kristen pribuk, dan hal itu
disesali para nasionalis. (2) Makin bertambahnya kebutuhan prinsipil dan
praktis gereja-gereja Indonesia membuktikan bahwa gereja harus memberikan suatu
pedoman orang-orang Kristen Indonesia dalam kegitan berpolitik. (3) Terutama
perlu kesadaran mengenai hubungan Belanda-Hindia, yang bukan lagi hubungan wali
dan murid, melainkan kini terasa seperti hubungan kawin paksa. Dalam kaitan itu
diperlukan prinsip-prinsip dasar kesetaraan dan kesamaan hak bagi Hindia dalam
keseluruhan Kerajaan Belanda. (4) Politik Kristen juga sadar akan hubungan
internasional dan akan kedudukan hukum berbagai kelompok penduduk di Nusantara.
(5) Munculnya partai-parta Kristen Indonesia dalam pergerakan nasionaladalah
keliru, mengingat dalam banyak hal tidak ada kesepakatan, dan karena dalam
banyak bidang terbuka kemungkinan kerjasama dengan pergerakan-pergerakan
nasionalistis.
Diskusi setelah penyajian makalah,
yang dilaporkan sebagai een zeer interesante discussie (suatu
diskusi yang sangat menarik), dimulai oleh Amir Sjaifuddin (1905-1948), salah
seorang tokoh muda terkemuka dalam pergerakan nasional, lulusan Sekolah Tinngi
Hukum (RHS) dan anggota CSV op Java.2 Amir
mengajukan lima pokok pekiran dan permasalahan:
(1) Dalam pertabrakan Timur dan
Barat ternyata Timur tidak hancur, melainkan semakin kuat dengan munculnya
gerakan-gerakan yang megungkapkan kekuatan-kekuatan sekuler. Bagaimana memberi
suatu latar belakang transenden (‘n eeuwig heidsachtergrond)
terhadap gereakan-gerakan itu. (2) Pentingnya suatu peran Kristen dalam
pergerakan nasional yang mengandung berbagai pertanyaan yang jawabannya tidak
diberikan oleh Gereja:
Dalam tujuan politiknya orang-orang
Kristen harus berdiri di samping orang-orang Islam dan para nasionalis lainnya.
Mereka harus hidup dari visi dan ideologinya sendiri. Sebagai orang Kristen
kita tidak boleh berdiam diri, kita harus menuntut tempat kita yang
sah. Bagaimana ideologi kita ini dirumuskan? Bagaimana tempat kita ini
ditentukan? Di mana letak kekhasan visi kristen?3
(2) Seruan kepada oudere
Kerken untuk bekerjasama memecahkan masalah-masalah yang ada dan yang
akan muncul dalam kehidupan di Indonesia sehingga dari pengalaman Gereja
Kristen petunjuk diberikan menyangkut soal-soal seperti kebebasan hatinurani,
demokrasi yang murni dan yang semu, masalah-masalah sosial seperti pealyanan
anak-anak. (4) Seruan kepada gereja-gereja muda yang juga harus bekerja di
dalam kenyataan dunia Timur. (5) Menyangkut pilihan apakah akan membentuk
partai Kristen tersendiri ataukah dengan berusaha memberi pengaruh dalam pergerakan
nasional yang ad, pembicara belum mempunyai jawaban, namun bersedia membantu
jika dibutuhkan.4
Pembicara-pembicara selanjutnya,
yang semuanya orang Belanda, memberi perhatian utama dan dorongan pada
pembentukan partai politik Kristen Indonesia itu. Dalam catatan-catatan penutup
diskusi Ds. Verkuyl mengemukakan beberapa pandangan dan himbauan:
(1) bahwa politik bagi orang-orang
Kristen Indonesia pada masa kini bukanlah hobby, bukan kemewahan, bukan
keasyika yang aneh, melainkan suatu tututan ketaatan bagi Kepala Gereja. Karena
itu dia mendukung seruan Amir Sjarifuddin kepada gereja-gereja tua dan yang
muda. (2) Memohon supaya pendeta-pendeta yang senior memberi penjelasan
prinsipil berdasarkan Alkitab dan sejarah mengenai masalah-masalah politik. (3)
Menilai penjelasan-penjelasan CSP terlalu sepihak menekankan soal-soal hubungan
pemerintah dan rakyat. Menurut pertimbangan Verkuyl, perlu juga penekanan pada
masalahekonomi dan sosial, yang dalam kenyataannya lebih penting daripada soal
kekuasaan. (4) Verkuyl menjawab Amir, mengenai partai politik Kristen, bahwa
dalam semua pembentukan kelompok Kristen ada bahaya oleh ketertutupan yang
memencilkan, yaitu bahaya terputusnya ikatan dengan masyarakat. Tetapi juga
pemimpin-pemimpin besar Kristen mengatasi bahaya itu melalui pembentukan partai
Kristen karena desakan keadaan pada waktunya. Para pemimpin itu adalah
orang-orang yang melihat Allah muka dengan muka, yang tahu apa yang mereka
harus lakukan pada saat penentuan.5
Pemikiran-pemikiran yang dikemukakan
dalam ceramah dan diskusi pada tanggal 23 Oktober 1941 ini dapat ditempatkan
dalam hubungan dengan tiga kenyatan. Pertama, konferensi berlangsung ketika
negeri Belanda sudah diduduki Jerman dan pemerintah Belanda berada dalam
pengungsian di London. Pengungsian itu menandai suatu perubahan dalam politik
internasional, yang diharapkan membawa perubahan terhadap hubungan
kolonial di Indonesia, yakni terwujudnya suatu masa depan baru bagi Indonesia.
Kedua, dalam hubungan itu pihak Kristen Indonesia berusaha untuk turut
menentukan dan mempunyai tempat yang sah dalam masa depan baru Indonesia. Dan
untuk itu pihak Kristen Indonesia berusaha untuk turut menentukan dan mempunyai
tempatnya yang sah dalam masa depan baru Indonesia. Dan untuk itu pihak Kristen
Indonesia harus mempunyai wawasan politik yang kokoh dibangun di atas pemahaman
teologis, yang memerlukan tuntunan dari pihak gereja. CSP dan kelompok-kelompok
politik pribumi pendukungnya (CAV, PKC, PKMI) tidak memberi pemahaman “teologi
politik” sebagaimana yang diharapkan, bahkan disesali oleh sejumlah nasionalis
Kristen bahwa Gereja (dan Zending) juga kurang peduli terhadap kebutuhan itu.
Ketiga, kebangkitan kalangan intelektual muda Kristen Indonesia, seperti Amir
Sjarifuddin dan Leimena, yang lebih siap secara Kristen megambil bagian dalam
pergerakan nasional mewakili pihak Kristen Indonesia.
Kehadiran Amir Sjarifuddin dalam
kalangan Zending pada konferensi itu bukanlah suatu kejutan, mengingat dia
masuk Kriste dalam lingkungan CSV, murid Schepper dan kawan Leimena. Tetapi
kesediannya mendukung suatu partai politik Kristen dapat ditempatkan dalam
perkembangan kegiatan-kegiatan politiknya. Amir berasal dari kalangan pemuda
nasionalis yang mencetuskan Soempah Pemoeda pada tahun 1928
dan membentuk organisasi pemuda nasional, Indonesia Muda dan PPPI, kemudian
masuk ke dalam lingkungan nasionalis radikal dan menjadi pimpinan Partindo
bersama Sukarno, Hatta dan Sjahrir diasingkan dan partai-partai non koperasi
dibubarkan, Amir dan kawan-kawan membentuk Gerindo (Gerakan Rakjat Indonesia),
suatu partai yang progresif dalam masa coöperasi, pada tahun 1937. Lalu bersama
Tahmrin (Parindra) dan Abikusno (PSII), Amir (Gerindo) memimpin Gabungan
Politik Indonesia (GAPI), yang mereka bentuk pada tahun 1939 sebagai gabungan
semua kekuatan nasionalis. Tanggal 10 Juni 1940 Amir ditangkap dengan tuduhan
bergiat bagi golongan Komunis, tetapi segera dilepaskan. Kemudian ditangkap
lagi pada tanggal 20 Juni dan ditahan sampai tanggal 27 Juni. Pilihan untuk
dibuang ke Digul atau bekerja sama dengan pemerintah Belanda memaksa Amir
bekerja dalam Departemen Ekonomi di bawah H.J.van Mook, di mana juga bekerja
Dr. T.S.G. Moeli, pamannya, sejak bulan Oktober 1940.6 Posisinya
dalam GAPI dan Gerindo melorot. Dalam keadaan itulah Amir lebih aktif
memikirkan kegiatan politik Kristen. Setelah perang pasifik meletus (bulan
Desember 1941) Amir menerima tawaran (dan dana) dari pemerintah Belanda untuk
membentuk jaringan perlawanan anti Jepang bila terjadi penyerbuan. Amir sempat
menjalankan tugas itu sambil menjalin hubungan dengan Sukarno, Hatta dan
tokoh-tokoh lainnya, yang atas dorongan Jepang membentuk Putera (Pusat Tenaga
Rakyat). Jaringan perlawanan bawah tanah itu dibongkar Jepang; Amir ditangkap
Jepang; Amir ditangkap pada bulan Januari 1943 dan dipenjarakan sampai bulanOktober
1945 di Malang.7
Selain mengorganisasikan jaringan
anti Jepang (yang berpusat di Surabaya), Amir meneruskan hubungannya dengan
beberapa pemuka Kristen di Jakarta dalam rangka membetuk suatu organisasi umat
Kristen sesuai dengan perintah Jepang. Ketika Rufinus Lumban Tobing ditugaskan
Jepang untuk “menghimpun pendeta-pendeta Kristen di Jakarta” Amir mendorongnya
untuk bersama-sama membentukGerakan Persatoean Kaoem Keristen (GPKK).
Amir menjadi Ketua dan Tobing sebagai wakilnya (Ketua Muda).8 GPKK
(yang kemudian menjadi BPPKK, Badan Persiapan Persatoean Kaoem Keristen)
dapat menghimpun berbagai aliran Gereja (selain Indische Kerk dan Gereja
Katolik) untuk bergabung sambil melakukan pelayanan sosial terhadap
korban-korban perang. Badan ini memperoleh pusat kegiatan di sebuah gedung di
jalan Kramat No.65, atas bantuan Ir. Mananti Siregar dari Dinas Pekerjaan Umum.
Amir memimpin perayaan natal “oikumene” PPKK tahun 1942, yang diselenggarakan di
Garden Hall Cikini Raya, dengan memakai pohon pisang sebagai pohon Natal. Amir
menyampaikan kesaksian Rufinus Tobing, memang sungguh menggugah
perasaan nasionalisme para pendengar, dan oleh renungannya itu Amir ditangkap
dan dijatuhi hukuman mati oleh Kempetai.9
Peran penting Amir dalam kalangan
Kristen Indonesia di jakarta poada masa itu adalah menggalang kalangan Kristen
untuk aktif dalam pergerakan nasional di bidang politik, yang kelak mengambil
bentuk dalam pembentukan partai politik Kristen.10
4.2 Partai Politik Kristen
Indonesia
4.2.1 PKN (Partai
Kristen Nasional)
Gedung pusat kegiatan Kristen di
Jala Kramat No.65, yang kemudian disebut Balai Pertemuan Kristen,11menjadi
tempat bersejarah dalam rangka sambutan pihak Kristen terhadap persiapan dan
proklamasi kemerdekaan bangsa Indonesia. Sesuai keinginan Jepang, BPPKK
berfungsi menghimpun wakil-wakil umat Kristen di Jakarta. Ketika berlangsung
pembicaraan di dalam Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) antara
bulan Mei-Agustus 1945, Mr.A.A. Maramis dan Sartono memperkenalkan rancangan
UUD itu kepada kelompok Kristen di Kramat 65.12 Pemuka-pemuka
Kristen waktu itu berkeberatan terhadap pasal 6 bagian pertama rancangan UUD
itu yang menyatakan bahwa presiden harus orang Indonesia asli dan bergama
Islam:
Dinyatakan oleh hadirin, bahwa
walaupun dalam prakteknya presiden itu mungkin selalu akan seorang (orang) Indonesia
yang beragama Islam, tetapi hal itu tidak perlu disebut dalam Undang-Undang
Dasar, sebab apriori mendiskriminasikan agama-agama lain yang ada di Indonesia.
Siapa saja harus dianggap dapat memangkuk jabatan presiden, tidak tergantung
dari agama yang dipeluknya, asalkan ia mampu membawakan negara dan bangsa
kepada kebahagiaan yang dicita-citakan.13
Di Kramat 65 ini pula para pemuka
Kristen(Protestan dan Katolik) melangsungkan pertwmuan yag dihadairiantara lain
Dr. T.S.G. Moelia, F. Laoh, Ds. B. Probowinoto, Dr. W.Z. Johannes, J.K.
Panggabean, Marjoto dan Abednego serta Suradi dan Hadi dari kalangan Katolik
untuk untuk membicarakan Maklumat Pemerintah tanggal 3 Nopember 1945, yang
memberikan kesempatan kepada masyarakat seluas-luasnya untuk membentuk partai
politik, dengan harapan Pamilihan Umum dapat dilangsungkan pada bulan Januari
1946.14 Rencana
mendirikan suatu partai politik Kristen tampaknya tidak mendapat dukungan luas
kalangan pemuka Kristen Protestan, sedangkan pihak Katolik yang hadir tidak
dapat mengambil bahagian tanpa petunjuk dari pimpinan gerejanya. Probowinoto
menyebutkan tiga jenis penolakan: lebih baik berpoliltik melalui partai-partai
umum, kurangnya kader-kader Kristen, dan karena politik dianggap sesuatu yang
kotor. Mereka yang sepaham, yaitu “kira-kira 25 orang yang sebagian besar
terdiri atas orang-orang kecil yang belum mempunyai pengalaman politik sama
sekali”, mendirikan Partij Keristen Nasional (PKN, kemudian dieja Partai
Keristen Nasional) dengan meminta Dr. W.Z. Johannes menjadi Ketua. Pada salah
satu pertemuan pembentukan itu Pengurus PKN menulis suatu surat terbuka
“memprotes sekereas-kerasnya” penyerbuan Inggris atas kota Surabaya (peristiwa
tanggal 10 Nopember 1945)15
Beberapa minggu kemudian, pada
Kongres I (6-7 Desember 1945), nama Partai Kristen Nasional diubah menjadi
Partai Kristen Indonesia (disingkat PARKINDO). Dan pada tahun 1947 bergabung
suatu partai Kristen dari Sumatera Utara, PARKI.
4.2.2 PARKI (Partai Kristen
Indonesia)
Pada waktu yang hampir bersamaan
dengan pembentukan PKN, orang-orang Kristen di Tapanuli membentuk suatu wadah
politik bernama Partai Politik Kaum Kristen, dipimpin Dr. Jasmen Saragih
bernama Melancthon Siregar (1912-1975), seorang Siregar yang lain, Doran
Damanik, A.M.S. Siahaan dan Turman Siahaan. Sementara itu di Medan
didirikan Partai Politik Masehi Indonesia, yang menghidupkan
kembali Perserikatan Christen Indonesia (PERCHI), suatu partai
yang kurang berkembang pada masa kolonial. Kedua partai politik itu
dipersatukan menjadi Partai Kristen Indonesia (PARKI) dalam
kongres yang berlangsung pada tanggal 6-8 September 1946 di Pematang Siantar.16 PARKI
bertujuan “mempertahankan NRI (Negara Republik Indonesia), membantu pemerintah
mencapai perdamaian dunia dan mengusahakan keadilan”. Partai ini terdiri atas
tiga bagian, yakni Badan Pemuda PARKI, Badan Wanita PARKI dan Badan Perjuangan
Kelaskaran PARKI Divisi Panah (dengan Melancthon Siregar sebagai Panglimanya,
1945-1949). Ketika Dr. Jasmen Saragih terbunuh dalam Revolusi Sosial, tanggal 3
Maret 1946, kepemimpinan partai dipegang oleh Melancthon Siregar.17
Kongres tahun 1846 tersebut
merumuskan beberapa butir pendirian sebagai berikut:
a) PARKI juga berdsasarkan kepada
faham ke-Kristenan menentang segala pendjadjahan;
b) PARKI berpendirian, bahwa N.R.I
adalah rachmat Tuhan kepada bangsa Indonesia dan karena itu tetap
mempertahankan N.R.I jang merdeka 100 persen;
c) PARKI mendesak kepada umat
Kristen seluruh dunia untuk menjokong tuntutan bangsa Indonesia atas pengakuan
kemerdekaannja, selaras dengan kodrat alam dan kehendak Tuhan;
d) PARKI mendesak, supaja Pemerintah
mendjalankan kewadjibannja dengan tepaty dan tjepat untuk membanteras segala
aliran jang meng-halang2-I pemerintahan jang stable;
e) PARKI mendesak kepada pemerintah
supaja didjalankan dengan segera maklumat2 Pemerintah untuk Propinsi Sumatera.18
Kongres di Parapat tanggal 19-20
April 2947 menyetujui peleburan PARKI ke dalam PARKINDO, sesuai kesepakatan
pengurus PARKINDO dengan wakil PARKI yangmenghadiri rapat Komite nasional Pusat
di Malang (yang berlangsung pada tanggal 25 Pebruari – 3 Maret 1947).
Persetujuan peleburan itu disahkan dalam Kongres ke-2 PARKINDO pada bulan April
1947 di Surakarta.
4.2.3 PARKINDO (Partai
Kristen Indonesia)
Kongres PKN, tanggal 6 dan 7
Desember 1945 di Surakarta (kemudian dikenal dengan Kongres ke-1 PARKINDO)
“mendapat sambutan hangat dari umat Kristen, Pemerintah dan masjarakat umum
jang menghadapi kekuatan kolonial Belanda dari negeri jang warganja kebanjakan
beragama Kristen”.19 Pada
kongres ini nama partai diganti menjadi Partai Kristen Indonesia,
disingkat PARKINDO. Kongres dihadiri 60 wakil dari 31 daerah
di Jawa, dan sejumlah peninjau (hari kedua peserta semuanya 154 orang). Tujuan
kongres, seperti yang dikemukakan oleh Ketua Pengurus Besar Sementara Dr. W.Z.
Johannes, adalah:
[…] membitjarakan djalan-djalan jang
haroes ditempoeh oentoek mempertahankan mentjapai tjita-tjita itoe [kemerdekaan
Indoensia], agar dari perbedaan-perbedaan dan matjam-matjam pikiran itoe dapat
ditangkap satoe aliran, jang dapat dipergoenakan sebagai sjarat oentoek
mempertahankan Kemerdekaan Indonesia dengan lahir dan batin.20
Acara pada hari pertama merupakan
upacara pembukaan, yan gberlangsung di SMT Pangreh Pradja, dihadiri 160 orang,
dengan sejumlah pejabat tiggi pemerintah Republik Indonesia.21 Pada
hari kedua berlangsung di gedung gereja Margoyudan, dimulai dengan pemilihan
pengurus baru, di mana terpilih Ds. B. Probowinoto sebagai Ketua. Setelah serah
terima dengan Dr.W.Z.Johannes, Ketua yang baru melengkapi kepengurusannya
(rupanya ditempuh didtem Ketua merangkap formatur tunggal) sehingga akhirnya
Pengurus Besar terbentuk sebagai berikut:
Ketua
: Ds. B. Probowinoto
Wakil Ketua I
: Dr. W.Z. Johannes
Wakil Ketua II
: Dr. R. Soemardi
Penulis
I
: Mr. M. Tamboenan
Pemulis
II
: Marjoto S.
Bendahara
I
: J.K. Panggabean
Bendahara
II
: Mr.S.S. Palengkahu
Acara selanjutnya adalah penjelasan
mengenai tujuan partai oleh Ketua terpilh, Ds. Probowinoto, kemudian
ceramah-ceramah (prae-advies) mengenai ekonomi (J.K. Panggabean), sosial
(Ds. Probowinoto) dan kemasyarakatan (Abednego). Ketiga ceramah mengungkapkan
dorongan dan dukungan kepada pemerintah untuk melakukan tindakan-tindakan
konkret bagi kemajuan dan kesejahteraan rakyat. Dari diskusi atas
ceramah-ceramah itu dirumuskan program politik PARKINDO:
Oesaha politik loear negeri.
Partai Kristen Indonesia (Parkindo)
di Repoeblik Indonesia Merdeka bekerdja bersama-sama dengan partai
partai-partai lain dan pergerakan-pergerakan rakjat seloeroehnja dengan djalan
segala djenis siaran jang tidak bertentangan dengan azas partai oentoek
menoentoet pengakoean kemerdekaan Indonesia oleh doenia Internasional dan
berdjoeang oentoek menolak segala oesaha dari loear dan dalam jang bermaksoed merobohkan
Repoeblik Indonesia jang telah merdeka.
Oesaha politik dalam negeri.
Partai Kristen Indonesia (Parkindo)
di Repoeblik Indonesia Merdeka:
berdaja oepaja dengan
perboeatan-perboeatan jang njata mempertebalkan rasa kebangsaan dan memperkokoh
rasa persatoean, memberantas rasa kedaerahan;
meresapkan arti kedaulatan rakjat
jang sebenar-benarnja dan seloeas-loeasnja dengan berbagai-bagai penjiaran jang
tidak bertentangan dengan azas partai;
mengandjoerkan, soepaja Pemerintah
beroesaha, soepaja tindakan-tindakannja dapat dirasakan dengan njata oleh
Rakjat, bahwa negara Repoeblik Indonesia soenggoeh berdasarkan Kedaoelatan
Rakjat.22
Sidang berlangsung semalaman sampai
jam enam pagi dan berhasil pul;a merumuskan dua pokok mosi dan menetapkan
Anggaran Dasar, sedangkan Anggaran Rumah Tangga dipercayakan perumusannya
kepada Pengurus Besar. Kedua pokok mosi masing-masing megenai dukungan terhadap
Presiden serta Kabinet Sjahrir dan protes keras atas pemboman tentara
pendudukan Inggris di Surabaya, Semarang, Magelang, Bandung, dll.23 Perbedaan
Anggaran Dasar yang dihasilkan dengan konsep yan gdisediakan oleh Pengurus
Sementara secara substansial tidak begitu menonjol, yakni hanya penggantian
nama dari Partai Keristen Nasonal (PKN) menjadi Partai Kristen Indonesia
(PARKINDO), penyempurnaan perumusan dasar partai dan tujuan partai, serta
susunan badan pengurus partai. Dalam Anggaran Dasar baru dasar partai
dicantumkan secara singkat saja (pasal 2): “Dasar Partai ini ialah: KITAB
SOETJI jaitoe Firman Toehan”. Mengenai tujuan partai, Anggaran Dasar Baru
(pasal 3) memberi rumusan yang konkret:
Mempertahankan Negara Repoeblik
Indonesia keloear dan ke dalam.
Membantu Pemerintah Repoeblik
mentjapai perdamaian doenia.
Mengoesahakan keadilan
4.2.4 Pemikiran
Politik PARKINDO
Pemikiran yan gmendukung lahirnya
Partai Kristen Indonesia dapat diungkapkan melalui karangan-karangan beberapa
tokoh Partai yang dimmuat dalam majalah partai Kristen ini, Pedoman:
Soeara Oemmat Kristen di Indonesia, yang diterbitkan secara dwimingguan sejak
bulan Desember 1945 oleh Badan Penerbit Kristen di Jakarta.
Dr. W.Z. Johannes, Ketua Pengurus
Besar Sementara , dalam sambutan mewakili redaksi atas
terbitnyaPedoman menekankan pentingnya dukungan tenaga untuk pembanguna
Indonesia yang baru merdeka:
Indonesia memerloekan
tenaga-tenaga oentoek pembangoenan disegala lapangan. Djoega Kaoem Keristen
dapat megichtiarkan jang perloe-perloe oentoek Negara Indonesia kita bersama
ialah Indonesia Merdeka.24
J.L.L. Wenas turut menyambut
terbitnya Pedoman dengan mengingatkan perjjuangan Kristen sebagai upaya
persatuan untuk melawan penjajahan dan kapitalisme, dengan belajar dari bencana
perang yang baru lewat (Perang Dunia II),25 dan
dalam karangannya yang lain Wenas berbicara tentang”hasrat darah Indonesia
asli”, yaitu hasrat merdeka. Dengan hasrat itu Wenas memperingatkan orang-orang
Menado dan Ambon yang belum mendukung kemerdekaan:
Oentoek orang Indonesia Keristen
asal Menado dan Ambon jang sampai kini tidak dapat mengatasi pengaroeh itoe
danjang soedah sampai menjangkal darahnja sendiri dengan menentang atau
menghalangi kemerdekaan bangsanja Indonesia. Dikemoedian hari, meskpoen toeboeh
dan djiwnja telah lenjap dari moeka boemi, pasti darahnja akan teroes mengalir
dalam toeboeh anak toeroen temoeroennja dan satoe kali soeara darahnja akan
mendjerit didalam toeboeh anak toeroen-temoeroennja, jang akan menghoekoem
perboeatan-perboeatan penentang kemerdekaan bangsanja sendiri itoe.26
Sambutan dari J.K. panggabean, salah
seorang pengurus PKN, mengibaratkan Pedoman sebagai benih yang tumbuh
setelah dihempas badai dan banjir, yang akan menjadi pohon besar yang
“memberikan tempat tedoeh kepada mereka jang seia-sekata singgah dibaahnja”.27 Dalam
karangannya yang lain, Panggabean menghubungkan penjajahandengan dosa, lalu
menyebut kewajiban Kristen untuk memberantas dosa dan akibat-akibatnya termasuk
panjajahan itu. Walaupun perjuangan itu berat danmenelan banyak korban jiwa,
dia yaki bahwa pada waktunya “Tuhan akanmembenarkan perjuangan kita”.28
M.K. Tjakraatmadja, juga salah
seorang anggota pengurus PKN, memberi dukungan pada keterlibatan pemuda-pemuda
Kristen dalam laskar-laskar perjuangan bersenjata mempertahankan kemerdekaan.
Bertolak dari keyakinan bahwa kewargaan Indonesia adalah berkat Tuhan untuk
bertanggung jawab bagi bangsa dan dunia, Tjakraatmadja memperhubungkan
patriotisme dengan keyakinan iman:
Berdasarkan kepertjajaan bahwa
Toehan mendjadikan kita sebagai anggauta dari warga Indonesia, jang dikaroeniai
hak oentoek bertanggoeng-djawab atas deradjat Tanah-air dan mempertahankan
kemerdekaanja sambil menolong doenia dengan kekajaanja, tiap-tiap pemoeda
keristen Indonesia haroeslah menegoehkan rasa kebangsaanja. […]
Bagi kita patriotisme itoe
berdasarkan kehendak Toehan. Ta’ segan kita mengakoei, bahwa patriotisme itoe
adalah perasaan humaniteit. Perasaan inilah jang mempertinggi dan menjoetjikan
hasrat berbakti kepada negara dan bangsa, serta menjatakan peri kemanoesiaan
dalam doenia internasional.29
Probowinoto lebih langsung menulis
mengenai alasan pembentukan PKN.30 Dia
mencatat pentingnya persatuan dalam mendukung kemerdekaan Indonesia. Menurut
dia, pembentukan PKN merupakan bagian dari usaha semua golongan yang berbeda
untuk masing-masing menyumbangkan tenaga dan pikiran menegakkan negara
Indonesia merdeka. Dalam hal itu, politik Kristen berdasar pada Alkitab, Firman
Tuhan, dengan tujuan memuliakan Nama Tuhan:
Ketinggian Nama Toehan itoelah
toedjoean jang terachir dari segala machloek dan segala oesaha manoesia, djoega
didalam lapangan politiek. Politiek Keristen tidak semata-mata ditoedjoekan
pada keoentoengan doeniawi, bagi politiek Keristen jang mendjadi oekoeran
kebesarannja boekanlah hasil doeniawi jang diperoleh, akan tetapi apakah
didalam segala oesahanja itoe partij mengandjoerkan, mempertahankan dan
mendjalankan azas2 dari Firman Toehan.31
Pada bagian lain Probowinoto
menjelaskan corak nasional dan asas Kristen PKN sebagai perpaduan yang
mendukung nasionalisme yang luas, yang mengusahakan kebaikan semua golongan
bangsa sendiri ke dalam dan seluruh bangsa-bangsa ke luar:
National jang menoeroet azas
Keristen itoe begini: kita menghendaki soepaja semoea bangsa di doenia ini bisa
hidup dengan bahagia dan makmoer; tiap-tiap bangsa berkewadjiban beroesaha agar
bisa mendapat kebahagian dalam kemakmoeran itoe; kita berkewadjiban beroesaha
bagi bangsa kita. Kalau kita orang Keristen tidak beroesaha bagi bangsa kita,
itoe kita menjalai azas Keristen jang, menghendaki soepaja semoea semoea bangsa
berbahagia.
Didalam beroesaha bagi bangsa
sendiri itoe kita tidak oesah meroegikan bangsa lain, malahan azas Keristen
membilang kita haroes mentjintai satoe sama lain, kita haroes bekerdja
bersama-sama, soepaja en bangsa kita en bangsa lain itoe mendapat
bahagia.
National sifat partij kita, karena
kita tidak mentjari perbaikan bagi satoe golongan ataoe satoe lapisan bangsa
sadja, melainkan bagi seloeroeh bangsa.32
Dalam karangannya menyambut tahun
baru 1946, Probowinoto menjelaskan sikap kalangan Kristen Indonesia terhadap
kemerdekaan Indonesia, bahwa kemerdekaan adalah juga cita-cita Kristen:
Kami kaoem Kristen Indonesia memang
menjetoedjoei dan memperdjoeangkan kemerdekaan Indonesia, karena kami
berpendapat, bahwa kemerdekaan itoe djoega soeatoe tjita-tjita Kristen. Tidak
ada seorangpoen, terlebih-lebih orang Kristen, jang akan menjangkal, bahwa
menoentoet kebebasan oentoek tanah air dan bangasa itoe soeatoe tindakan jang
benar. […] Azas Keristen itoelah jang sekarang mendjadi azas pendirian politiek
Keristen Indonesia.33
Selanjutnya Probowinoto menegaskan
kesatuan alami orang Kristen Indonesia dengan bangsa Indonesia, yang mengandung
arti turut menanggung dan berusaha memperbaiki keburukan bangsanya:
Saja mengetahoei bahwa banyak kritik
(tjelaan) jang benar dan jang tidak benar terhadap tjaranja bangsa Indonesia
membela pendiriannja politik. […] Meskipoen demikian hal itoe tidak mendjadikan
sebab bagi kami, kaoem Keristen Indonesia, oentoek melepaskan diri dari bangsa
kami, sebab bagaimanpoen djoega Toehan soedah mendjadikan kami sedarah,
sedaging dan senasib dengan bangsa kami. Tjelaan terhadap bangsa kami, itoe
kami terima sebagai tjelaan terhadap kami sendiri, nasib jang dipikulkan oleh
Toehan kepada bangsa kami itoelah nasib kami poela. Pendirian, aliran dan
agamapoen tidak bisa menghapuskan perhoeboengan kami dengan bangsa kami, karena
pendirian, aliran dan agama itoe tidak meroebah darah, daging dan ketoeroenan
dari lain bangsa. Sekali dilahirkan sebagai bangsa Indonesia, kami maoe atau
tidak maoe, tetap menjadi orang Indonesia hingga adjal kami. Rasa persatoean
dengan bangsa jang sedemikian itu membangoenkan pertanggoengan djawab kepada
kami terhadap bangsa kami. Tanggoeng djawab kepada bangsa itoe berarti:
mengakoe kesalahan-kesalahan bangsa kami dan beroesaha memperbaiki segala jang
salah itoe, soepaja bangsa kami seloeroehnja berdjalan kearah kebenaran.34
J.L.ch. Abineno, juga anggota
pengurus PKN, yang kemudian menjadi salkah seorang tokoh gerakan oikumene di
Indonesia, menulis mengenai partai politik, yang antara lain menguraikan
tentang partai politik Kristen. Menurut Abineno, perlunya partai politik
Kristen adalah untuk menyatakan kemauan rakyat Kristen kepada pemerintah.
Partai politik Kristen harus mempunyai dasar yang kokoh dan luas, yaitu
“didalam keinsafan dan penghargaan kita terhadap keawakan kawan seperdjoeangan
kita” dan tetap memperhatikan opini rakyat. Dalam hubungan itu orang Kristen
harus bersatu dan tetap memperhatikan opini rakyat. Dalam hubungan itu orang
Kristen harus bersatu dalam berjuang di segala lapangan untuk kemuliaan Nama
Tuhan.35
A.M. Tamboenan, yang terpilih
sebagai Penulis I pengurus PARKINDO pada Kongres I di Solo, mengucapkan suatu
pidato radio menyambut suatu tahun baru 1946. Pada kesempatan itu Tamboenan
menyampaikna kepada berbagai lembaga Kristen dunia tekad orang Kristen
Indonesia mendukung kemerdekaan Indonesia:
Kita semoeanja dan menjetoedjoei
kemerdekaan Indonesia, sekarang dan seteroesnja. Baiklah semoea saudara Kristen
diseloeroeh doenia mengetahoei kehendak dan persetoedjoean kita ini. […]
Djoega oemmat Keristen seloeroehnja di Indonesia toeroet menegakkan dan
mempertahankan Republik Indonesia. Dengan dasar ketentoean ini poelalah kita
menjeroekan kepada Badan-badan jang terseboet diatas: Sokonglah
saudara-saudaramoe seagama di Indonesia dalam oesahanja, pertahankanlah kepada
pemerintahmoe masing-masing, bahwa hasrat oemmat Kristen di Indonesia
tjoema satoe: Indonesia Merdeka tetap abadi!36
Pada bagian lain Tambunan menghimbau
umat Kristen Indonesia untuk mendukung partai Kristen Nasional, yang dengannya
“kita turut menegakkan Republik Indonesia dalam lapangan politik, ekonomi,
sosial kemasyarakatan, pengajaran, kebudayaan dan kesusteraan”.
Pemikiran politik PARKINDO pada
tahun-tahun pertama dapat pula diungkapkan melalui pernyataan politiknya. Pada
Kongres ke-2 tahun 1947, PARKINDO merumuskan “Pernjataan Dasar Pendirian
Parkindo”, dalam empat pasal, masing-masing mengenai Tuhan, hakikat PARKINDO
dan dukungan terhadap demokraso:
Pasal 1. Partai Kristen Indonesia
(PARKINDO) berdiri atas kepertjajaan, bahwa: a. Segala sesuatu adalah berasal
dari Tuhan, oleh Tuhan dan untuk Tuhan. B.Bagi tiap2 machluk dan tiap2
lingkungan hidup demikian pula bagi Negara dan Pemerintah ada panggilan dan
hukum2 Tuhan sebagai ternjata dalam Firmannja mengenai Alam dan Sedjarah.
Pasal 2. Partai berpendirian, bahwa
negara berwudjud karena kehendak Tuhan dengan tudjuan untuk menjempurnakan
hidup manusia di dunia, agar dapat disiapkan untuk hidup dalam alam jang kekal
dan sedjati jang akan datang pada achir djaman.
Pasal 3. PARKINDO adalah parta
politik earga Negara Indonesia jang berhasrat memenuhi panggilannja terhadap
nusa dan bangsa dan kewadjibannja terhadap bangsa2 lain dengan djalan berusaha
dilapangan politik, ekonomi dan sosial atas dasar faham kekristenan.
Pasal 4. partai berpendirian, bahwa
demokrasi adalah bentuk Negara jang terbaik bagi Negara Republik Indonesia.37
Keseluruhan pernyataan ini
memberikan petunjuk mengenai pemahaman dasar PARKINDO mengenai politik dan
kekristenan pada tahu-tahun pertama partai Kristen itu. Selain pasal 4,
pasal-pasal lainnya mengungkapkan kecenderungan teokratis dalam pemikiran
teologi politik PARKINDO, dalam arti berusaha mewujudkan kehendak Tuhan, yaitu
prinsip-prinsip agama (Kristen), dalam semua segi hidup kenegaraan.
Kecenderungan dipertegas oleh J. Leimena dalam prasarannya pada Kongres ke-4
PARKINDO pada tahun 1952 di Malang.38 Pada
kesempatan itu Leimena menyatakan bahwa sejarah ialah niat Ilahi (plan Gods)
bagi manusia dan bangsa,39 dan
dalam kerangka itu:
Orang Kristen mengakui dan percaya
bahwa tidak ad peraturan yang lain di luar peraturan-peraturan yang dikehendaki
oleh Tuhan kita. Campur tangan orang Kristen di segala lapangan kehidupan tidak
lain dan tidak bukan bermaksud supaya kita juga menjadi saksi tentang suatu hal
yang penting, ialah bahwa dunia ini hidup di bawah hukum dan karunia Tuhan
saja.40
Pada bagian lain Leimena menyebut
empat dasar ideologi yang menjadi pijakan pihak Kristen, khususnya dalam
lapangan politik: dasar kristosentris, dasar demokrasi, dasar nasional
(persatuan) dan dasar kenegaraan. Mengenai dasar yang pertama, Leimena
menjelaskan:
Dasar Christocentris, sebab kita
mengakui , bahwa oemerintah adalah hamba Allah dan pemerintah menjalankan
kewajibannya atas nama Tuhan. Kita mengetahui bahwa kita hidup di dalam dunia
yang pecah belah oleh karena dosa dan sebab itu kita harus berusaha untuk
meninggikan nama Tuhan di dalam dunia ini.41
Notohamidjojo, salah seorang tokoh
PARKINDO, yang juga menjadi pemikir politik Kristen mengemukakan pendapatnya
secara lebih “militan”, bahwa politik Kristen perlu dalam rangka “peperangan
rohani”:
Barangsiapa mempunjai mata untuk
melihat dapat menjaksikan bahwa politik itu merupakan gelanggang rohani antara
mereka jang pertjaja akan Firman Allah dan mereka jang tiada menghiraukannja.
Malahan pada lapang politik Indjil Tuhan Yesus Kristus melakukan peperangan rohani
jang pahit getir melawan pemberontakan terhadap kepada kehendaknja.42
Dan mengenai partai politik Kristen,
khususnya di Indonesia, Notohamidjojomenyebutkan adanya aliran-aliran politik
yang berbeda sehingga perlu ada partai politik Kristen untuk memperjuangkna
kebijaksanaan pemerintah yang sesuai dengan keyakinan Kristen:
Kaum Kristen, Muslim, Marxis,
Humanis tidak mempertahankan dan membela nilai2 jang sama. […] Pengakuan itu
bagi seorang Kristen berarti, bahwa hanya ada satu djalan terbuka baginja,
jaitu menjusun partai bersama-sama dengan orang Kristen lain, dengan maksud,
sambil berdiri di tengah-tengah bangsanja, dengan perantaraan partai
mempertanggunggjawabkan kejakinannja dan memperoleh pengaruh terhadap
kebijaksanaan pemerintah.43
Pandangan-pandangan di atas memberi
gambaran bahwa gagasan dasar di balik pembentukan Partai Kristen Indonesia
adalah upaya pihak Kristen untuk menyatakan keterlibatan mempertahankan dan
mengisi kemerdekaan Republik Indonesia. PARKINDO tegas memihak dan turut
mempertahankan kemerdekaan indonesia. Tokoh-tokoh yang berada di balik
pembentukan partai ini, seperti Probowinoto, tamboenan dan Abednego tidak
berasal atau tidak meneruskan sikap politik dari partai-partai politik Kristen
sebelum perang, walaupun ada kesamaan pemikiran teologis mengenai dasar politik
Kristen.
Pemikiran teologi mengenai politik,
yang diungkapkan para pemuka PARKINDO, menunjukan pengaruh Calvinisme,
khususnya yang diperkembangkan di kalangan politikus Kristen Belanda.
Pemerintah adalah hamba Allah dan gereja atau orang Kristen terpanggil untuk
menyaksikan kehendak Allah dalam segala lapangan kehidupan, juga di lapangan
politik. Dengan kata lain, politik Kristen memperjuangkan semacam teokrasi,
yakni menyelenggarakan kehidupan masyarakat, bangsa dan negara sesuai
prinsip-prinsip agama (Kristen).44
Adalah penting bahwa dalam
pembentukan partai ini tidak ada campur tangan, bimbingan atau pengarahan
langsung dar pihak Zending. Prakarsa dan kepemimpinan dan keputusan-keputusanny
sepenuhnya oleh para politisi Kristen Indonesia sendiri.45
Demikianlah pembentukan
partai-partai Kristen Indonesia yang bermuara pada PARKINDO pada awal
kemerdekaan Republik Indonesia pertama-tama adalah tanda kesadaran nasionalisme
oarang Kristen bahwa orang Kristen Indonesia juga terpanggil untuk turut
memperjuangkan masa depan bangsanya yang baru merdeka. Di samping itu,
sekaligus pula menjadi tanda bahwa orang Kristen Indonesia mempunyai tempat
yang sah dan sederajat dengan semua pihak lainnya dalam kehidupan Indonesia
merdeka.
Salah satu isyu politik yang kemudia
hari amat penting justru tidak pernah disinggung dalam pemikiran PARKINDO pada masa-masa
awal ini, yaitu pemolakan umat Kristen (Protestan dan Katolik) terhadap rumusan
pancasila dalam konsep Pembukaan UUD 1945, yang secara
eksplisit mendukung pemberlakuan syariat Islam.46 Kalangan
PARKINDO hanya menunjuk pada sukses pihak Kristen di Kramat 65 menolak bagian
konsep UUD yang mencantumkan bahwa pihak Kristen harus seorang yang beragama
Islam. Kenyataan tiadanya pernyataan menyangkut penolakan Piagam Jakarta itu
boleh jadi suatu petunjuk bahwa penghapusan “tujuh kata” itu bukan usul dari
kalangan politsi Kristen yang kemudian membentuk PARKINDO.47
Sejauh dokumentasi Yamin mengandung
kebenaran, “ketujuh kata” itu mulai dipersoalkan oleh J. Latuharhary, orang
Kristen anggota BPUPK mewakili orang Maluku, pada rapat sub-panitia perancang
UUD, taggal 11 Juli 1945. Notulen mencatat:
Anggota LATUHARHARY: berkeberatan
tentang kata-kata “berdasar atas ke-Tuhanan, dengan kewadjiban melakukan
sjari’at buat pemeluk-pemeluknja”. Akibatnja mungkin besar, terutama terhadap
agama lain. Karena itu diminta supaja di dalam Undang-Undang Dasar diadakan
pasal jang terang; kalimat ini bisa djuga menimbulkan kekatjauan misalnja
terhadap adat-istiadat.48
Tidak diperoleh petunjuk bahwa
latuharhary mempunyai hubungan dengan tokoh-tokoh PARKINDO maupun dengan para
tokoh Zending. Tetapi gagasan-gagasannya menolak rumusan Piagam Jakarta mejadi
Pembukaan UUD (dan menolak pembentukan Kementrian Agama) sejalan dengan
pandangan umum dalam kedua kelompok itu.
4.3 Sikap
Politik Gereja
4.3.1 Konferensi
Malino 1947
Dalam kerangka konfrontasi Belanda –
Indonesia, di wilayah Indonesia Timur, antara tahun 1946-1950, pihak Belanda
mendirikan sebuah negara, Negara Indonesia Timur (NIT). Di wilayah ini pula
terdapat suatu gerakan kebersamaan gereja dan Zending yang cukup kuat sejak
tahun 1930-an. Pada bulan Maret 1947 wakil-wakil gereja dan Zending
melangsugkan suatu konferensi di Malino.49 Konferensi
Malino ini juga memberi perhatian pada kenyataan politik berdirinya NIT itu dan
membahas hubungan gereja dengan bangsa dan negara. Ceramah pengantar untuk
pokok ini disampaikan oleh Pdt. M. Sondakh.50 Sondakh
membedakan negara sebagai “persekoetoean hoekoem” dan gereja sebagai
“persekoetoean keampoenan” namun berhubungan berdasarkan tanggung jawab politik
Kristen. Maka tugas gereja adalah menyaksikan cinta kasih Allah di dalam
hukum-hukum negara, yakni supaya negara menjadi duatu negara hukum (rechtsstaat)
dimana hak-hak manoesia jang terpenting dan teroetama, diatoer, ditoeroet,
dihormati dan berkoeasa boekan sadja dalam pikiran, melainkan sampai dalam
practijk”. Dengan itu maka pemberitaan Injil memperoleh kebebasan dalam
kehidupan bernegara. Pemahaman konferensi tentang hal ini dirumuskan dalam
laporan seksi Gereja, Bangsa dan Negara.51 “Rumusan
Malino” tersebut terdiri atas enam butir, masing-masing tentang:
(1) kesaksian tentang ketuhanan
Yesus Kristus dalam tugas Kristen terhadap bangsa dan negara; (2) perbedaan
gereja sebagai persekutuan keampunan dengan negara yang adalah persekutuan
hukum; (3) orang Kristen bebas berpolitik, tetapi dalam ketaatan kepada Tuhan
Allah lebih daripada kepada manusia; (4) Tugas-tugas negara dalam pembentukan
negara Indonesia merdeka; (5) Kesediaan orang Kristen bekerja sama dengan
sesama warga negara yang beragama lain dalam membangun bangsa; dan (6)
penolakan suatu Kementerian Agama atau Dewan Agama Indonesia bagian
Timur.
Butir 4 (empat) mengenai tugas
gereja dala m pembentukan negara Indonesia merdeka52 berbunyi:
Berhoeboeng dengan soal-soal
pembentoekan Negara Indonesia jang merdeka, maka toegas Geredja jang terpenting
ialah:
a. Memberitaakan dan
menjaksikan dengan sekoeat-koeatnja dan sebebas-bebasnja keseloeroeh lapangan hidoep,
bahwa Jesoes Keristoes Toehan adanja.
b. Mengoesahakan sekoeat-sekoeatnja
seopaja Negara Indonesia jang merdeka itoe, mendjadi soeatoe Negara-hoekoem
(rechsstaat).
c. Mengoesahakan sekoeat-koeatnja
kebebasan agama selakoe atoeran dikalimatkan dengan seloeas-loeasnja dan betoel
dalam pokok Oendang2 negara Indonesia jang merdeka, menoeroet paham Geredja2
Keristen, seperti itoe ditafsirkan dalam “Statement on religious Liberty”
(1944) boenjinja:
“Kebebasan agama haroeslah
diterangkna seperti berikoet, bahwa hal itoe mengandoeng kebebasan berbakti
setoedjoe dengan angan2 hati dan mendidik anak2 didalam kepertjajaan orang toea
mereka; kebebasan kepada tiap2 oknoem berpindah agama; kebebasan berchotbah,
mendidik, menjiarkan dan mendjalankan oesaha2 pengoetoesan Indjil; kebebasan
akan berorganisasi dengan orang2 lain dan memiliki serta mengoesahakan
perbendaharaan oentoek maksoed2 ini.”
d. Menginsafkan selaloe dengan
sekoeat-koeatnja akan arti tertib jang soenggoeh (orfe) jaitoe tertib menoeroet
hoekoem jang soenggoeh (recht)
Butir mengenai tugas gereja dalam
pembentukan negara ini lebih dibarengi tuntutan kebebasan beragama. Masalah ini
telah dibahas pada Konferensi Zending di Batavia pada bulan Agustus 1946.
Dua bulan sebelumnya Contact-Comité telah menyiapkan
suatu nota berjudul “De Vrijheid van Goldsdienst in het
toekomstige Indonesië”, yang disampaikan kepada pemerintah Belanda. Dengan
catatan pengantar dan penjelasan dari J.C. Hoekendjik atasnya, nota tersebut
menjadi masukan pada Konferensi Batavia1946. Tekanan utama dalam nota itu
adalah supaya kebebasan gereja dan orang Kristen, sebagai golongan minoritas,
dijamin dalam struktur masa depan Indonesia.54
Konferensi Malino menolak pembetukan
Departemen Agama atau Dewan Agung Agama dalam NIT, sebagaimana diperjuangkan
oleh pihak Islam. Kemudian, dalam membicarakan konsep UUD NIT, wakil Kristen dalam
Parlemen NIT (mula-mula Dr. Bergema, kemudian Ds.R.M. Luntungan), juga menolak
konsep Preambule UUD yang dianggap memberi peluang bagi negara untuk berdasar
atas suatu agama. Pihak Kristen, yang diwakili Ds. Luntungan, berhasil
memindahkan tekanan dari rumusan “negara menerima” ke negara “mengakui” prinsip
ketuhanan dalam UUD NIT. Selanjutnya, psal-pasal mengenai kebebasan beragama
menimbulkan perdebatan sengit. Pihak Islam menghendaki pembatasan kebebasan
beragama, yaitu ditundukkan pada adat setempat. Juga pihak Hindu (Bali) atas
alasan keamanan dan ketertiban menghendaki izin pemerintah setempat (di Bali:
pemerintah desa) untuk “memasjhurkan agama di antara penganut-penganut agama
lain”. Pihak Kristen kembali menggagalkan pembatasan-pembatasan tersebut,
tetapi mengakui perlunya pengaturannya dalam suatu undang-undang.
4.3.2 Sinode
Am GPI 1948
Di tengah-tengah perjuangan bangsa
Indonesia mempertahankan kemerdekaannyaterhadap usaha penjajahan kembali oleh
Belanda, berlangsung suatu percakapan kalangan Kristen Indonesia dan Belanda
mengenai gereja dan politik. Sinode Am ke-3 Gereja Protestan di Indonesia yang
dilangsungkan di Bogorr, tanggal 30 Mei – 10 Juni 1948, secara khusus
membicarakan pokok “Kerk en Politiek” pada tanggal 10 Juni 1948, dalam empat
babakan acara sejak pagi sampai malam hari.55
Pembicaraan didahului tiga
pengantar, masing-masing oleh Ds.W.J. Rumambi, Dr. A.J. Rasker, dan Dr. E
Emmen. Ds. W.J. Rumambi membacakan “Rumusan Malino” dan keputusan-keputusan
synode (GMIM) di Tomohon pada bulan Juli 1946 tentang gereja dan politik.
Dr. Rasker memulai ceramahnnya
dengan menyatakan bahwa dia tidak akan banyak mendukung apa yang dikemukakan
Pdt. Rumambi. Orang Kristen secara pribadi mempunyai kewajiban dalam
keseluruhan masyarakat; juga dalam membina negara. Tetapi mengenai Gereja,
Rasker menyatakan:
Gereja tidak boleh mentepkan bahwa
suatu Partai Kristen atau yang bukan Kristen harus dibentuk. Keduanya terdapat
di Indonesia Timur. Gereja tidak boleh mengidentifikasikan diri dengan suatu
partai politik.56
Dan mengenai hubungan Gereja dan
Negara, Dr. Rasker menyatakan Roma 13 (ketaatan kepada pemerintah sebagai hamba
Allah) berhadapan dengan Wahyu 13 (pemerintah yang melawan kehendak
Allah):
Lebih sulit adalah masalah hubungan
Gereja dengan Negara. Gereja mempunyai kebaikan untuk emnyatakan kepada Negara:
Engkau adalah hamba Allah (Rm. 13). Ini berarti bahwa Gereja harud menghimbau
Negara untuk menaati Allah. Nah, sebagaimana seseorang yang tidak taat kepada
Allah tenggelam dalam dosa dan kesalahan, demikian pula berlaku atas Negara
yang tidak taat. Disamping Rm. 13 ada pula Why. 13 dalam Alkitab. Itu mengenai
Negara yang memberontak terhadap Allah. Barangkali ada kemungkinan ketiga,
yakni ketidakpedulian sama sekali. Tetapi ini mengarah kepada nihilisme.57
Selanjutnya Rasker mempersialjan
beberapa hal yang diungkapkan Rumambi dari rumusan Malino: mengenai kebebasan
beragama yang melulu didasarkan atas hukum manusia, bukan hukum Allah; tentang
penolakan gereja-gereja di Indonesia Timur terhadap adanya kementrian agama
bahwa walaupun benar kementerian macam itu berbahaya, tetapi gereja perlu
bekerja melalui lembaga yang disediakan negara untuk dapat berbiocara kepada
negara dan apakah hanya melalui Madjelis Keristen gereja berhubungan langsung
dengan negara. Racker mengakhiri tanggapannya dengan mengutip pandangan Leimena
bahwa apa yang terpenting bukanlah wadah mana yang ada untuk berbicara kepada
Negara, melainkan apakah Gereja mempunyai orang-orang, yang dapat
tampil secara mencolok di dalam masyarakat.
Dr. E. Emmen, yang hadir sebagai
undangan dari NHK, mengemukakan du ahal, yakni isi pemberitaan Gereja kepada
Negara dan pokok-pokok yang Gereja dapat persoalkan kepada Negara. Keadilan dan
kemurahan Allah yang bertolak dari penyataan bahwa bumi adalah milik tuhan dan
kekuasaan-Nya atas seluruh ciptaan seluruhnya dinyatakan dan diserahkan keapda
Yesus Kristus merupakan pemberitaan yang memperhubungkan Gereja dengan
pemerintah dunia. Pemerintah adalah pelayan Allah untuk menjalankan keadilan
dan kemurahan hati sehingga dunia tidak kacau balau. Sedang pokok-pokok yang
tentangnya Gereja dapat berbicara kepada negara adalah sikap tak berterima
kasih dalam kebangkitan dunia Timur, sikap rasialisme, anarkhi dan tirani dalam
masyarakat, penistaan kmanusiaan dan perbudakan manusia sehingga hilang dan
menjadi bagian dari totalitas. Dalam hal itu tekanan penuh adalah pada tata
hukum (rechtsorde), yang harus semata-mata berdasar pada hukum Allah.58
Sebelum diskusi atas ceramah-ceramah
itu dimulai, diberikan kesempatan khusus kepada dr. T.S.G. Moelia karena tidak
dapat mengikuti sidang seterusnya untuk mengajukakan pandangannya. Tetapi
Moelia menolak, karena “sebagai orang Keristen jang djoega toeroet ambil
bahagian dalam politiek soekar akan berbitjara tentang hal ini”, dan karena
“memandang hal ini dari djoeroesan agama, geredja dan kerohanian ialah amat
berlainan dengan memandang hal ini dari djoeroesan politiek”. Meskipun begitu,
Moelia sempat menyatakan penolakannya terhadap pandangan-pandangan Dr. Rasker
dan Dr. Emmen, dan mengusulkan supaya diambil keputusan-keputusan yang berkaita
dengan kenyataan konkret Indonesia.59 Rupanaya
Moelia menginginkan suatu dukungan konkret terhadap kemerdekaan Indonesia,
daripada hanya mengungkapkan prinsip-prinsip umum sikap Kristen terhadap
pemerintah.
Percakapan pada babakan acara
berikutnya, yang dipimpin oleh ds. Supit, memang memperlihatkan adanya usaha
untuk memperhubungkan pokok ceramah kenyataan-kenyataan konkret politik masa
itu. Keseluruhan diskusi mengenai pokok Gereja dan Politik ini meliputi
tiga hal: prinsip-prinsip Kristen atau Gereja di bidang politik, perlunya
Sidang membuat suatu pernyataan, dan masalah-masalah politik yang aktual dalam
hubungan Indonesia dengan Belanda masa itu. Mula-mula utusan klasis jawa
Barat, Ds.A. Matulapelwa, tampil menegaskan “pengasihan” (=kasih) sebagai inti
pemberitaan, yang menghiburkan dalam segala situasi. Ia menyetujui adanya
partai (politik) tetapi “partij patoet dihamirkan oleh Gerdja”. Pada umumnya
peserta Indonesia mendukug keterlibatan gereja dalam politik dalam arti dalam
arti “meragikan doenia ini dengan kalam Allah”. Hanya Ds.J. Lawalata, dari
klasis Borneo (Kalimantan), yang menyatakan berpolitik adalah dosa.60
Ds. C. Sppor, dari klasis Jawa
Tengah, mempersoalkan dasar Ketuhanan Yang Maha Esa dan jaminan kebebasan
beragama dalam UUD Republik Indonesia, kedudukan orang-orang Belanda blijvers (pemukim
tetap di Indonesia) dan upaya Kristen melawan dominasi islam dalam kementerian
agama.
Ds. B.J. Siahaya (klasis Jawa Timur)
mengusulkan supaya GPI “mengeloearkan soeatoe pengoetjapan”, bahkan lebih dari
itu gereja perlu bertindak, karena “doenai sekarang perloe melihat boekan
pengoetjapan akan tetapi soeatoe perboeatan”. J.E. Lengkey, utusan dari GMIM,
mendukung perlunya Sinode membuat pernyataan mengenai gereja dan politik itu,
serta merasa ada untungnya bahwa berbeda dengan sebelum perang, kini para
pemimpin gereja juga turut dalam partai politik, “sehingga pemimpin2 politiek
Kristen merasa diri tiada bolehj mendjaoehkan dirinja dari Geredjanja”.
Mengenai keterlibatan Gereja dalam politik, Ds.D.F.Sahulata (anggota
Kerkbestuur) mempertanyakan dan memohon penegasan Sinode, apakah seorang
penghentar jemaat diluaskan berpolitik. Dicontohkannya bagaimana dia sendiri
pernah diundang menghadiri suatu acara partai politik, dan ketika diminta
berpidato dia bertidak selaku pelayan Gereja yang mengungkapkan kesaksian
Gereja yang benar.
Pada akhirnya disetujui membentuk
suatu panitia untuk merumuskan “oetjapan” (=seruan) mengenai soal Gereja dan
Politik itu, dalam bentuk suatu kanselboodschap (=berita
mimbar, warta jemaat). Seruan yang dimaksudkan sebagai surat penggembalaan
jemaat itu dibacakan dalam dua bahasa (Belanda dan Indonesia) menjelang
penutupan sidang.62
Seruan yang dialamtkan kepada
“orang-orang Kristen Indonesia” itu terdiri atas tujuh butir, yang merupakan
tuntunan umum bagi orang Kristen dan gereja dalam menghadapi kenyataan sosial
politik. Butir (4) secara khusus mengenai kemerdekaan bangsa Indonesia:
Pada dasar kasih dan keadilan
Kristus inilah kami mengakui pertanggungjawaban kami bagi kehidupan bangsa,
kebudayaan dan bentuk politik sendiri sebagai hak dan kehormatan bangsa-bangsa
di Indonesiadan bahwa kami bersama dengan mereka mau membela kemerdekaan dan
kemandirian mereka, supaya mereka segera dapat memperoleh tempat yang terhormat
dalam persekutuan bangsa-bangsa yang adalah hak mereka.63
Dalam acara persidangan mengenai
gereja dan politik ini pula Ds. Denso (1916-1987), seorang pendeta GPI asal
Selayar, Sulawesi Selatan,64 sempat
mengungkapkan isi hatinya sehubungan dengan tindakan Westerling di Sulawesi
Selatan. Dengan pertama-tama mengucapkan terima kasih kepada bangsa Belanda
yang membawa Injil ke Indonesia dan menyatakan dukungan terhadap pandangan Dr.
Rasker dan Dr. Emmen (bahwa Gereja harus bersaksi kepada dunia berdasarkan kasih)
Ds. Denso menyatakan kebingunannya terhadap kenyataan burruk di Sulawesi
Selatan. Notulis mencatat:
Akan tetapi kalau melihat akan
kedjadian2 di Soelawesi Selatan pada tahoen jang laloe berhoeboeng dengan
tindakan gerakan pembersihan antara 7 December, jang menjebabkan meninggalnja
+/- 40.000 djiwa pendoedoek Soelawesi Selatan, dan apabila beliau mengingat
kepada keloearga2 beliau jang meninggal dalam gerakan ini, maka beliau ta’
dapat mengerti dan ta’ dapat memberi djawaban jang pasti dalam hal ini. Tindakan
tentera ini djoega soedah menjebabkan penganiajaan seorang goeroe djoemaat dan
seorang penatoea djoemaat beliau. Beliau mengingat bahwa negara Belanda itoe
adalah satoe Negara Keristen dan peratoean oendang2 dasarnja beralas diatas
kekristenan. Maka timboellah pertanjaan: Adakah negara Keristen disoenia ini?
Dengan sendirinja didjawab tida ada. Sebab itoe dalam keadaan jang sedemikian
ini, perloelah Synode atau Geredja kita menjatakan pendirian dan sikapnja
sebagai saksi Keristoes dalam doenia ini.65
Ds. A. Everts dari klasis Sumatera,
menyambut permasalahan Denso a.l. dengan mencela nasionalisme Belanda dan
menyatakan pentingnya sifat kritis gereja terhadap nasionalisme (sebagaimana
yang dialaminya pada masa pendudukan Jerman):
Adalah dosa bahwa nasionalisme
Belanda di sini terlalu dilampiaskan dengan mengorbankan bangsa-bangsa lain.
Seorang Kristen berbeda dengan seorang bukan Kristen dalam bersikap terhadap
nasionalisme. Seorang Kristen mengakui di samping nasionalisme sendiri juga hak
pihak lain untuk berbangga pada bangsanya. Gereja tidak pernah boleh menjual
diri pada nasionalisme. Kita harus kritis terhadap pekerjaan kita sendiri di
Indonesia pada masa silam. Kritis terhadap semua nasionalisme.66
Ds. J.A Stegeman (dari Komisi
Teologi) juga menanggapi Denso dengan nada apologetik: sebagai pendeta sering
ada kesulitan dengan sesama orang Belanda; mereka jarang ke gereja. Dia lebih
merasa betah berada dalam kalangan orang-orang Indo-Eropa, Ambon, Minahasa, dan
orang Kristen Indonesia lainnya. Tetapi dia membantah tuduhan bahwa orang-orang
Belanda memeras Indonesia. Banyak orang Belanda yang mencintai negeri ini serta
memberikan cinta dan pengabdian mereka. Mengenai seruan Gereja, Ds. Stegeman
mengingatkan juga akan pentingnya keadilan bagi kalangan lemah, yakni hak-hak
bagi golongan Indo-Eropa.67
Ds.M. Sondakh dari Minahasa menunjuk
bahwa soal politik yang dihadapi berpusat pada “soalkemerdekaan dan kedaulatan
Indonesia selekas moengkin”. Dengan tegas Ds. Sondakh mendukug kemerdekaan
Indonesia:
Dari fihak Belanda datang kritiek:
kamoe beloem tjakap oentoek kemerdekaan. Beliau kata: Berikanlah kemerdekaan
itoe lebih dahoeloe. Kalau dikata orang Indonesia malas, itoe ialah karena ia
beloem merasa bangsa jang merdeka dan berdaulat. Banjak orang Indonesia menekan
poerdjoeangan, Sementara berdjoeang harga hidoep diboeang. Beliau ta’ setoedjoe
dengan pemandangan ini. Dalam Berita Geredja ada soeatoe pasal jang melawan
segala perampokan dan extremisme lainnja.
Kalau nanti Synode ini datang kepada
soeatoe oetjapan soepaja tentang satoe perkara sadja jang dioetjapkan, jaitoe
bahwa Geredja setoedjoe dengan kemerdekaan Indonesia. Djangan perkara2 jang
ketjil melainkan perkara jang besar sadja.
Akhirnja beliau njatakan
pengharapannja bahwa bangsa Indonesia kelak akan sama dengan bangsa2 lain dan
djoega soepaja ada kerdja bersama-sama antara bangsa Belanda dan bangsa
Indonesia.68
Ds.K.G. Eckenhausen dari Jawa Timur
menanggapi Ds. Sondakh dengan menekankan pentingnya kebebasan dibarengi
keterikatan kepada Allah dan sesama manusia. “Gereja menolak setiap perjuangan
untuk kebebasan tanpa keterikatan dan keterkaita tanpa kebebasan.”69 Ds.
Saptojo, undangan dari Gereja Jawa Timur, mengingatkan bahwa yang terpenting
dalam hal gereja berpolitik adalah adanya kesempatan sepenuh-penuhnya untuk
memberitakan Injil:
[…] di dalam doenia Indonesia jg.
Katjau ini Geredja Protestan haroes selaloe mengawasi djalannya politiek
soepaja kalau ada perboeatan2 jg. Menindas geredja keristen, atau jg.
Menoetoep pitoe sanoebari orang Indonesia terhadap pemberitaan Indjil, baik
dari fihak Republiek, baik dari fihak Belanda, Geredja haroes berani
mengeloearkan soeatoe kerkelijke uitspraak akan mentjegah perboeatan2 itoe.70
Pada bagian akhir persidangan
mengenai pokok Gereja dan Politik ini van Beyma selaku Konsul Zending
menyampaikan pandangannya, khususnya mengenai “masalah Indonesia” sebagai
sesuatu yang tragis pada kedua pihak, Belanda dan Indonesia.71 Van
Beyma memahami sulitnya mencapai kata sepakat di dalma gereja menyangkut
masalah politik, namun gereja harus menghadapinya secara tepat:
Namun demikian gereja harus
melibatkan diri secara gerejawi dalam politik. Gereja mempunyai suatu tugas
dalam mengupayakan bentuk-bentuk masyarakat. Patut Gereja membiarkan diri
dipakai oleh Tuhannya sebagai tanda di negeri ini bagaimana suatu masyarakat
yang benar. Ini harus mempengaruhi bangsa-bangsa sekeliling. Pemberitaan Firman
Allah dalam jemaat adalah tugas, juga tugas politik Gereja.72
Catatan-catatan di atas
mengungkapkan bahwa juga para pendeta Indonesia dalam Konferensi Malino dan
dalam GPI mendukung kemerdekaan Indonesia. Dukungan ini memperlihatkan bahwa
bukan hanya para politisi Kristen Indonesia dalam Parkindo, tetapi juga para
pelayan Indonesia dalam GPI (mereka masih berstatus pegawai pemerintah
kolonial!) menyambut kemerdekaan Indonesia. Tetapi sebagaimana nyata dalam
rumusan Malino dan dalam persidangan serta seruan GPI, kalangan gereja
berpegang pada prinsip bahwa gereja hanya mencampuri politik dalam kaitan dengan
tugas pemberitaan Firman Allah terhadap negara atau pemerintah, antara lain
dengan menyuarakan kecaman atau protes jika terjadi ketidak-adilan atau
tindakan-tindakan yang merugikan martabat manusia. Gereja tidak dapat
melarutkan diri dalam arus politik praktis tertentu; gereja bukan lembaga
politik Kristen.
4.3.3
Kementerian Agama
Cukup menonjol tuntutan pihak gereja
(dan Zending) terhadap kebebasan beragama. Tuntutan pada kebebasan beragama
telah menjadi pokok penting dalam pemikiran politik dalam kalangan politisi
Kristen sebelum perang.73 Pihak
Kristen Indonesia masa itu memang dibayangi kekuatiran bahwa masa depan baru
Indonesia dapat didominasi pihak Islam yang akan berakibat
pembatasan-pembatasan bagi pihak Kristen. Pandangan Dr. Berkuyl, yang secara
khusus mempelajari masalah kebebasan beragama di Asia, dapat memprlihatkan
alasan dasar bagi tuntutan kebebasan beragama ini. Dalam rangkuman disertasinya
beliau mencatat:
Pertanyaan yang harus menyibukkan
saya adalah: Mengapa gereja Kristen harus menuntut kebebasan bagi pertarungan
rohani dan mengapa kebebasan yang dituntut bagi dirinya sendiri itu harus
dimintanya juga bagi pihak-pihak lain? […] Saya berusaha memperlihatkan bahwa
barangsiapa yang menerima tuntutan-tuntutandan makna Kristus yang mutlak, maka
harus memberi tempat yang lapang bagi pengakuan kebebasan rojhani. Injil Kristus
menurut kehendak Kristus sendiri hanya dapat diterima dalam kebebasan oleh
pribadi. Oleh sebab itu Injil itu harus disampaikan dengan cara yang secara
penuh memperhatikan hal itu, yi. Dalam kerendahan yang mendalam, dengan
kesabaran yang tak terbatas, dorongan untuk pilihan pribadi dan sekaligus
dengan keberanian yang radikal. Pengakuan pada kebebasan beragama bagi iman
Kristen bersandar pada “tolerantia” dan “sapientia”Allah (kesabaran Allah
terhadap manusia dan hikmat Allah) dalam memilih cara untuk meyakinkan orang.
Paksaan rohani adalah setani. Allah menghendaki bahwa kita berjuang untuk
kebebasan rohani.74
Dalam kerangka kebebasan beragama
itu kehadiran kementerian agama dalam pemerintahan dipersoalkan. Penolakan
terhadap adanya kementerian ini dimunculkan oleh J. Latuharhary pada rapat PPKI
tanggal 19 Agustus 1945. Alasannya untuk mencegah ketidakpuasan golongan
agama.
Saja jakin, bahwa, djika mengadakan
suatu Kementerian Agama, nanti bisa ada perasaan-perasaan jang terdinggung atau
tidak senang. Umpanja sadja, djikalau Menteri itu seoarang Kristen, sudah tentu
kaum Muslimin tidak senang perasaannja dan sebaliknja. Ita tidak perlu
membangkitkan perasaan-perasaan jang menimbulkan ketjideraan antara bangsa
kita. Oleh sebab itu saja usulkan supaja Urusan agama dimasukkan dalam urusan
pendidikan. Dengan djalan demikian tidak ada perpetjahan dan djuga
onkosten-vermindering.75
Tetapi kemudian kementerian ini
dibentuk pada tanggal 3 Januari 1046 oleh kabinet Sjahrir.76 Adanya
Kementerian Agama dalam kabinet ,pemrintahan mula-mul amerupakan konsesi kepada
pihak Islamdan berkembang menjadai kementerian untuk kepentingan Islam, tetapi
kemudian diarahkan pada kepentingan nasional melalui pelayanan kepada semua
agama.77 Kementerian
ini dibicarakan juga pada Koferensi Pembentukan DGI, bulan Mei 1950. Pada waktu
itu timbul sikap pro dan kontra, tetapi Leimena mengungkapkan latar belakang
dan manfaatnya:
Ini berasal dari Djepang jang diambl
oper oleh R.I. dan R.I.S. dan ini terdjadi oleh politieke spanning, karena pada
pembentukan kabinet R.I.S. Kementerian Agama belum ada. Akan tetapi
akanmenghapuskan Kementerian Agama ini lebih baik djangan, djustru pada waktu
sekarang ini Kem.Agama perlu ada. Kita harus memakai Kem. Agama untuk maksud
kita akan memperlihatkan: ‘t Wezen v.d. Kerk. Tetapi kita harus tahu batasnja
djuga, dan djangan “forceren”.78
Ketua sidang, Dr. T.S.G. Moelia
menambahkan – menjawab tekad Ds. Probowinoto untuk “melenjapkan systeem Kem.
Agama itu” – bahwa:
[…] adanja Kem. Agama disini
adalah tanda bahwa orang Islam bukan anggap bahwa ini Negara Islam. Karena
dalam negara Islam tak perlu Kementerian Agama, hanja ada jang mengurus wakaf2,
sebagai milik agama, d.l.l.79
4.4 Rangkuman
Kegiatan politik pihak Kristen
memasuki tahap baru ketika pemerintahan kolonial berakhir. Percakapan mengenai
pokok itu pada Konferensi NIZB di Karang Pandan pada tahun 1941 sudah
memperlihatkan arah baru, yakni sambutan terhadap pergerakan nasional dan
appeal kepada gereja untuk memberi tuntunan teologis di bidang politik. Tidak
lama setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia, kalangan Kristen turut membentuk
partai Kristen dengan pimpinan di tangan generasi muda yang berwawasan baru.
Pembentukan PARKINDO dan gagasan-gagasan yang berhubungan dengan partai politik
Kristen itu menunjukan dukungan penuh kepada kemerdekaan Negara Republik
Indonesia. Dan keterlibatan sejumlah mantan aktivis CSV op Java di dalamnya,
seperti Leimena dan Tambunan, bersama tokoh dan latar belakang teologi seperti
Probowinoto, memastikan bahwa dimensi Kristen cukup kuat di samping dimensi politiknya.
Artinya, prinsip-prinsip Kristen mewarnai praktek dan kepentingan politik.
Tetapi dibandingkan dengan sebelumnya (CSP, PKMI, PKC) tidak ada perubahan yang
mencolok dalam prinsip teologi politik mereka. Kecenderungan eksklusif injili
dari lingkungan CSV dan pengaruh teologi politik yang berkembang dalam
partei-partai Kristen di Negeri Belanda memperlihatkan pengaruh yang kuat,
khususnya dalam hal memahami kegiatan berpolitik sebagai panggilan untuk
memberlakukan kehendak Allah. Sikap teoktratis ini pun tetap hidup dalam
PARKINDO.
PARKINDO menjadi salah satu tanda
adanya partisipasi Kristen dalam menegakkan kemerdekaan Indonesia. Apakah di
dalamnya terkandung usaha politis untuk menegaskan hak bagi kekristenan dalam
masa depan Indonesia? Pertanyaan ini layak diajukan, mengingat kenyataan
sebelumnya bahwa para politisi Kristen bersikap loyaal terhadap pemerintah
kolonial, dan adanya tuduhan umum (antara lain dalam kaitan dengan jumlah besar
“suku-suku Kristen” dalam KNIL), bahwa orang Kristen adalah aparat kolonial.80 Sikap
pro-kemerdekaan Indonesia dari PARKINDO bukan usaha menghapus citra pro-kolonial
para politisi Kristen sebelunya, melainkan pengungkapan sikap nasionalisme
kalangan Kristen. Para penganjurnya berasal dari lingkungan generasi muda
Kristen yang terbina dalam wawasan nasionalisme dan menjadi pendukung
pergerakan nasional sebelum kemerdekaan Indonesia diproklamasikan.
Selain dalam kalangan politisi
Kristen, juga di kalangan gereja berlangsung perubahan sikap politik. Perhatian
kepada soal-soal politik, dan khususnya dukungan terhadap kemerdekaan
Indonesia, diungkapkan dalam pertemuan-pertemuan gereja. Tetapi gereja tetap
menjaga hakikatnya sebagi gereja dengan tidak mengikat diri pada kelompok
politik praktis tertentu. Sasaran perhatian gereja terutama pada
penyelenggaraan pemerintahan yang menjunjung nilai-nilai agama dan kemanusiaan
Sebab itu gereja turut memperjuangkan kebebasan beragama. Dan dalam rangka
kebebasan agama itu pula pihak Kristen masa itu mempertanyakan eksistensi
Kementerian Agama, yang pada masa itu lebih merupakan lembaga pemerintah bagi
agama Islam.
Akan tetapi walaupun ada pergeseran
yang bermakna dalam sikap politik kalangan Kristen Protestan di Indonesia dari
sikap konservatif pada periode pergerakan ke sikap yang progresif memasuki masa
kemerdekaan, pengungkapan nasionalisme di dalam kekristenan di Indonesia bukan
terutama berlangsung di bidang politik, melainkan dalam proses kontekstualisasi
kekristenan yang mewujudkan “gereja Indonesia”. Kehidupan kekristenan terarah
menjadi bagian yang terpadu dengan kenyataan sejarah bangsa Indonesia.
Transformasi nasionalisme Kristen ituberlangsung dalam gerakan oikumene, di
mana gereja-gereja di Indoesia mengalami serentak proses menjadi gereja-gereja
yang mandiri dan yang berusaha mewujudkan keesaannya.
1 Lihat
laporan mengenai ceramah dan diskusinya dalam De Opwekker 86/1941:639-642
di bawah sub-judul “Voor de derde sectie sprak Mr Soewidji, over: “de roeping
der Kerken op politiek terrein”.
2 Amir
Sjarifuddin lahir di Medan, berasal dari keluarga Batak marga Harahap, kakeknya
Kristen tetapi ayahnya mengikukti isterinya memeluk agama Islam. Setamat ELS ia
melanjutkan ke Gymnasium di Leiden dan Haarlem (1921-1927) lalu melanjutkan
pada RHS di Batavia. Sejak di Negeri Belanda sudah menaruh minat pada agama
Kristen, dan akhirnya menerima Baptisan pada tahun 1931.Biografinya dtulis oleh
Frederik Djara Wellem, “Mr. Amir Syarifuddin: Tempatnya dalam Kekristenan dan
dalam Perjuangan Kemerdekaan Indonesia” (Thesis STT JAKARTA, 1982; lihat pula
J. Verkuyl, Gedenken en Verwachten, hlm. 180-183; Abu Hanifah.
“Revolusi Memakan anak Sendiri: Tragedi Amir SjarifuddiN”DALAM Taufik Abdullah
dkk (eds), Manusia dalam Kemelut Sejarah (Jakarta:
LP3ES, 21979), hlm. 189-218; Jacques Leclerc, “Amir Sjarifuddin
75 Tahun”, Prisma 12/1982:53-76; lihat pula Jacques Leclerc, “Afterword: The
Masked Hero”, dalam Anton Lucas (ed). Local Opposition and Underground
Resistance to the Japanese in Java 1942-1945 (Monash University,
1986), hlm. 341-347.
3 De
Opwekker 86/1941:640.
4 Ibid.
5 Ibid,
hlm. 6642; Verkuyl berharap kiranya Tuhan sendiri juga memberi kepada Amir
Firman dan Roh-Nya.
6 Lecrec
membela pilihan Amir itu dengan dua alasan: kewajiban Amir menghidupi
keluarganya (anak pertamanya lahir tanggal 25 Maret 1940), dan bahwa bekerja
pada pemerintah kolonial tidak mengingkari idealisme perjuangannya: “Politik
kooperasi dengan pemerintahan, yang disetujui oleh pergerakan, telah memudahkan
pilihannya itu, sebagaimana dilakukan juga oleh penggerak Gerindo lainnya,
seperti Sanuse Pane. Dalam keadaan itu, tidak ada kontradiksi antara menjadi
seorang kiri yang anti kolonialis dengan dengan ikut serta bekerja dalam
kedudukannya yang benar-benar bersifat teknis di dalma pemerintahan kolonial.
Di dalam tradisi demokrasi, menjadi poegawai negeri tidak berarti harus selalu
setuju dengan pemerintah dan bahwa kita harus terus mendukungnya. Tidak ada kewajiban
bagi seorang pegawai untuk memiliki opini politik yang sama dengan tempat di
mana ia bekerja, walaupun itu bernama Negara.” Lihat Jacques Leclerc, “Amir
Sjarifuddin 70 tahun”, Prisma 12/1982: 70 dyb.
7 Menurut
kesaksiannya kepada Verkuyl, selama dipenjara di Malang Amir membaca kitab
nabi-nabi dalam Alkitab Perjajian Lama. J. Verkuyl, Gedachten en
Verwachten, hlm. 182.
8 Rufinus
Atobing mengingatnya sebagai PPKK (Persiapan Persatuan Kaum Kristen), lihat
Victor Matondang, “Mengenang: Mr. Rufinus Tobing, Tjatatan Omong2 Dng. Beliau
Thn 1966”, dalam Ragi Buana, 74/VIII/1970: 13-16, 118-119. Menurut
kutipan Wellem, pengurus badan itu dimantapkan dalam rapat tanggal 26 Juni
1942, terdiri atas Penasihat: Dr. Kajadu, Dr. Ratu Langie, Dr. W.Z. Johannes,
dan Ds. Gouw Khiam Kiet; Ketua Umum: Mr. Amir Sjarifuddin, Ketua Muda: Mr.
Rufinus Lumban Tobing, Penulis Sihasale dan S. Bone, Bendahara L. Lesiangi.
Mereka menggantikan pengurus sementara di mana terdapat nama-nama Lapian
(Penulis), Huliselan (Bendahara), dan Anggota-anggota: Phouw Peng Hong, Piet de
Queljoe, Tahaleluman dan Hutabarat. Lihat F.D. Wellem, “Mr. Amir Sjarifuddin”,
hlm. 174. Setelah Kajadu terbunuh, Amir ditangkap dan Rufinus Tobig menghilang
ke Sumatera dengan terlebih dahulu menyerahkan Kramat 65 kepada Dr.
Sitanala.
9 Victor
Matondang, “Mengenang: Mr. Rufinus Tobing, Tjatatan Omong2 Dng. Beliau Thn
1966”, dalamRagi Buana, 74/VIII/1970: 118; bandingkan dengan kesaksian
Prof. W.Z. Johannes: “dengan nada yang sinis terhadap Jepang, Amir meganjurkan
kepada umat Kristen agar jangan hanya ingat kepada alam baka. Harus berdiri
dengan kedua belah kaki di masyarakat yang sedang bergolak, seperti halnya Musa
memimpin umat Israel dari tanah Mesir, tanah perhambaan itu.” Ruben
Nalenan, Biografi Prof. Dr. W.Z. Johannes (Jakarta: Bhratara
Karya Aksara, 1979), hlm. 40.
10 Lihat
R.Z. Leirissa, “Biografi Dr. J. Leimena”, dalam P.D. Latuihamallo dkk.
(eds.), Kewarganegaraan yang Bertanggung Jawab (Jakarta: BPK.
Gunung Mulia, 1980) hlm. 44.
11 Lihat
R.Z. Leirissa, “Biografi Dr.J.Leimena”, dalam P.D. Latuihamallo dkk.
(eds.), Kewarganegaraan yang Bertanggungjawab (Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 1980) hlm. 44.
12 Mengenai
perkembangan penyusunan rancangan UUD 1945, lihat Ensiklopedi Populer Politik
Pembangunan Pancasila (Jakarta: BPK CLC 51984) s.v. “Pancasla”
(3:227-326) dan “Undang-Undang Dasar 1945” (4:282-304). Lihat pula M. Yamin,
Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945 (Jakarta: Prapantja, 1959), I, hlm.
60. Hanya terdapat dua orang Indonesia beragama Kristen dalam BPUPK, Mr. J.
Latuharhary (Ambon) dan Mr. A.A. Maramis (Minahasa). Meskipun Maramis beragama
Kristen, tidak diperoleh petunjuk bahwa dia berada dalam lingkungan politisi
Kristen. Dalam suatu tulisaya mengenai masa depan Indonesia setelah BPUPK
terbentuk, Maramis menekankan juga pendekatan federalistis menuju kesatuan,
sedangkan mengenai agama pandangannya mengikuti golongan Kebangsan: “[…]
baiknya Indonesia mendapat pemerintahan kebangsaan. Agama harus dpelihara
seteli-telitinya, akan tetapi harus dipisah dari pemerintahan. Mudah-mudahan kelahiran
dan berkembangnya Turki sebagai negara modern dapat diselidiki sebaik-baiknya
oleh bangsa kita.” A.A. Maramis, “Indonesia merdeka, Negara Bersatu”, dalam
Pitoyo Darmosugito (ed), Menjelang Indonesia Merdeka: Kumpulan Tulisan
tentang Bentuk dan Isi Negara yang akan Lahir (Jakarta: Gunung Agung,
1982), hlm. 82. Seperti Ratu Langie, Maramis banyak bergerak di kalangan
nasionalis (anggota PNI), salah seorang pendukung Jepang dan pada masa revolusi
merupakan salah seorang pemuka KRIS (Kebaktian Rakjat Indonesia Sulawesi).
Lihat F.E.W. Parengkuan, A.A. Maramis, SH (Jakarta: Depdikbud, 21985/1985);
Nishijima Shigetada, “The Nationalists in Java, 1943-1945”, dalam Anthony Reid
dan Oki Akira, The Japanese Experience in Indonesia: Selected Meloirs
of 1942-1945 (Ohio: Ohio University, 31989), hlm. 152,
159 dyb.
13 M.
Abdnego, Suatu Partisipasi (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1976),
hlm. 33. Dengan dihapusnya bagian itu maka J. Leimena dapat menjadi pejabat
beberapa kali ketika Presiden Sukarno melawat ke luar negeri. Agaknya pertemuan
itu tidak menanggapi konsep rumusan pembukaan yang diambil alih dari “Piagam
Jakarta”.
14 J.C.T.
Simorangkir, Manusript Sejarah Parkindo (Jakarta: Yayasan
Komunikasi, 1989), hlm. Xii-xiii.
15 Lihat
“Soerat Terboeka kepada Oemmat Keristen di Inggeris, Amerika, Tiongkok, dan
lain-lain negeri”,Pedoman, 1/1/1945: 18.
16 Pembentukan
PARKI diuraikan dalam biografi Melanchton Siregar, lihat Payung Bangun,
Melanchton Siregar, Pendidikan dan Pejuang (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1987),
hlm. 37-39. Siregar yang keduadisebut di atas dicatat berasal dari Tapanuli
Selatan (hlm. 37). T.B. Simatupang menyatakan bahwa PERCHI didirikan oleh S.M.
Simatupang “pada tahun2 sebelum pendudukan Djepang”. Lihat T.B.
Simatupang (bersama Victor Matondang dan AB. Lapian), “Partisipasi Kristen
dalam Revolusi dibidang Politik”, dalam W.B. Sidjabat (ed), Partisipasi
Kristen, dalam Nation Building di Indonesia (Djakarta: Badan Penerbit
Kristen, 1968), hlm. 17.
17 “Parkindo
24 Tahun”, dalam Komunikasi, 9/1969: 3. Mengenai Revolusi Sosial di Sumatera
Timur itu, yang memuncak pada pembunuhan kaum bangsawan dan feodal, lihat
Anthony Reid, Perjuangan Rakyat: Revolusi dan Hancurnya Kerajaan di
Sumatera (Jakarta: Sinar Harapan, 1987).
18 “Parkindo
24 Tahun”, Komunikas, 9/1969:3: 3; N.R.I. singkatan dari Negara Republik
Indonesia. Karangan ini dimuat kembali dalam Simorangkir, Manuscript
Sejarah Parkindo, hlm. 411-419, dengan mencantumkan nama penulisnya, H.M.
Victor Matondang.
19 “Parkindo
24 Tahun”, Komunikasi, 9/1969: 4.
20 Kongres
Partai Kristen Indonesia, jang ke-I pada Tanggal 6 dan 7 Desember 1945 di
Soerakarta”,Pedoman, 2/1945: 7.
21 Kongres
dibuka oleh Ketua Panitia disusul Pembacaan Alkitab dari Roma 13: 1-7 da Matius
5: 13-16 dan doa. Di antara telegram (ucapan selamat berkongres) yang diterima
, terdapat dari Presiden Sukaro, dan dari “Persatoen Masehi Indonesia” di
Palembang. Tidak diperoleh keterangan mengenai organisasi Kristen di Palembang
ini.
22 “Kongres
Partai Kristen Indonesia jang ke-I pada Tanggal 6 dan 7 Desember 1945 di
Soerakarta”,Pedoman, 2/1945: 8.
23 “Mosi
Parkindo”, Pedoman, 1/2/1945: 9. Dimuat juga dalam
Simorangkir, Manuscript Sejarah Parkindo, hlm.34.
24 W.Z.
Johannes, “Kata Penjamboetan dari Redaksi”, Pedoman, 1/1/1945: 5-6.
25 J.L.L.
Wenas, “Menjamboet Lahirnja Pedoman”, Pedoman, 1/1/1945: 7.
26 J.L.L.Wenas,
“Bersihkan dan Koeatkan Diri!” Pedoman, 1/3/ 1945: 6-7. Bnd. Lukas
13: 19.
27 J.K.P.
Panggabean, “Toemboehlah serta Soeboerlah Hidoepmoe!”, Pedoman,
1/1/1945: 8-9.
28 J.K.P
Panggabean, “Perdjoeangan Orang Kristen”, Pedoman, 1/1/1945: 11-12.
29 M.K.
Tjakraatmadja, “Kewadjiban Pemoeda Kristen dalam Lasjkar Perintis”, Pedoman,
1/1/11945: 8.
30 Mengenai
kegiatan dan pemikiran Probowinoto di bidang politik, lihat Nico L. Kana dan N.
Daljdoeni,Ikrar dan Ikhtiar dalam Hidup Pendeta Basoeki Probowinoto (Jakarta:
BPK Gunung Mulia, 1987), hlm 49-69.
31 B.
Probowinoto di , “Pembentoekan Party Keristen National”, Pedoman,
1/1/ 1945: 10.
32 Ibid., hlm.
11.
33 B.
Probowinoto, “1 Djanoeari”, Pedoman, 1/3/1946:4.
34 B.
Probowinoto, “1 Djanoeari”, Pedoman, 1/3/1946:4-5; tidak jelas apa
yang dimaksudkan dengan celaan terhadap “tjaranja bangsa Indonesia membela
pendiriannja politik” dalam pernyataannya yang bernada “right or wrong my
country” ini. Dalam karangannya yang lain, Probowinoto menyinggung tentang
adanya kekurangan-kekurangan pemerintah, tetapi menentang kritik-kritik yang
memakai kenyataan itu untuk merobohkan kabinet. Lihat B. Pr[obowinoto], Menyokong
Siasat Politik Pemerintah”, Pedoman, 1/4/1946: 4-5.
35 J.L.Ch.
Abineno, “Partai Politik”, Pedoman, 1.1.1945:16-18. Abineno
menghiasi majalah ini dengan beberapa syair yangmenggambarkan pergumulan iman;
cerminan pergumulan di tengah pergolakan masa itu. Salah satu syairnya
berbunyi: Dalam irama / soeka dan doeka / tahoedan tanja / akoe mentjari/
djalan kembali / melintas gelombang / dan laoetan tenang / keroemah Abawi.
Abineno, “Akoe Mentjari”,Pedoman, 1/4/1946: 13. Prof. Abineno pernah
memimpin suatu majalah sastra bersama Sutan Takdir Alisjahbana.
36 “Pergantian
Tahoen”, Pidato Radio Mr. Tamboenan pada tanggal 31 Desember 1945, Pedoman,
1/3/1946: 3. Tamboenan pada tanggal 31 Desember 1945, Pedoman, 1/3/1946: 3.
Tamboenan menyebut alamat-alamatnya seruannya: “The Church of England”, “The
Bishop of Canterbury”, “The Bishop of York”, “The World’s Student Christian
Federation”, “Oecumenische Beweging”, “Nederlandse Hervormde Kerk”.
37 “Parkindo
24 Tahun”, Komunikasi, 9/1969: 5.
38 Lihat
J. Leimena, “Gereja dan Keinsafan Politik”, dalam J.C.T. Simorangkir, Manuscript
Sejarah Parkindo, hlm. 430-437 (naskah dimuat dalam Ejaan Yang
Disempurnakan, tanpa sumber, tetapi lihat daftar karangan Leimena mengenai
kenegaraan/politik dalam P.D Latuihamallo dkk (pan),Kewarganegaraan yang
Bertanggungjawab, hlm. 346.)
39 Leimena,
“Gereja, Negara dan Keinsafan Politik”, dalam J.C.T. Simorangkir, Manuscript
Sejarah Parkindo, hlm. 432.
40 Ibid., hlm.
435.
41 Ibid., hlm.
436.
42 Notohamidjojo, Iman
Kristen dan Politik (Djakarta: Badan Penerbit Kristen, 21952),
hlm. 47; edisi pertama buku ini terbit tahun 1951, sehingga pemikiran di
dalamnya dapat mencerminkan pemahaman politik kalangan PARKINDO pada periode
sebelumnya. Dalam kata pengantarnya penulis menyatakan: “Buku ini sekali-kali
bukan suatu program politik Kristen Protestan di Indonesia. Hendakja kitab ini
dipandang sebagai suatu pertjobaan untuk menjinarkan terang asas-asas Kristen
kepada tanggapan sesaat (momentopname) keadaan2 di Indonesia.” (hlm. 3).
43 Notohamidjojo
menyebutkan sejumlah aliran: “aliran Islam, aliran seculair humanis, aliran
kebangsaan, aliran Komunisme jang radikal, aliran Kristen”. Lihat
Notohamidjojo, Iman Kristen dan Politik, hlm. 48. Notohamidjojo
mencatat alasan tambahan bagi pentingnya suatu partai politik Kristen di
Indonesia, yang disebutnya alasan pedagogis, yaitu untuk menolong orang-orang
Kristen yang terseret oleh arus politik lain: “Rasul Paulus dalam surat Rum,
mejogiakan supaja jang teguh dalam kepertjajaannja memapah saudara2nja jang
lemah dalam iman; supaja kita sekalian saling mendjaga djangan sampai
tersentuh, supaja kita sekalian saling berpegangan dalam kesatuan para sutji.
Kata2 ini berlaku pula pada lapang politik.” (lihat Rm. 15:1); tetapi juga
menyebut bahaya-bhaya bagi suatu Partai Kristen: menyamakan program politik
partai dengan kehendak Tuhan, membeku atau menjadikonservatif dan mengasingkan
diri secara munafik (farizees isolement) (hlm. 49 dyb).
44 Mengenai
pndangan teokrasi Calvin, lihat Yohanes Calvin, Institutio: Pengajaran agama
Kristen (Jaarta: BPK Gunung Mulia, 1980), hlm. 252-260 (IV. Xx).
45 Majalah
PARKINDO, Pedoman, diterbitkan oleh lembaga penerbitan Zending,
tetapi juga tidak jelas siap yang menanggung biayanya. Walaupun tidak ada hubungan
langsung, tidak berarti bahwa kalangan Zending berdiam diri terhadap
masalah-masalah politik yang dihadapi orang Kristen Indonesia.
46 Konsep
ini dikenal sebagai “Piagam Jakarta”. Pancasila sebagai dasar dan ideologi
negara tidak disinggung dalma karangan-karangan maupun dalam
keputusan-keputusan Parkindo masa itu.
47 Agak
aneh bahwa sampai kini tidka ada kelompok atau perorangan Kristen yang mengaku
turut melahirkan aspirasi yang kemudian disalurkan kepada PPKI (Bung Hatta)
melalui seorang perwira Kaigun Jepang. Megenai sikap politikPARKINDO kemudian
terhadap dasar negara, lihat W.J. Rumambi, “Tentang Dasar Negara RI” dan J.C.T.
Simorangkir, “Kembali ke UUD 1945”; keduanya dimuat sebagai lampiran dalam
Simorangkir, Manuscript Sejarah Parkindo, hlm. 446-453 dan hlm.
488-510.
48 Yamin, Naskah
Undang-Undang Dasar 1945, 1, hlm. 259, Latuharhary didukung oleh
Wongsonegoro dan Djajadiningrat, tetapi disanggah oleh Agus Salimdan Wachid
Hasjim. Ketua (Sukarno) menolak keberatan Latuharhary dengan menekankna bahwa
“kalimat itu kompromis antara golongan kebangsaan dan Islam, jang hanja
didapatdengan susah pajah”. Dapat diduga bahwa keberatan ini luas membentuk
suatu sikap bulat untuk memisahkan diri dari Republik, jika rumusan
diskriminatif itu tetap dipertahankna dalam Pembukaan UUD. Lihat Mohammad
Hatta, Memoir (Djakarta: Tintamas, 1968), hlm. 458 dyb.
49 Mengenai
konferensi Gereja dan Zending di Malino tangal 15-25 Maret 1947, lihat P.N.
Holtrop, Selaku Perintis Jalan Keesaan gerejani di Indonesia: Sejarah
Madjelis Keristen Indonesia bahagian Timur 1947-1956 (Ujung
Pandang:ISGIT, 1982).
50 Lihat
M. Sondakh, “Oeraian tentang ‘Geredja, bangsa dan Negara”, dalam Arsip
Madjelis Keristen; petikan-petikan terdapat dalam Holtrop, Selaku
Perintis Jalan, hlm. 66-68.
51 Rumusan
Malino dimuat sebagai lampiran dalam Holtrop, Selaku Perintis Jalan,
hlm. 139-141.
52 Perhatikan
bahwa rumusan Malino tidak menyebutkan NIT, melainkan “Negara Indonesia jang
merdeka”.
54 Lampiran
4 dalam Holtrop, Selaku Perintis Jalan, hlm. 140. Statement on
Religious Liberty, yang dikutip dalam naskah ini, dihasilkan oleh Joint
Committee on Religious Liberty, yang dikutip dalam naskah ini, dihasilkan oleh
Joint Committee on Religious Liberty dari gerakan oikumenis di Amerika pada
tahun 1944.
55 Lihat Toetoeran
Sinode Am jang Ketiga Geredja Protestant di Indonesia (Bogor 30 Mei –
10 Juni 1938), hlm. 88-106.
56 Ibid.
hlm. 90.
57 Ibid.
58 Ibid.,
hlm. 91 dyb.
59 Ibid.,
hlm. 92 dyb.
60 Ibid.,
hlm. 100 dyb.
62 Ibid.,
hlm. 94 dyb.
63 Ibid.,
hlm. 136 dyb.., lihat pula hlm. 102 dan 105.
64 Mengenai
riwayat pekerjaan Pdt. Sjamsuddin Denso (Daeng Soreang) di kalangan orang
Bugis, lihat Christiaan G.F. de Jong, Geesten, Goden en Getuigen:
Geschiedenis van de Nederlandse Zendingonder de Buginezen en Makassaren in Zuid-Sulawesi
(Indonesië) (Kampen: J.H. Kok, 1991), hlm. 95-105.
65 Toetoeran
Synode III, hlm. 97. Rupanya Denso sudah pula mengirim surat kepada
Kerkbestuur, yang selanjutnya telah menghubungi pihak militer di Makassar
mengenai hal iut. Tentang “Korban 40.000 di Sulawesi Selatan”, lihat Barbara
Sillars Harvey, Pemberontakan Kahar Muzakkar: Dari Tradisi ke DI/TII(Jakarta:
Grafiti, 1989), hlm. 125-137.
66 Toetoeran
Synode III, hlm. 98.
67 Ibid.,
hlm. 99. Ketika komisi perumus seruan ditunjuk, Mr. A.L. Fransz juga mengharapkan
supaya juga disinggung masalah Indo-Eropa.
68 Ibid.,
hlm. 9.
69 Ibid.,
hlm. 100 dyb.
70 Ibid., hlm.
101 dyb.
71 Ketika
GPI merumuskan “a very mild appeal” and “might be interpreted as favoring the
Sutch party”, U.H. van Beyma mengecam GPI. “.. he blamed the Curch for missing
the chanceto be an instrument of reconsiliation in the Dutch-Indonesian
dispute”. Lihat Tiat Han Tan, The Attitude of Dutch Protestant Missions
Toward Indonesian Nationalism 1945-1949 (Diss. Priceton 1967), hlm.
322-325.
72 Toetoeran
Synode Am ke-III, hlm. 105 dyb.
73 Lihat
catatan mengenai Anggaran Dasar PKMI dalam bab III di atas. Salah satu studi
mengenai kebebasan beragama di Indonesia kemudian adalah disertasi Dr.
Sidjabat. Lihat Walter Bonar Sidjabat,Religious Tolerence and the Christian
Faith: A Study Concernig the Concept of Divine Omnipotence in the Indonesian
Constitution in the Light of islam and Christanity (Djakarta: Badan
Penerbit Kristen, 1965); lihat pula J.A.B. Jongeneel, Hak Atas
Kebebasan Beragama Menurut Deklarasi dan Konvensi-konvensi PBB dan
Undang-undang R.I. (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1976).
74 Verkuyl, Gedenken
en Verwachten, hlm. 171 dyb. Bagian yang diabaikan dalam kutipan di atas
menyebutkan alasan-alasan yang ditolak Verkuyl: relativisme agama,
indifferentisme terhadap kebenara, ketakacuhan liberalisme, entusiasme romantik
dan idealisme gama dan filsafat.
75 Lihat
notulen dalam M. Yamin, Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945,
hlm. 457.
76 Mengenai
masalah-masalah seputar Departemen ini, lihat B.J. Boland, Pergumulan
Islam di Indonesia, 1945-1970 (Jakarta: Grafitipers, 1985), hlm. 109-116;
dan idem, Godsdienstpolitiek in de Indonesische Republiek (Leiden:
UniversitairePers, 1977). Sejak awal Menteri Agama menyatakan fungsi positif
kementeriannya bagi semua agama: “Keadaan jang sewadjarnja, realiteit jang
njata mendjamin bahwa bangsa Indonesia, baik jang memeloek agama Islam, agama
Kristen atau lainnja, akan mendapatkan hasrat merekadalam Kementerian Agama.
Kita sebagai soeatoe bangsa, jang ingin hidoep bersama dalam negara Republik
Indonesia tentoe bersatoe padoe dalam menegakkan Pemerintah kita, menghadapi
doenia loear. Perbedaan kejakinan dan agama tidak akan dapat memisah kita.
Harga menghargai satoe dengan lainnja, serta le desir de vivre ensemble, hasrat
oentoek hidoep bersama, sebagai kata Earnest Renan [sic], serta pengoerbanan
jang telah dilakoekan oleh ra’jat Indonesia dengan segala golongannja, serta
kesanggoepan jang akan menjampaikan kita kepada kemerdekaan jang kekal dan
abadi.” [Rasjidi], “Pidato Menteri Agama dalam Konperensi Djawatan Agama
Seloeroeh Djawa-Madoera, pada tg. 17/18-3-1946 di Solo”, (Arsip Madjelis
Keristen, stensilan berbentuk notes saku, 16 halaman), hlm. 16.
77 Pada
tahun 1977 Boland menunjukan contoh-contoh dari “islamitische sfeer”
kementerian ini, tetapi melihat permulaan baru dalam penunjukan Dr. Mukti Ali
sebagai Menteri Agama. Lihat Boland,Godsdienstpolitiek in de Indonesische
Republiek, hlm. 7-13. Boland mencatat – menentang tanggapan
yang memandangnya sebagai “kubu Islam dan pos depan untuk sebuah negara
Islam’ – makna positifnya: “(1) bahwa kementerian itu menawarkan kemungkinan
bagi agama, khususnya agama Islam,untuk berperan seefektif mungkin dalam negara
dan masyarakat, dan (2) dalam sebuah negeri yang sangat bercorak Muslim,
Kementerian ini merupakan suatu jalan tengah antaranegara sekuler dan suatu
negara Islam.” B.J. Boland, Pergumulan Islam di Indonesia, 1945-1970 (Jakarta:
Grafitipers, 1985), hlm. 111 dyb.
78 [Notulen]
Konperensi Pembentukan Dewan Geredja-geredja di Indonesia, hlm. 25.
79 Ibid., hlm.
25. Salah satu pemikiran dari kalangan kristen belakangan ini mengenai
Departemewn Agama disuarakan oleh alm. Dr. T.B. Simatupang, yang mengusulkan
pergantian namanya menjadi Departemen Keagaam (dalam arti Departement of
Religi-ous Affairs) dan menambahkan Direktorat Jenderal Kerjasama Antar Umat
Bera-gama di dalam Departemen tiu. Lihat T.B. Simatupang,Pembangunan
Nasional sebagai Pengamalan Pancasila: Dari Buntut dalam GBHN 1983 mejadi
Jantung dalam GBHN 1988 (Jakarta: Universitas Kristen Indonesia,
1987), hlm. 59.
80 Abu
Hanifah, salah seorang pemuka Islam mencatat pengalamannya pada masa revolusi:
“Suspects were usually old servicemen of the colonial Government, members of
the old aristocracy and also often just Christians in my region were mostly
people from East Indonesia, from North Celbes, the Menadonese, or the people
from the Mollucas such as the Ambonese. These sus picions came about because in
the colonial time Dutch had favoured the Christians very much above the Moslems
Indonesians, openly supporting Protestant and Catholic mission schools and
churches. This ide of an alliance beetwen the Christians and the Dutch was
deeply imprinted in the minds of the Moslem indonesians.” Abu Hanifah,Tales
of a Revolution (Sydney etc: Angus and Robertson, 1972), hlm. 176.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar