Jumat, 09 Maret 2012

POKOK POKOK KESIMPULAN


Pokok-pokok Kesimpulan

POKOK-POKOK KESIMPULAN


Terasing dari Dunianya 
Ketika agama Kristn masuk ke Indonesia pada pertengahan abad ke-16, Indonesia sedang mengalami rekonfigurasi sosial politik. Kerajaan-karajan Hindu sedang runtuh dan digantikan oleh pusat-pusat kekuasaan Islam. Sementara itu kelompok-kelompok suku pedalaman mengalami kehidupannya dalam lingkaran sejarah yang seakan tak beranjak. Berbeda dengan kehadiran agama-agama “impor” sebelumnya, agama Kristen tidak disebarkan dengan mendirikan pusat-pusat kekuasaan pribumi. Para pembawa agama Kristen menempatkan kekuasaan dagang (dengan benteng-bnteng pemukiman asing sebagai pusatnya) sebagai kepentingan utamanya, bukan kekuasaan pemerintahan. Sebab itu tidak terbentuk negara-negara teokratis Kristen di Nusantara. Maka agama Kristen di Indonesia tetap tampak sebagai agama bangsa dan pemerintah asing. Selain itu, dalam agama Kristen urusan perniagaan tidak bersanding serasi dengan urusan keagamaan. Upaya mencari laba tidak seiring jalan dengan panggilan mencari jiwa-jiwa. Maka siar Injil – walaupun merupakan salah satu bagian pokok dari kegiatan para saudagra dari dunia Kristen itu – tidak dilaksanakan atau didukung dengan sepenuh hati. Sebaliknya, agama Kristen diperalat: persaingan dan permusuhan antar bangsa-bangsa yang memperebutkan monopoli perdagangan dan kekuasaan di Nusatara adalah pula pengelompokan yang mempermusuhkan penganut agama yang berbeda. Agama menjadi alat pembeda dan pengikat kelompok dalam kekuasaan atas perdagangan. 
Adalah para agamawan dari beberapa golongan biarawan Katollik, khususnya dari Ordo-ordo Fransiscan, Dominikan dan Yesuit yang ikut menyusuri jalur pelayaran sutera ke Asia  untuk “menyegerakan pertobatan orang-orang khalaik”.1 Pada beberapa tempat mereka berhasil memperoleh sejumlah penyambut, yang umumnya dibaptiskan secar masal tanpa persiapan yang memadai, dan misalnya di Indonesia, orang-orang Kristen pribumi itu diasingkan dari masyrakatnya dalam pemukiman di sekiter benteng. Pengkristenan menjadi alienation dalam pola “kekristenan benteng” tersebut: orang Kristen pribumi tercabut dari lingkungan masyarakat aslinya dan hidup dalam peniruan gaya hidup sing di sekeliling pusat kehidupan Eropa itu.
Pembinaan jemaat di lingkungan masyarakat sendiri, seperti di pulau-pulau Lease, Maluku Tengah, tidak diselenggarakan semestinya, antara lain oleh karena kurangnuya tenaga pelayan. Akibatnya, terjadi pertemuan kekristenan dengan kepercayaan pra-Kristen yang tidak diarahkan, sehingga unsur-unsur kepercayaan lama terbawa ke dalam kekristenan. Kekristenan dari mereka yang tinggal di sekitar pemukiman masyarakat Barat, maupun dalam masyarakat yang sebagian dikristenkan, sesuai perkembangan kekristenan masa itu, sampai belum mengembangkan persekutuan gereja yang kritis menghadapi kenyataan-kenyataan sosial politik dan tradisi adalah politisasi kekristenan yang dikemukakan di atas. Penduduk dikristenkan secara masal, antara lain untuk mengikat mereka secara politik kepada kepentingan monopoli perdagangan bangsa Eropa.
Pengalihan sebagian besar jemaat-jemaat Katolik di Nusantara ke Protestantisme di tangan VOC pada abad ke-17 tidak membawa perubahan yang bermakna dalam mengakarkan dan menghidupkan Injil. Walaupun VoC lebih cepat berkembang menjadi kekuasaan yang melampaui benteng-benteng saja, juga tetap menjadi suatu pemerintah asing. Pada masa itu pula menjadi nyata bahwa kepentingan politik dan perdagangan memojokkan kewajiban VOC memelihara kehidupan gereja.
Setelah keruntuhan VOC, penanganan kekristenan di Indonesia oleh pihak pemerintah pemerintah Belanda hanya berubah dalam bentuk pelembagaan gereja Protestan, sebagai gereja negeri. Perkembangan yang bermakna adalah masuknya badan-badan pekabaran Injil pada abad ke-19, yang berusaha mengkristenkan suku-suku terpencil, dan juga mengambil alih sebagian tanggungjawab pelayanan Gereja Protestan di wilayah Indonesia bagian Timur.
Berbagai faktor, antara lain penunjukan pemerintah untuk bekerja di daerah-daerah yang relatif terpencil dan masih mengannut agama sukunya, memberi peluang kepada badan-badan itu untuk juga menjadiagents of modernization. Melalui pelayanan di bidang-bidang pendidikan, kesehatna dan sosial, dalam rangka pemberitaan Injil, wawasan dunia yang baru diretaskan ke dalam kehidupan suku-suku terpencil yang lama tertutup dalam dunianya sendiri. Dengan itu kekristenan memberikan suatu wawasan baru mengenai sejarah, dunia, kehidupan dan masa depan.
Tetapi kekristenan di Indonesia pada abad ke-19 juga belum mengembangkan suatu sikap kritis terhadap kenyataa sosial dan politik kolonialisme. Kehadiran pemerintah kolonial seolah-olah suatu bagian normal dari kehidupan yang lebih maju dan moderen itu. Sering pula timbul pandangan baha kenyataan kolonialisme itu berada di luar wilayah agama. Masalah-masalah sosial, politik, ekonomi dan sebagainya dihisabkan pada “urusan duniawi “, yang tidak kena mengena dengan ibadah, moralitas pribdi atau keselamatan jiwa. Sebab itu agama Kristen tidak menjadi wahana pengungkapan kegelisahan sosial masyarakat.
Sikap kritis kepada pemerintah kolonial dari pihak gereja, khususnya Zending, juga dilemahkan oleh faktor dari luar. Pembatasan-pembatasan pemerintah, demi rust en orde, dan ketergantungan “nasib” pekerjaan penginjilan di tangan pemerintah, sesuai yang tertuang dalam Art. 123 RR tahun 1854 (kemudian dalam Art. 177 IS 1925), melemahkan daya kritis Zending terhadap pemerintah. Di lain pihak, peran pemerintah dalam mengawasi dan menerbitkan keamanan serta menyiapkan prasarana perhubungan di daerah-daerah terpencil (Tanah Batak, Toraja, Poso) diperlukan sebagai dukungan tak langsung bagi pekerjaan Zending.

Pada masa politik Etis, ada dukungan politik terhadap pekabaran Injil, khususnya di bawah Idenburg. Kenyataan itu tidak dapat dan tidak perlu diingkari. Tetapi dapat dijelaskan bahwa apa yang disebut sebagai Kersteningspolitiek masa itu ternyata bukan dukungan terhadap Zending, melainkan sebaliknya, sama seperti pada masa awalnya di Indonesia, agama Kristen diperalat bagi kepentingan politik, yakni untuk melawan pengaruh agama Islam. Dalam hal ini justu kekristenan Indonesia dirugikan, yaitu dipermusuhkan dengan pihak Islam, dan dampak negatifnya sampai kini belum teratasi sepenuhnya. Dapat pula dinyatakan bahwa ketampilan Islam di panggung pergerakan nasional “ditunjang” pula olehKersteningspolitiek tersebut. Kemunculan Muhammadiyah, misalnya, sebagian merupakan reaksi terhadap politik tersebut. Dalam prakteknya, pekabaran Injil tidak dimajukan oleh dukungan langsung pemerintah. Pertambahan jumlah orang Kristen pada beberapa dasa warsa terakhir pemeritahan kolonial, misalnya di Tanah Batak dan Sulawesi Tengah, merupakan buah-buah ketekunan dan kerja keras para pekabar Injil selama belasan bahkan puluhan tahun sebelumnya.
2. Perwalian untuk Masa Depan Bersama?
Politik etis kolonial menjadi faktor penting bagi bangkitnya nasionalisme Indonesia. Perluasan pendidikan dan kemudian pembentukan Volkraad, turut mendorong kalangan Kristen untuk menentukan sikap terhadap gagasan-gagasan masa depan Indonesia. Kebangkitan nasional merupakan suatu proses dengan percepatan yang berbeda pada tiap golongan. Pada tahap awal, dalam bentuk gerakan sosial, kebudayaan dan ekonomi, kalangan Kristen Indonesia melalui berbagai organisasi “masyarakat Kristen” turut memperjuangkan kemajuan bagi kelompoknya. Dalam hal ini juga segi agama (Kristen) belum memainkan peran yang penting. Faktor kesukuan (atau kedaerahan)mendominasi pengelompokan di kalangan orang-orang Maluku dan Minahasa di Jawa, yang pada masa itu menganut agama Kristen. Faktor kesukuan ini pula yang menentukan sikap politik kebanyakan orang Kristen dalam pergerakan nasional, ketika pergerakan itu telah beranjak ke tingkat politik – ideologis.
Dalam kerangka politik kolonial yang memberi kesempatan kepada penduduk Indonesia untuk turutmenangani urusan pemerintahan melalui pembentukan Volksraad (1918), perlahan-lahan muncul suatu kesadaran politik Kristen. Pembentukan Christelijk Etische Partij (CEP, kemudian menjadi CSP) pada tahun 1917 dapat dilihat sebagai penyadaran pihak Kristen untuk turut berpolitik: lamabat-laun orientasi kesukuan atau kedaerahan dialihkan (atau digabungkan) dengan oriwntasi kekristenan dalam pergerakan nasional. Tetapi kendala utama dalam proses ini adalah sifat konservatif CEP/CSP, yang membebek pada gagasan perwalian pemerintah kolonial. Kekecewan bertambah kemudian, ketika CEP, patron politik Kristen pribumi yang didominasi orang Kristen Eropa itu, mangkhianati sekutu pribuminya dengan menolak gagasan Inlandsche meerderheid dan kemudian juga menolak Petisi Soetardjo dalam Volksraad. Partai Kaoem Masehi Indonesia (PKMI), yang dibentuk ,pada tahun 1930 sebagai partai Kristen nasional, gagal karena tidak menampung aspirasi yang progresif para aktivis nasionalis Kristen dan karena dihempangoleh kuatnya ikatan-ikatan kesukuan atau kedaerahan.
Gagasan politik yang diketengahkan oleh para “politikus Kristen” dalam partai-partai Kristen masa pergerakan memperlihatkan beberapa kenyataan. Pertama-tama, sesuai hakikat suatu partai politik agama, tekanan teokrasi sangat menonjol,m yang disini diartikan sebagai usaha memperjuangkan supaya prinsip-prinsip Kristen diberlakukan pda semua bidang kehidupan negara dan masyarakat (tetapi bukan pembentukan negara atau pemerintahan Kristen).
Sumbangan penting yang diungkapkan dalam prinsip teokrasi ini adalah pembumian iman Kristen sehingga menyentuh soal-soal sosial dan politik yang pada periode sebelumnya dianggap berada di luar urusan agama. Tetapi prinsip itu belum dikembangkan secara penuh, belum merupakan partisipasi kritis Kristen dalam masalah-masalah sosial politik.
Sikap kolot tersebut berkaitan dengan tekanan lain dalam pemikiran politik partai-partai Kristen masa itu, yakni kesetiaan kepada pemerintah berdasarkan pemahaman atas teks Alkitab bhawa pemerintah adalah hamba Allah, atau bahwa kekuasaan pemerintah berasal dari Allah (Rm. 13: 1-7, Yo 19:11). Dalam pandangan yang didasarkan pada penafsiran yang sempit pada Kitab Suci ini justru  diabaikan pokok penting, yakni sikap politik kritis terhadap hubungan kolonial. Baik CEP maupun PKC dan PKMI, jelas-jelas mendukung pemerintah kolonial dan menaruh harapan pada fungsi perwaliannya membimbing bangsa Indonesia ke masa depan. Slogan nasionalis Indië los van Nederland dianggap gegabah atau tidak realistis.
Bagaiman menjelaskan loyalitas para politisi Kristen terhadap pemerintah kolonial ini? Selain pemahaman sempit atas nasihat Rasul Paulus dalam Romapasal 13 dan atas sabda Yesus terhadap Pilatus dalam Yohanes 19 itu, bahwa pemerintah adalah pemegang mandat kekuasaan dari Tuhan Allah, mereka juga memandang pergerakan nasional sebagai gerakan radikal pihak Islam dan pihak Komunis, yang merupakan “musuh-musuh” pihak Kristen.2 Maka pemihakan pada pemerintahan kolonial berkaitan pula dengan kenyataan minoritas pihak Kristen, yakni berlindung dari tekanan golongan-golongan yang besar. Hal ini menjelaskan pandangan politik Kristen selanjutnya, yakni yang sangat menekankan kebebasan beragama.3 Sikap yang sama tampak dalam penolakan beberapa organisasi masyarakat Kristen menggabung dalam PPPKI pada akhir rahun 1920-an, yang berkaitan dengan keanggotan partai yang tidak netral agama dalam federasi itu4 Penjelasan lain terdaspat dalam kenyataan bahwa sikap politik Kristen di Indonesia dikembangkan mula-mula dalam lingkungan dan didominasi oleh pihak Belanda (CEP), yang konservatif.
Para aktivis politik Kristen yang siuman terhadap pergerakan nasional memilih meninggalkan politik Kristen lalu menggabung dengan para aktivis “nasional sekuler”. Demikianlah Dr. Ratu Langie secara sadar memilih bergiat dalam kelompok Kebangsaan, bukanlah dalam lingkungan pengaruh partai Kristen. Tidak seperti yang banyak dilakukan politisi Kristen kemudian, Ratu Langie tidak memilih suatu kelompok non-Kristen untuk menjalankan panggilan Kristennya, melainkan “meninggalkan politik Kristen” dalam arti sikap politiknya tidak bertolak dari wawasan kekristenan. Model keterlibatan politik para polotisi Kristen di luar organisasi politik Kristen merupakan pendekatan lain, yang disarankan antara lain oleh Amir Sjarifuddin.
3. Wawasan Baru Generasi Baru
Amir Sjarifuddin dan angkatannya tergolong generasi kedua dalam pergerakan nasional (Angkatan 28, yang disebut Abu Hanifah “The Angry Young Men of 1928”), yang juga merupakan generasi baru dalam perpolitikan Kristen. Generasi ini juga tergolong baru dari segi visi mengenai kaitan kekristenan dengan pergerakan nasional Indonesia. Berbeda dengan generasi Moelia atau Ratu Langie, mereka memperhubungkan iman Kristen dengan sikap nasionalisme melalui pendekatan oikumenis.5 Dalam hubungan itu, peranan para pengasuh mereka, seperti Dr. C.L. van Doorn, Mr. J.M.J Schepper patut dicatat. Demikian pula organisasi-organisasi seperti Vio-NCSV, CSV op Java, atau Komisi Pemuda NIZB dan organisasi-organisasi pemuda dan mahasiswa serta wanita lainnya.
Tokoh-tokoh pengasuh para pemuda dan mahasiswa Kristen pada tahun 1920-an  dan 30-an tersebut sama berlatar belakang gerakan mahasiswa Kristen sedunia, yang walaupun secara teologis tergolong eksklusif, dapat menanggapi pergerakan nasional secara relatif progresif.6 Walaupun bukan yang pertama, Kraemer dapat dianggap juru bicara utama dalam penyadaran gereja dan Zending terhadap pergerakan nasional Indonesia. Dan khusus terhadap pembinaan para pemuda, ”dwisila Bandung”nya7 terbukti berhasil dalam pembinaan dan mahasiswa Kristen bervisi baru tersebut. Van Doorn, Schuurman dna Schepper dan para pembina lainnya mempersiapkan generasi muda Kristen Indonesia dengan pandangan-pandangan yang progresif terhadap nasionalisme.
Dalam kebangkitan generasi muda Kristen berwawasan baru itu pentinglah mencatat beberapa faktor penentu. Pertama, adanya para pembina yang berwawasn progresif, yang mengenal secara baik prinsip-prinsip iman Kristen dan memahami secara mendalam berbagai masalah sosial-politik yang berkembang dalam masyarakat, dan yang commited terhadap panggilan pembinaan. Terutama pasangan suami isteri van Doorn-Sinjders merupakan tokoh-tokoh panutan. Kedua, adanya jarignan pelayanan yang luas dan terkoordinasi dalam satu wawasan dan kerjasama dengan rekan-rekan sejabat. Ketiga, adanya pusat-pusat pertemuan dengan program berkala terencana dengan baik. Peran Student Centre seperti ClubhuisKebon Sirih 44 sangat penting dengan sarana pendukungnya (ruang pertemuan, perpustakaan dst). Akhirnya, sifat yang oikumenis dan kebebasan dari ikatan dengan lembaga gereja tertentu. Sifat ekstra-gereja dan interdenominasi organisasi-organisasi pelayanan pemuda dan mahasiswa asuhan van Doorn dan kawan-kawan mendukung perluasan wawasan melalui pergaulan dengan sesama anggota dari latar belakang yang berbeda.
Sikap nasionalis generasi muda tersebut merupakan bagian dari visi oikumenis yang berkembang dalam lingkungan mahasiswa Kristen sedunia. Dalam bentuknya dikalangan pergerakan mahasiswa, visi oikumenis mempertemukan beberapa gagasan sekaligus: kesungguhan menjalani iman Kristen, perhatian pada masalah-masalah sosial-politik nasional dan internasional, serta pengembangan kerjasama antara orang Kristen yang berbeda aliran. Jadi, visi oikumenis bukan sekadar membawa kepada pembebasan dari batas-batas denominasi gerejanya. Lebih luas dan dalam lagi adalah menjadi pembebasan dari kekristenan yang membatasi diri dalam dunia rohani, pembebasan dari batas-batas nasionalisme yang sempit dan radiakl, tetapi juga pembebasan dari sikap masa bodoh terhadap kenyataan sosial-politik yang dihadapi bangsanya. Titik tolaknya adalah menjadikan kekristenan sebagai kewargaan Kerajaan Allah. Dalam kewargaan ini kesetian kepada kehendak Allah menentukan dan melampaui kesetian terhdap bangsa. Dan bakti kepada masyarakat, bangsa dan negara dilakukan dalam rangka menegakkan kehendak Allah di dalam kehidupan nasional. Di bidang politik, prinsip ini mengarahkan para politisi Kristen pada gagasan teokrasi.
Konferendi WSCF pada tahun 1993 di Citeureup mengungkapkan prinsip-prinsip dasar sikap oikumenis yang diperkembangkan dalam gerakan mahasiswa Kristen sedunia ini. Dalam konferensi itu menjadi nyata kedalaman visi oikumenis mereka. Maka dapat dibayangkan bahwa kegiatan-kegiatan dalam gerakan mahasiswa Kristen masa itu, misalnya di Clubhuis. Organisasi 44, lebih dari sekadar “ceramah-ceramah rohani” atau penelaahan Alkitab yang dangkal. Bijbelkring merupakan pendalaman ajaran Alkitab dalam kaitan dengan kenyataan-kenyataan aktual masyarakat dengan sikap keterlibatan. Komitmen mereka dalam kehidupan gereja dan masyarakat, misalnya, dengan mengambil bagian dalam organisasi-organisasi pergerakan nasional mewujudkan ideal yang dalam kalangan mahasiswa Kristen Indonesia menjadi slogan “tinggi iman, tinggi ilmu dan tinggi pengabdian”.
Salah saatu ciri penting dalam kalangan pergerakan mahasiswa Kristen masa itu adalah pandangan teologi yang eksklusif. Pandangan ini memperlebar jarak dengan pihak Islam, yang akar-akarnya berasal dari permusuhan dalam sejarahh Eropa dan kemudian dari politik kolonial. Dengan kata lain, dalam visi oikumenis dan eksklusivisme agama. Disamping faktor kesejahteraan lainnya, mentalitas eksklusif itu menggiring pihak Kristen ke suatu blok politik tersendiri. Pada satu pihak sikap ini memperkuat solidaritas dan identits orang Kristen di Indonesia, tetapi pada segi lain, turut menghambat kerukunan antar umat beragama dalam Indonesia merdeka.
Sumbangan penting bagi kelahiran generasi berwawasan oikumenis juga datang dari pendidikna teologi. Sekali lagi Kraemer dan Schuurman bersama tokoh-tokoh lain, seperti Müller-Krügerdan kemudian Rasker tampil sebagai penganjur-penganjur di bidang ini. CSV op Java dan pembinaan pemuda mempersiapkan intelegensia Kristen sebagai kader-kader Kristen di bidang politik, sedangkan pendidikan teologi khususnya HTS, malahirkan kader-kader pemimpin gereja. Dengan demikian maka menjelang Indonesia merdeka pihak Kristen sempat memperoleh kader-kader yang – walaupun bilangannya tak seberapa – sangat bermakna bagi panggilan kekristenan dalam Indonesia merdeka.
4. Partisipasi Teokratis
Dalam kenyataan sejarahnya, generasi muda yang dibicarakan di atas pada umumnya tertuju ke dalam dunia politik dalam suatu situasi baru, yakni ketika kemerdekaan Indonesia telah diproklamirkan. Dalam kenyataan itu mereka berhadapan dengan masalah-masalah konsolidasi intern Indonesia merdeka dan konfrontasi dengan pihak Belanda yang mengklaim Indonesia sebagi jajahannya. Jika dibandingkan dengan generasi Kristen itu tidak banyak berbeda. Tekanan pada kecenderungan teokrasi, loyalitas pada pemerintah yang berkuasa atau alert terhadap golongan-golongan non-Kristen sama mewarnai pandangan politik mereka. Dengan kata lain, terdapat kesinambungan dalam prinsip-prinsip politik Kristen sebelum dan sesidah perang.
Tetapi perbedaan sikap terhadap kemerdekaan Indonesia juga menandai adanya suatu discontinuity. Jika diperhubungkan dengan visi oikumenis generasi baru, maka dukungan terhadap kemerdekaan bangsanya lahir dari pandangan yang sama sekali baru mengenai sejarah dan kemanusiaan. Intinya adalah hak setiap bangsa untuk memperkembangkan kehidupan kebangsaannya masing-masing dalam kemerdekaan demi kesejahteraan umat manusia seluruhnya. Hanya satu bangsa yang merdeka yang dapat “melayani” kemanusiaan, dan dengan demikian memuliakan Allah. Dalam titik tolak ini terdapa t motif yang lebih dalam, yang berhubungan dengan teokrasi: bagsa dan negara sebagai wahana dalam pelaksanaan kehendak Allah di dalam dunia. Sebab itu pula secara prinipil kekristenan kritis terhadap nasionalisme dan menekankan ketaatan kepada kehendak Allah. Agama di atas kebangsaan.
Kecenderungan teokratis ini, dalamarti pemberlakuan kehendak Allah dalam kehidupan masyarakat, bangsa dan negara, merupakan dasar dari partisipasi Kristen di bidang politik di Indonesia sejak zaman pergerakan. Pandangan-pandangan pribadi ataupun pernyataan organisasi politik Kristen pada zaman pergerakan dan PARKINDO secara resmi pada beberapa tahun pertama kemerdekaan diwarnai oleh kecenderungan ini. Demikian juga pemikiran politk yang berkembang di dalam lingkup gereja, baik di Indonesia bagian Timur (Konferensi Malino, 1947), maupun Gereja Protestan (Sinode Am ke-3 GPI, Bogor, 1948).
Tetapi kecenderungan teokratis ini tidak diperjuangkan dalam bentuk suatu “negara Kristen”. Mlahan pihak Kristen sangat menekankan kebebasan agama8 dan menentanggagasan-gagasannegara Islam atau pendasaaran negara pada keyakinan sesuatu agama (Piagam Jakarta, UUD NIT).9 Kekristenan sudah lama mengalami pencerahan: negara Kristen adalah kenyataan Abad-abad Pertengahan Eropa, yang tidak lagi sesuai dengan perkembangan bina negara (statecraft) modern. 
Dalam kaitan dengan kebebasan agama itu, pihak Kristen juga menekankan demokrasi dan nasionalisme. Program politik dalam negeri PARKINDO pada Kongres ke-1, tahun 1945, menyatakan tekad “meresapkan arti kedaulatan rakjat jang sebenar-benarnja dan seloeas-loeasnja” di samping “mempertebalkan rasa kebangsaan dan memperkokoh rasa persatoean, memberantas rasa kedaerahan”. Demikianlah dalam politik Kristen Indonesia, prinsip teokrasi dipadukan dengan asas-asas kebebasan beragama, nasionalisme dan demokrasi. Pihak Kristen mendukung pemerintah yang mempertahankan asas-asas itu mempertahankan asas-asas itu, sebagaimana yang tertuang dalam UUD 1945.10 Berbeda dengan dukungan terhadap pemerintah kolonial sebelumnya, yang berdasarkan penerimaan gagasan perwalian, dukungan kepada pemerintah Indonesia merdeka berkaitan dengan asas-asas tersebut. Sikap ini “kebetulan” cocok dengan pemahaman Kristen yang umum masa itu terhadap pemerintah (Rm. 13:1-7). Kekuatiran terhadap adanya usaha golongan politik yang menghendaki negara Islam atau yang menentang kebebasan (ber)-agama memperkuat “ketaatan” pihak Kristen kepada pemerintah. 
Sebagai catatan akhir mengenai pokok ini, satu dua hal dapat dikemukakan mengenai gereja dan politik. Menjelang kemerdekaan Indonesia, pihak gereja mulai sadar terhadap panggilan politik Kristen di Indonesia. Tetapi gereja juga sadar mengenai batas-batas dalampanggilan itusupaya greja tidak menjadi kelompok politik. Peran gereja adalah menyatakan kasih, penghakiman dan kehendak Tuhandalam kehidupan nasional. Dalam bingkai itu gereja memberi tuntunan kepada warganya yang menjalankan peran politik, supaya dapat melaksanakannya dalam kesetiaan kepada Tuhan. Maka dalam arti yang dalam dan luas, partai politik Kristen dianggap sebagai salah satu wujud khusus dari pelayanan gereja terhadap dunia. Dalam pengertian ini terungkap salah satu dimensi dari temuan gerakan oikumene, yaitu pelayanan sosial politik gereja.11 
5. Model-model Keterlibatan Kristen 
Sejarah kekristenan dan nasionalisme Indoensia dalam kurun masa pergerakan nasional menampilkan tokoh-tokoh Krisen, baik orang asingmaupun orang Indonesia,yang telah menyumbangkan karya hidupnya bagi kekristenan di Indonesia. Yang hendak dicatat secara singkat dalam evaluasi ini adalah beberapa orang dari mereka yang berperan penting dalam perjumpaan pergerakan nasonalisme dengan kekristenan di Indonesia, untuk melihat model-model keterlibatan orang Kristen dalam bidang  politik. 
Sebagaimana digambarkan dalam studi ini, Dr.T.S.G. Moelia merupakan prototipe dari politikus Kristen Indonesia angkatan pertama. Moelia berakar kuat dalam lingkungan Zending dan sukunya, konservatif dalam sikap politik terhadap kolonialisme. Baru kemudian dia mengisi kemerdekaan Indonesia dengan pelayanan di bidang pendidikan dan kegerejaan. Rekan seangkatannya dan yang juga pernah menjadi anggota Volksraad, Dr.G.S.S.J. Ratu Langie, lebih kritis terhadap nasionalisme, tetapi berorientasi kedaerahan. Tetapi Ratu Langie tidak dapat digolongkan sebagai politikus Kristen, dalam arti pembawa aspirasi politik berdasarkan prinsip-prinsip Kristen secara formal. Baginya, agama tidak perlu dikedepankan dalam percaturan politik, demi kebersamaan dengan pihak lain. Dua tokoh nasionalis lainnya, Mr. A.A. Maramis dan AJ. Patty (yang dikabarkan masuk Islam kemudian) juga memperlihatkna posisi itu. Stokoh lain dari generasi ini, Mr. J. Latuharhary, sama “sekuler” dan kedaerahan seperti Ratu Langie dan Patty, tetapi kemudian (mennurut Yamin) menyuarakan aspirasi pihak Kristendalam PPKI dengan menolak Piagam Jakarta, pembentukan Kementerian Agama, dan bagian-bagian UUD (1945) yang bernuansa Islam. 
Jadi pada tokoh-tokoh ini ditemukan model-model keterlibatan orang Kristen dalam politik: yang berpolitik melalui wadah politik Kristen (Moelia), dan yang tidak bertolak dari pemahaman atau lembaga politik Kristen dan menjalankan politik secara “sekuler” (Ratu Langie, Patty, Maramis, Latuharhary). 
Generasi berikunya diwakili oleh tokoh-tokoh muda yang lebih progresif. Mr. Mir Sjarifuddin menjalankan panggilan politiknya di luar partai Kristen, dan kemudian terjebak dalam kemelut revolusi. Amir dapat dipandang sebagai prototipe dari model yang lainlagi dari keterlibatanorang Kristen dalam bidang politik: politisi Kristen yang bergerak dalam partai politik yang tidak berasas agama Kristen. 
Generasi berikutnya diwakili oleh tokoh-tokoh muda yang lebih progresif. Mr. Amir Sjarifuddin menjalankan panggilan politiknya di luar partai Kristen, dan kemudian terjebak dalam kemelut revolusi. Amir dapat dipandang sebagai prototipe dari model yang lain lagi dari keterlibatan orang Kristen dalam bidang politik: politisi Kristen yang bergerak dalam partai politik yang tidak berasas agama Kristen. 
Berbeda dengan Amir, Dr.J. Leimena tidak menonjol dalam politik masa pergerakan, tetapi sama terbna dalam lingkungan pemuda dan mahasiswa Kristen yang berwawasan nasionalis. Leimena juga berbeda dengan Amir dalam hal pilihan golongan politik. Seperti Moelila, Leimena menemukan tempatnya dalam kelompok politik Krisetne dan kemudian menjadi salah seorang tokoh utamanya. Dalam rentang masa yang dibicarakan dalam studi ini, pemikiran politik Leimena belum menonjol dibandingkan dengan masa kemudian. 
Peran pemikir politik itu dijalankan oleh tokoh politik Kristen lainnya, Ds. B. Probowinoto (dan kemudian Notohamidjojo), yang berlatar belakang pendidikan teologi. Dia tampil sebagai pemimpin dzn pemikir politik yang memberi dasar-dasar utama dalam pembentukan Partai Kristen Indonesia. 
Model-model keterlibatan orang Kristen dalam politik di atas dapat dibedakan atas mereka yang bertolak dari keyakinan atau prinsip-prinsip politik Kriseten dan menjalankannya politiknya di dalam atau di luar partai Kristen, dan mereka yang “meninggalkan” kekristenan dalam berpolitik. Dengan kata lain, tidak setiap tokoh atau aktivis politik yang beragama Kristen otomatis menjadi “wakil” pihak Kristen. 
6. Nasionalisme Gerejawi 
Perhadapan kekristenan dengan nasionalisme Indonesia pada umumnya, dan pergerakan nasional Indonesia pada khususnya, tidak hanya membangkitkan kesadaran dan sikap politik orang Kristen Indonesia. Pengaruh nasionalisme yang lebih luas dan dalam lagi, dan menjadi bingkai dari kesadaran dan sikap politik ini, tampak sebagai faktor penentu dalam penemuan bentuk dan arah gerakan oikumene di Indonesia. 
Nasionalisme dan gerakan oikumene di Indonesia mewujud dalam gerakan pelembagaan jemaat-jemaat Zending menjadi gereja-gereja yang berdiri sendiridan dalam gerakan kesatuan gereja di Indonesia. Kesadaran dan semangat nasionalisme orang Kristen Indonesia mendorong kalangan Zending guntuk mendirikan gereja-gereja yang berdiri sendiri. Semangat dan kesadaran yang sama, dalam kerangka gerakan oikumene, mendorong para pemimpin gereja, termasuk tokoh-tokoh Indonesia, untuk mengupayakan wadah keesaan gereja. 
Dalam gerakan kemandirian gereja, baik berupa pendewasaan jemaat-jemaat Zending maupun reorganisasi Gereja Protestan, peranan pihak Zending atau pemuka-pemuka Kristen Belanda (dalam Gereja Protestan) cukup menonjol, sehingga terdapat kesan bahwa proses ini bergerak dari atas ke bawah. Pemahaman yang lebih cermat menunjukan bahwa pada satu pihak terdapat kesadaran kalangan Zending untuk mendewasakan jemaat-jemaat, sedangkan pada lain pihak, warga jemaat Indonesia menuntut hak mereka untuk mengatur sendiri kehidupan gerejanya. Gerakan-gerakan di kalangan orang Kristen Batak dan di Minahasa memperlihatkan adanya keinginan itu. Tetapi perlu dicatat bahwa perkembangan pekabaran Injil di Indonesia tidak sama pada setiap daerah atau setiap lembaga. Ketika di tempat lain sudah siap untuk mandiri, di tempat-tempat lainnya pekabaran Injil baru mulai dirintis. Yang meonjol adalah kesamaan waktu antara proses kemandiri dengan pergerakan nasional, dan adanya indikasi bahwa pengaruh gagasan-gagasan nasionalisme bergema dalam proses kemandirian gereja-gereja di Indonesia. Dalam proses itu pula gerakan kemandirian gereja sejajar dengan emansipasi politik dalam pergerakan nasional (mencapai Indonesia merdeka), sedangkan gerakan keesaan gereja sejajar pula dengan perjuangan mencapai kesatuan dan persatuan nasional. 
Tetapi kesejajaran itu tidak benar-benar sama, seolah-olah perjuangan kemerdekaan nasional dalam pergerakan politik diterjemahkan ke dalam gereja menjadi perjuangan kemandirian dan keesaan. Walaupun gagasan-gagasannya tampak sejajar, misalnya kemerdekaan dan kemandirian atau perwalian dengan guru kandiwasan serta kesatuan dengan keesaan, tetap ada perbedaan yang mendasar antara pergerakan nasional sebagai pergerakan politik (karena itu dijalankan dengan berbagai sarana dan cara politik) dengan gerakan kemandirian gereja kemandirian gereja sebagai gerakan gerejawi dengan cara, sarana dan kaidah-kaidahnya sendiri. Misalnya, tetap ada ikatan antara gereja-gereja di Indonesi dengan gereja-gereja “induk” (kemudian menjadi mitra), sesuai hakikat katolisitas Gereja. Dalam hubungan itu,Kwitang-structuur dan Kwitang-accord merupakan model hubungan gerejawi. 
Salah satu faktor penting dalam gerakan kemandirian gereja adalah pengadaan dan pembinaan tenaga-tenaga pelayan Indonesia. Sejalan dengan kebutuhan itu, diselenggarakan pendidikan teologi di berbagai tempat dan kemudian HTS (1934) sebagai puncaknya. Walaupun kehadiran lembaga pendidikan teologi tinggi ini seolah-olah terlambat dan dengan jumlah lulusannya sampai pendudukan Jepang hanya beberapa puluh orang. HTS berfungsi menentukan dalam pengalihan kepemimpinan gereja dan dalam pemenuhan kebutuhan staf pengajar di sekolah itu kemudian. Segi penting pendidikan teologi masa itu, di HTS Batavia dan di Bale Wjata Malang, adalah kesinambungan antara segi pengetahuan ilmiah dengan kesiapan praktis untuk menjadi pelayan gereja. Dengan kata lain, dalam pendidikan masa itu mutu para calon pelayanan itu diutamakan.12 
Kemandirian gereja-gereja di Indonesia kebanyakan menampilkan pengelompokan suku di samping pengelompokan denominasi. Pengelompokan suku itu terjadi karena badan-badan pekabaran Injil, antara lain karena pegaturan pemerintah, bekerja di daerah-daerah suku tertentudan kemudian pengorganisasiannya (juga dalam reorganisasi Gereja Protestan) mengikuti kenyataan alamiah tersebut. Kenyataan ini merupakan peluang dan tentangan tersendiri bagi kekristenan Indonesia, terutama di dalam gerakan keesaan gereja. 
Bersama dengan gerakan kemandirian, gerakan keesaan gereja-gereja di Indonesia berlangsung semasa dengan pergerakan nasional Indonesia, khususnya pada tahap ketika pergerakan nasional memasuki pergerakan kesadaran kesebangsan suku-suku bangsa Indonesia. Di dalam gerakan keesaan gereja, ketegangan antara kesukuan (kemandirian gereja suku) dengan kebangsaan (pembentukan gereja yang esa) diperdamaikan dengan pembentukan sebuah dewan gereja-gereja, DGI sebagai suatu sarana mencapai tujuan gerakan. Bagaimana proses selanjutnya, akan ditentukan oleh kenyataan-kenyataan sejarah masanya. Tetapi dengan DGI sudah jelas wawasan nasionalisme dalam kekristenan di Indonesia, bahwa bukan suku masing-masing melainkan bangsa Indonesia seluruhnya yang menjadi konteks kehadiran Gereja Tuhan di Indonesia. Keseluruhan pelaksanaan panggilan gereja, khususnya di bidang pekabaran Injil. Karena itu pula maka peran pihak Zending pada tahap awalnya sangat menonjol. Tetapi karena didesak kenyataan sosial-politik maka terjadi pergeseran13 “segi Belanda” ke “segi Indonesia” (Boland) atau dari pemahaman yang missiocentrisch ke ecclesiocentrisch (Hoekendijk), dan bukan lagi kepentingan Zending yang menentukan, melainkan panggilan gereja keseluruhannya terhadap kenyataan Indonesia sebagai satu bangsa yang merdeka.Pergeseran itu terungkap dalam mtujuan gerakan keesaan gereja-gereja di Indonesia, yakni membentuk Gereja Kristen yang esa di Indonesia.14 Pergeseran ini pula menandai makin kuatnya kesadaran nasionalisme dalam gerakan keesaan tersebut, bahwa gereja-gereja di Indonesi a dipanggil menjadi satu gereja Kristus dari dan untuk bangsa Indonesia. 
Unsur-unsur nasionalisme dalam gerakan oikumene di Indonesia cukup menentukan sehingga dapat dinyatakan bahwa jawaban kekristenan terhadap nasionalisme Indonesia terungkap dalam gerakan oikumene itu, disamping dalam bentuk sikap nasionalisme politik Kristen. Jawaban itu terungkap dalam pergeseran kepemimpinan gereja dari pihak Zending kepada pihak Indonesia, dan dalam cita-cita pembentukan gereja yang esa di Indonesia. Pada dasar pengungkapan-pengungkapan ini dapat ditemukan kenyataan bahwa gereja-gereja di Indonesia menunaikan penggilannya dengan menjadi Gereja Indonesia dalam serba kepelbagaiannya. Dengan kata lain, transformasi nasionalisme di dalam gereja di Indonesia mengarahkan kekristenan pada konteksnya. Akan sangat bermanfaat jika dilakukan suatu kajian tersendiri mengenai perkembangan lanjut proses kotekstualisasi itu dalam alam Indonesia merdeka sampai kini.


1 Neil ,mengutip tujuan Ordo Yesuit: “to hasten the conversation of the heathen”. Stephen Neill, A History of Christian Missions (Penguin Books, R1973), hlm. 180.
2 Kebangketan Sarekat Islam sebagai gerakan massa, khususnya di pulau Jawa, sempat menggoncangkan masyarakat Eropa, dan pemogokan-pemogokan kaum buruh radikal pada awal tahun 1920-an serta pemberontakan PKI pada tahun 1926/1927 memberi citra buruk pergerakan nasional di mata para pendamba keamanan dan ketertiban. 
3 Melihat perkembangan pemikiran politik Kristen dalam Indonesia merdeka, cukup beralasan untuk menyatakan bahwa para politisi Kristen mengidap “minority complex”. 
4 Mungkin pula dapat dikemukakan bahwa sikap pro pemerintah para aktivis politik Kristen berkaitan dengan kedudukan sebagai pekerja (pegawi, tentara) pemerintah. Para pemuka nasionalis umumnya bekerja di luar ketergantungan kepada pemerintah: pengacara, wartawan, pengusaha dst. 
5 Peberdaan visi dan ideologi seperti ini di kalangan umat Islam di Indonesia menimbulkan konflik antara “kaum tua” dan “kaum muda”. Konflik seperti itu tidak berlangsung dalam kalangan Kristen. Memasuki Indonesia merdeak, kedua golongan bersatu dalam PARKINDO. 
6 Eksklusif di bidang pemikiran teologi di sini dimaksudkan pandangan yang memperhadapkan iman Kristen sebagai kebenaran tunggal, sebagaimana terungkap dalam pandangan the uniqueness and finality of Jesus Christ dari Kraemer dan Visser’t Hooft. Sikap ini menutup pintu bagi dialog dan perjumpaan yang dinamis dengan para penganut agama lain. 
7 Yang dimaksud “dwisila Bandung” kraemer adalah pola pembinaan pemuda Kristen dengan dua pendekatan, sebagaimana yang dicetuskannya pada koferensi pemuda Kristen di Bandung pada tahun 1926: “Memperhubungkan semua golongan pemuda Kristen tanpa pengecualian, dan membentuk suatu perhimpunan penuda Kristen supaya sebagai orang Kristen dapat melayani negeri dan bangsanya sendiri melalui suatu organisasi tersendiri”.
8 Dalam kerangka iman Kristen, kebebasan beragama merupakan prasyarat bagi kedewasaan manusia memilih dan memperkembangkan nilai-nilai dasar kehidupan yang diyakininya. Pembatasan terhadap kebebasan itu, apapun dasarnya, mengurangi hak dan martabat manusia. Kebebasan agama memungkinkan suatu pertobatna sejati, di mana orang secara pribadi dan dalam kebebasan menjawab sabda Tuhan. 
9 Dalam pancasila sebagai dasar negara Republik Indonesia, rumusan sial pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa, bukanlah pernyataan bahwa negara Indonesia berdasar agama. Pemahaman rumusan ini perlu memprehatikan sejarah penemuan, penyusunan dan penetapan Pancasila sebagai dasar negara Indonesia. Rumusan ini merupakan penolakan sekaligus pada suatu negara sekuler dan pada suatu negara agama (Islam). Penolakan Moelia terhadap “dasar keagamaan” dalam UUD agaknya berhubungan dengan kemungkinan dasar itumenjadi peluang bagi pembentukan negara agama. 
10 Asas-asas kebebasan beragama, nasionalisme dan demokrasi dalam UUD 1945 terkandung dalam Pembukaan (alinea ke-4, yakni Pancasila) dan dalma batang tubuh (kebebasan beragama: pasal 29; nasionalisme: pasal 1; dan demokrasi: pasa1:2, pasal 26-28). 
11 Dapat dicatat bahwa dalam kalangan Kristen di Belanda sesudah Perang Dunia II timbul penolakan terhadap partai konfesional (gerakan “Doorbraak”). Tetapi di Indonesia, pada masa dmeokrasi liberal (tahun 1950-an) hubungan antara gereja-gereja dengan PARKINDO cukup erat. Lihat PARKINDO” dan Gereja-gereja di Indonesia (DGI)” dalam J.C.T. Simorangkir, Manuscript Sejarah Parkindo (Jakarta: Yayasan Komunikasi, 1989), hlm. 310 dyb; lihat juga Th. Sumartana, “Beberapa persoalan dan Gagasan tentang “Gereja dan Masyarakat” sekitar Tahun-tahun 1950-an”, dalam S.Wismoady Wahono dkk (eds), Tabah Melangkah (Jakarta: STT Jakarta, 1984), hlm. 135-159.
12 Berbeda dengan sistem pendidikan teologi yang banyak dijalankan sekarang, pada masa itu HTS (dan Bale Wyata) menghasilkan pelayan yang “sudah jadi”, bahkan diurapi sebelum diserahkan kepada gereja pengutusny. Segi-segi yang kini dalam lingkungan PERSETIA dikenal sebagai academic Formation, practical formation, and spiritul formation telah dijalankan dengan relatif sukses pada thaun 1930-an itu. 
13 Dengan sengaja dipakai kata “pergeseran”, bukan “peralihan”, untuk menghindarkan kesan mekaistik dalam proses perubahan tersebut. 
14 Diskusi mengenai “gereja yang esa” dalam sejarah DGI merupakan suatu gagasan yang masih terus diperkembangkan. Tetapi cukup jelas bahwa dalam proses pembetnukannya terdapat pandangan-pandangan yang menghendaki “federasi” gereja-gereja (keesaan jeruk atau anggur) atau satu gereja secara nasional (keesaan mangga).

MENUJU KEESAAN GEREJA DI INDONESIA


Menuju Keesaan Gereja di Indonesia

BAB VI
MENUJU KEESAAN GEREJA DI INDONESIA


6.1    Usaha Kalangan Zending 

Sebagaimana halnya kemandirian, juga gerakan keesaan gereja banyak ditentukan oleh perkembangan oikumenis di kalangan pekabaran Injil sedunia.1 Juga dalam gerakan ini peran pihak Zending cukup menentukan, khususnya pada periode sebelum Perang Dunia II. Dalam hal itu gerakan keesaan gereja di Indonesia ini pertama-tama harus ditempatkan pada sejarah lahirnya gereja-gereja di Indonesia, yang sejak semula telah bertumbuh berdiri sendiri-sendiri dan diasuh oleh masing-masing badan Zendingnya. Seperti yang telah diungkapkan dalam Bab I, selain jemaat yang lahir dari pekerjaan misi Katolik pada zaman Portugis, yang kemudian sebagian besarnya menjadi Gereja Protestan setelah diambil alih oleh pihak VOC Belanda, lahir pula jemaat yang dihasilkan oleh pekerjaan berbagai badan Zending dari Barat yang bekerja secara sendiri-sendiri dan di tempat yang terpisah –pisah, terutama pada abad ke-19. Kebanyakan badan Zending tersebut tidak merupakan badan dari suatu lembaga gereja tertentu sehingga tidak mewakili suatu bentuk gereja tertentu. Tetapi faktor pembeda yang cukup penting adalah berdirinya gereja-gereja di Indonesia sebagai gereja suku atau gereja daerah. Sebab itu gerakan keesaan gereja di Indonesia tidak bersifat penggabungan kembali (reunion), melainkan – dalam kesejajaran dengan pergerakan nasional Indoensia – berurusan dengan batas-batas suku dan daerah. 
6.1.1        Nederlandsch-Indische Zendingsbond (NIZB) 
Secara konkret gerakan keesaan di Indonesia dimulai dengan pembetukan suatu badan pertemuan para pekabar injil, Nederlandsch-Indische Zendingsbond (NIZB), pada tahun 1881, atas prakarsa Ds. A.J. Schuurman (1830-1881).2 Makna oikumenis NIZB terdapat dalam empat hal:
(1) Pelembagaan Konferensi-konferensi zending secara berkala, (2) mengambil alih penerbitan De Opwekker (terbit 1855-1941), yang menjadi media pertukaran informasi dan pemikiran serta memuat laporan konferensi-konferensi NIZB, (3) karya komisi bacaannya dan (4) pelayanan komisi pemudanya.3
NIZB adalah suatu wadah bagi para pekabar InjilBarat yang bekerja di Indonesia; baru kemudian hari terdapat beberapa anggota orang Indoensia. Organisasi ini memberi peluang bagi para pekabar Injil Barat (merekalah yang berperan sertal dalam kehidupan dan perkembangan gereja di Indonesia) untuk mengembangkan kebersamaan menjalankan panggilannya di Indonesia. Berdasarkan pengalamannya, seorang pendeta zending menunjuk adanya pertemuan antara kalangan “Protestan” (Hervormd) dengan “Gereformeerden” dalam NIZB, yang bisa menghasilkan saling pengertian:
Pertemuan ini, percakapan-percakapan,  kontak yang lebih mendalam antara orang-orang dari berbagai denominasi atau (dengan terus terang) antara “Protestanten” dan “Gereformeerden”, nyatalah sangat penting. Khususnya yang terakhir, saya secara pribadi sangat terdorong: baiklah kita bertemu dan saling mendengarkan secara tenang dan mendasar untuk saling mengerti dalam hal yang terdalam dan terbaik dalam kehidupan kita. Bukan apa yang memisahkan kita, melainkan apa yang pada dasarnya menjadikan kita satu, adalah yang paling penting dan dari situ kita sama membangun. Jika tidak secara sadar dan dengan usaha yang bersungguh-sungguh terus bekerja ke arah itu, saya yakin benar bahwa karya penginjilan Protestan di negeri-negeri ini akan mengalami banyak kerugian rohani.4 
B.J. Boland, yang banyak berkecimpung dalam pembentukan wadah oikumenis di Indonesia, menyinpulkan dua sifat pengaruh NIZB terhadap kerja sama oikumenis di Indonesia, yaitu secara negatif, suatu pencegahan menguatnya pertentangan antara denominasi yang dibawa dari negeri Belanda, dan secara positif, pembentukan beberapa kemungkinan yang kemudian akan jelas bermakna bagi munculnya suatu kerjasama oikumenis di Indonesia.5 
Wadah oikumenis lainnya, yang penting bagi perkembangan gerakan keesaan gereja di indonesia, adalahZendingsconsulaat (ZC) yang dilembagakan sejak tahun 1906, dengan fungsi menjadi penghubung kalangan Zending dengan pemerintah. Secara resmi perwakilan Zending diangkat oleh NBG.6 Waadah ketiga adalah Samenwerkende Zendingscorporaties (SZC) yang didirikan pada tahun 1908 (di bidang pendidikan sudah sejak 1905) di egeri Belanda di mana bergabung badan-badan Zending NAG, UZV, STC< dan kemudian juga NZV (1923) dan JC (1931).7 Dan pada tahun 1929 dibetuk Nederlandsche Zendingsraad (NZR), juga di Negeri Belanda, sesuai tuntutan kebutuhan pekerjaan pekabaran Injil di Indonesia. 
Konferensi NIZB pada tanggal 21 September 1928 di Bandung, yang membicarakan Konferensi Pekabaran Injil Sedunia di Yerusalem, memutuskan membentuk sebuah panitia untuk mempersiapkan pembentukan Nederlands-Indische Zendingsraad (NIZR, Dewan Pekabaran Injil Hindia Belanda), dengan anggota-anggota Dr. H.A. van Andel, Ds. W.F. Breyer, Prof.Mr.J.M.J. Scheper, Dr.B.M. Schuurman dan sebagai sekretarisnya, Dr. N.A.C. Slotemaker de Bruïne. Setelah berapat pada tahun 1929 dan 1930, panitia melaporkan pada konferensi yubileum NIZB bulan September tahun 1931, bahwa pembentukan NIZR belum dapat diwujudkan. Dengan itu suatu dewan Kristen nasional (National Christian Council), sesuai kecenderungan kalangan IMC, belum dapat diwujudkan di Indonesia. Kendala utama berkaitan denganmasalah di Negeri Belanda, di mana pihak Gereformeerd menolak menjadi anggota NZR karena keanggotaan NZR pada IMC. Kemudian konferensi menyarankan pembentukan dewan-dewan lokal dengan tetap mengarah pada suatu dewan nasional: 
Rapat menyatakan keinginan, bahwa dibentuk sebanyak mungkin dewan-dewan pekabaran Injil setempat. Prakarsa untuk itu dilakukan sendiri di masing-masing daerah.
Rapat memohon kepada pengurus NIZB untuk membentuk suatu komisi yang a) akan mempelajari masalah-masalah aktual tertentu, b) mempelajari dengan cara bagaimana kesatuan di kalangan pekerja-pekerja Zending di Hindia Belanda dapat ditingkatkan, juga supaya akhirnya dapat didirikan suatu Dewan Pekabaran Injil Hindia Belanda. Juga akan dipelajari, apakah dan sejauh mana Dewan Pekabaran Injil Sedunia dapat dipengaruhi sehingga keberatan, yang ada dari beberapa pihak terhadap dewan ini, dapat dijauhkan. 8 
Di Makassar terbentuk suatu L0cale Zendingsraad (LZR), yang melakukan pertemuan-pertemmuan berkala sampai tahun 1942.9 Di Jawa terdapat dua LZR, masing-masing untuk pekerja Zending Eropa (Javaansche Zendingsraad) dan untuk orang Kristen Jawa  (Javaanse Christenraad). Tokoh di balik kedua Dewan Jawa ini adalah Dr. B.M. Schuurman, yang mendorong hubungan-hubungan antar orang Kristen pribumi demi terciptanya suatu ontak oikumenis di antara orang Kristen Indonesia. Salah satu hasilnya adalah besarnya rasa tanggungjawab terhadap sesama orang Kristen dari gereja lain pada masa perang. Di Sumatera, pembentukan suatu dewan pekabaran Injil lokal juga dibicarakan, tetapi tidak sempat terbentuk. Laporan-laporan pada tahun 1930-an mengenai dewan-dewan yang terbentuk tidak memperlihatkan perkembangan. 
Seperti yang sudah diuraikan dalam bab lalu, pelayanan kepada para pemuda dalam Komisi Pemuda NIZB turut berperan pentingmemunculkan suatu kenyataan baru dalam sejarah kekristenan di Indonesia. Bersama dengan kenyataan-kenyataan lain yang sezaman, seperti penyiapan tenaga-tenaga Indonesia, kemandirian gereja-gereja dan pendidikan teologi (HTS), Boland menyebutnya een nieuwe stuk geschiedenis (suatu bagian baru sejarah) atau nieuwa geschiedenis (sejarah baru), yakni peralihan dari aspek Belanda ke aspek Indonesia dalam sejarah kekristenan di Indonesia: 
Kita memakai “sejarah baru” di sini dalam arti yang lain, yaitu perkembangan hal-hal di mana akar-akarnya tidak kembali pada “segi Belanda”, melainkan pada “segi Indonesia”.10 
Selanjutnya, dengan nada bersemangat Boland mencatat perkembangan-perkembangan yang menandai sejarah baru itu: 
Gerakan pemuda Kristen timbul. Para pemimpin dibina, bagi pelayanan pemuda Kristen, tetapi mereka juga tampil dalam bidang lain. Prakarsa Indonesia sendiri bertumbuh. Oikumene masuk ke dalam cakrawala sebagian dari kekristenan Indonesia. Pemimpin-pemimpin teologis dan gerejawi dididik. Gereja-gereja muda mulai berdiri sendiri. Singkatnya: permulaan dari suatu perubahan mendasar wajah dunia gerejawi Indonesia!11 
6.1.2        Dari Zending ke Gereja 
Tahun-tahun 1930-an merupakan pula dasa warsa pertama kemandirian gereja-gereja di Indonesia. Hubungan antara proses kemandirian dan gerakan oikumene digambarkan oleh Boland dengan kata-kata kunci: mogelijkheden en voorwaarden (kemungkinan dan persyaratan) dan noodzakelijkheid (keharusan). Pandangannya demikian: Gerakan oikumene adalah soal gereja-gereja. Garis peralihan dari “aspek Belanda” kepemimpinan Zending ke oikumenisitas Indonesia dari kelompok-kelompok Kristen Indonesia tidak dapat ditempuh jika tahap kemandirian gereja-gereja tidak terwujud. Permulaan baru dari “aspek Indonesia” pada satu pihak menjadikan kemandirian gereja-gereja suatu keharusan, dan pada lain pihak justru kemandirian itu suatu kesempatan untuk berkembang, lepas dari perbedaan-perbedaan denominasi di Negeri Belanda. Tetapi juga keharusan gerakan oikumene dibentuk oleh kemandirian ini. Keterarahan kepada masing-masing kenyataan pada akhirnya membentuk titik temu utuk saling membantu dan kerjasama. Boland menyimpulkan: 
Jadi kesimpulan kita demikian, bahwa dalam perkembanganmenuju kerjasama oikumenis di Indonesia menurut segi Indonesianya kemandirian gereja-gereja menduduki tempat penting. Ini dapat dianggap sebagai suatu syarat yang harus terpenuhi supaya ooikumenisitas ini dapat tercapai. Dan perkembangan ini  mengandung janji-janji besar, asalkan orang sanggup melihat setelah perwujudan kemandirian ini masalah-masalah dengan bijaksana dan, sesuai dengan itu, bertolak dari suatu sikap kritis ke dalam, bekerja keras untuk percakapan oikumenis yang perlu dari gereja-gereja dan untu peresapan pemikiran oikumenis ke dalam Jemaat.12 
Walaupun Boland agak mengidealisir perkembanganya, perutusan ke Konferensi Pekabaran Injil Sedunia memperlihatkan pertumbuhan kepemimpinan Kristen Indonesia. Konferensi Dewan Pekabaran Injil Sedunia memperlihatkan pertumbuhan kepemimpinan Kriseten Indonesia. Konferensi Dewan Pekabaran Injil Sedunia tahun 1928 di Yerusalem hanya dihadiri seorang Kristen Indonesia, T.S.G. Moelia. Tetapi pada konferensi berikutnya, tahun 1938 di Tamburam, sudah tercatat lebih banyak orang Kristen Indonesia,yakni: Dr.J. Leimena, Mr. Soetjipta, Mr. .L. Fransz, R.M. Luntungan, Pouw Boen Giok, Ds. Mas Mardjo Sir, Ds.B. Moendoeng, Ny. Moendoeng, P. Sitompoel, Ds. W.H. Tuatuarima dan dr. Wardojo.13Kenyataan ini menandai meningkatnya keterlibatan orang Indonesia dalam kepemimpinan gereja, yang berkaitan dengan proses kemandirian gereja-gereja di Indonesia. 
Konferensi Dewan Pekabaran Injil Sedunia di Tambaram terutama terkenal karena memperhadapkan pewartaan Krisen yang eksklusif kepada agama-agama bukan Kristen. Bahan persiapan dipercayakan kepada Hendrik Kraemer, yang menulis bukunya yang masyhur The Christian Message in a Non-Christian World.14 Tetapi selain tekanan yang Injili itu, Konferensi Tambaran juga memberi perhatian yang besar pada gereja-gerja muda. Dan dalam kaitan itu kemandirian gerja, dari segi yang kini disebut kemandirian dana dan daya, mendapat perhatian besar.15 
Para utusan dari Indonesia pada konferensi itu disentak oleh kenyataan bahwa gereja-gereja di Indonesia terbelakang dibanding dengan perkembangan di tempat-tempat lain, khususnya di Jepang, India dan Cina. Sebab itu pada tanggal 12 Januari 1939, tepat pada hari ketibaan kembali jumlah terbesar mereka dari Tambaram, sepuluh orang menggabungkan diri ke dalam suatu pertemuan di ruangan konsistori Willemskerk di Batavia.16 Pertemuan itu dilangsungkan oleh pengurus Gerej Protestan, klasis Jawa Barat Gereja-gereja Protestan Cina, dan Majelis Agung Gereja Jawa Timur, untuk membicarakan keinginan dan kemungkinan membentuk suatu Dewan Gereja-gereja dan Zending di Indonesia. Pertemuan secarabulat menyetujui pembentukan dewan itu, lalu menunjuk suatu panitia kerja (werkcommissie) untuk menyusun anggaran dasarnya (statuten). Konsep-konsep ini akan dibicarakan pada bulan Oktober 1939, sebab dharapkanpada waktu itu sejumlah utusan akan datang menghadiri Sinode Am ke-2 Gereja Protestan. Pertemuan yang dimaksud berlangsung pada tanggal 2 Oktober 1939 danjuga secara bulat menyetujui pembentukan dewan itu. Untuk itu, dan kali ini secara resmi oleh wakil-wakil lembaga-lembaga yang terlibat, dibentuk panitia baru, yang sekaligus bertindak sebagai moderamen dewan itu, yaitu Dr. T.S.G. Moelia (Ketua), Dr.E. de Vries (Wakil Ketua) dan Mr. S.C. Graaf van Randwijxk (Sekretaris). 
Dari rancangan Anggara Dasarnya jelas bahwa dewan ini (namanya di-Melayu-kan dengan Madjelis Geredja2 dan Zending di-Hindia Belanda) akan beranggotakan “kelompok2 Geredja dan kerapatan2 Zending jang bekerdja di-Hindia Belanda” dengan tujuan: 
memajukan persekutuan dan usaha bersama jang erat dari pada badan2 jang bergabung, dengan menghormati se-penuh2nja akan kebebasan dna berdirinja sendiri tiap2 badan itu.
mempelajadjari soal2, jang penting utuk penjiaran Indjil danmemperteguhkan hidup Geredja seumumnja dan di Hindia Belanda khususnja.
mengerdjakan matjam pekerdjaan untuk penjiaran Indjil dan keteguhan hidup Geredja di-Hindi Belanda, jang seturut sifatnja lebih baik diusahakan bersama daripada tiap2 anggota mengerdjakannja sendiri.
mewakilkan Geredja2 dan kerapatan2 Zending disini dalam organisasi2 internasional Geredja dan Zending.1
Diharapkan bahwa jika Anggaran Dasar disetujui , maka Dewan dinyatakan berdiri dengan pimpinan sementara di tangan panitianya. Dewan itu tidak sempat diwujudkan, “karena bermacam-macam salah pengertian” dan pendudukan Jepang menghentikan rencana itu. 
Pendudukan Jepang (1942-1945) memaksakan suatu kemandirian gereja-gereja di semua bidang, karena para pekabar Injil Eropa ditahan dan hubungan dengan badan-badan Zending diputuskan. Atas prakarsa pemerintah Jepang juga dicapai “kebersamaan paksa” semua golongan Kristen di beberapa tempat.18Sebab itu ada pemahaman yang menerima pendudukan Jepang sebagai blessing in disguise bagi gereja-gereja di Indonesia.19 Boland menyimpulkan lima pengaruh dari kenyataan pada masa peperangan itu terhadap kerjasama oikumenis di Indonesia:
a) sebagai “rengkahan kedua” (tweese breuk) dalam sejarah yang menandai perubahan radikal gereja di Indonesia, b) menjadi tombol pemindah isi (een omschakeling) dari pandangan-pandangan missiocentrischke ecclesiocentrisch, c) memungkinkan kenyataan dan mendesakkan perluya suatu oikumenisitas gereja-gereja di Indonesia, d) memunculkan wawasan oikumenis sedunia, khususnya di Asia Tenggara, tanpa diperhubungkan oleh “pihak Belanda” dan e) supremasi Zending Barat diubah menjadi suatu hubungan kerjasama oikumenis antar gereja-gereja saudara.20 
6.1.3        Nota de niet: Balai Kristen 
Pada kenyataannya, peperangan tidak menghentikan gerakan keesaan gereja. Justru di dalam camp-camp tahanan Jepang tersedia kesempatan bagi para zendeling untuk memikirkan masalah-masalah gereja di Indonesia, juga tentang gerakan keesaan itu.21 Pada bulan Oktober 1945 dibentuk Contact-Comité voor Kerk en Zending oleh Gereja Protestan, Zendingconsulaat dan Gereformeerde Kerken. Tujuannya adalah membentuk suatu lembaga yang dengannya gereja-gereja di Indonesia dapat berbicara dengan satu suara (misalnya kepada pemerintah atau kepada gereja-gereja melalui suatu seruan). Komite ini berkaitan dengan suatu biro bagi bantuan dan pemulihan (Bureau voor Relief en Reconstructie), yang antara lain menangani urusan lectuur, pembagian bahan-bahan bangunan dsb.22 Kemudiankomite membentuk komisi-komisi darurat (Noodcomité) untuk pedidikan Kristen, pelayanan medis dan Lectuurcommissie. Dalam kalangan ini ada harapan untuk memulihkan impian sebelum perang, yakni mewujudkan kerjasama oikumenis dalam bentuk suatu Dewan Gereja dan Zending: 
[…] bahwa meskipun demikian kebersamaan dalam Komite ini akan berguna untuk penyiapan yang lebih baik bagi suatu pemulihan yang cepat dalam bentuk baru “Dewan Gereja dan Zending” yang hampir berdiri tak lama sebelum pendudukan Jepang.23 
Dalam kerangka itu Konsul Zending, Mr. M. de Niet, setelah melakukan perkunjungan ke Indonesia bagian Timur, menggagas suatu susunan sistematis Balai Kristen di Indonesië dalam suatu nota (kemudian dikenal sebagai Nota de Niet atau Balai-Plan) pada tanggal 30 Desember 1945, yang berjudul “Oecumenisch Samenwerking en Eenheid in Indonesië” (=Kerjasama Oikumenis dan Keesaan di Indonesia).24 Pada rapatnya tanggal 4 Juli 1946 NZR di Belanda menyetujui rencana itu “dalam arti umum”. Di Indonesia, rapat Kerkbestuur Gereja Protestan pada tanggal 16 Juli 1946 menyetujuinya “secara garis besar”, demikian juga klasis Batavia Gereja-gereja Gereformeerd pada tanggal 8 Agustus 1946. 
Balai-plan De Niet bertolak dari suatu kerangka mengenai tempat Gereja dan Zending di dalam tatanan dunia pasca perang. Dalam kerangka itu tatanan gereja dan Zending di Indonesia memerlukan pembentukan suatu pusat oikumenis yang kuat di mana berlangsung pertemuan, stimulasi, inspirasi, penelitian, perkenalan dan pengalaman. Kebersaman yang dianjurkan De Niet semata-mata untuk mengungkapkan kesatuan di dalma Kristus. Suatu “Gereja Kristen di Indonesia yang besar (een groote “Geredja Kristen di Indonesia”) dianggap De Niet prematur, tidak tepat dan tidak bertanggung jawab pada saat itu, mengingat kesadaran gereja yang sejati masih terlalu sedikit di kalangan jemaat. Selain itu, Gereja dibangun oleh Tuhannya sendiri: 
Sebuah “Gereja Kristen di Indonesia” yang sejati tidak bisa dibentuk dalam semalam oleh sejumlah orang atau oleh beberapa lembaga manusiawi atau dibentuk dengan suara bulat atau suara mayoritas. Dia harus bertumbuh oleh kasih karunia Allah, dan akan bertumbuh demikian, walaupun barangkali ada banyak usaha dan perjuangan secara sungguh-sungguh oleh orang –orang Kristen yang kurang lebih berpandangan oikumenis dan para pemimpin Gereja dan Zending.25 
Menurut De Niet, yang sudah dapat dibentuk adalah sebuah Dewan Kristen Nasonal yang hidup dan kokoh, bernama “Balai Kristen di Indonesia”.26 Dalam Balai ini diharapkan akan terhimpun semua gereja Protestan di Indonesia (sebagai anggota biasa” bersama-sama dengan gereja-gereja pengutus  di Belanda (NHK, GKN dsb) serta wakil-wakil perserikatan-perserikatan dan perhimpunan-perhimpunan pelayanan Kristen di Indonesia, seperti Dewan Sekolah (Schoolraad),CSV, CJVF, NBG, Yayasan Sekolah Theologia dan semua kelompok “kegiatan Kristen” (sebagai anggota luar biasa). Pengurus terdiri atas para wakil anggota yang berapat setahun sekali dan pengurus harian yang berkedudukan di Batavia. Konferensi tiga tahunan dapat diselenggarakan bergiliran di wilayah-wilayah Indonesia di mana ada “provincial council”. 
Bagian terpenting dalam Balai ini adalah stafnya, yang akan terdiri atas enam orang sekretaris, masing-masing: a) seorang teolog yang ahli di bidang dogmatika, pengakuan serta tata gereja dan pendidikan teologi, b) seorang teolog ahli penginjilan di Indonesia yang harus ahli agama Islam, untuk bidang pekabaran Injil, c) seorang pendidik, yang ahli dalam metode pendidikan dan teologi, untuk urusan pendidikan Kristen, d) seorang yang ahli masalah-masalah di bidang etnologi, sosiologi dan ekonomi,untuk urusan “social environment”, e) seorang sekretaris untuk bidang pergerakan pemuda Kristen, dan f) seorang sekretaris umum yang memadukan sebisanya semua urusan kantor dan berbagai hubungan oikumenis. Dan mengingat masih langkanya tenaga Indonesia yang memenuhi syarat-syarat itu maka akan terjadi campuran dengan orang Belanda dan Timur Asing. 
Kedudukan Balai itu harus di Batavia, tetapi bukan di pusat kota (supaya jauh dari keramaian), dan akan merupakan suatu kompleks dengan bangunan-bangunan untuk berbagai fasilitas, seperti perpustakaan umum, ruangan baca, ruangan kursu s dan konferensi, ruangan pertunjukan film dan slide, kantor dan pusat-pusat berbagai kegiatan lainnya. Bangunan sederhana dan berciri Indonesia dengan hiasan-hiasan dari berbagai hasil kebudayaan Indonesia. 
De Niet mencatat pula penghapusan Zendingconsulaat, dan sebagai gantinya adanya seorangZendingsdirector di Indonesia dengan fungsi utama di bidang administrasi keuangan (karena itu haruslah seorang accountant). 
Sebagai perwujudan kerjasama, De Niet mengusulkan pembentukan pelayanan medis Kristen, pendidikan dan literatur. 
6.1.4        Konferensi Batavia (1946) 
Atas prakarsa Zendingconsulaat dilangsungkan pada tanggal 10-20 Agustus 1946 di Batavia suatu konferensi parapekabar Injil.27 Tujuanya adalah mengantisipasi tugas-tugas pihak Zending dalam masa baru Indonesia: 
Refleksi atas tempat dan tugas Zending di dalam Indonesia yang baru, secara prinsipil dan secara praktis; untuk meningkatkan kesatuan visi dan kebijakan di segala pekerjaan zending di negeri ini; untuk menasihatkan gereja-gereja pengutus di Negeri Belanda, khususnya Dewan Zending Belanda, untuk menentukan kebijakan di Home Base; untuk mempersiapkan percakapan-percakapan lebih lanjut dengan badan-badan oikumenis, khususnya di Amerika, mengenai bantuan dan pemulihan, demikian juga mengenai kemungkinan pertolongan untuk sesuatu perencanaan baru pada masa depanjika sekiranya gereja-gereja di Indonesia memutuskan suatu perencanaan baru dan menginginkan bantuan seperti itu.28 
Konferensi Batavia ini membicarakan tiga pokok utama: tempat gereja dalam masyarakat, pembangungan gereja, dan pelayanan gereja di Indonesia. Untuk pokok pertama, ceramah-ceramah pengantar disampaikan oelh Dr. C.L. van Doorn (“De Kerk inhet midden”), yang membicarakan fungsi-fungsi kenabian, keimanan dan kerajaan gereja, dan oleh Ds. J.C. Hoekendijk (“Vrijheid van godsdienst”) serta masukan dari Contact-Comité beruap nota “De Vrijheid van Godsdienst in het toekomstige Indonesië”. Dalam pokok ini konferensi memberi tekanan pada demokrasi dan mendukung usaha-usaha mewujudkan kebebasan beragama. 
Mengenai pelayanan gereja (Kerkwerk) di Indonesia, Ds. J.C. Hoekendijk memperkenalkan comprehensive approach sebagai visi yang lebih luas dalam pelayanan gereja, berdasarkan perkembangan pemahaman dalam gerakan oikemene sedunia, khususnya IMC.29 
Percakapan mengenai bidang pembangunan gereja (Kerkopbouw) meliputi pokok-pokok kebersamaan oikumenis, pendidikan teologi, pelayanan pemuda dan keluarga, serta pengadaan bacaan. Selain kebersamaan oikumenis, perhatian yang besar diberikan pada masalah pendidikna teologi sebagai “salah satu yang paling utama dan terpenting dari tugas-tugas Gereja-gereja dan Zending”.30 Kebersamaan oikumenis dibicarakan berdasaarkan :Nota De Niet” (atau “Balai-plan”) dan “Richtlijnen voor het kerkelijk gesprek” (=Pedoman bagi percakapan gerejawi).31 Dalam pedoman yang disebut terakhir ini Bergema menunjuuk dua macam perbedaan antara gereja-gereja: yang berhubungan dengan pengakuan dan yang berhubungan dengan pengaturan gereja (kerkinrichting), yang masing-masing dapat dibedakan lagi atas perbedaan-perbedaan “historis” (kebangsaan, suku, bahasa, dst) dan “teologis” (perumusan pengakuan dan tata gereja). Bergema membedakan pula antara perbedaan-perbedaan yang dasariah dan yang tidak dasariah. Diharapkan dengan itu dapat dilihat kemungkinan-kemungkinan kebersamaan gereja-gereja dalam berbagai tingkatannya: 
Skala kemungkinan mulai dari pengakuan yang bertingkat persaudaraan dan kerjasama praktis seperistiwa sampai kesatuan gerejawi sempurna melalui penerimaan anggota-anggota baptisan masing-masing, surat menyurat dengan pertukaran laporan-laporan, majalah-majalah, dsb, konferensi-konferensi bersama malam-malam puji-pujian, malam-malam doa, penerbitan majalah jemaat bersama, perutusan tetap antar gereja, kesatuan federatif (dalam semangat Free Church Counsil, Federal Council of Churches of Christ di Amerika atau Dewan Gereja-Gereja Belanda kita), pengakuan anggota-anggota sidi masing-masing, pertukaran pendeta-pendeta, ibadah-ibadah bersama, kesatuan pendidikan, perjamuan kudus bersamadan peleburan.32 
Laporan konferensi, yang dirumuskan pada tanggal 20 Agustus 1946, mempertahankan cita-cita lama untuk membentuk Dewan Gereja-gereja dan Zending (Raad van Kerken en Zending) tetapi dengan tujuan yang baru: membentuk satu gereja di Indonesia.33 Kedua butir pertama laporan konferensi tentang hal ini berbunyi: 
Kebersamaan Oikumenis gereja-gereja di Indoensia sebagaimana ini terungkap dalam pembentukan suatu Dewan Gereja-gereja dan Zending di Indonesia pada tahun 1939-1941 perlu dimajukan dan diperkuat. Pewujudan, berdasarkan motif-motif rohani, satu gereja di Indonesia pada masa depan yang jauh atau dekat hendak menjadi tujuan kebersamaan oikumenis itu.
Tugas Dewan Gereja-gereja dan Zending ini meliputi:
memprakarsai percakapan gerejawi mengenai soal-soal dogmatika (pengakuan), hukum gereja dan liturgi. […]
memajukan pendidikan theologia.
pekabaran Injil.
memajukan pendidikan Kristen.
pelayanan kesehatan
mempelajari masalah-masalah yang bersifat ekonomis dan sosial.
publisitas (pers dan radio).
pelayanan pemuda.34 
Dalam Butir-butir lainnya diusulkan pembentukan dewan-dewan wilayah (khususnya di Indonesia bagian Timur dan Kalimantan), selama dewan secara nasional belum dapat diwujudkan. 
Jadi, makna penting konferensi batavia ini bagi gerakan oikumene di Indonesia adalah memelopori kelanjutan kerjasama oikumenis dalam penggilan gereja dalam konteks yang baru (Indonesia merdeka) dengan pendekatan comprehensive. Dan dengan mencanangkan pembentukan satu gereja di indoensia. Di samping itu, penting pula bahwa pada konferensi ini timbul semangat keesaan yang” merasuk para pesertanya, khususnya para pendeta Indonesia dari wilayah Indonesia bagian Timur. 
6.2              Kalangan Gereja-gereja 
6.2.1        Gerej-gereja di Indonesia bagian Timur 
Sedah pada konferensi Batavia itu para pesertz dari Indonesia bagian Timur, dipelopori Dw. W.J. Rumambi dari GMIM, Ds. E. Durkstra dari Timor dan Ds. F.H. de Fretes dari GPM, merencanakan suatu pertemuan wilayah. Ds. Rumambi35, yang kemudian dipillih sebagai sekretaris panitia persiapan, menyampaikan “rentjana oesaha sekretaris panitia persiapan, menyampaikan “rentjana oesaha persiapan conferentie Makasar” dengan tujuan: menyatakan keesaan gereja-gereja dan bakal gereja-gereja dan membentuk majelis atau majelis-majelis gereja dan bakal-bekal gereja di Indonesia bagian Timur, selaku cabang atau cabang-cabang dari Balai Gereja Kristen di Indonesia.36 Panitia dibentuk dengan Ds. Rumambi dan Dr. H. Bergema (yang juga sejak lama membentuk usaha-usaha menuju keesaan Gereja, khususnya melalui kesatuan pendidikan teologi)37 sebagai tulang punggungnya. Keduanya sama terpikat pada gagasan oikumenisnya dan dapat bekerjasama dengan baik.38 Pandangan oikumenis Dr. Rumambi sebelumya, yang bertumbuh melalui pengalamannya bekerja dalam lembaga kesatuan Kristen paksaan Jepang, nyata dari pandangannya mengenai keesaan sebagai ketaatan kepada kehendak kehendak Tuhan dan sebagai prasyarat bagipanggilan memulihkan dunia pasca perang: 
Alasan segala oesaha kita di masa ini akan mewoejoedkan keessaan Keristen ialah kehendak Allah, bilamana kita tidak berbuat demikian, kita telah berdosa di hadapan Toehan Allah. […] Boekankah hal ini [kenyataan buruk dunia pasca PD II] soeatoe panggilan Toehan bagi kita, oematNja, diseloeroeh moeka boemi, akan mengatoer poela, membawa siasat jang benar, dalam segala lapangan hidoep. Bagaimanakah kita dapat berboeat demikian kalaoe roemah tangga kita sendiri, ja’ni Geredja Keristen, Persekoetoean Keristen, beloem teratoer, artinja beloem ada keesaan, persatoean roh Keristen dalam segala oeroesannja?39 
Seperti dikemukakan De Niet, bahwa tujuan keesaan bukanlah membentuk suatu kekuatan politik, Ds. Rumambi juga kritis terhadap arah yang keliru seperti itu: 
Boekan maksoed kita akan mengadakan soatoe partai ataoe persatoean setjara doenia jang semata-mata hendak mereboet kuasa doeniawi sadja, boekan poela maksoed “gerakan keesaan” ini hendak mendirikan satoe Geredja jang maha koeasa, selakoe toedjoean achir, sehingga boekan nama Toehan dipermoeliakan melainkan nama pimpinan-pimpinan Geredja, sekali boekan demikian.40 
Konferensi yang diopersiapkan dengan apik itu berlangsung sebagai “Konferensi Gereja-gereja dan Zending”, pada atanggal 15-25 Maret 1947 di Malino (dekat Makassar), Sulawesi Selatan. Para peserta terutus dari berbagai lembaga gereja dan zending di Indonesia bagian Timur dan sejumlah undangan.41Pokok-pokok keputusan Konferensi Malino ini meliputi: 
1) pembentukan Madjelis Oesaha bersama Geredja-Geredja Keristen, jang berpoesat di Makassar(dipendekan Madjelis Keristen) pada tanggal 17 Maret 1947, 2) penetapan pendirian Sekolah Pendeta di Makassar, 3) persetujuan pada arah nasionalis penyelenggaraan pendidikan, 4) tugas pekabaran Injil, 5) kewajiban pekerjaan sosial, 6) menyetujui usul mendirikan Badan Poesat Penerangan dan Pekabaran Kristen di Makassar dalam kerjasama dengan Lembaga Alkitab, 7) pelayanan pemuda dan 8) sikap bersama terhadap soal-soal bangsa dan negara. Selain itu, Konferensi juga menetapkan suatu Konsep Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga bagi suatu wadah ouikumenis nasional, yang diharapkan terbentuk segerea. 
Pembentukan Madjelis Keristen memastikan untuk sementara waktu usaha oikumensi di Sulawesi Utara (dan Tengah), yang didorong oleh kebersamaan yang dipaksakan pada zaman Jepang. Pada akhir tahun 1945 direncanakan bahwa gereja-gereja dan zending di wilayah itu akan bekerja bersama-sama menyelenggarakan pendidikan pendeta, penerbitan majalah, pendidikan umum dan akhirnya mewujudkan satu gereja di Sulawesi Utara (dan Tengah). Baru kemudian, ketika Madjelis Keristen mlemah, kebersamaan itu diwadahkan dalam Dewan Daerah DGI di Sulawesi Utara pada konferensi gereja-gereja GKST, GMIM< GMIBM dan GMIST tangal 23 dan 26 Juni 1951, yang diresmikan pada tanggal 17 September 1951 di Kotamobagu.42 
Konsep Anggaran Dasar dan konsep Peraturan Rumah Tangga bagi “Madjelis Oesaha Bersama Geredja-Geredja  Keristen di Indonesia” bermakna penting, karena dengan itu Konferensi Malino jelas mengacu pada wawasan nasional gerakan oikumene dan mempertegas arah gerakan itu sebagai gerakan gereja-gereja di Indonesia menuju “pembentoekan satoe Gereja Keristen di Indonesia”.43 Lagi pula Madjelis Keristen yang dibentuk Konferensi ini merupakan wadahj oikumensi yang sempat menghidupkan secara nyata kbersamaan gereja-gereja di Indonesia, khususnya dalam kegiatannya sebagai pelaksana dalam skala kecil apa yang nantinya akan dilaksanakan oleh Dewan Gereja-gereja di Indonesia dalam skala besar. Dengan kata lain, Konferensi Malino memberi bentuk nyata dan merintis arah gerakan oikumene di Indoensia. Madjelis Kristen memang memahami dirinya sebagai cabang suatu wadah nasional yang kelak dibentuk. 
Aspek Indonesia Madjelis Keristen cukup menonjol. Kelima orang pengurus inti badan pekerjanya semuanya orang Indonesia, yakni Ds.S. Marantika (Ketua), Ds.W.J. Rumambi (Penulis merangkap Bendahara), Ds.D. Ngefak, Pdt.S. Bombongdan Mr.G.P.Khouw (anggota-anggota).44 Juga aspek itu nayata dalam pekerjaannya sesuai tujuan pembentukannya, yang dapat disimpulkan dalam kata-katamengikat, mengkoordinir dan mewakili gereja-gereja.45 Dalam hubungan itu Madjelis Keristen telah menyumbangkan pengalamannnya bagi gerakan oikumene di Indonesia dalam mewadahi hidup bersama, bekerja bersama dan bersaksi bersama sebagai gereja.46 
6.2.2        Gereja-gereja di Jawa 
Gereja-gereja Protestan di Pulau Jawa menyelenggarakan xuatu konferensi pada tanggal 21-22 Mei 1946 di Yogyakarta. Gereja-gereja yang mengutus wakilnya adalah: Gereja Kristen Jawa Timur (Ds. Mardjo Sir dan Ds. Moedjodihardjo), Gereja Kristen Jawa Tengah sebelah Utara (Ds. Kartosoegondodan Ds. Daniël), Gereja Menonit (Ds. Djojodihardjo), Gereja Jawa Tengah sebelah Selatan (Ds. Wijoto Hardjotaroeno dan Ds. Poerbowijogo), Gereja Pasundan (Abednego), Gereja Tionghoa Jawa Tengah (Ds. Tan King Hien dan Sthe Tjiauw Bian). Beberapa gereja: “Gereja Huria (HKI), HKBP, Punguan Kristen Batak (PKB)< gereja Masehi Indonesia (Indische Kerk), KGPM dll”, yang berkedudukan di Jakarta turut diundang tetapi tidak dapat hadir. Dalam konferensi itu, “semoeanja diundang tetapi tidak dapat hadir. Dalam konferensi itu “semoenja merasa betapa perloenja Geredja-Geredja Protestan satoe sama lain berhoeboengan jang erat dan teratoer, betapa perloenja bekerdja bersama-sama boekan sadja didalam zaman jang soekar ini, melainkan djoega oentoek seteroesnja”. Dan sesuai dengan kepentingan itu konferensi membentuk Dewan Permoesjawaratan Geredja-geredja Protestant di Indonesia (DPG, singkatan resminya Dewan Geredja). Yang diterima menjadi anggota adalah “Synode-synode dari pada Geredja Protestant di Indonesia”. Dalam Anggaran Dasar Sementara, tujuan DPG ini dirumuskan: 
Dewan ini dibentoek dengan toedjoean oentoek mempersoalkan dan mempertimbangkan kepentingan Geredja-geredja bersama, baik dalam hal-hal jang langsoeng mengenai kegeredjaan dan keagamaan, baik dalam hal-hal jang mengenai lain-lain, jang ada hoeboengannja dengan kegeredjaan dan keagamaan dan mendjalankan oesaha-oesaha oentoek tertjapainja kepentingan terseboet.47 
Badan pengurus hariannya hanya terdiri atas tiga orang: Ds. B. Probowinoto (Ketua), Mr. M. Tamboenan (Penulis) dan Ds.The Siong Liong (Bendahari). Selain itu terdapat seksi-seksi (Pekabaran, Penerbitan Al kitab, Perhubungan denga Luar Negeri, Urusan Agama dan Pemerintahan, Usaha ke arah Persatuan Gereja-gereja Oecumenie [sic] yang beranggotakan satu orang dari masing-masing keenam gereja anggota pada setiap seksi.48 
Tampaknya DPG tidak dapt berbuat banyak karena berada di pusat pergolakan perang kemerdekaan Republik Indonesia melawan Belanda. Tetapi gebrakannya untuk menampilkan gereja Indonesia sangat bermakna. Pada konferensi pembentukannya dilangsungkan suatu sidang khusus mengenai pekabaran Injil yang secar radikal menyatakan bahwa pekabaran Injil merupakan tanggungjawab gereja-gereja di Indonesia dan bahwa Zending dari luar negeri menghalangi usaha keesaan dan mengurangi minat gereja-gereja di Indonesia menangani tugas pekabaran Injil itu. Sebab itu, sidang berkesimpulan bahwa badan-badan Zending dari luar negeri menghalangi usaha keesaan dan mengurangi minat gereja-gereja di Indonesia menangani tugas pekabaran Injil itu. Sebab itu, sidang berkesimpulan bahwa badan-badan Zending dari luar negeri tidak perlu lagi datang ke Indonesia; pekabar-pekabar Injil mereka boleh diutus tetapi sebagai tenaga yang diperbantukan kepada dan diatur oleh gereja-gereja di Indonesia. 
Pernyataan itu jelas menimbulkan ketegangan, khususnya dengan pihak GKN, yang kemudiandapat diselesaikan dalam Konferensi antar wakil-wakil DPG dengan GKN dan NHK di Jakarta, pada tanggal 19-24 Mei 1947.49 Konferensi Kwitang ini menghasilkan suatu naskah kesepakatan, yang dikenal sebagaiKwitang Accord. Bagian terpenting dari kesepakatan Kwitang itu adalah enam pasalmengenai “Dasar dan Cara Bekerja- Bersama” (Bab II). Lima pasal pertama berbunyi sebagai berikut: 
Geredja di Indonesia adalah Geredja2 jang dewasa.
Pekabaran Injil di Indonesia itoe adalah teroetama kewadjiban dari Geredja2 di Indonesia.
Geredja2 di Loear Negeri dapat mengkabarkan Indjil di Indonesia bersama dengan Geredja2 di Indonesia didalam mana Geredja2 di Indonesia bertanggoeng djawab atas pekerdjaan itoe.
Seloeroeh doenia pada oemoemnja dan Indonesia pada choesoesnja adalah lapangan pekabaran Indjil dari Geredja2 di Indonesia.
Karena  tanggoengan Geredja2 di Indonesia dalam hal pekabaran Indjil besar sekali, maka Geredja2 di Indonesia masih perloe menggoenakan bantoean dari Geredja2 di Loar Negeri, agar dapat melaksanakan kewadjiban terseboet diatas.50 
Pasal terakhir mengenai pelembagaan kerjasama jkedua pihak, yang dikenal sebagai Kwitang Structuur, adalah pembentukan suatu “Madjelis Wakil2 Geredja2” (College van Deputaten) Indonesia dan Luar Negeri,dengan paling kurang ¾ jumlah anggotanya adalah wakil-wakil gereja-gereja Indonesia. 
Dengna mengacu pada telaah Kraemer mengenai kebangkitan gereja-gereja muda, laporan Zendingcosulaat mencatat tiga pokok makna KonferensiKwitang (dengan “accord” dan “structuur”nya): Konferensi Kwitang adalah bagian dari kesinambungan gerakan kemandirian gerja-gereja muda, khususnya sejak Konferensi Yerusalem (1928); ungkapanperalihan tanggungjawb pekabaran Injil sebgai tanda kedewasaan; dan merupakan model bagi kerjasama antara gereja-gereja dalam dan luar negeri.51Walaupun pada kenyataannya pihak Indonesia dalam konferensi itu hanya gereja-gereja Jawa, maknanya sebagai gereja Indonesia diakui pihak Zending, mengingat posisi pulau Jawa adalah “titik api strategi situasi zending di Indonesia”.52 
6.2.3        Gereja-gereja Cina 
Selain DPG sebagai wadah oikumenis “gereja-gereja Jawa”, juga pengelompokan sejenis terdapat di kalangan gereja-gereja Cina dan dalam rumpun Gerej Protestan. Kebersamaan gereja-gereja Cina di Indonesiaa sudah berlangsung sejak tahun 1926,53 ketika umat Kristen Cina mengadakan konferensi di Cipaku, dekat Bogor, membicarakanpenyatuan dan pembinaan gereja mengikuti pola three self movement.54 Padatahun berikutnya, konferensi di Cirebon membentuk Bond van Chinese Christenen, yang menjadi Geredja Tionghoa Serikat pada tahun 1934. Pada tanggal 25-28 Mei 1948 wakil-wakil dari 49 jemaat Cina di Pulau Jawa, Makassar, Pontianak, Singkawang dan Bangka-Bilition mengadakan konferensi di Jakarta. Konferensi dengan perutusan dari 69 jemaat pada tahun berikutnya berhasil mendirikan Dewan Geredja-Geredja Kristen Tionhoa di-Indonesia (DGKTI). Dewan ini bertujuan: 
mempererat perhubunga Geredja Kristen Tionghoa, agar persatuan tertjapai.
mentjari perhubungan degan geredja-geredja di Indonesia chusucnja.
membantu memperluas pekabaran Indjil.55 
Walaupun jelas merupakan pengelompokan etnis, gerakan keesaan gereja-gereja di kalangan orang Cina juga merupakan bagian dari usaha mendewasakan dan mempersatukan gereja di Indonesia. 
6.2.4        Kalangan GPI: Keesaan Jeruk 
Reorganisasi Gereja Protestan melahirkan empat gereja:GMIM (1934), GPM (1935), GMIT (1947) dan GPIB (1948).56 Sinode Am ke-3 GPI pada bulan Juni 1948 di Bogor membicarakan tata gereja (Kerkorde), terutama mengenai perhubungan antara GPI dengan gereja-gereja yang berdiri sendiri di dalmanya, dalam rangka mempertahankan ikatan kesatuan. Percakapan didasarkan pada hasil suatu komisi teologi. Pengantar yang disampaikan oleh Dr. Rasker, mengingatkan dua segi dalam soal hubungan itu, segi keesaan Gereja Protestan dan segi kemandirian gereja. Kemandirian gereja, tegasnya, “boekan berarti 100% berdiri sendiri”, karena “di dalam Kristoes tida ada satoe orag jang berdiri sendiri dengan 100%, sehingga kita bersangkoetan satoe sama lain”.57 Maka pentinglah untuk memegang keesaan sebagai mana telah dijalani sebelumnya: 
Kita haroes teroes pegang keesaan jang soedah ada dan sekarang kita haroes adakan sedikit perebahan dalam organisasi. Oleh karena kebangoenan rohani dan keisjafan nationaal ada timboel banjak soal2 dalam lapangan Geredja ada diboetoehkan satoe decentralisasie lebih dari pada doeloe2. 
Toedjoean kita adalah soepaja ada 4 Geredja berdiri sendirijang tida teritoeng dalam geredja Maloekoe, Minahasa atau Timor, tetapi dalam bagian terbesar dari pada kepulauan ini.58 
Para peserta sidang menyambut hangat soal ini dan berbagai pandangan dikemukakan, yang intinya menyetujui dipertahankannya keesaan. Tekanan desentralisasi dengan mempertahankan bentuk kesatuan yang lama di bawah Kerkbestuur oleh Dr. Rasker ditanggapi secara mendalam oleh Ds.A.Z.R. Wenas.59Menurut Ds. Wenas, bentuk kesatuan yang lama sudah harus ditinggalkan untuk megikuti suatu Tata Gereja yang mengarahkan pada satu Gereja di Indonesia. Ds. Wenas mendukung kemandirian dalam kesatuan, tetapi menolak suatu “kesatuan-kerk”, karena akan bersifat sentralis dan akan menjadikan gereja-gereja yang mandiri sebagai gereja-gerjea daerah. 
Jika kita berbicara mengenai Gereja Protestan (bukan satu Gereja Protestan), maka inilah doa kita, bahwa juga gereja-gereja Indonesia lainnya akan berhimpun sekeliling Gereja Protestan di Indonesia. Jika kita mempertahankan Gereja-Gereja daaerah, maka gereja-gereja yang lain menutup diri. Itu berarti kemunduran. Jika Tata Gereja diterima, kesatuan tak pernah dicapai. Haruslah ada Tata Gereja yang diterima pihak-pihak yang lain.60 
Setelah diskusi, sidang menyetujui usul Kerkbestuur untuk menunjuk suatu panitia untuk merumuskan jalan menuju keesaan kekristenan di Indonesia: 
Ds. Keers menyatakn bahwa Kerkbestuur mengusulkan untuk menunjuk suatu panitia,yang teriri atas wakil-wakil Gereja-Gereja mandiri di Indonesia bagian Timur, dengan Dr. Emmen, Dr. Brouwer, Dr. Van Beyma dan wakil-wakil masing-masing Dewan, yang akan memberi satu suara kepada Gereja-Gereja muda. Panitia ini akan berusaha memberi bentuk kepada apa yang harus terjadi pada masa depan dan memutuskan jalan mana yang harus ditempuh Gereja Protestan menuju kesatuan Kekristenan di Indonesia.61 
Karena keputusan itu dianggap sangat penting maka Ds. B. Keers, ketua sidang, meminta Ds. B.S. Supit memimpin peserta dalam doa khusus Hasil pekerjaa panitia ini adalah sebuah dokumen dwibahasa (Indonesia dan Belanda)berjudul “Berita” (Boodschap), yang merupakan penyampaian keada gereja-gereja lain mengenai keesaan GPI dengan ajakan untuk menggabung di dalamnya, membentuk satu Gereja di Indonesia. Inti “Berita” dalam empat butir uraian itu terdapat dalambutir yang terakhir sebagai berikut: 
Adalah soeatoe keoentoengan bagi kami bilamana kami hendak mengkabarkan kepada saudara-saudara, bahwa Synode am Geredja Protestant di Indonesia di Bogor telah berhasil mengadakan soeatoe tertib baharoe mengenai hoeboengan-hoebongan keempat geredja2 jang berdir sendiri jang terhisab padanaja dan keesaan telah beroesaha dari pihaknja sendiri, memberi soembangannja pada pembaharoean soesoenan kehidupan kehidoepan dan perhoeboengan geredja. Dalam soesoenan terseboet, tiap-tiap geredja jang berdiri sendiri mempoenjai pertanggoengan djawab sepenoeh-penoehnja terhadap oesahanja sendiri dengan pimpinan Synodenja sendiri. Geredja2 itoe berhimpoen dalam soeatoe Sidang-Geredja Am dengan mengirim oetoesan2nja jang ditentoekan oleh synodenja. 
Maka dalam Sidang-Gredja Am inilah, geredja2 iteo menjatakan keesannja dalam ikrar, dalam panggilan rasoeli, dalam penjelenggaraan bersama pendidikna dan peroepaan pendjawat2 Geredja, dan dalam tanggoeng-djawabnja menolong satoe demi jang lalin dalma perkara2 praktis. Teranglah, bahwa Sidang-Geredja  Am ini akan melajani geredja2 dengan memberi penerangan dan pimpinan jang amat perloe mengenai masalah-masalah jang amat berarti setjara prinsipil oentoek kehidoepan geredja2. Geredja2 jang meroepakan bersama-sama geredja jang esa ini, haroeslah memandang segala badan2 pelajan dari Sidang-Geredja Am itoe, selakoe badan-badannja sendiri. Pada waktoe2 jang tertentoe mereka akan berhimpoen dengan oknoem2 jang bertanggoengdjawab, akan memperkokohkan pimpinan dan akan menetapkan dengan lebih tegas toegas2nja jang istimewa. 
Sinode Am menyatakan pengharapanja, kiranja Rohoel-mengambil kepoetoesan jang penting ini. Baginja, adalah ini soeatoe sjoekoer, bahwa ia dapat memperhadapkan sekarang kepoetoesan ini kepada saudara2. kami berboeat hal ini dengan pengharapan, kiranaj saudara2 djoega sedia hati mempertimbangkan dengan soenggoeh soal2, jang diperhadapkan disini. Adalkah soeatoe kegirangan besar bagi kami bilamana diantara kita terdapatlah hal-hal jang menghentar kita pada pertjakapan geredjani jang mendalam, pada perikatan jang lebih erat dan oesaha bersama setjara praktis, didasarkan atas kejakinan kita bersama, bahwa kita esa adanja dalam iman dan ikrar. 
Synode Am menyatakan pengharapannja, kiranja Rohoel-koedoes akan memimpin kita sekalian saudara2 dengan kami, dalam kebenaran Indjil Toehan kita Jesoes Kristoes, menoedjoe keesan Geredja Toehan di tanah ini, serta djoega pada menantikan dengan kesoekaan hati kedatangan Keradjaan Allah.62 
Dengan “berita” ini GPI menawarkan suatu model keesaan gereja, yang dikiaskan sebagai keesaan jeruk, di mana kemandirian masing-masing gereja diperdamaikan dengan keesaan seluruh gereja.63 Model keesaan, yang dengan hati-hati diusulkan GPI ini, mendapat kecaman-kecaman dengan tuduhan bahwa GPI bersifat imperialis (hendak menguasai gereja-gereja lain) atau berusaha mengabortus rencana pembentukan suatu dewan gereja-gereja, yang panitianya sudah dibentuk, atau bahwa ingin BAPEAMnya (Badan Pekerja Am, mengganti Kerkbestuur GPI) menjadi pusat Dewan Gereja-gereja di Indonesia.64Sebab itu, dalam penjelasannya pada Konferensi Persiapan DGI, Ds. Rumambi menyatakan sikap GPI terhadap rencana pembentukan DGI: 
Djikalau Geredja di-Indonesia hendak mentjapai kesatuan, lain dari Geredja Protestant, maka Badan Pekerdja Am dengan rela bubarkan diri, djikalau kesatuan itu lebih sempurna dan hendak menghisapkan dirinja dalam badan itu. Keterangan ini perlu, supaja semua kesulitan dan wsangka dihapuskan. Maka semua suara2 jang didengar terhadap Geredja Protestant di-Indonesia harus dihapuskan, djikalau hendak bentuk suatu Dewan Geredja2 di-Indonesia. Maka teranglah sekarang, bahwa Geredja Protestant di-Indonesia hendak menjokong dan membantu berdirinja Dewan Geredja2. Badan Pekerja Am menjokong Dewan Geredja2 di-Indonesia dan bekerdja terus membantu akan mempereratkan Geredja2 di-Indonesia.65 
6.2.5        Dewan Gereja-gereja di Indonesia 
Pada tahun 1947 Ds.W.J. Rumambi, sebagai sekretaris Madjelis Keriten, menghubungi Ds.B. Probowinoto (wakil DPG), Ds.T. Sihombing (wakil Madjelis Geredja Sumatera66) dan Ds.H. Dingang (Ketua Geredja Dajak Evangelis) menyampaikan suatu usul, yang dilampiri “Rentjana Anggaran Dasar dan Rentjana Peratoeran Roemah Tangga Madjelis Oesaha Bersama Geredja-Geredja Keristen di Indoensia” hasil konferensi Malino,67 untuk pembentukan suatu badan oikumenebagi gereja-gereja di seluruh Indonesia.68Kemudian, pada bulan Januari 1948, bersama sejumlah tokoh Kristen di Jakarta mereka membentuk Panitya Perantjang yang diketuai Ds. B.A. Supit, dr.J.E. Siregar sebagai Sekretaris, dan Mr. A.L. Fransz bersama para sekretaris dewan daerah dan Ketua GDE sebagai anggota-anggota; sedangkan Dr.T.S.G. Moelia sebagai penasehat. Tetapi suatu panitia baru, dengan Moelia sebagia Ketua dan Rumambi sebagai Sekretaris, berhasil mempersiapkansuatu rancangan Anggaran Dasar dan peraturan-peraturan untuk bagian-bagian badan oikumenis yang direncanakan itu serta persiapan-persiapan untuk pelaksanaan konferensi. 
Setelah pembentukan ewan Gereja Seduni di Amsterdam pada konferensi tanggal 22 Agustus – 4 September 1948, direncanakan akan berlangsnung suatu persidangan Joint Office WCC dan IMC untuk Asia Timur pada bulan Desember 1949 di Bangkok.69 Para pemuka gerakan oikumene di Indonesia berharap bahwa wadah oikumene nasional sudah akan terbentuk untuk dapat diterima sebagai anggota IMC dalam sidang di Bangkok itu.70 Tetapi persiapan panitia baru memungkinkan konferensi pembentukan wadah nasional itu dilangsungkan tanggal 7-13 Nopember 1949di Jakarta. Konferensi itu (yang dikenal sebagai Konferensi Persiapan DGI) dihadiri 19 orang utusan yang mewakili 29 gereja dan 28 orang peninjau dari berbagai badan kegerejaan, termasuk panitia.71 Sebelumnya, dalam rapat panitia pada bulan Pebruari 1949, telah dipersiapkan suatu konsep Anggaran Dasar yang berisi lima belas pasal. Penyempurnaan konsep itu menghasilkan Anggaran dasar Baru di mana nama “madjelis” diganti menjadi “dewan” dan badan oikumene yang akan dibentuk ditetapkan bernama Dewan Geredja-Geredja di Indonesia, dengan tujuan “pembentukan Geredja Kristen jang esa di Indonesia”.72 Selain itu konferensi juga menghasilkan suatu seruan mengenai rencana tersebut kepada “Geredja2, perkumpulan2 dan umat Kristen di Indonesia dan sekalian jang suka mendengarnja”.73 Konferensi memutuskan bahwa pembentukan Dewan akan dilakukan pada suatu konferensi sekitar Hari Pentakosta tahun berikutnya. 
Sesuai rencana, konferensi pembentukan dilangsungkan tanggal 22-28 Mei 1950 bertempat di aula STT Jakata. Sedianya sidang akan segera memaklumkan pembentukan DGI, tetapi Ds. Probowinoto meminta pembicaraan Anggaran dasar terlebih dahulu, yang berkembang menjadi perdebatan sengit antara Ds. Probowinoto dengan Ds. Rumambi, yang masing-masing mendapat dukungan dari peserta sidang. Masalahnya adalah adanya sisipan Paniotia Persiapan pada Anggaran Dassar yang telah disepakati pada sidang bulan Nopember 1949, yaitu menambahkan bahwa badan-badan Zending diterima sebagaiassociated member.74 Akhirnya disepakati untuk membentuuk sebuah panitia khusus yang akan menyempurnakan Anggaran Dasar. Panitia khusus tersebut terdiri atas: Probowinoto, Soesilo, Sinaga, Sahulata, Tan Yoe Gie dan Rumambi. Panitia ini mengajukan hasil pekerjaannya pada tanggal 25 Mei, yang diterima setelah tanggapan dan penyempurnaan oleh sidang. Keanggotaan badan Zending dihapuskan dengan suatu lampiran penjelasan. Dengan demikian berdirinya Dewan Geredja-geredja di Indonesia disahkan, disusul pembacaan “Pengumuman” oleh Ds. Rumambi dan doa syukur yang dipimpin berturut-turut oleh Ds. Supit, Ds. Dingang, Ds. Khoe Lan Seng, Ds. Stelma dan Ds. Suhadi.75 
Penolakan atas keanggotaan badan-badan Zending dalam DGI menunjukan bahwa pada akhirnya gerakan oikumene di Indoensia bersangkut paut dengan gereja, dan pekabaran Injil adalah bagian dari tanggung jawabnya. Pandangan Ds. Probowinoto, yang menolak keanggotan badan-badan Zending dalam DGI, jelas dipengaruhi Kwitang-structuur dan juga memperlihatkan penolakan terhadap model pelembagaan oikumenis Internasional, bahwa di samping WWC (gereja-gereja) ada IMC (badan-badan Zending). Penjelasan mengenai penolakan badan-badan Zending sebagai anggota DGI menyatakan: 
Zending atau pekabaran Indjil adalah tugas dari tiap2 geredja, karena itu geredja2 di Indonesia djuga mempunjai badan2 jang mengurus pekabaran Indjil itu. 
Dengan terbentuknya D.G.I., maka D.G.I. supaja mengkoordinir badan2 pekabaran Indjil dari geredja2 Indonesia dalam suatu komsi tetap jang melulu mengerdjakan tentang soal2 pekabaran Indjil. Dalam komisi pekabaran Indjil itulaj Zending luar negeri dapat bertemu dengan geredja2 di Indonesia. Pekabaran Injil dari D.G.I. dan Pekabaran Indjil dari luar negeri merupakan suatu komisi yang sekarang tugasnya hanja: 
Memikirkandan menjelidiki soal2 pekabaran Indjil di Indoesia dn negeri2 lain, lalu mengandjurkan hasil2nja kepada sekalian geredja2 dan Badan2 Kristen di Indonesia.76 
Penolakan itu menandai peralihan dari pimpinan pihajk Zending Barat ke gereja-gereja Indonesia. Hanya dalam komisi-komisi tertentu beberapa tenaga asing masih dipertahankan.77 
6.3              Rangkuman 
Proses gerakan oikumene di Indonesia, sejak tahun 1928 sampai tahun 1950, memperlihatkan beberapa garis yang jelas. Pertama-tama, pengaruh gerakan oikumene sedunia, khususnya dalam IMC, cukup menentukan. Dalam kaitan itu, yang mela-mela menyadari pentingnya kebersamaan dalam kerangka pekabaran Injil di Indonesia adalah kalangan Zending. Tetapi kemudian, karena pengaruh dari kemandirian gereja, terjadi perembesan gagasan oikumenis kepada kalangan orang Kristen Indonesia. Dan selanjutnya faktor Perang Dunia II dan pendudukna Jepang menjadi gerakan gerakan keesaan gereja-gereja di Indonesia.78 Dalam proses perembesan dan peralihan itu berperan penting “generasi muda Kristen berwawasan baru”. Lulusan HTS dan mantan anggota CSV op Java terdapat di antara para penganjur gerakan keesaan gereja dan pimpinan pertama DGI. Dan dalam dinamika wawasan Zending dan wawasan nasionalisme mereka memberi isi pada gerakan oikumene sebagai gerakan kekristenan di Indonesia menjawab panggilannya di dalma kenyataan masyarakat, bangsa dan negara Indonesia. 
DPG di Yogya berusaha berada di garis depan tekanan ke Indonesia-an gerakan eesaan dan kemudian mendesakkan model yang tepat bagi kedudukan Zending Barat (Kwitang-structuur), tetapi adalah Madjelis Keristen di Makassar yang berhasil mewujudkan hidup-bekerja-bersaksi bersama sebagai gereja secara konkret dan dengan itu menjadi bentara bagi badan oikumensi konkret dan dengan itu menjadi badan oikumenis nasional, DGI. Pengelompokan oikumenis lainnya adalah rumpun GPI dengan model “keesaan jeruk”nya, sedangkan gereja-gereja di Sumatera dan Kalimantan belum tampil dengan suatu sumbangan khusus pada masa it. Selanjutnya, sebagaimana halnya dalam kemandirian gereja, dalamgerakan keesaan gereja pengaruh nasionalisme tidak secara langsung, dalam arti kebersamaan yang diupayakan bukanlah merupakan penyatuan kekuatan melawan dominasi asing di dalam gereja-gereja.79 Yang terjadi adalah suatu proses pencarian bentuk kebersamaan oikumenis dengan gereja-gereja dalam lingkup internasional (baca: Zending Barat), yang ditemukan dalam “Kwitang-structur” itu. Artinya, baik orang Kristen Indonesia, maupun para pekabar Injil Barat sama menyadari (dan mendukung) bahwa kedewasaan gereja-gereja di Indonesia justru terletak pula dalam kemampuan untuk memberi setiap pihak tempatnya yang tepat dalam kebersamaan menjalankan panggilan gereja di Indonesia. 
Pembentukan wadah oikumenis dalam bentuk dewan gereja-gereja, bukan menggabung pada GPI atau membentuk sebuah gereja nasional (sesuai usul GMIM) merupakan jalan pendamaian antara proses kemandirian dengan proses keesaan gereja. Pada jalan ini, masalah perbedaan atau pengelompokan gereja-gereja di Indonesia, terutama sebagai greja suku, diarahkan ke dalam kebersamaan. Kenyataan perbedaan itu tidak dihapuskan, melainkan diberi tempat dalam kerangka perhatian pada kebhinekaan Indonesia sebagai satu wawasan dalam panggilan kekristenan di Indonesia.80 Dengan itu maka dalam tujuan gerakan oikumene di Indonesia, pembentukan Gereja Kristen yang esa di Indonesia, bergaung gema nasionalisme bahwa gereja-gereja di Indonesia dipanggil dari dan bagi bangsanya.

1 Mengenai perkembangan gerakan oikumene sedunia, lihat Christian de Jonge, Menuju Keesaan Gereja: Sejarah, Dokumen-dokumen dan Tema-tema Gerakan Oikumenis (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1990). Lihat juga Ruth Rouse dan Stephen Charles Neill (eds), A History of the Ecumenical Movement 1517-1948(London: SPCK, 22967); Harold E. Fey (ed), The Ecumenical Advance: A History of the Ecumenical Movement, Vol. 2. 1948-1968 (London: SPCK, 1970). 
2 Ds. A.J. Schuurmann adalah pendiri Seminari Depok,lembaga pendidikan tenaga pelayan sebelum STOVIL dan sekolah-sekolah teologi didirikan. 
3 B.J. Boland, Opweg naar Oecumensche Samenwerking in Indonesië (Batavia: Voorbereiding Raad van deKerken, 1949) hlm. 10. 
4 Ibid., hlm. 10. 
5 Ibid. 
6 Untuk studi mendalam mengenai Zendingconsulaat, lihat M.C. Jongeling, Het Zendingconsulaat in Nederlands-Indië (Arnhem: van Loghum Slaterus, 1966). Selain dalam rangka ZC, peran NBG sendiri perlu disebut, yakni dalam membantu pekerjaan Zending melalui penerjemahan Alkitab dan juga tenaga-tenaga ahlinya seperti Adriani dan Kraemer. 
7 Van den End, Ragi Carita 2, hlm. 30 dst Mengenai SZC selengkapnya, lihat van Randwijck, Oegstgeest. Sebagaimana ZC, juga SZC lahir dari prakarsa Dr. J.W. Gunning.
8 Verslag ZC 1937-1939, hlm. 166. 
9 LZR Makassar dibentuk atas desakan pihak Zending di Sumba. Anggotanya adalah CGK Mamasa, GZB Rantepao, NZG Poso, NZV Sulawesi Tenggara, Gereformeerde Kerken (Sumba dan Makassar) dan Indische Kerk di Timor. Verslag ZC 1937-1939, hlm. 162. 
10 Boland, Op weg naar Oecumenische Samenwerking, hlm. 14.
11 Ibid, hlm. 14. Perkembangan ini dianggap Boland sebagai pertanda adanya suatu rengkahan dalam sejarah. 
12 Ibid., hlm. 20.
13 Dari Indonesia, hadir pada Konferensi Yerusalem Dr. B.M. Schuurman, Dr. H.A. van Andel dan T.S.G Moelia. Delegasi ke Tambaram disusun oleh Zendingconsulaat yang berusaha agar semua kelompok Kristen diwakili. Liha tdaftar peserta dalam Adresses and Other Records, The Madras Series Vol. VII, (London, New York: IMC, 1940), hlm. 181 dst; Verslag Zc 1937-1939, hlm. 158. 
14 Edisi yang direvisi diterbitkan tahun 1947 oleh Edinburgh House Press, London. 
15 Dari ketujuhjilid laporan Tambaram (The Madras Series), laporan mengenai ekonomi gereja yang paling tebal (596 hlm.). Pokok ini dibicarakan berdasarkan penelitian Merle Davis. Lihat The Economic Basis of the Church, The Madras SeriesVol. V, (London-New York: IMC, 1939). 
16 Kini Gereja Immanuel GPIB, Pejambon, Jakarta Pusat.
17 Lihat “Terdjemahan kutipan Rentjana Anggaran Dasar Madjelis Geredja2 dan Zending di Hindia Belanda.” Pasal 3, Arsip Madjelis Kekristen
18 Lihat Holtrop, Selaku Perintis Jalan Keesaan Gerejani di Indonesia, hlm, 13 dyb. Pada masa pendudukan Jepang di beberapa tempat pemerintah militer Jepang memaksakan pembentukan badan persatuan seluruh golongan Kristen. Untuk seluruh Sulawesi dibentuk “Selebes Kiristokyo dan Rengokai” pada tahun 1942. 
19 Pandangan yang khas dikemukakan Dr. F. Ukur sebagai berikut: “Pengalaman yang menimpa gereja di masa pendudukan Jepang ini telah menempa gereja menjadi dewasa. Ia menjadi dewasa melalui penderitaan. Tekanan, hambatan serta segala macam pembatasan yang dikenakan pada gereja, tidak berhasil melumpuhkan gereja itu. Eskipun ditindas tetapi tidak terjepit, habis akal namun tidak putus asa, dianiaya tetapi tidak ditinggalkan oleh Tuhannya. Sebaliknya gereja menjadi lebih sadar akan hakikat keberadaannya didalam dunia ini, lebih mengerti tugas panggilannya, lebih berani mengabarkan Injil Tuhannya dan lebih mampu menanggung seluruh tanggungjawab selaku gereja yang benar-benar berdiri di atas kaki sendiri.” F.Ukur dan F.L. Cooley, Jerih dan Juang: Laporan Survai Menyeluruh Gereja di Indonesia (Jakarta: LPS-DGI, 1979), hlm. 512. 
20 Boland, Op weg naar Oecumenische Samenwerking, hlm. 31. 
21 Hoekendijk mencatat tiga rancangan yang dihasilkan dari dalam kamp tahanan: “Rapport Bergema” mengenai pendidikna teologi, “Rapport Verkuyl” mengenai koordinasi pers Kristen dan “Nota De Niet” mengenai kerjasama oikumenis dan keesaan di Indonesia. Lihat J.C. Hoekendijk, Zending in Indonesië; Verslag en Rapporten van de Zendingsconferentie te Batavia Gehouden van 10 tot 20 Augustus 1946 (Den Haag: Boekencentrum, 1946), hlm. 10; lihat juga Boland, Op weg naar Oecumenische Samenwerking, hlm. 33. 
22 Hoekendijk, Zending in Indonesië, hlm. 10 dyb. Mengenai Contact-Comité dan Bureau voor Relief en Reconstructie, lihat M. de Niet dan U.H. van Beijma, Tot Beter Begrip (Batavia: Zendingsconsulaat, 1948), hlm. 29-40.
23 Boland, Op Weg naar Oecumenische Samenwerking, hlm. 33. 
24 Naskah lengkap gagasan De Niet termuat dalam Hoekendijk (ed), Zending in Indonesië, hlm. 12-36. 
25 Hoekendijk, Zending in Indonesië, hlm. 19. 
26 Bahasa Belandanya “Chrisenraad in Indonesië” dan dalam bahasa Inggris “Christian Council in Indonesia”. Ibid., hlm. 20.
27 Para peserta terutama adalah wakil badan-badan Zending dan gereja-gereja yang melakukan pekabarn Injil, khususnya Gereja Protestan di Minahasa dan Maluku. Dari 39 peserta, hanya empat orang Indonesia: Ds. H.F. de Fretes (Mol.PK), Mr.G.P. Khouw (NBG), Ds.W.J. Rumambi (Min.PK), J.L.L. Wenas (PK). Hoekendijk (ed), Zending in Indonesië, hlm. 137. 
28 Ibid., hlm 38.
29 Ibid., hlm 96. 
30 Ibid., hlm 75. Dalam pengantarnya, Hoeendijk mengungkapkan pandangan sejarawan Zending ternama, Latourette, bahwa “sejarah pekabaran Injil mengajarkan bahwa hanya gereja-gereja yang menyelenggarakan suatu barisan andal tenaga-tenaga ‘pribumi’ yang terdidik baik yang dapat memperlihatkan kemandirian yang nyata dan kehidupan rohani yang mantap”, (hlm. 67). 
31 Bagian dari “Rapport Bergema” yang disusun Dr. Bergema dalam penjara di Pare-Pare, Sulawesi Selatan. Naskah dilampirkan dalam Ibid., hlm. 63-67. 
32 Ibid., hlm. 66 dyb.
33 Tampaknya konferensi inilah yang pertama kali secara resmi mencanangkan pembentukan satu gereja di Indonesia sebagai tujuan gerakan oikumene di Indonesia. Gagasan itu sebelumnya telah dikemukakan antara lain dalam “Nota De Niet” dan “Raport Bergema”. 
34 Lihat Ibid., hlm. 62; terjemahan kedelapan butir laporan inidimuat sebagai la,piran dalam Holtrop,Selaku Perintis Jalan, hlm. 107-109.
35 Ds. Rumambi (1916-1985?) lahir di Tompaso, Minahasa, menempuh pendidikan teologi (angkatan pertama HTS 1939-1940), ditahbiskan sebagai pendeta GMIM pada tahun 1940 dan bekerja di bidang pendidiakn serta kantor agama pada zaman jepang, sekretaris Madjelis Keristen (1947-1948), 1948-1950 sekretaris umum GPI, 1950-1954 sekretaris umum DGI, 1954-1956 Kepala urusan persekolahan GMIM, 1956-1959 anggota Konstituante, 1959-1966 Menteri (a.l. Menteri Penerangan RI), menjadi Sekretaris Umum LAI (1974-). Lihat Holtrop, Selaku Perintis Jalan, hlm. 18. Mengenai biografi Rumambi, lihat artikel W.B. Sidjabat, “Sekuntum Sumbangan Ds. W.J. Rumambi dalam Gereja dan Masyarakat Indonesia” (naskah ketikan 20 halaman, tahun 1985). 
36 Holtrop, Selaku Perintis Jalan, hlm. 18. 
37 Lihat H. Bergema, “Over den nauwen samenhang tusschen zending en oecumenisme”, De Opwekker, 79/1934: 197-206, 268-278, 360-398. 
38 Dr. Holtrop mencatat bahwa dalam kerjasama keduanya mempersiapkan konferensi tersebut “menjadi konkrit apa yang dimaksudkan oleh Konferensi Whitby dengan semboyan : Partners[ship] in obediance”. Holtrop, Selaku Perintis Jalan, hlm. 21. H. Bergema (1902-1969): 1929 pendeta zending GKN di Kebumen, 1934 dosen sekolah Guru Jemaat di Karuni (Sumba), 1938 meraih DTh, 1947-1956 Rektor dasn dosen pada Sekolah Teologi di SoE/Makassar, 1956-1968 mahaduru teologi pada ThU Kampen.
39 Demikian dikutip dalam Ibid., hlm. 19 dari ceramah W.J. Rummambi pada Madjelis Persatoean Keristen di Selebes (Makassar), tanggal 24 September 1946, berjudul “Gerakan Keesaan Keristen di Indonesia”. Ceramah tersebut disampaikan pula pada Sidang Sinode GMIM tanggal 18-19 Desember 1946. 
40 Ibid., hlm. 19. 
41 Hadir utusan-utusan dari Sangihe-Talaud , Minahasa, Bolaang-Mongondow, Luwuk-Banggai, Mamasa, Rantepao, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Selatan (Soppeng), Kalasis Makassar Gereja Protestan, Kumpulan Gereeformeerd Makassar, Kemah Injil (CMA), Sumba, Timor, Halmahera, Maluku, Nieuw Guinea, Kerkbestuut GPI, Zendingsconsuaat, NHK, NZR, GKN, Gereformeerde Kerk berbahasa Belanda di Indonesia, NBG, Komisi Medische Zending dan Komisi Pembacaan Darurat di Jakarta. W.J.Rumambi, “(Notulen) keonperesi Geredja-Geredja dan Zending, Makassar 15-25 Maret 1947”, Lampiran 4 dalam Ibid.,hlm. 110 dyb.
42 Lihat William Alexander Siwu, “Masing-masign Didapati Setiawan: Sejarah Dewan Gereja-gereja Diwilayah Sulawesi Utara Tengah” (Skripsi STH STT INTIM, 1983); lihat juga MPH-PGIW Sulutteng, 33 Tahun PGIW Sulutteng (Manado: PGIW Sulutteng, 1988). 
43 Lihat “Rentjana anggaran Dasar Madjelis Oesaha bersama Geredja-Geredja Keristen di Indonesia” dan “Rentjana Peratoeran Roemah Tangga Madjelis Oesaha bersama Geredja-Geredja Keristen di Indonesia”, Lampiran 5 dalam Holtrop, Selaku Perintis Jalan, hlm. 142-148. 
44 Kepengurusan selanjutnya tetap mempertahankan hal itu: Pdt.B. Supit , Pdt. R.M. Luntungan, Sj. Denso, I.H. Doko. Ibid., hlm. 36-43. 
45 Tujuan “Madjelis Keristen”, sebagaimana tercantum dalam pasal 3 Anggaran Dasarnya, meliputi pengembangan wawasan keesaan, penyelidikan pekabaran Injil, mempersatukan kegitatan gereja dan lembaga-lembaga Kristen, menyuarakan pandangan Kristen mengenai masalah-masalah sosial, politik, ekonomi, dst, mengusahalan hubungan-hubungan oikumenis internasionla, menjadi pusat informasi bagi gereja-gereja dan lembaga-lembaga Kristen dan mempersiapkan pertemuan atau konferensi. 
46 Ibid,. hlm. 43. Dalam hal “hidup bersama sebagai gereja” Madjelis Keristen menemukan prinsip-prinsip dalam menghadapi perbedaan–perbedaan ajaran dan batas-batas nasionalismedna etnis., “Bekerja bersama sebagai gereja” diwujudkan dalam penyelenggaraa Sekolah Theologia, Lembaga Bacaan Kristen, Urusan Pemuda dan dukungan bagi pekabaran Injil di Sulawesi Selatan. Pokok yang ketiga, “beraksi bersama sebagai gereja”, menyangkut sikap gereja terhadap soal-soal agama ddalam Negara Indonesia Timur sebagaimana telah dikemukakan dalam bab terdahulu.
47 Anggaran Dasar (Sementara) Dewan Permoesjawaratan Geredja-geredja Protestant di Indonesia”, dalam Siaran Kilat, 1, (Djokjakarta: DPG, nd), hlm. 11. Dengan keanggotan hanya gereja-gereja, tidak termasuk badan-badan Zending dan lembaga Kristen lainnya, Dewn Gereja merupakan suatu langkah maju dalam apa yang disebut Boland peralihan dari aspek Belanda ke aspek Indonesia dalam perkembangan gerakan oikumene di Indonesia. Lihat Boland, Op weg naar Oecumenische Samenwerking, hlm. 28 dst. Walaupun menekankan “Indonesia”, DPG hanya beranggotakan gereja-gereja di Jawa, khususnya Jawa Tengah. 
48 Siaran kilat, hlm. 17-20. Boland menyebut sekretarisnya R. Siwandargo. Lihat juga Boland, Op weg naar Oecumenische Samenwerking, hlm. 40. 
49 Pertemuan bertempat di gedung gereja Kwitang, sehingga disebut “konperensi Kwitang”. Mengenai Konperensi ini, lihat a.l. Boland , Op weg naar Oecumenische Samenwerking, hlm. 46-48; K. J. Brouwer,Zending in een Gistende Wereld (Amsterda: G.J.A. Ruys, 1951), hlm. 56-63; Verslaag van het Zendingsconsulaat over de jaren 1945-1950, Hoofdstukken VII en VIII, hlm. 54-73; J. Verkuyl, Gedenken en Verwachten. Memoires (Kampen: J.H. Kok, 1983), hlm. 156-158.
50 “Kesimpoelan dalma Peroendingan antara delegasi geredja2 di Indonesia (Didalam lingkoengan Dewan permoesjawaratan Geredja2) dan delegasi Geredja2 di Negeri Belanda (Gereja Hervormd dan Geredja Gereformeerd) mengenai bentoek bekerdja bersama dilapangan Pekabaran Indjil di Indonesia. “naskah ketiakn 5 haalaman (Arsip Madjelis Keristen, IGIT STT-INTIM Ujung pandang). Naskah ditandatangani oleh Ds. B. Probowinoto sebagai wakil DPG dan Ds.Th.B.W.G.Gramberg dari pihak Zending. 
51 Verslag van het Zendingsconsulaat over de jaren 1945-1950, hlm. 54. 
52 Ibid., hlm. 54.
53 Lihat Chris Hartono, “gerakan keesaan Gereja-gereja Berlatar Belakang Tionghoa”, dalam Peninjau, ½. 1974: 119-161; dan Chris Hartono, Ketionghoaan dan Kekristenan: Latarbelakang dan Panggilan Geredja2 yang berasal Tionghoa di Indonesia (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1974). 
54 Istilah yang berasal dari tahun 1854 ini adalah pandangan Henry Venn, seorang tokoh LMS, mengenai tujuan pekabaran Injil “as being the calling into excistance of self-governing, self-supporting, and self-propagating Churches; and of the euthanasia of a mission”. Lihat Stephen Neill, A History of Christian Missions (Penguin, 1973), hlm. 259 dyb. Lihat juga evaluasi kritis Dr. Verkuyl terhadap model tri kemandirian ini dalam J. Verkuyl, Inleiding in de Nieuwere Zendingswetenschap (Kampen: J.H. Kok, 1975), hlm. 257 dyb. 
55 Hartono, Ketionghoan dan Kekristenan, hlm. 159. 
56 Khusus GPIB, lihat S.W. Lontoh dan H. Jonathans, Bahtera Guna Dharma GerejaProtestan di Indonesia bagian Barat (Jakarta:GPIB, 1981).
57 Toetoeran Synode Am ke-III, hlm. 28. 
58 Ibid., hlm. 29. Tidak berkembang lebih lanjut dalam percakapan apa yang dimaksud oleh Dr. Rasker dengan “4 Geredja berdiri sendiri … “ itu. 
59 Untuk biografinya, lihat kumpulan karangan Ds. A.Z.R. Wenas (1897-1967) Pelajan Geredja di Minahasa (Redaksi Bulletin Dewan Geredja2 Suluteng, nd); lihat juga D.M. Lintong, “Ds. A.Z.R. Wenas Ketua Sinode GMIM (1942-1967). Satu Bab dari Sejarah Gereja Masehi Injil Minahasa” (Tesis STh FTh-UKIT, 1978). 
60 Toetoeran Synode Am ke-III, hlm. 35. 
61 Ibid., hlm. 36.
62 “Berita” [dari Sinode Am III Gereja Protestan Indonesia di Bogor tahun 1948], (selebaran dwibahasa ) hlm. 5-6. 
63 “Suatu persatuan Geredja seperti GPI dahulu dibandngkan dengan buah mangga, sebuah bidji jang diliputi oleh dagingnja. Suatu geredja jang hampir berserakan, jang terdiri dari geredja2 jang terlepas satu sama lain, akan menjerupai buah Anggur. Akan tetapi jang dikehendaki ialah suatu Geredja jang seperti djeruk bentuknja, artijna bagian2 jang berdiri sendiri dirangkum mendjadi suatu keseluruhan.” Th. Müller-Krüger, Sedjarah Geredja di Indonesia (Djakarta: Badan Penerbit Kristen, 21966), hlm. 81. Rangkuman “werkorde” GPI terdapat dalam Locher, De kerkorde der Protestantse Kerk, hlm. 248-255. 
64 Lihat penjelasan J.L.L. Wenas dan Ds. Rumambi pada Konferensi Persiapan DGI dalam Notulen Konperensi Dewan Geredja2 di-Indonesia, hlm. 14-16. Telaah mengenai sumbangan GPI bagi gerakan oikumene di Indonesia ini dilakukan oleh U.H. van Beyma, De Boodschappen en de Werkorde van de Protestantsche Kerk in Indonesië (Batavia: Zendingsconsulaat, 1949). 
65 Notulen Konperensi [Persiapan] Dewan Geredja2 di-Indonesia, hlm. 16. 
66 Disebut juga Madjelis Kristen Medan. Hal-ihwal wadah oikumenis gereja-gerejadi Sumatera Utara ini tidak jelas. Zendingsconsulaat menyebut pula adanya “Regionale raad te Palembang”, yang pada bulan Agustus 1948 dibentuk bersama, atas prakarsaDs. E. Everts, oleh jemaat-jemaat HKBP, Methodis berbahasaTionghoa dan Indonesia, Gereja Protestan berbahasa Belanda dan Indonesia dan Gereja Gereformeerd dalam “Konperensi kaum Keristen protestan di Sumatera Selatan”. Lihat Verslag van het Zendingsconsulaat 1945-1950, hlm. 76. 
67 Naskah lengkap sebagai lampiran 5 dalam Holtrop, Selaku Perintis Jalan, hlm. 142-148. 
68Jangkauan nasional Madjelis Keristen yang ditunjukan Ds. Rumambi di sini sangat bermakna mengingat masa itu Indonesia terkotak-kotak dalam sejumlah negara bagian.
69 Peserta dari Indonesia pada sidang pembentukan DGD di Amsterdam a.l. Dr.J.E. Siregar, Ds.K. Sitompul, Ds.A. Rotti, Ds.Ch. Mataheru, Ds. Mardjo Sir dan Ds.S.P. Poerbowijogo. 
70 IMC hanya menerima dewan gereja-gereja nasional sebagai anggota, bukan gereja-gereja. 
71 Lihat Lampiran I dan Lampiran II dalam Ichtisar “Konperensi Persiapan Geredja-Geredja di Indonesia”. Jumlah utusan lebih kecil dari jumlah gereja sebab Madjelis Keristen mengutus empat orang untuk mewakili 14 gereja dan bakal gereja anggotanya. Dalam daftar peserta sidang nama Dr.T.S.G. moelia tidak tercantum. 
72 Lihat “Peraturan Anggaran Dasar dewan Geredja2 di Indonesia”, Lalmpiran III dalam Ichtisar “Konperensi Persiapan Geredja-Geredja di Indonesia”, hlm. 9 dyb. 
73 Lihat “Berita Konperensi Persiapan Geredja2 di Indonesia”, LampiranIII dalam Ichtisar “Koperensi Persiapan Geredja-Geredja di Indonesia”, hlm. 9.74 Selain itu ada pula keberatan GMIM yang bukannya menghendaki pembentukan dewan gereja-gereja, melainkan langsung satu gereja di Indonesia. Lihat[Notulen] konperensi Pembentukan Dewan Geredja-geredja di Indonesia, hlm. 10-14. 
75 Pemilihan Badan pekerja pada tanggal 27 Mei menetapkan: Prof. Dr. T.S.G. Moelia (Ketua), Ds. Rumambi (Sekretaris dibantu olelh Mr. A.L. Fransz, Ds. Tjan TongHoo dan Dr. S.C. Nainggolan. [Notulen] Konperensi Pembentukan Dewan Geredja-geredja di Indonesia, hlm. 31-33. 
76 “Pendjelasan mengenai penghapusan Pasal 5, sub B ajat 1 dan 2”, lampiran II dalam [Notulen] Konperensi Pembentukan Dewan Geredja-geredja di Indonesia, hlm. 45. Tentang masalah keanggotaan badan Zending dalam DGI ini, lihat B.J. Bolalnd, “De Raad van Kerken in Indonesië en de Zending”, (Arsip Madjelis Keristen, naskah ketikan 15 halaman, 19 Juni 1950) 
77 Selain komisi Pekabaran Injil, dalam struktur DGI dimasukkan lembaga-lembaga yang sudah berdiri sebelumnya: Madjelis Pusat Pendidikan Kristen (meneruskan Dewan Sekolah), Komisi Radio Kristen (baru), Komisi Pemeliharaan Kerohanian dalam Tentara, Komisi Kesehatan dan Sosial, Komisi Bahasa dan Komisi Geredja dan Negara. Beberapa badan otonom juga dibicarakan dalam ikatan atau kerjasama dengan DGI, seperti Badan penerbit Kristen ( dari badan Penerbit Geredja dan Zending), Zendingsconsulaat,Kerapatan Alkitab, Sekolah Theologia Tinggi dan MPKO. Dengan semua itu dapat dikatakan DGI merupakan pengalihan dan reorganisasi badan-badan Kristen asuhan Zending. Lihat Ichtisar Konperensi untuk Pembentukan Dewan Geredja2 di Indonesia, hlm. 4-6. 
78 Faktor-faktor itu merupakan percepatan dalam proses peralihan tekanan dari pemahamanmissiocentrisch ke ecclesiocentrisch (Hoekendijk) atau dari aspek Belanda ke aspek Indonesia (Boland).
79 Dengan perkecualian kelompok DPG di Yogyakarta, yang agak bersifat antti Zending (meginat bahwa mereka berada di jantung perjuangnRepublik pada masa itu. 
80 Perjalanan DGI selama tahun 1950-1960-an menunjukan kuatnya gagasan “pembentukan satu gereja di Indonesia”. Puncak dari pendekatan itu digagalkan dalam penolakan konsep Tata SINOGI (Sinode Gereja-gereja di Indonesia) pada Sidang Raya VI DGI tahun 1967 di Makassar. Kesadaran mengenai “keesaan dalam kepelbagaian”, yang dimunculkan pada awal tahun 1960-an, diperkembangkan lebih lanjut sejak Sidang Raya VII DGI tahun 1971 di Pematang Siantar. Paningkatan wadah oikumene nasional dari “dewan” menjadi “persekutuan” gereja-gereja pada Sidang Raya X tahun 1984 di Ambon tampaknya tetap membuka kemungkinan baik bagi gagasan lama, walaupun pendukung kepelbagaian cukup kuat. Untuk pengantar ke dalam sejarah gagasan keesaan dalam DGI, lihat Zakaria J. Ngelow, “Jalan Keesaan DGI” (Tesis SEA-GST, 1982).